Institut Akhir Pekan: Spiritualitas Politik Nusantara dan Menakar Kapasitas Diri

Institut Akhir Pekan: Spiritualitas Politik Nusantara dan Menakar Kapasitas Diri

Ilmu politik di tengah masyarakat kita sekarang banyak dipahami hanya secara material yang biasanya merujuk pada sebuah acara pemilihan umum, nyoblos. Sehingga fungi politik sebagai cara untuk membangun tata sosial, ekonomi dan budaya  hampir tidak bisa terwujud. Hal tersebut disampaikan oleh Kiai Nur Khaliq Ridwan pada acara Institut akhir pekan (IAP) Pekan ke II pada Sabtu (15/10/2022), di Pesantren Budaya Kaliopak Yogyakarta.

Kiai Nur Khaliq Ridwan menjelaskan bahwa jika politik hanya dipandang sebatas urusan transaksional dan material justru akan membahayakan bagi kelangsungan hidup berbangsa. “Politik  bukan hanya urusan transaksional bahwa politik itu nyoblos milih dan selesai. Tapi politik itu juga berkaitan dengan upaya menjadikan tata sosial politik ekonomi budaya itu menjadi maslahat. Generasi saya sampeyan, dan seterusnya kalau dididik jika politik itu hanya soal material itu akan membahayakan. Kalau kita hanya menyadari dan ingin menjadikan bangsa kita hanya seperti itu alangkah merananya kita sebagai bangsa dan akan mewariskan apa generasi kita nantinya” ujar Kiai yang penulis tersebut.

Setelah sebelumnya dalam pertemuan pertama IAP dengan tema kuliah Politik Islam dalam Sidang Konstituante Memasuki pertemuan kedua IAP ini, panitia menghadirkan tema pritualitas Politik Ketatanegaraan Nusantara. Sebelumnya sebelum  sesi diskusi bersama Kiai Nur Khaliq Ridwan di mulai pada malam hari. Peserta diajak untuk mendiskusikan pertanyaan-pertanyaan kunci pada tema pada kuliah sore itu. Pertanyaan seperti Apa itu spiritualitas? Apa itu spiritualitas politik? Apa urgensinya? dan untuk apa spiritualitas politik?. Pertanyaan tersebut kemudian di jadikan bahan diskusi secara berkelompok lalu mereka di beri kesempatan untuk dipresentasikan.

Tidak hanya itu, Kiai Nur Khaliq sebagai pemateri ke dua juga mengajak peserta kuliah untuk menengok kembali Spritualitas Politik Ketatanegaraan Nusantara di masa lalu. Hal tersebut dilakukan sebagai titik pijak, untuk memotret fenomena politik hari ini, yang seolah-olah terlepas dengan spritualitas. Kiai Koliq menerangkan bahwa Sebelum masuknya Islam, raja-raja di Jawa dianggap sebagai perwujudan dewa dan dianugerahi kekuasaan spiritual. Bagaimana raja pada saat itu tidak hanya melestarikan kekuasaan dunia tetapi juga kosmos rohani masyarakatnya. Hal ini diwujudkan dengan membentuk Sima-sima sebagai kekuasaan merdeka yangg dihuni oleh tokoh-tokoh rohani.

Setelah Islam masuk Walisongo kemudian memberikan artikulasi baru terhadap nilai-nilai yang sudah ada dengan syariat, tarekat, hakikat dan makrifat. Dewa-dewa diganti menjadi pemahaman tauhid. Penjuru mata angin yang dianggap dihuni oleh dewa-dewa diganti menjadi malaikat. Raja tidak lagi dianggap penjelmaan Tuhan tetapi raja adalah wakil Allah untuk mengurus bumi agar makmur dan digunakan sebaik baiknya untuk rakyat. Nilai spiritualitas  saat itu diwujudkan dalam tatanan sosial, politik, ekonomi melalui aturan-aturan yang hidup di tengah-tengah  masyarakat.

Dari diskusi panjang akhirnya Kiai Nur Khaliq berpesan untuk tidak terlalu banyak berkhayal yang dianalogikan dengan menjala angin, tetapi lebih banyak melakukan tindakan sesuai dengan kapasitas diri. Nasihat terakhir tentang mawar hijau mengakhiri pemaparan materi dari Kiai Nur Khaliq. Mawar sebagai gambaran diri manusia dan hijau sebagai simbol tumbuh suburnya amal-amal “Anda itu sebenarnya kelihatannya satu. Tapi hidup Anda itu lapisan-lapisan. Kenalilah diri Anda lapisan-lapisan dan dimana maqom lapisan Anda. Gunakan dan terimalah lapisan-lapisan itu.

Terus olahlah lapisan-lapisan itu untuk menghasilkan karya karya yang bagus. Mawar menyimbolkan manusia yang memiliki arti kalau dia paling tidak dilihat orang dengan karya, lisan, dan tindakannya. Hijau itu adalah tumbuh suburnya amal, setelah itu membuat proritas tentang hidup anda. Prioritas kita, kita rumuskan, kita pecahkan, kita cari formulasinya, sedikit-sedikit kita lakukan, yang sedikit itu lah yang kita istiqomah, ya walaupun sedikit nanti akan berbuah. Jangan terlalu besar menakar diri anda. Diri kita akan mau kemana, kalau kita gak mengerti ini gimana mau memperbaiki tata politik, wong kita sendiri aja nggak beres dalam hidup kita.” pungkas K. Nur Khaliq.

Oleh Faiz Halim

Sambut Halaqah Fikih Peradaban, Pesantren Kaliopak Buka Progam Institut Akhir Pekan

Sambut Halaqah Fikih Peradaban, Pesantren Kaliopak Buka Progam Institut Akhir Pekan

Yogyakarta – Menyambut Halaqah Fiqih Peradaban Satu Abad NU, Pondok Pesantren Budaya Kaliopak Bantul Yogyakarta membuka progam kelas Institut Akhir Pekan Islam berkebudayaan, Sabtu (08/10/2022). Progam yang diperuntukan untuk menyiapkan anak muda NU yang mempunyai wawasan intelektual yang mandiri serta mempunyai akar pada pengetahuan Nusantara ini, rencananya akan di lakukan rutin setiap hari Sabtu selama tiga bulan.

Selama ini Pondok Pesantren Budaya Kaliopak memang di kenal sebagai pondok pesantren yang unik dan alternatif. Tidak hanya aktifitas seni dan budaya, Pondok Pesantren Kaliopak juga menjadi laboratorium pengetahuan bagi anak muda terutama mahasiswa yang ada di Yogyakarta. Dari hal itulah progam baru Institut Akhir Pekan Islam Berkebudayaan, ingin mewadahi pergulatan intelektual anak muda untuk mencari jawaban-jawaban atas problem social masyarakat yang ada hari ini.

Progam ini sendiri akan mengambil tema besar, “Fikih Siyasah, Budaya Nusantara dan Problem Tatanan Dunia”. Tema ini di ambil, sebagai upaya melihat bagaimana bangun tatanegara kita hari ini sebagai pondasi kita berbangsa dan bernegara di lihat dari prespektif Islam Berkebudayaan. Tidak hanya itu, problem tatanan dunia juga menjadi perhatian khusus yang tampaknya sebagai upaya untuk memetakan posisi kita sebagai bangsa harus mengarungi pergolakan geopolitik ke depannya.

KH. M. Jadul Maula selaku pengasuh pesantren kaliopak dalam sambutannya menjelaskan, program ini dirancang untuk anak muda dalam menyongsong halaqah fikih peradaban, melalui topik kajian tematik seputar pembacaan terhadap Islam Indonesia dengan memunculkan satu perspektif yang di dasarkan pada budaya nusantara untuk menjawab tantangan persoalan-persoalan yang terjadi hari ini.

“Institut Akhir Pekan ini menjadi program untuk menyiapkan generasi muda dalam mendiskusikan topik-topik secara runtut yang nantinya akan menjembatani pada pemahaman tema besar Fikih Peradaban. Dimulai dari mengkaji sejarah awal pembentukan negara melalui politik Islam dalam sidang konstituante, sampai tantangan dunia hari ini dan di masa mendatang. Kita bisa dibilang mensyarahi fikih peradaban yang dicanangkan PBNU.”

“Selanjutnya, tujuan jangka panjang dari program ini adalah membangun komunitas belajar yang menjadi jaringan generasi muda, memperbincangkan dan lebih jauh mampu membuat gerakan kolektif di tengah krisis menghadapi problem hiperrealitas digital hari ini,” Tegas Kiai Jadul Maula yang juga ketua LESBUMI PBNU.

Program ini, diikuti sebanyak 36 anak muda dengan latar belakang keilmuan berbeda-beda. Para peserta telah melalui proses seleksi untuk mengikuti program ini. Para peserta sendiri terjaring dari beberapa kampus di Yogyakarta dan sekitarnya, seperti Wonosobo dan Ponorogo. Tidak seperti biasanya desain program ini rencananya akan seperti kelas dalam kuliah, yang lebih menekankan partisipasi aktif, yang kemudian di dorong untuk mengeksplorasi materi sejauh mungkin.

Luqman Hakim sebagai ketua pelaksana berharap program ini mampu menjadi wadah  belajar bersama secara dialektis di kalangan pemuda.

“Harapannya tentu saja dengan peserta yang punya latar belakang berbeda, program ini dapat memantik diskusi serius di antara mereka untuk menapaki kematangan intelektual dan spiritual yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah di kemudian hari.” Pungkasnya.

Setelah acara pembukaan Intitut Akhir Pekan Islam Berkebudayaan, acara kemudian dilanjut dengan kuliah pekan pertama yang di isi oleh KH. Abdul Mu’nim DZ yang membawakan materi Politik Islam Dalam Sidang Konstituante. Dalam materi ini KH. Mu’nim menjelaskan bahwa anak muda hari ini jangan hanya terjebak pada isu-isu sektoral yang tidak produktif. Menurutnya bahwa kita harus mampu melihat persoalan bangsa yang terjadi hari ini secara konstruktif. Maka dari itu penting kiranya, memahami kembali bagaimana politik Islam di masa awal kemerdekaan.

Lebih jauh, KH. Jadul berharap dimulainya Institut Akhir Pekan yang bertepatan dengan peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW, juga menjadi satu niat baik untuk turut serta mewujudkan tujuan didirikannya Negara Republik Indonesia, mempelajari dan mengkajinya kembali supaya tidak menyia-nyiakan apa yang sudah diperjuangkan oleh para leluhur, dan para syuhada sebelumnya. 

MENERIMA ISLAM BERKEBUDAYAAN MELALUI PENGETAHUAN SUBVERSIF

MENERIMA ISLAM BERKEBUDAYAAN MELALUI PENGETAHUAN SUBVERSIF

Setiap membaca tulisan Kiai Jadul Maula (M. Jadul Maula), saya selalu merasakan adanya luapan pengetahuan baru, yang seringkali mendobrak kemapanan pemahaman dan kesadaran beragama umat Islam.

Begitulah ketika pertama kali saya membaca tulisan Kiai Jadul berjudul “Syariat/Kebudayaan Islam: Lokalitas dan Universalitas”. Tulisan tersebut adalah salah satu artikel Kiai Jadul yang dimuat dalam bukunya, Islam Berkebudayaan, yang sedang saya resensi ini.

Saya sendiri telah membaca khusus artikel tersebut beberapa tahun lampau, ketika Desantara menyelenggarakan sarasehan soal “Fenomena Formalisasi Syariat Islam”.

Dalam tulisan tersebut, saya menemukan satu pengetahuan yang mendobrak kemapanan pengetahuan keagamaan kita selama ini tentang sejarah kurban.

Jika lazim kita pahami Ibrahim mengurbankan Ismail, Kiai Jadul justru menampilkan perdebatan tentang siapa yang sesungguhnya dikurbankan? Ismail atau Ishak? Ia mengetengahkan bagaimana Fakhruddin al-Razi  menampilkan perdebatan tersebut dalam Tafsir al-Kabir.

Kalau sebelumnya kita hanya menerima begitu saja pengetahuan yang mengatakan, Ismail yang dikurbankan oleh Ibrahim, maka setelah membaca tulisan Kiai Jadul tersebut, kita mulai mempertanyakan: siapa yang dikorbankan di antara keduanya?

Di sini tidak penting pendapat mana akhirnya yang banyak diikuti oleh ulama. Yang lebih penting, dengan tulisan tersebut, Kiai Jadul tengah mengajak kita untuk melihat ulang pengetahuan dan tradisi beragama kita yang telah mapan.

Kiai Jadul tengah mengaduk-aduk dan mempertanyakan kembali pengetahuan kita tentang sejarah kurban, yang selama ini telah mematok, bahwa Ismail-lah yang dikurbankan.

Ismail dan Ishak

Saat ini, dengan melubernya informasi soal agama di internet, perdebatan soal Ismail ataukah Ishak yang dikurbankan oleh Ibrahim, telah banyak diketahui umat Islam. Tetapi, pada saat Kiai Jadul menuliskan hal tersebut, hal itu masih terasa janggal, sekaligus menantang.

Perdebatan soal apakah Ismail atau Ishak yang dikurbankan oleh Ibrahim, bukanlah substansi tulisan Kiai Jadul dalam artikel tersebut. Melalui kisah itu, justru ia ingin mengetengahkan fakta, bahwa lokalitas seringkali menjadi dasar argumen ijtihad para ulama.

Hal itu muncul dalam argumen ulama yang mengatakan, Ismail-lah yang dikurbankan. Alasannya, fosil tanduk gibas ditemukan di Kakbah-Makkah. Sementara yang tinggal di Makkah,  hanya Ismail.

Dari sinilah Kiai Jadul menunjukkan, apa yang kita sebut Islam dengan nilai-nilai universal, berlaku li kulli zaman wa makan (tiap waktu dan tempat), ternyata banyak bersandar pada lokalitas yang ada pada tradisi Arab.

Dengan demikian, tidaklah tepat pemahaman yang menyimpulkan: “Islam itu murni hanya berisi nilai-nilai dari Langit yang bersifat universal.”

Ulasan Kiai Jadul soal Islam yang berpijak pada lokalitas ini, lagi-lagi menghentak kesadaran dan pengetahuan keislaman kita.

Jika selama ini kebanyakan umat Islam memandang Islam sebagai ajaran universal dari Langit yang mengubah tradisi Arab Jahiliah saat itu, Jadul justru menunjukkan, banyak di antara ajaran Islam merupakan kelanjutan tradisi Arab pra Islam.

Kiai Jadul mencontohkan bacaan “Labbaik allahuma labbaik, labbaik la syarika laka labbaik”, ketika tawaf di Kakbah, telah dikenal oleh suku-suku Arab, jauh sebelum Islam datang.

Bacaan ini bahkan telah dipraktikkan oleh suku-suku Arab dengan dicampur bacaan lain sesuai keyakinan mereka, sebelum Qushay bin Kilab merebut otoritas pengelolaan Kakbah.

Qushay bin Kilab sendiri adalah leluhur Nabi Muhammad, yang mengambil alih pengelolaan Kakbah dari klan Bani Khuza’ah, suku Jurhum. Hal ini diungkapkan Kiai Jadul dalam tulisannya berjudul Baitullah di Antara Pakta Keamanan dan Perdagangan.”

Tradisi Lokal

Dengan membentangkan pengetahuan-pengetahuan yang tidak umum dipahami umat Islam tersebut, khususnya yang menunjukkan keterkaitan Islam dengan tradisi lokal Arab, Kiai Jadul membuka jalan lahirnya apa yang selama ini kita sebut “Islam Lokal,” “Islam Adat,” “Islam Tradisional”, dan “Islam Nusantara”.

Selama ini, dengan dalih pemurnian dan atas nama universalisme Islam, peminggiran Islam lokal yang tumbuh dan berkembang di Nusantara telah dan sedang dilakukan oleh kaum puritan. Sementara diskursus Islam Nusantara, yang digaungkan Nahdlatul Ulama, ditonjok ramai-ramai oleh berbagai kalangan.

Argumen yang diajukan Kiai Jadul, dengan menunjukkan data-data tentang Islam yang universal, sekaligus melokal di Tanah Arab, membuat kalangan yang menolak diskursus Islam Lokal diajak untuk memikirkan ulang pandangannya.

Martin van Bruinessan

Buku yang ditulis Kiai Jadul ini, sejatinya ingin menunjukkan, bagaimana pergulatan antara Islam, beserta nilai-nilai universalnya dengan lokalitas itu sendiri. Pergulatan itu membentang sejak dari tempat tumbuh dan berkembangnya Islam, yaitu tanah Arab hingga tiba di Nusantara.

Mengenai hubungan antara universalisme Islam dan yang lokalitas itu sendiri, Martin van Bruinessan (1999), telah mengurai dengan cukup apik dalam tulisannya Global and Local in Indonesia Islam.

Bruinessan menunjukkan, apa yang dianggap Islam lokal itu sendiri, tidaklah betul-betul murni lokal. Selalu ada pengaruh global, atau universalisme, dalam apa yang kita sebut lokal. Sebaliknya juga demikian.

Perjumpaan antara yang lokal dan global dalam Islam ini, dengan demikian, bukan semata-mata sekadar harmoni antara keduanya. Namun, yang terjadi adalah, proses pergulatan yang panjang. Terjadi saling menimba, akomodasi, dan adaptasi pada sisi tertentu. Tetapi di saat yang sama, terjadi juga proses negosiasi dan resistensi, di sisi seberangnya.

Dalam konteks perjumpaan antara yang lokal dan universal inilah, Islam Berkebudayaan menempatkan dirinya. Itu berarti, Islam yang merupakan ajaran Langit dengan nilai-nilai universalnya baru bisa dikenali sebagai agama oleh manusia jika dia berkebudayaan.

Tanpa kebudayaan dengan masing-masing corak di tiap lokalitasnya, Islam hanyalah nilai yang hidup di ruang hampa.

Dalam hal gagasan tentang perjumpaan Islam dan kebudayaan lokal, Kiai Jadul tentu saja tidak sendirian.

Sebelumnya, telah banyak muslim par excellent yang telah mengkaji hal ini. Sebutlah sebagai misal, Abdurrahman Wahid alias Gus Dur, dengan gagasan Pribumisasi Islam. Ada pula Azyumardi Azra dengan Islam Evolusionis-nya, serta Taufiq Abdullah yang menggunakan istilah Islam Lunak.

Namun, yang berbeda dari Kiai Jadul, sekali lagi, karena ia melakukan ini dengan terlebih dahulu mendobrak kemapanan pengetahuan kita tentang Islam. Kiai Jadul membangun pengetahuan tandingan, tetapi dengan referensi yang kuat.

Untuk sampai ke situ, Kiai Jadul mengembara dalam lautan pengetahuan di berbagai kitab-kitab klasik. Mulai dari kitab mu’tabarah (kitab yang umum jadi pegangan kalangan Sunni/NU),  hingga ke kitab-kitab yang ghairu mu’tabarah.

Tidak cukup sampai di situ. Kiai Jadul pun melahap tulisan dari pemikir muslim kontemporer semacam Hassan Hanafi, Mohammad Arkoun, Khalil Abdul Karim, dan Nasr Hamid Abu Zeyd.

Pemikir-pemikir yang juga sedang mendobrak bangunan epistemologi pengetahuan Islam.  Sering pula Jadul membangun argumennya dengan dalil-dalil dari pengalamannya bersentuhan dengan ulama-ulama otoritatif.

Cara Kiai Jadul dalam mengakses  pengetahuan baik dari kitab muktabarahgairu muktabarah, pemikir muslim kontemporer, bahkan pengetahuan sosial-budaya dari pemikir post-strukturalis, menurut Martin Van Bruinessan, menunjukkan cirinya sebagai sosok santri kelana. Santri yang mengembara dari dunia pengetahuan yang satu ke lautan ilmu yang lain.

Kakbah

Salah satu tulisannya yang memuat kisah “Kakbah Pergi Menjemput Rabi’ah  al-Adawiyah”, saya kira diperolehnya dari kitab-kitab yang tidak umum (gairu mu’tabarah).

Kisah itu menunjukkan, bagaimana Ibrahim bin Adham begitu cemburu, karena dirinya yang lagi mengunjungi Kakbah di Makkah, malah tidak menemukan kiblat umat Islam itu. Ia diberitahu,  bahwa justru Kakbah datang menjemput Rabi’ah.

Ketika Ibrahim bin Adham menanyakan mengapa Kakbah begitu memuliakannya, sehingga sudi datang menjemput.

Rabi’ah menjawab: “Apa peduliku dengan rumah Allah ini, yang aku butuhkan adalah pemiliknya.”

Tulisan Kiai Jadul soal “Kakbah Menjemput Rabi’ah” ini jelas subversif dan menyempal dari pengetahuan Islam selama ini. Akan tetapi, justru melalui itulah, Jadul memberikan ruang terhadap ekspresi Islam lokal semacam Haji Bawakaraeng.

Setidaknya, saya sendiri sering mengutip kisah ini sebagai basis argumen, ketika menulis komunitas Haji Bawakaraeng.

Begitulah cara Kiai Jadul memperkenalkan Islam Berkebudayaan ini. Ia memulainya dengan pengetahuan-pengetahuan yang meruntuhkan dominasi pengetahuan Islam yang mapan.

Karena itu, meskipun buku ini merupakan kumpulan tulisan, yang seringkali orang sebut ‘Buku’ yang bukan benar-benar ‘Buku’, tetapi ia bukanlah kumpulan tulisan biasa.

Kumpulan tulisan ini berasal dari perenungan dan pergulatan yang panjang dari penulisnya. Kita disuguhkan data-data yang kuat, refleksi yang dalam, dan argumen yang kaya dengan referensi.

Tulisan Kiai Jadul ini, dengan demikian, meminjam istilah Hasan Basri Marwah (editor buku ini), bukanlah  kumpulan tulisan disposable: sekali  pakai dan tidak punya efek apa-apa, kecuali mungkin, sebagai hiburan atau pengisi waktu luang.

Kumpulan tulisan Kiai Jadul ini, adalah kumpulan tulisan yang merangsang kita untuk mempertanyakan terus-menerus kemapanan pengetahuan dalam Islam. Khususnya, pengetahuan yang selama ini memapankan, bahwa Islam dan Kebudayaan adalah dua entitas yang terpisah.

Bukankah beragama memang bukanlah soal pengetahuan yang pasti dan paling benar? Beragama adalah proses mencari dan terus mencari… Sebab, kebenaran yang sesungguhnya, hanya ada pada diri-Nya.

Deskripsi Buku

Judul: Islam Berkebudayaan: Akar Kearifan Tradisi, Ketatanegaraan dan Kebangsaan

Penulis: M. Jadul Maula

Penerbit: Pustaka Kaliopak

Tahun Terbit: 2019

Jumlah Hlmn: 328+XXVII

Resensi buku ini ditulis oleh Syamsurijal – Peneliti Balai Litbang Agama Makassar, dimuat pertama kali di situs blamakassar.co.id tanggal 28 Maret 2020. (MA)

Testing Acara Budaya

Testing Acara Budaya

Waktu: Senin, 9 Agustus 2022

Waktu: 15.00 WIB

Lokasi: Pondok Kaliopak

Tiket: Gratis

Usia: Semua Umur

Testing Ngaji

Testing Ngaji

Rasa sakit itu sendiri adalah cinta, sistem penyimpanan utama. Setiap sistem kekebalan dirancang untuk dipantau oleh perbatasan. Curabitur varius tortor dan sollicitudin mollis. Ini hanya dalam satu. Tidak ada orang bijak sendiri, pepatah kelayakan remaja, Biro para pemain Kucing, yang ujungnya tapi orc, tapi, diameter utamanya. Proin euismod fermentum erat et lacinia. Tapi sebelum atau, minum kesakitan Duis vel tempor eros, id interdum lorem.

Untuk panah kehidupan, tawa kucing itu mudah, ujung komoditasnya adalah minum. Masing-masing atau kendaraan yang dipilih. Bilangan bulat di ante eu odio fringilla eleifend sit amet et dolor. Setiap harga murni tetapi panah adalah yang terbesar. Mauris dapibus nunc eu nisi ultrices, sebuah wilayah varius quam. Waktu untuk yang. Ini akan memakan banyak rasa sakit. Bumi adalah bumi. Potensi suspensi. Maecenas semper cursus diam, in elementum dolor sodales non. Maecenas nec nulla nunc. Ini banyak bantal mudah. Nah, itu guci panah. Dalam pemanasan Penyakit yang harus diracuni sebelumnya. Aeneas adalah singa sedih yang menahan tawa para remaja, dan pemenang terbesar.

Tapi siapa yang menanggung massa, itu penting untuk eros. Besok dalam menghadapi rasa sakit, tapi banyak masalah. Setiap anak adalah anggota murni dari wanita hamil. Aenean eget tortor eget ipsum tempus molestie. Dan anak panah bumi Aenean pretium lorem a massa suscipit laoreet. Tidak perlu berhenti membenci penulis. Tapi dia ingin sedikit sedih. Tak satu pun dari pelanggan kami, waktu kehidupan beracun, bumi adalah kemiripan tentu saja, yang jelek Bumi normal untuk para pemain, atau fermentasi atau eros, pisang anggota saya. Aeneas bergetar karena tawa Kami selalu hidup dari racun kehidupan orang bijak. Pellentesque vel solicitudin risus, et scelerisque augue. Tapi dia membutuhkan lebih banyak sihir dari itu. Rasa sakit saus, kucing perlu selalu dibesarkan, hanya remaja gratis yang hebat, tetapi rasa sakit itu perlu dibenci.

Sampai hidangan sedih saus singa eu. Karena dia selalu menjadi gerbang haluan, dan dia ingin minum. Mauris fermentum massa lacus, quis aliquam eros dictum a. Tapi itulah singa dari singa dan kekeraskepalaan busur Sampai saat itu, keuntungan menjadi bijak dan mudah Keuntungan terbesar dari eros di dunia, pada saus anggota bumi. Bilangan bulat di cursus dui. Beberapa riasan dan batas ajaib. Suspendisse et dignissim dui. Rasa sakit itu sendiri adalah cinta, sistem penyimpanan utama. Sekarang kehidupan para penggemar yang sakit bergetar untuk meningkatkan. Film ini akan menjadi kendaraan saya.

Tapi busurnya tidak biasa, itu hanya bantal yang menyedihkan, tidak apa-apa. Cara meratapi tawa, dan tarikan kendaraan sistem kekebalan kehidupan. Sudah waktunya untuk berinvestasi dalam penyiksa, setidaknya sekarang. Bahwa feri kehidupan hanyalah kumpulan anak panah. Tapi sekarang beberapa anggota lembah bijaksana. Sekarang ajukan beberapa pertanyaan. Gaya rambut yang sempurna tidak menyenangkan untuk ditendang. Ini bukan rasa takut untuk memulai.

Testing Yadnya Kasada Ritual Adat di Kaki Gunung

Testing Yadnya Kasada Ritual Adat di Kaki Gunung

ANGIN berhembus kencang. Pasir-pasir beterbangan. Barisan orang yang mengangkut berbagai macam sesaji tetap berjalan sembari sesekali menyeka mata. Pemimpin barisan berpakaian serba putih berada paling depan. Di belakangnya, beberapa orang tampak membawa pajeng (sejenis payung besar). Mereka berhenti tepat di depan Pura Poten di kaki Gunung Bromo, Jawa Timur.

Adegan ini merupakan rangkaian ritual adat Yadnya Kasada atau dikenal juga dengan sebutan Kasada Bromo. Biasa digelar oleh orang-orang Tengger dari empat kabupaten di Jawa Timur : Pasuruan, Malang, Lumajang, dan Probolinggo. Kasada diadakan tiap tahun sekali pada hari ke-15 dalam bulan Kasada atau bulan ke-12 dalam penanggalan orang Tengger. Mereka berkumpul di hamparan pasir (segara wedhi) kaki Gunung Bromo.

Dari kaki Gunung Bromo, orang-orang Tengger berjalan kaki membawa berbagai sesajian menuju kawah. Disini, mereka melempar sesajian berupa buah buahan, sayuran, hewan ternak, dan hasil bumi lainnya ke kawah. Simbol pengabdian pada Sang Hyang Widhi, pengorbanan, penyucian diri, rasa syukur, penjagaan hubungan harmonis dengan alam, dan penghormatan pada leluhur mereka.

Yadnya Kasada terbuka untuk umum dan seluruh orang Tengger dari agama apapun. Upacara ini kental dengan ritual dan ajaran agama Hindu. Tapi bagi orang Tengger, berkahnya tak hanya untuk orang-orang Hindu, tetapi juga untuk semua orang.

Orang Tengger telah menggelar Yadnya Kasada sejak kehadiran mereka di Tengger pada masa Kerajaan Majapahit sekira abad ke-13 M. Ada banyak versi tentang asal-usul orang Tengger. Sudiro dalam “Legenda dan Religi Sebagai Media Integrasi Bangsa” di jurnal Humaniora, Vol. 13 No. 1 2001, menyebutkan dua versi: legenda dan sejarah.

Versi legenda menyatakan Tengger berasal dari gabungan nama dua leluhur mereka: Rara Anteng (Teng), putri raja Brawijaya, dan Joko Seger (Ger), putra seorang Brahmana Kediri. Keduanya menikah dan hidup di sekitar wilayah Penanjakan, tak jauh dari Gunung Bromo. Tapi mereka tak punya anak untuk waktu lama. Hingga akhirnya mereka berdoa kepada Sang Hyang Widhi Wasa.

Rara Anteng dan Joko Seger berjanji jika punya anak, salah satu anaknya akan dikorbankan. Tak lama kemudian, Rara Anteng hamil dan melahirkan. Anak mereka berjumlah 25. Setelah lahir, salah seorang anak mereka, Raden Kusuma, menghilang. Mereka kemudian mendengar suara Raden Kusuma keluar dari kawah Gunung Bromo.

“Keturunan Rara Anteng dan Joko Seger atau masyarakat Tengger dapat hidup aman sejahtera bila pada waktu-waktu tertentu mereka akan memberi korban ke kawah Gunung Bromo,” sebut Sudiro.

Maksud “memberi korban” adalah mendermakan sebagian hasil panen dan ternak ke kawah Bromo. Inilah muasal upacara Kasada. Versi legenda ini tak berbeda jauh dari versi sejarah. Menurut sejumlah prasasti di sekitar pegunungan Bromo dan Negarakertagama, orang Tengger juga disebut telah bermukim di kawasan Tengger sejak masa Majapahit.

Sutarto dalam “Legenda Kasada dan Karo Orang Tengger Lumajang”, disertasi di Universitas Indonesia tahun 1997, menyebut orang-orang Tengger hidup sebagai petani yang tangguh. Alam sekitar pegunungan yang dingin menempa mereka bekerja sepanjang hari agar tubuh tetap hangat. Hasil panen melimpah dan kebutuhan mereka tercukupi oleh alam di sekelilingnya. Karena itulah mereka menghormati alam dan berusaha menjaga hubungan harmonis dengannya.

Gunung Bromo yang berkawah merupakan gunung terendah di antara gunung-gunung lain di kawasan Tengger. Orang Tengger menganggap Gunung Bromo suci. Ia adalah bagian dari alam yang telah membantu orang Tengger menghidupi kesehariannya.

Karena itu, apapun yang dilempar ke dalam kawah menjadi bermakna penghormatan pada alam sekaligus penyucian. Kawah untuk melempar sesaji pada ritual Yadnya Kasada disebut juga pelabuhan. Sebab, ke sanalah orang Tengger melabuhkan semua persembahan sebagai pesan leluhur mereka, Kyai Kusuma atau Raden Kusuma.

Ritual adat Yadnya Kasada bertahan dan diwariskan dari generasi ke generasi. Makna ritualnya tetap terjaga pula. Beberapa pengamat asing mencatat jalannya upacara ini pada rentang abad ke-19-20.

Tak banyak perubahan makna pada upacara Yadnya Kasada. Perubahan hanya menyangkut bentuk-bentuk sesaji dan rangkaian acaranya. Dahulu Kasada tak memiliki rangkaian acara lain. Memasuki tahun 1980-an, orang-orang Tengger mulai menambahkan sejumlah mata acara tari-tarian dan musik tradisional.

Selain itu, ada mata acara tambahan lainnya terkait dengan pengukuhan seseorang di luar Tengger sebagai warga kehormatan Tengger. “Pada hari raya Kasada, laut pasir dan bibir kawah Gunung Bromo penuh dengan manusia. Bahkan pada hari raya ini telah muncul tradisi baru, yakni pengukuhan pejabat tinggi negara sebagai sesepuh dan warga kehormatan Tengger,” catat Sutarto.

Beberapa nama bisa disebut seperti Menko Polkam Soesilo Soedarman (1993-1998), Mendagri Amir Machmud (1969-1982), Menparpostel Achmad Tahir (1982-1988), Menteri Peranan Wanita Lasiah Soetanto (1983-1987), dan Menteri Agama KH Munawir Sjadzali (1983-1993). Sisanya pejabat tingkat provinsi dan daerah tingkat II.

Orang-orang itu dikukuhkan oleh dukun pandhita atau pemimpin upacara adat dan keagamaan di Tengger. Dukun pandhita pula yang menyusun dan memastikan rangkaian Kasada berjalan lancar.

Menurut Nicolaas Warouw dkk dalam Inventarisasi Komunitas Adat Tengger, Kasada memiliki tiga tahapan besar. Pertama, pengambilan air (mendhak tirta) yang diikuti oleh tidak tidur secara bergantian sampai pembukaan Kasada (makemit) dan menyucikan sarana dan alat Kasada (melasti). Kedua, pembukaan Kasada berupa pertunjukan sendratari. Ketiga, membuang sesaji ke kawah secara beriringan dan berbaris.

Setelah upacara selesai, sesaji dibawa dari kaki Gunung Bromo ke atas kawah. Dan mereka melemparkan ke dalam kawah, sebagai simbol pengorbanan yang dilakukan oleh nenek moyang mereka.

Hingga hari ini, orang masih bisa menyaksikan rangkaian upacara Yadnya Kasada. Untuk dapat melihat upacara ini di Bromo lebih baik kita datang sebelum tengah malam, karena ramainya persiapan para dukun. Dari melihat Yadnya Kasada, orang bisa belajar tentang makna sebuah upacara yang tak termakan zaman.*

Testing Tokoh Agus Noor

Testing Tokoh Agus Noor

Yogyakarta memiliki tempat tersendiri di hati penulis buku Barista Tanpa Nama (2018), Agus Noor. Bergaul dalam lingkungan seniman di Kota Gudeg tersebut secara tidak langsung membentuknya untuk berpikir di luar kebiasaan. “Jogja itu apa-apa bisa jadi lelucon, apapun dibercandain. Lelucon itu bukan sekadar lucu ya, tapi memandang suatu persoalan secara berbeda. Sesuatu yang kita anggap biasa bisa jadi menarik dari kacamata lelucon,” ujar pria lulusan Fakultas Seni Pertunjukan Institut Seni Indonesia (ISI), Yogyakarta ini.

Hidup dalam lingkungan seniman juga mendidiknya untuk memiliki jiwa “memberontak”, tak terkecuali kritis terhadap kebijakan-kebijakan rezim. Namun ia sadar bahwa ada keterbatasan dalam menyampaikan kritik. “Kita tidak boleh berkonfrontasi langsung dalam mengkritik, tapi lebih kepada menyindir. Kalau di Jawa istilahnya pasemon, begitu ya begitu tapi jangan dinyatakan begitu. Ngomongnya mlipir, tapi orang kemudian mengerti yang dimaksud,” kata penulis skrip program televisi Sentilan Sentilun ini.

Menyikapi Tekanan dan Kebebasan

Lahir di tahun 1968, Agus merasakan pengalaman berkarya yang berbeda-beda di setiap era pemerintahan, dimulai dari Orde Baru. Kala itu, tekanan-tekanan vertikal dalam menyatakan kritik dan pendapat begitu terasa, terlebih ia juga aktif dalam pergerakan mahasiswa. Walau demikian, hal itu justru membuatnya bergairah untuk menulis. Dari situlah lahir karya-karya satir sosial-politiknya. Salah satunya buku Bapak Presiden yang Terhormat (1998), yang saat itu disensor dengan diberikan judul berbeda, yaitu Peang.

Dari masa ke masa, tekanan tidak hilang, hanya berubah bentuk. Bila dulu vertikal, kini horizontal akibat adanya segregasi sosial yang tajam. Menyikapi tekanan-tekanan tersebut, pria kelahiran Tegal ini punya cara khusus jika ingin menyampaikan kritik. “Kritik tak sekadar disampaikan, tapi diparodikan, diberi konteks tertentu agar situasi yang kita bicarakan jadi lebih kocak. Artinya, kita harus bersiasat. Kritik kita harus sampai tapi tidak konyol,” Agus memberi saran.

Meski kini orang bisa berpendapat secara lebih bebas, bukan berarti menjadi liar. Ia menjelaskan, “Kebebasan menyatakan pendapat itu penting dan harus dijaga. Dijaga itu kita menyatakan pendapat dengan cara-cara yang elegan. Jangan sampai itu (kebebasan berpendapat) dicabut lagi.”

Penulis Produktif dan Serbabisa

Banyak menulis sindiran sosial-politik, Agus tak ingin dikotak-kotakkan. “Saya tidak ingin menjadi penulis yang bisa dideskripsikan. Saya memperluas tema, terbuka akan banyak hal, karena saya memang gak pengin berhenti di satu (gaya penulisan). Eksperimen-eksperimen itu membuat saya tidak bosan ketika menulis,” ucap Agus.

Variasi gaya penulisan tersebut ia terapkan dalam berbagai bentuk karya sastra, seperti prosa, cerita pendek, puisi, naskah lakon, serta skenario televisi. Hal tersebut tampaknya cukup efektif dan berhasil, melihat banyak dari buku-bukunya yang menjadi best-seller dari tahun ke tahun, seperti Memorabilia (2000), Selingkuh Itu Indah (2001), Sepotong Bibir Paling Indah di Dunia (2007), Ciuman yang Menyelamatkan dari Kesedihan (2010), Cerita buat Para Kekasih (2014), Cinta Tak Pernah Sia-sia, dan Barista Tanpa Nama (2018).

Ketika ditanya strateginya untuk terus produktif menulis, Agus menjawab, “Pertama, saya menginventaris ide-ide. Kalau ada sesuatu yang menarik, misalnya satu kata atau kalimat, bahkan karakter orang, saya catat. Kedua, perbanyak bacaan, seluas-luasnya, seragam-ragamnya. Begitu kita sudah punya amunisi dengan bacaan dan ide-ide, kita bisa langsung menulis dengan cepat. Ketiga, saya memaksakan diri menulis apapun. Dulu waktu awal-awal saya menargetkan satu hari 5-7 jam. Gak mesti jadi, yang penting jangan tergoda untuk gampang pergi.”

Bertahan dan Mengembangkan Karier

Untuk menjadi seorang penulis yang bertahan dalam karier, Agus mengatakan bahwa seseorang harus menjadikan menulis sebagai sesuatu yang ia pilih. “Pahit-getir, gagal-berhasil, apapun yang terjadi, ini dunia dan profesi yang saya pilih. Maka kemudian itu (menulis) menjadi sesuatu yang diperjuangkan,” ucap sastrawan yang sering bolak-balik Yogyakarta–Jakarta karena pekerjaan tersebut.

Setelah memilih, seseorang harus tahu tujuannya menulis. “Itu pertanyaan dasar, tapi menentukan. Saya menulis karena ingin membebaskan diri dari kegilaan. Saya butuh mengekspresikan diri. Kalau tidak, saya bisa sakit jiwa. Tujuan itu harus diketahui dulu, karena setiap orang berbeda-beda,” ujarnya.

Seolah tak cukup menjadi penulis serbabisa, personel Teater Gandrik ini juga menjadi creative director untuk banyak pertunjukan musik dan teater. Bersama Butet Kartaredjasa dan Djaduk Ferianto, ia menggagas Indonesia Kita, komunitas yang pertunjukan-pertunjukannya bertujuan mengedukasi publik tentang pluralisme dalam Indonesia. Tak sulit bagi Agus untuk melompat ke bidang pekerjaan tersebut, mengingat latar belakang pendidikannya di Jurusan Teater.

“Prinsipnya juga menulis. Creative director sebenarnya juga menuliskan kisah atau adegan dalam panggung, hanya lebih kompleks. Ketika menulis buku saya tidak mempertimbangkan aspek-aspek lain, tapi kalau ini saya harus mempertimbangkan aspek-aspek produksi, siapa pemainnya, dan lain-lain,” jelas Agus.

Baginya, menjadi seorang penulis tidak berarti harus mengurung diri dan tertutup. “Jangan menganggap pergi ke tempat lain itu cuma refreshing, tidak mengerjakan sesuatu. Misal, ketika ngopi-ngopi kan kita refresh pikiran, mencoba mendengar, membual, yang herannya malah bisa jadi cerita. Ketika bertemu dengan seniman, proses sharing-sharing itu juga kita sedang bekerja. Penulis tidak bisa hidup sendirian, harus ada partner, komunitas, atau lingkungan untuk mengembangkan diri,” kata Agus, menutup perbincangan. [Swasti Triana Chrisnawati], Foto: Arif Hidayat

Testing Tradisi dan Budaya

Testing Tradisi dan Budaya

Rasa sakit itu sendiri adalah cinta, sistem penyimpanan utama. Setiap sistem kekebalan dirancang untuk dipantau oleh perbatasan. Curabitur varius tortor dan sollicitudin mollis. Ini hanya dalam satu. Tidak ada orang bijak sendiri, pepatah kelayakan remaja, Biro para pemain Kucing, yang ujungnya tapi orc, tapi, diameter utamanya. Proin euismod fermentum erat et lacinia. Tapi sebelum atau, minum kesakitan Duis vel tempor eros, id interdum lorem.

Untuk panah kehidupan, tawa kucing itu mudah, ujung komoditasnya adalah minum. Masing-masing atau kendaraan yang dipilih. Bilangan bulat di ante eu odio fringilla eleifend sit amet et dolor. Setiap harga murni tetapi panah adalah yang terbesar. Mauris dapibus nunc eu nisi ultrices, sebuah wilayah varius quam. Waktu untuk yang. Ini akan memakan banyak rasa sakit. Bumi adalah bumi. Potensi suspensi. Maecenas semper cursus diam, in elementum dolor sodales non. Maecenas nec nulla nunc. Ini banyak bantal mudah. Nah, itu guci panah. Dalam pemanasan Penyakit yang harus diracuni sebelumnya. Aeneas adalah singa sedih yang menahan tawa para remaja, dan pemenang terbesar.

Tapi siapa yang menanggung massa, itu penting untuk eros. Besok dalam menghadapi rasa sakit, tapi banyak masalah. Setiap anak adalah anggota murni dari wanita hamil. Aenean eget tortor eget ipsum tempus molestie. Dan anak panah bumi Aenean pretium lorem a massa suscipit laoreet. Tidak perlu berhenti membenci penulis. Tapi dia ingin sedikit sedih. Tak satu pun dari pelanggan kami, waktu kehidupan beracun, bumi adalah kemiripan tentu saja, yang jelek Bumi normal untuk para pemain, atau fermentasi atau eros, pisang anggota saya. Aeneas bergetar karena tawa Kami selalu hidup dari racun kehidupan orang bijak. Pellentesque vel solicitudin risus, et scelerisque augue. Tapi dia membutuhkan lebih banyak sihir dari itu. Rasa sakit saus, kucing perlu selalu dibesarkan, hanya remaja gratis yang hebat, tetapi rasa sakit itu perlu dibenci.

Sampai hidangan sedih saus singa eu. Karena dia selalu menjadi gerbang haluan, dan dia ingin minum. Mauris fermentum massa lacus, quis aliquam eros dictum a. Tapi itulah singa dari singa dan kekeraskepalaan busur Sampai saat itu, keuntungan menjadi bijak dan mudah Keuntungan terbesar dari eros di dunia, pada saus anggota bumi. Bilangan bulat di cursus dui. Beberapa riasan dan batas ajaib. Suspendisse et dignissim dui. Rasa sakit itu sendiri adalah cinta, sistem penyimpanan utama. Sekarang kehidupan para penggemar yang sakit bergetar untuk meningkatkan. Film ini akan menjadi kendaraan saya.

Tapi busurnya tidak biasa, itu hanya bantal yang menyedihkan, tidak apa-apa. Cara meratapi tawa, dan tarikan kendaraan sistem kekebalan kehidupan. Sudah waktunya untuk berinvestasi dalam penyiksa, setidaknya sekarang. Bahwa feri kehidupan hanyalah kumpulan anak panah. Tapi sekarang beberapa anggota lembah bijaksana. Sekarang ajukan beberapa pertanyaan. Gaya rambut yang sempurna tidak menyenangkan untuk ditendang. Ini bukan rasa takut untuk memulai.

Ngaji Posonan

Ngaji Posonan

WORKSHOP MODUL NGAJI POSONAN 2023: ASWAJA DAN KETERASINGAN MANUSIA KONTEMPORER 

____________________

Sebagai sebuah manhaj, atau jalan hidup dalam beragama, ahlusunnah wal jama’ah atau aswaja/sunni menjadi tolok ukur keberpihakkan. Dalam konteks umat Islam di Indonesia, Nahdlatul Ulama sebagai sebuah organisasi, telah merentang sepanjang satu abad di dalam keberpihakkan penuh pada aswaja. Bahkan dalam konteks sejarah dan budaya, praktik dan paham Islam di Indonesia telah berabad-abad mensistesiskan ajaran Islam, termasuk aswaja, ke dalam konteks lokalitas tiap-tiap suku bangsa, dan merentang selama berabad-abad hingga menjadi embrio kelahiran NU. Aswaja dengan demikian mengusung warisan Rasulullah SAW, Khulafaurrasyidin dan para sahabat, tabi’in dan tabiut-tabi’in, hingga terus berestafet  merentang dari sejak era Asy’ariyyah-Maturidi, hingga di nusantara melaui para Wali, yang bersambung terus hingga para Kyai dan muasis NU.

Kini menyongsong abad kedua, NU menghadapi tantangan di dalam mengusung sekaligus mendialogkan aswaja ke dalam kehidupan kontemporer. Peralihan kekuasaan sejak dekolonisasi terhadap penjajahan Belanda, Revolusi Kemerdekaan (1945 -1949), Demokrasi Terpimpin, Prahara 1965-66, disusul kelahiran Orde Baru sampai Reformasi, hingga kini telah 25 tahun, Nahdlatul Ulama terbukti eksis bergumul mengiringi Indonesia, dalam fluktuasi sosial-budaya, ekonomi-politik hingga mengusung landasan kehidupan beragam, dalam tatanan negara-bangsa. Menjadi penting untuk mempertanyakan, bagaimanakah NU merancang sekaligus memijakkan diri di dalam peralihan trayektori kita di dalam era transisi digital yang ditopang oleh kewargaan netizen dan dunia metaverse ini?

Jika aswaja adalah keberpihakan yang menjadi katalisator segala lini kehodupan Nahdliyin demi keberlangsunga negara-bangsa Indonesia; maka rancangan dan strategi NU dalam mengkontekstualisasikan aswaja menjadi kemendesakkan dalam menjawab kebutuhan peradaban, yang bukan saja akibat revolusi internet dan digital, tetapi juga oleh revolusi kapitalisme (high capitalism, surveillance capitalism etc) yang diikuti krisis kemanusiaan, iklim maupun lingkungan. Antroposentrisme, dibantah melalui post/pasca-antroposen, atau membantah sudut pandang angkuh manusia. Hal ini diikuti post/pasca-humanisme, atau membantah ukuran kemanusiaan warisan modernisme, yang terbukti gagal, karena menghasilkan kapitalisme dan segala pengerukan serakah atas sumber daya alam hingga terasingnya nalar-nurani manusia, baik pada alam semesta, maupun sesama manusia di tengah bangunan mutakhir tradisi dan kebudayaan cyber/digital/virtual. Walakin baik post/pasca-antroposen maupun post/pasca-humanisme sendiri nyatanya tidak pernah benar-benar membebaskan diri dari keangkuhan sudut pandang manusia (materialisme). Peradaban Euro-Amerika dihadapkan pada kebingungan atas upaya “bunuh dirinya” sendiri.

Lantas, menimbang fenomena Indonesia hari ini, dan yang akan datang, Aswaja didesak menciptakan relevansi tata kemanusiaan, sehingga melahirkan subjek aswaja yang fleksibel mendialogkan secara kreatif terhadap gejala-gejala zaman ini. Bertolak dari kompleksitas dan kebutuhan tersebut, Pesantren Kaliopak sebagai pondok pesantren yang menfokuskan pada kegiatan amaliyah dan fikriyah kebudayaan, khususnya selaku G.E.L.A.S (Gallery, Education, Library, Archives, and, Social) sengaja mengundang para tamu undangan untuk turut serta dalam sarasehan:

 

Tema                          : ASWAJA DAN KETERASINGAN MANUSIA KONTEMPORER 

Tujuan                       :

  1. Membaca fenomena dan tren keberislaman dan keberagamaan masa kini.
  2. Mengartikulasikan lagi landasan-landasan pemikiran keaswajaan dalam konteks Indonesia.
  3. Meneroka jalan keluar bagi tantangan-tantangan yang dihadapi ummat dari sudut pandang aswaja.
  4. Melahirkan rumusan-rumusan praktis dan operasional yang bisa diturunkan ke dalam bentuk modul untuk Ngaji Posonan dan selanjutnya.

 

Tempat                       : Pondok Pesantren Kaliopak

                                      Klenggotan, Srimulyo, Piyungan,

              Bantul-D.I. Yogyakarta Indonesia.

Hari/Tanggal             : Jum’at, 17 Maret 2023

Waktu                         : 15:30 WIB - Selesai

DI BALIK KELIR: KISAH ELISHA ORCARUS ALLASSO

DI BALIK KELIR: KISAH ELISHA ORCARUS ALLASSO

Siapa tidak mengenal Elisha Orcarus Allasso, sindhèn kocak yang sering tampil dalam pertunjukan wayang Ki Seno Nugroho. Namun, apakah sudah banyak yang mengenal sosok Elisha secara dalam? Siapa mengira bahwa menjadi seorang sinden merupakan sesuatu yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya bagi Elisha. Namun, ia mempunyai semangat belajar yang besar. Ia selalu gereget untuk mengetahui hal yang baru. Termasuk ketika ia masuk Jurusan Pedalangan ISI Yogyakarta dan menemukan dunia sinden di dalamnya.

Pada kesempatan kali ini, kita akan menyimak kisah perjalanannya. Elisha mengibaratkan sawah atau ladang sebagai potensi diri. Lalu, kita bertugas untuk menyuburkannya agar menghasilkan buah yang bagus, yang akan disukai banyak orang. Begitulah sawah atau ladang yang dimiliki Elisha, yaitu dunia sindhen wayang yang sedang ia petik “buah karyanya”.

Saya, pada beberapa hari lalu, menghubungi Elisha dan meminta izin untuk mewancarainya. Ia menyambut dengan ramah dan dengan senang hati bercerita serta menjawab beberapa pertanyaan. Berikut wawancara saya dengan Elisha.

Bagaimana proses perjalanan Mbak Elisha menjadi sindhèn dalang Ki Seno Nugroho?

“Awalnya karena penelitian tahun 2015, waktu masih proses skripsi. Aku cuma kenal aja. Kenalnya karena objek penelitian. Dulu sebenarnya tidak terlalu suka dengan Pak Seno. Karena, kalau sekolah di Pedalangan itu, kita lebih digiring untuk menyukai dalang-dalang klasik. Itu perasaanku, yaHehehe…”

“Terus aku coba mematahkan konsep itu dengan meneliti Pak Seno yang dulu belum seramai sekarang. Dulu, pertunjukan Pak Seno lakunya 15 sampai 18 kali dalam sebulan. Dulu sebenarnya yang ramai, kalau aku gak salah ingat, itu Pak Tono Hadi Sugito. Kalau Pak Tono lebih ke arah Hadi Sugito, jadi punya penggemarnya sendiri.”

“Aku memutuskan untuk meneliti Pak Seno. Aku mulai datang ke TKP, memperhatikan penonton, dan pertunjukan Pak Seno. Sampai pada waktu itu aku memutuskan untuk bertemu dengan Pak Seno. Awalnya, aku hanya silaturahmi biasa. Memperkenalkan diri, ngobrol ngalor ngidul.”

“Sebenarnya, Pak Seno susah diajak wawancara kalau tidak benar-benar kenal, akrab, atau nyaman. Biasanya, jawabnya pendek-pendek. Hehehe... Ya, mungkin gitu, gak banyak bicara. Akhirnya, aku melakukan pendekatan. Aku banyak bercerita tentang dunia pedalangan. Bagaimana Pak Seno mengembangkan pedalangan.”

“Kemudian, waktu itu, Wargo Laras kekurangan sindhèn. Aku lalu diajak. Aku coba. Aku kan sering lihat pertunjukannya. Jadi, aku menyesuaikan aja.”

“Aku jadi ikut… apa sih namanya? Manjing! Ya, manjing sama pertunjukannya.”

“Awalnya, aku cuma sindhèn cadangan aja. Kalau sindhèn dari Wargo Laras ada yang gak bisa, baru aku gantiin. Tapi akhirnya aku sering diajak karena aku banyak ngomongseneng ngomong, jadi bikin pertunjukan sendiri dengan Pak Seno. Aku coba eksperimen diriku sendiri dengan pertunjukan Pak Seno.”

“Kemudian, sampai aku selesai penelitian itu, aku sering diajak menjadi sindhèn Wargo Laras sampai aku S-2. Ketika S-2 aku kan meneliti lagi Pak Seno, tapi lebih ke penontonnya. Bagaimana pertunjukan Pak Seno dapat menyedot perhatian banyak orang. Di akhir S-2 aku lebih intens. Aku mulai di-tanting untuk masuk ke Wargo Laras karena aku termasuk banyak track record-nya.”

“Ya gitu lah pokoknya. Gak tau karena apa pertimbangannya, mungkin bisa tanya Pak Seno sendiri. Dari situ aku mulai jadi anggota Wargo Laras. Kemudian, September tahun… tahun berapa ya? Tahun lalu. Pokoknya aku udah satu tahun-an jadi sindhèn di Wargo Laras yang benar-benar Wargo Laras.”

Sebagai perempuan, apa yang membuat Mbak Elisa tertarik dengan dunia wayang?

“Hmm… kalau tertarik, awalnya gak terlalu tertarik sih sebenarnya. Tapi, apa ya? Aku tuh orangnya gampang penasaran, kan. Dulu tahu di wayang itu kan semiotikanya dalam. Dia mengandung simbol-simbol. Kemudian di wayang itu kan banyak nilai-nilai yang diambil. Baik itu mikrokosmos maupun makrokosmos. Bisa menyimbolkan sifat manusia dan alam semesta. Jadi, cerita-cerita wayang itu sebenarnya simbolis. Ada cerita wayang yang menyimbolkan tentang tata surya.”

“Makanya aku suka kok bisa multitafsir. Bayang-bayang yang multitafsir. Dia dianggap lugu bisa. Mau dianggap hiburan bisa. Yang dalam bisa, seperti contohnya mengandung unsur filsafat, semiotika, dan mitologi.”

“Pertunjukan itu bisa dalam banget. Misalnya, nih, kita akan meneliti pertunjukan wayang “Romo Tambak” oleh Ki Seno. Bisa dikaji banyak banget. Humornya, mitologinya, semiotikanya, penontonnya, bentuk seni pertunjukan, dan manajemen seni pertunjukannya. Banyak pokoknya. Dari situ aku mulai tertarik.”

Dulu, apakah pernah tebersit keinginan menjadi dalang atau sinden wayang?

“Dulunya kapan dulu ni? Hehehe… Kalau waktu kecil enggak pernah. SMP enggak, SMA juga enggakEnggak ada sama sekali punya pemikiran tentang jadi sindhèn atau dhalang. Dalam kamus impianku gak ada tebersit menjadi dhalang atau sindhèn wayang. Hehehe...”

“Dulu, aku masuk pedalangan awalnya karena aku ingin menjadi peneliti. Karena aku orangnya memang selalu penasaran. Tapi lama kelamaan setelah masuk ternyata ada ketertarikan lain gitu lho. Aku cuma ngikutin jalan aja.”

“Misalnya, nyoba nyindhèn. Wah, bagus juga ni! Kemudian, wah, dapat duit ni dari nyindhèn. Terus belajar lagi. Oh, ternyata sindhèn ada tingkatannya. Oh, ternyata kalau tambah tingkatan, makin bagus. Kalau makin bagus, bisa makin laku. Kalau makin terkenal, penghasilan bisa nambah. Jadi, aku pikir itu bisa jadi kerjaan part-time-ku yang sangat worth it. Makanya aku memperdalam sindhèn. Tapi gak disengaja itu malah jadi kerjaan utamaku, yang menghidupiku, bahkan yang membantuku menyelesaikan S-2. Gak sengaja banget untuk jadi sindhèn.”

“Kalau soal dalangnya, ya otomatis, karena aku masuk pedalangan, jadi ya harus bisa dalang walaupun cuma sedikit, karena ujiannya kan juga mendalang. Sebenarnya jadi sinden sama dalang itu lebih sulit ke dalangnya menurutku. Mungkin karena aku sekolah di Pedalangan dan aku belajar lebih dalam. Aku lebih ke teorinya, ya, dulu. Pemikiranku, tanggung jawab menjadi dalang itu sangat berat. Makanya aku kadang belum terlalu enjoy untuk jadi dalang. Belum sampai ke titik itu. Mungkin besok suatu saat.”

Adakah orang atau hal tertentu yang selalu menyemangati Mbak Elisa?

“Sebenarnya yang menyemangati ya perjuangan hidup ini. Kalau aku yang utama, karena itu yang menghidupimu, ya karyakan. Itu yang jadi sawah ya gimana caranya tanahnya harus subur dan menghasilkan padi lagi. Sama kalau menjadi sindhèn, tadinya yang part-time ternyata subur, menjadi pendapatan, ya harus di-opèni kan.”

“Perumpamaannya ya sawah. Udah aku bajak, aku rawat sedemikan rupa, kemudian padinya disukai orang-orang. Terus masak ya mau aku anggurin. Jadi ya harus profesional. Namanya juga… apa ya? Buah karya kanKayak gitu. Jadi yang membuat semangat ya karena orang-orang yang menikmatinya.”

Situasi pandemi ini, apakah banyak jadwal yang ditunda atau dibatalkan? Bagaimana tanggapan Mbak Elisa?

“Hmm… banyak. Banyak jadwal yang ditunda dan dibatalkan. Bahkan sampai Juni, Juli. Yang masih aman Agustus, September. Tapi gak tau situasi pandemi ini sampai kapan.”

“Ini kami gak ada pendapatan lain. Kalau sebagai seniman, mampet ya mampet. Karena gak mungkin juga kita ngundang keramaian. Jadi yang kita miliki ya tabungan, itu pun yang punya tabungan. Padahal, kebanyakan yang banyak malah punya hutang. Syukurlah aku punya tabungan, jadi ya masih bisa untuk melanjutkan hidup. Hehehe…”

“Yang jelas kalau soal tanggapan tentang pandemi ini, gak tau sih, yang jelas semuanya lagi mikir, gimana caranya agar bisa tetap berbudaya, tapi kan sekarang ekonomi lagi lesu ya. Semua bingung juga.”

“Sementara ini, Pak Seno lagi bikin wayang climen itu. Lumayan sih, dapat tanggapan positif. Tapi juga gak tau bisa berlanjut sampai kapan. Itu berupa pertunjukan amal. Seniman kecil kayak kami itu emang gak ada pilihan lain. Masih lesu semua, masih shock. Jadi ya pelan-pelan aja dijalani.”

Kesibukan apa yang sedang dilakukan Mbak Elisa pada situasi Pademi ini?

“Sebenarnya aku di rumah ajaGak terlalu banyak kesibukan. Aku sebenarnya pengen ngelanjutin S-3 yang benar-benar sedang aku mantapkan. Seharusnya masuknya bulan Juli. Tapi aku pun belum bikin proposal. Masih tahap pemantapan. Kalau aku sudah mantap, mungkin nanti untuk mengisi kegiatan di bulan Ramadan, aku membuat proposal penelitian untuk S-3-ku.”

“Kemarin, sebelum Paskah, aku ngelakuin bakti sosial yang diberi nama hashtag programnya #sihsesami. Di-support banget sih sama orang-orang. Mereka donasi, terus aku jalanin. Aku beli sembako per pack 150 ribu. Yang ngasih ide ada teman dari Klaten. Terus aku share, ternyata banyak juga yang kasih donasi. Jadi, bisa naik dua kali lipatnya. Tadinya cuma 50 pack, ternyata bisa 110 pack.”

“Kemudian aku ajak teman-teman karawitan. Sebelum ikut Wargo Laras kan dulu aku ikut Kecubung Sakti. Ya udah aku ajak mereka. Kita ada delapan orang pake dua mobil untuk turun ke jalan, berbagi ke orang-orang yang membutuhkan.”

“Terus aku juga ada pertunjukan Wayang Climen di rumah Pak Seno. Aku udah datang dua kali ke sana. Pertunjukan amal itu. Selain itu ya aku ngelakuin kegiatan rumah biasa aja. Nonton film, olahraga, masak-masak dikit. Ya gitu-gitu aja, kegiatan rumahan kayak gitu ya, Mas.”

Terakhir, pesan untuk pekerja seni dan masyarakat dari Mbak Elisa?

“Untuk pekerja seni, jangan lesu. Kalau bisa tetap berkarya dengan cara apapun. Berkarya dari rumah atau cari ide lain juga bisa. Jadi, semoga dengan adanya pandemi ini bukan membuat kita lemah, tapi membuat kita lebih kreatif untuk membuat karya seni.”

“Kemudian, untuk masyarakat, apapun yang terjadi, kita tetap harus berjuang. Berjuang bisa dari rumah, bisa juga dengan membantu sudara-saudara kita. Dan yang bekerja di luar rumah, untuk menjaga dirinya dengan physical distancing, menaati peraturan pemerintah. Apapun yang terjadi, kita tidak boleh lengah.”

***

Begitulah sedikit banyak cerita dari Elisha Orcarus Allasso yang telah memberi inspirasi bagi kita. Darinya, kita dapat belajar bahwa jalan kesuksesan bisa dari arah mana pun, bahkan tidak pernah terduga sebelumnya. Seperti yang telah dialami oleh Elisha; menjadi seorang sindhen berawal dari semangat belajar yang tinggi dan sikapnya yang selalu membuka peluang terhadap hal baru.

Dalam situasi pandemi ini, Elisha juga memberi motivasi agar kita senantiasa selalu bersemangat menjalani hari demi hari. Terlebih, esok, kita akan memasuki bulan Ramadan. Semoga kita dapat menyambutnya dengan rasa suka cita bersama sampai kondisi ini dapat segera pulih kembali. Terlebih agar masyarakat PWKS, yaitu Pecinta Wayang Ki Seno, segera terbayarkan kerinduannya melihat pagelaran wayang dari Ki Seno Nugroho serta penampilan dari sinden Elisha Orcarus Allasso.

***

Ilustrasi: foto koleksi Elisha Orcarus Allasso.

Editor: EYS