Siapa yang tidak mengenal Usmar Ismail, yang selama ini dikenal sebagai bapak perfilman Indonesia itu. Pada Jumat (29/10/2021), tersiar kabar bahwa seniman kelahiran Minang tersebut dianugrahi gelar pahlawan nasional oleh pemerintah. Kabar tersebut tentu menjadi momen sepesial bagi keluarga besar Pengurus Besar Lembaga Seni Budaya Muslimin Indonesia (Lesbumi), yang mana di waktu bersamaan lembaga kebudayaan dan kesenian NU tersebut, sedang sibuk menggelar Rapat Kordinasi Nasional Kamis-Jumat 28-29/ 10/ 2021 yang ke 4 di Pondok Pesantren Budaya Kaliopak, Bantul, Yogyakarta.
Mengenang Usmar Ismail seperti diceritakan oleh Kiai Jadul Maula ketua Lesbumi NU, bahwa ia mempunyai hubungan erat dengan Lesbumi. Karena ia tercatat sebagai salah satu ketua pertama Lesbumi pada tahun 1962, bersama DJamaludin Malik, dan Asrul Sani. Dalam beberapa catatan arsip Lesbumi, Kehadiran Usmar Ismail dalam tubuh Lesbumi pada saat itu memberi warna yang sebelumnya tidak terbayangkan oleh banyak kalangan di luar organisasi NU. Karena sebagai lembaga keagamaan traditional, NU saat itu dikenal dan sering kali dianggap hanya sebagai kaum sarungan dan tidak banyak mengerti dengan perkembangan moderitas. Namun Lesbumi dibawah Usmar Islmail dan kawan-kawan, dengan kerja kesenian dan kebudayaannya ternyata mampu menampilkan karya-karya monumental dalam berbagai bidang seni, mulai dari sastra, seni pertunjukan, terutama film, yang waktu itu bisa dikatakan sebagai puncak dari produk kesenian modern.
Beberapa karya film seperti, Pedjuang, Darah dan Doa, Tiga Dara, Enam Ejam di Jogya dan masih banyak lagi karya film-nya, belum lagi naskah drama dan sastranya. Semua bernafaskan spirit nasionalisme dan religiusitas. Selain itu karya film yang dihasilkan bisa dikatakan sebagai pijakan perfilman Nasional dengan menggambarkan gagasan cinta tanah air, membangun jiwa bangsa yang berkarakter dengan budaya masyarakat Indonesia.
“Dari hal itulah sudah sepatutnya Usmar Ismail mendapat anugerah sebagai Pahlawan Nasional, atas kontribusinya dalam bidang kesenian dan kebudayaan Indonesia, “ Tukas Kiai Jadul Maula dalam sambutannya di konser Lesbumi Ensambel.
Selain itu, keberadaan Umar Ismail dalam tubuh Lesbumi merupakan respon NU ditengah pergolakan politik tahun 60-an. “Para kiai sepuh, terutama waktu itu kiai Wahab Hasbullah dengan cerdas dapat menggandeng tokoh-tokoh modern dari Minang ini, untuk memberi tandingan atas ideologi politik dan kebudayaan yang ada saat itu ada seperti Lekra,” Ujar kiai Jadul Maula yang juga sebagai pengasuh Pondok Budaya Kaliopak Yogyakarta.
Ada dua faktor internal dan eksternal yang melatar belakangi berdirinya Lesbumi yang jelas hal ini tidak bisa dilepaskan dari dengan nama Umar Ismail. Pertama keluarnya manifesto politik pada tahun 1959 oleh Presiden Soekarno, kedua pengarusutamaan Nasakom dalam tata kehidupan sosial budaya dan politik Indonesia pada awal tahun 1960-an. Dan ketiga perkembangan Lekra 1950 sebagai lembaga kebudayaan yang menunjukkan semakin dekat hubungannya dengan PKI, baik secara kelembagaan maupun dengan ideologinya yaitu materialisme sosialis.
Sedangkan faktor internal lahirnya Lesbumi NU berkaitan dengan momen budaya, yang bertujuan sebah lembaga kebudayaan yang dapat melestarikan dan memoles seni budaya yang dihidupi NU. Dan faktor penting lainnya adalah kebutuhan akan pendampingan terhadap kelompok kesenian tradisional dilingkungan NU. Kedua kebutuhan akan modernisasi seni budaya dalam hal ini Umar Ismail menjadi salah satu tonggaknya dalam tubuh Lesbumi.
Rakornas Lesbumi Menemukan Jalan Kebudayaan
Rakornas Lesbumi yang ke 4 sendiri, diadakan sebagai upaya menyongsong Muktamar NU yang ke-34 Lampung yang akan diadakan pada Desember nanti. Mengambil tema Tantangan, Global dan Kebuntuan Wacana Islam Nusantara, Lesbumi dalam pertemuan yang dihadiri hampir 120 perwakilan anak ranting, cabang, sampai pengurus wilayah ini, menjadikan Rakornas sebagai ruang konsolidasi nasional. Untuk mendesak PBNU menjadikan Lesbumi sebagai badan otonom (banom), seperti awal lembaga ini didirikan.
Karena seperti disampaikan oleh Kiai Abdullah Wong dalam poin-poin rekomendasi hasil rakornas, diantaranya menyebutkan bahwa keberadaan Lesbumi bagi NU merupakan garda terdepan untuk membumikan gagasan Islam Nusantara di tengah masyarakat. Dalam hal ini, ketika NU yang mendaku sebagai penerus ajaran Wali Sanga, maka konsekuensinya NU mustahil alergi, apa lagi menafikan kebudayaan sebagai jalan dakwah. Karena itu juga sudah seharusnya NU berada di garda depan dalam menghimpun dan mengkonsolidasikan ragam gerakan adat istiadat, tradisi, dan budaya yang berbasis ketuhanan Nusantara.
Selain itu, bahwa keinginan untuk menjadi banom ini sebenarnya merupakan aspirasi kuat yang berasal dari pengurus wilayah, cabang, ranting dan anak ranting Lesbumi NU yang membutuhkan garis kordinasi, intruksi dan komunikasi yang lebih efektif dan efisien.
“sebagai lembaga otonom, Lesbumi dapat mengatur rumah tangga sendiri secara kebijaksanaan atau pun secara teknis strategis sesuai kebudayaan Lesbumi NU yaitu Saptawikrama (tujuh prinsip Kebijaksanaan kebudayaan),” demikian bunyi poin rakornas yang ditanda tangani oleh ketua Pengurus Pusat (PP) Lesbumi NU KH. M Jadul Maula dan Kiai Abdullah Wong sebagai Sekertaris Lesbumi NU.
Tidak hanya itu, selain semangat kuat dari semua pengurus, secara teknis sebenarnya Lesbumi juga sudah memenuhi sarat untuk menjadi banom NU. Karena ketersediaan dan penyebaran Lesbumi NU di berbagai daerah, baik di dalam maupun luar negeri. Hal ini juga di dukung pula oleh 70persen lebih para anggota Lesbumi NU di setiap tingkatan yang telah mengikuti progam Madarasah Kader NU.
Lesbumi sendiri dalam beberapa tahun ini juga mengalami perkembangan yang cukup pesat. Tercatat, saat ini ada delapan pengurus wilayah, 118 pengurus cabang, 246 pengurus majelis wakil cabang, 303 pengurus anak ranting, dan empat pengurus cabang istimewa yakni Rusia, Belanda, Riyadh, serta Western Australia (part).
Dalam rangka membekali wawasan kebudayaan berbasis tauhid kepada pengurus dan anggota, Lesbumi NU sejak Rakornas III telah memiliki wahana kaderisasi. Secara prinsip, wahana kaderisasi diselenggarakan untuk menjelaskan Saptawikrama. Wahana kaderisasi itu bernama Asrama Saptawikrama (Astawikrama) untuk seluruh tingkatan pengurus, serta Pesantren Ramadhan Islam Nusantara (Pramistara) utuk santri di pondok pesantren.
Karena di berbagai tingkatan telah membuktikan diri secara mandiri dan swadaya dalam melakukan percepatan organisasi serta administrasi, maka Rakornas V di Yogyakarta ini merekomendasikan kepada Muktamar ke 34 NU untuk mengabulkan agar Lesbumi kembali menjadi banom NU.
Karena NU sendiri secara subtansial didirikan bukan semata untuk menjawab problematika umat yang terkait masalah keagamaan, tetapi sebenarnya lebih luas dari itu. Menurut Lesbumi sendiri, NU hadir untuk menjawab persoalan umat dalam konteks Kebudayaan. Lesbumi berpandangan bahwa kebudayaan merupakan satu-satunya aset dari identitas bangsa Indonesia yang secara efektif dapat digunakan untuk melawan arus dan penetrasi global. Dalam hal ini, kebudayaan yang berasal dari sinaran tauhid. Dengan demikian, NU secara jamaah dan jamiyah adalah jalan kebudayaan yang berbasis ke tauhidan.
Rakornas sendiri ditutup dengan menampikan konser yang bertajuk Lesbumi Ensembel di Pendopo Kaliopak. Dengan menampilkan pentas musik kolaborasi Orkestra, Hadroh, dan gamelan Jawa untuk membawakan lagu Syair Tanpo Waton, dan Yalal Wathan hasil olahan komposer musik Dadang S. Piano dan Eki Santria. Kolaborasi tersebut merupakan bentuk dari upaya Lesbumi mendialogkan peradaban melalui pentas musik, yaitu alat musik dari Barat, Arab dan Nusantara.
Oleh: Doel Rohim
Malam minggu (18/12/2021) di Pondok Pesantren Budaya Kaliopak terasa beda. Lampu pendapa yang biasa digunakan acara begitu gelap, yang terlihat hanya cahaya yang dipancarkan di tembok. Pemutaran film dengan projektor ternyata sedang terjadi malam itu. Kurang lebih 30 orang memadati pendapa yang gagah diterpa cahaya malam, mereka nampak khusyuk hayut dalam film yang di putar dengan judul Darah dan Doa The Long march karya Usmar Ismail dalam acara Bimaseni #2 yang diadakan rutin di Pondok di bantaran Kaliopak ini.
Film yang diproduksi tahun 1950 ini, merupakan film Indonesia pertama yang secara resmi diproduksi oleh orang Indonesia sendiri sebagai sebuah negara setalah perang kemerdekaan. Film yang menceritakan perjalanan panjang (long march) prajurit devisi Siliwangi RI yang diperintahkan kembali ke pangkalan semula, dari Yogyakarta ke Jawa Barat setelah kota itu di duduki oleh Belanda pada agresi militer ke dua tahun 1949. Perjalanan panjang yang dipimpin Kapten Sudarto (del Juzar), diceritakan dalam film penuh dengan mara bahaya, banyak peristiwa terjadi seperti sergapan musuh yang menewaskan beberapa prajurit, kisah asmara sang kapten, penderitaan prajurit dan dilema menjadi prajurit dalam kondisi negara yang belum menentu, menjadi drama realis yang begitu menghanyutkan pada malam itu.
Kisah perjuangan dan rasa nasionalisme menjadi narasi utama dalam film yang berdurasi 2 jam tersebut. Dengan segala kelebihan dan kekurangan secara teknis film ini, Usmar Ismail yang juga menjadi bapak perfilman nasional dan baru saja dianugerahi gelar pahlawan nasional, sebagai seorang sutradara berhasil menyuguhkan karya film sebagai alat perjuangan di waktu krisis dan transisi kebangsaan untuk tujuan kesatuan dan persatuan di antara anak bangsa.
Setelah film selesai malam itu kemudian dilanjutkan dengan acara diskusi untuk membedah film yang sudah selesai di tonton. Zahid Asmara sebagai pembedah pertama menyatakan, bahwa film Darah dan Doa sebagai bentuk diplomasi budaya yang dilakukan Usmar Ismail melalui film. Hal ini juga bagian dari sikap Usmar Ismail dalam merespon maraknya film asing terutama dari Amerika yang membanjiri dunia perfilman nasional.
“Maka dari hal itu, agaknya Pak Usmar Ismail dalam konteks ini ingin memberikan visi perfilman nasional sebagai pijakan para sineas muda bangsa di tengah arus perfilman global,” Ujar Zahid yang juga pengkaji film Nasional dari Pondok Kaliopak.
Selain itu film ini seperti disampaikan Zahid sebagai anak wayang dalam artian basis keaktoran para pemerannya tidak bisa dilepaskan dari kesenian tradisi yang sudah hidup ditengah masyarakat. Seperti ludruk, stambul, bahkan wayang itu sendiri.
Sementara itu Yudha Wibisono sebagai seorang produser film menyatakan bahwa film ini begitu luar biasa karena diproduksi dalam kondisi krisis. Tercatat pembiayaan produksi ini hanya sekitar 150 ribu zaman itu, yang didapatkan dari kementerian penerangan. Ia juga mencatat film begitu realis menciptakan situasi peperangan dari sudut pandang rakyat biasa, sehingga pada saat itu film ini dianggap tidak mewakili kepentingan militer.
Lebih jauh Yudha melihat film ini tidak bisa kita bandingkan dengan teknologi perfilman yang berkembang pesat hari ini. Tapi upaya Usmar Ismail dalam menyuguhkan film untuk tujuan membangkitkan nasionalismenya inilah yang patut kita teladani sebagai penggiat film hari ini. Dan nampaknya ketika melihat dinamika produksi film hari ini, akan jauh berbeda, karena film hari ini masuk dunia industri, yang sering kali gagasan terkait lokalitas dan nasionalisme tidak mempunyai ruang banyak di sana.
“Bagaimanapun itu, saya menonton film-film Usmar Ismail mulai dari sejak remaja, dari film beliaulah saya akhirnya mencintai dunia film,” Tutur Yudha menceritakan pengalaman pertamanya dengan nama Usmar Ismail.
Beda halnya seperti disampaikan oleh Rendra Bagus Pamungkas sebagai seorang aktor yang sudah malang melintang di dunia perfilman nasional. Ia melihat film Darah dan Doa ini, berusaha menampilkan gambar realisme dari suatu peristiwa yang benar-benar hadir ditengah masyarakat. Sehingga film ini seperti mengajak kita semua untuk melihat kondisi rell pada saat itu.
Selain itu, Rendra mengungkapkan bahwa bagaimanapun film ini diproduksi dengan tujuan untuk propaganda untuk membangkitkan semangat persatuan dan nasionalisme di tengah ancaman disintegrasi bangsa ini di tengah perang saudara yang terjadi pada saat itu. Dari hal itu juga, apa yang dilakukan oleh Usmar Ismail ini bagian dari statement beliau atas kondisi bangsa ini melalui karya film yang akan menjadi pijakan untuk para penggiat film nasional kita.
“Dan film Darah dan Doa ini merupakan upaya yang dilakukan bapak Usmar Ismail untuk mengambil posisi seperti apa seharusnya perfilman nasional kita di tengah perfilman global,” Tegas Rendra yang pernah menjadi pemeran utama dalam film Wage WR Soepratman (2017) itu.
Melihat Usmar Ismail Dari Sisi Seorang Santri
Berbeda halnya dengan pembedah sebelumnya, Kiai Jadul Maula juga menanggapi film Darah dan Doa ini dari sisi seorang santri yang jarang di baca oleh banyak orang selama ini. Menurut kiai Jadul dalam film Darah dan Doa ini sisi ke santrian Usmar Ismail terlihat jelas. Hal ini tergambar dari cerita yang begitu kuat menampilkan sisi religiusitas yang terdapat pada ungkapan-ungkapan doa yang ditampikan. Kemudian sisi kemanusiaan atau merakyatnya dalam film ini dapat kita lihat pada beberapa adegan misalnya kita dapati bagaimana keterlibatan masyarakat kampung saat menyambut barisan prajurit yang datang. Dan rasa Nasionalisme dalam film ini sudah tidak bisa bantah lagi, karena hampir dari semua plot cerita menggambarkan rasa cinta tanah air yang luar biasa.
Ketiga hal tersebut, mulai dari religiusitas, merakyat, dan cinta tanah air NKRI merupakan bagian dari identitas santri yang juga termasuk sudah tertanam dalam diri seorang Usmar Ismail. Hal tersebut sebenarnya bukan tanpa sebab, jika melihat latar belakang keluarga keluarganya merupakan pemuka agama dari daerah Minang. Dan waktu kecil dikabarkan Usmar Ismail belajar mengaji di surau-surau, begitulah kiranya identitas santri Usmar Ismail dibentuk.
Dalam konteks tertentu menurut Kiai Jadul film sendiri bagi Usmar Ismail adalah alat perjuangan sebagai bentuk ekspresinya sebagai seorang santri. Dan hal ini bisa kita lihat dari film Darah dan Doa ini. Bagaimana film ini muncul dalam situasi masa transisi ditambah lagi dinamika politik kebangsaan yang bergejolak dan tidak menentu. Dari film inilah Usmar Ismail bersikap melalui film Darah dan Doa yang sebenarnya memiliki makna yang dalam.
“Makna judul Darah dan Doa The Long March seperti memberi PR untuk kita semua yang mana long march perjalanan panjang perjuangan bangsa kita sebenarnya belumlah usai untuk menghindari konflik sipil diantara anak bangsa. Sehingga pertumpahan darah ini harus dihindari, dan doa itu sendiri bagian yang mesti terus kita pegangi sebagai bekal perjalanan panjang kebangsaan kita ini,” Tegas Kiai Jadul yang juga menjabat sebagai ketua LESBUMI PBNU.
Maka film ini mendapat relevansinya ketika kita melihat kondisi bangsa kita hari ini, yang mana benturan idiologi sampai sekarang ini yang belum selesai, dan masih dimainkan untuk memecah belah persatuan kita. Antara yang ingin menjadikan negara ini menjadi sangat liberal/komunis sehingga berhadap-hadapan dengan yang membuat negara ini sangat islamis.
Disamping itu makna penting lain dari Usmar Ismail sebagai seorang santri adalah, ia menggunakan film bukan untuk tujuan utama. Tapi ia memilih medium film sebagai medan perjuangan. Dan jika melihat profil Usmar Ismail yang juga bergulat pada politik, ia menggunakan politik untuk menjadikan film bisa diterima di dalam negeri sendiri. Dimana saat itu, dominasi film luar begitu kuat, sehingga ia menggunakan politik untuk memberi pangung bagi per film Indonesia agar sejajar dengan perkembangan film dunia. Dan akhirnya film ini menjadi tujuan akhir dari agama itu sendiri, yaitu film untuk mengekspresikan gagasan spritual dan kebangsaan.
Meningkatnya arus perkembangan digital sekarang ini menjadi fakta yang tidak bisa kita tolak. Semua lapisan masyarakat tidak terkecuali para santri juga dituntut untuk beradaptasi dengan arus budaya baru ini. Dari hal itulah Pondok Pesantren Salafiyah Al Qodir Cangkringan Yogyakarta pada moment Hari Santri 2021 (20/10/2021) bekerja sama dengan tim Ceritasantri.id, dari Pondok Budaya Kaliopak Piyungan Yogyakarta adakan seminar untuk santri terkait pentingnya konten kreatif di media sosial bagi santri.
Seperti yang disampaikan oleh Eka Y Saputra salah satu tim Ceritasantri.id, bahwa menjadi santri hari ini harus bisa mengembangkan skill literasinya termasuk menulis di dalam platfom media sosial dan jejaring internet sebagai medium baru para santri berinteraksi hari ini. Selain itu, kecakapan literasi melalui skill menulis kreatif yang baik bagi santri ini juga penting digunakan sebagai ujung tombak dakwah Islamiah di hari ini.
“Santri al Qodir sudah memegang hp semua kan? maka tidak ada alasan lagi tidak menggunakan perangkat digital tersebut untuk mengembangkan diri untuk dakwah di media sosial,” ujar Eka yang juga menjadi fasilitator progam literasi digital Keminfo ini.
Pada acara tersebut Eka juga menyatakan bahwa arus baru media digital sebenarnya bisa menjadi wahana baru bagi santri untuk mengembangkan kreativitasnya dengan menulis atau membuat konten positif. Selain diterangkan terkait dasar-dasar perangkat digital dan bagaimana contoh-contohnya yang perlu dikembangkan oleh santri Al Qodir, seminar ini kemudian dilanjut dengan praktik langsung menulis oleh para santri untuk nanti tulisan terbaik dari beberapa santri akan dimuat di media Ceritasantri.id.
Ceritasantri.id sendiri merupakan media sastra santri di bawah naungan Pondok Pesantren Budaya Kaliopak. Media yang sudah berjalan hampir dua tahun ini, selama ini menjadi ruang kreatif bagi santri di seluruh Indonesia untuk mengembangkan skill literasi terutama tulis menulis dalam berbagai bentuk puisi, esai, dan cerpen.
Menurut Atif Titah Amituhu sebagai salah satu kurator naskah Ceritasantri.id menuturkan bahwa selama ini sudah banyak santri mengirimkan tulisannya di media ini. Dari berbagai tulisan yang ditampung, Ceritasantri.id ingin menjadi rumah bersama bagi seluruh Santri Indonesia untuk berkarya dan mengekspresikan suaranya dalam bentuk karya tulisan. Dari hal itu pelatihan atau workshop menulis seperti ini, tidak pertama kali ini dilakukan, karena sebelumnya sudah beberapa pesantren di Yogyakarta telah disambangi.
Malam minggu (18/12/2021) di Pondok Pesantren Budaya Kaliopak terasa beda. Lampu pendapa yang biasa digunakan acara begitu gelap, yang terlihat hanya cahaya yang dipancarkan di tembok. Pemutaran film dengan projektor ternyata sedang terjadi malam itu. Kurang lebih 30 orang memadati pendapa yang gagah diterpa cahaya malam, mereka nampak khusyuk hayut dalam film yang di putar dengan judul Darah dan Doa The Long march karya Usmar Ismail dalam acara Bimaseni #2 yang diadakan rutin di Pondok di bantaran Kaliopak ini.
Film yang diproduksi tahun 1950 ini, merupakan film Indonesia pertama yang secara resmi diproduksi oleh orang Indonesia sendiri sebagai sebuah negara setalah perang kemerdekaan. Film yang menceritakan perjalanan panjang (long march) prajurit devisi Siliwangi RI yang diperintahkan kembali ke pangkalan semula, dari Yogyakarta ke Jawa Barat setelah kota itu di duduki oleh Belanda pada agresi militer ke dua tahun 1949. Perjalanan panjang yang dipimpin Kapten Sudarto (del Juzar), diceritakan dalam film penuh dengan mara bahaya, banyak peristiwa terjadi seperti sergapan musuh yang menewaskan beberapa prajurit, kisah asmara sang kapten, penderitaan prajurit dan dilema menjadi prajurit dalam kondisi negara yang belum menentu, menjadi drama realis yang begitu menghanyutkan pada malam itu.
Kisah perjuangan dan rasa nasionalisme menjadi narasi utama dalam film yang berdurasi 2 jam tersebut. Dengan segala kelebihan dan kekurangan secara teknis film ini, Usmar Ismail yang juga menjadi bapak perfilman nasional dan baru saja dianugerahi gelar pahlawan nasional, sebagai seorang sutradara berhasil menyuguhkan karya film sebagai alat perjuangan di waktu krisis dan transisi kebangsaan untuk tujuan kesatuan dan persatuan di antara anak bangsa.
Setelah film selesai malam itu kemudian dilanjutkan dengan acara diskusi untuk membedah film yang sudah selesai di tonton. Zahid Asmara sebagai pembedah pertama menyatakan, bahwa film Darah dan Doa sebagai bentuk diplomasi budaya yang dilakukan Usmar Ismail melalui film. Hal ini juga bagian dari sikap Usmar Ismail dalam merespon maraknya film asing terutama dari Amerika yang membanjiri dunia perfilman nasional.
“Maka dari hal itu, agaknya Pak Usmar Ismail dalam konteks ini ingin memberikan visi perfilman nasional sebagai pijakan para sineas muda bangsa di tengah arus perfilman global,” Ujar Zahid yang juga pengkaji film Nasional dari Pondok Kaliopak.
Selain itu film ini seperti disampaikan Zahid sebagai anak wayang dalam artian basis keaktoran para pemerannya tidak bisa dilepaskan dari kesenian tradisi yang sudah hidup ditengah masyarakat. Seperti ludruk, stambul, bahkan wayang itu sendiri.
Sementara itu Yudha Wibisono sebagai seorang produser film menyatakan bahwa film ini begitu luar biasa karena diproduksi dalam kondisi krisis. Tercatat pembiayaan produksi ini hanya sekitar 150 ribu zaman itu, yang didapatkan dari kementerian penerangan. Ia juga mencatat film begitu realis menciptakan situasi peperangan dari sudut pandang rakyat biasa, sehingga pada saat itu film ini dianggap tidak mewakili kepentingan militer.
Lebih jauh Yudha melihat film ini tidak bisa kita bandingkan dengan teknologi perfilman yang berkembang pesat hari ini. Tapi upaya Usmar Ismail dalam menyuguhkan film untuk tujuan membangkitkan nasionalismenya inilah yang patut kita teladani sebagai penggiat film hari ini. Dan nampaknya ketika melihat dinamika produksi film hari ini, akan jauh berbeda, karena film hari ini masuk dunia industri, yang sering kali gagasan terkait lokalitas dan nasionalisme tidak mempunyai ruang banyak di sana.
“Bagaimanapun itu, saya menonton film-film Usmar Ismail mulai dari sejak remaja, dari film beliaulah saya akhirnya mencintai dunia film,” Tutur Yudha menceritakan pengalaman pertamanya dengan nama Usmar Ismail.
Beda halnya seperti disampaikan oleh Rendra Bagus Pamungkas sebagai seorang aktor yang sudah malang melintang di dunia perfilman nasional. Ia melihat film Darah dan Doa ini, berusaha menampilkan gambar realisme dari suatu peristiwa yang benar-benar hadir ditengah masyarakat. Sehingga film ini seperti mengajak kita semua untuk melihat kondisi rell pada saat itu.
Selain itu, Rendra mengungkapkan bahwa bagaimanapun film ini diproduksi dengan tujuan untuk propaganda untuk membangkitkan semangat persatuan dan nasionalisme di tengah ancaman disintegrasi bangsa ini di tengah perang saudara yang terjadi pada saat itu. Dari hal itu juga, apa yang dilakukan oleh Usmar Ismail ini bagian dari statement beliau atas kondisi bangsa ini melalui karya film yang akan menjadi pijakan untuk para penggiat film nasional kita.
“Dan film Darah dan Doa ini merupakan upaya yang dilakukan bapak Usmar Ismail untuk mengambil posisi seperti apa seharusnya perfilman nasional kita di tengah perfilman global,” Tegas Rendra yang pernah menjadi pemeran utama dalam film Wage WR Soepratman (2017) itu.
Melihat Usmar Ismail Dari Sisi Seorang Santri
Berbeda halnya dengan pembedah sebelumnya, Kiai Jadul Maula juga menanggapi film Darah dan Doa ini dari sisi seorang santri yang jarang di baca oleh banyak orang selama ini. Menurut kiai Jadul dalam film Darah dan Doa ini sisi ke santrian Usmar Ismail terlihat jelas. Hal ini tergambar dari cerita yang begitu kuat menampilkan sisi religiusitas yang terdapat pada ungkapan-ungkapan doa yang ditampikan. Kemudian sisi kemanusiaan atau merakyatnya dalam film ini dapat kita lihat pada beberapa adegan misalnya kita dapati bagaimana keterlibatan masyarakat kampung saat menyambut barisan prajurit yang datang. Dan rasa Nasionalisme dalam film ini sudah tidak bisa bantah lagi, karena hampir dari semua plot cerita menggambarkan rasa cinta tanah air yang luar biasa.
Ketiga hal tersebut, mulai dari religiusitas, merakyat, dan cinta tanah air NKRI merupakan bagian dari identitas santri yang juga termasuk sudah tertanam dalam diri seorang Usmar Ismail. Hal tersebut sebenarnya bukan tanpa sebab, jika melihat latar belakang keluarga keluarganya merupakan pemuka agama dari daerah Minang. Dan waktu kecil dikabarkan Usmar Ismail belajar mengaji di surau-surau, begitulah kiranya identitas santri Usmar Ismail dibentuk.
Dalam konteks tertentu menurut Kiai Jadul film sendiri bagi Usmar Ismail adalah alat perjuangan sebagai bentuk ekspresinya sebagai seorang santri. Dan hal ini bisa kita lihat dari film Darah dan Doa ini. Bagaimana film ini muncul dalam situasi masa transisi ditambah lagi dinamika politik kebangsaan yang bergejolak dan tidak menentu. Dari film inilah Usmar Ismail bersikap melalui film Darah dan Doa yang sebenarnya memiliki makna yang dalam.
“Makna judul Darah dan Doa The Long March seperti memberi PR untuk kita semua yang mana long march perjalanan panjang perjuangan bangsa kita sebenarnya belumlah usai untuk menghindari konflik sipil diantara anak bangsa. Sehingga pertumpahan darah ini harus dihindari, dan doa itu sendiri bagian yang mesti terus kita pegangi sebagai bekal perjalanan panjang kebangsaan kita ini,” Tegas Kiai Jadul yang juga menjabat sebagai ketua LESBUMI PBNU.
Maka film ini mendapat relevansinya ketika kita melihat kondisi bangsa kita hari ini, yang mana benturan idiologi sampai sekarang ini yang belum selesai, dan masih dimainkan untuk memecah belah persatuan kita. Antara yang ingin menjadikan negara ini menjadi sangat liberal/komunis sehingga berhadap-hadapan dengan yang membuat negara ini sangat islamis.
Disamping itu makna penting lain dari Usmar Ismail sebagai seorang santri adalah, ia menggunakan film bukan untuk tujuan utama. Tapi ia memilih medium film sebagai medan perjuangan. Dan jika melihat profil Usmar Ismail yang juga bergulat pada politik, ia menggunakan politik untuk menjadikan film bisa diterima di dalam negeri sendiri. Dimana saat itu, dominasi film luar begitu kuat, sehingga ia menggunakan politik untuk memberi pangung bagi per film Indonesia agar sejajar dengan perkembangan film dunia. Dan akhirnya film ini menjadi tujuan akhir dari agama itu sendiri, yaitu film untuk mengekspresikan gagasan spritual dan kebangsaan.
Malam minggu (18/12/2021) di Pondok Pesantren Budaya Kaliopak terasa beda. Lampu pendapa yang biasa digunakan acara begitu gelap, yang terlihat hanya cahaya yang dipancarkan di tembok. Pemutaran film dengan projektor ternyata sedang terjadi malam itu. Kurang lebih 30 orang memadati pendapa yang gagah diterpa cahaya malam, mereka nampak khusyuk hayut dalam film yang di putar dengan judul Darah dan Doa The Long march karya Usmar Ismail dalam acara Bimaseni #2 yang diadakan rutin di Pondok di bantaran Kaliopak ini. Film yang diproduksi tahun 1950 ini, merupakan film Indonesia pertama yang secara resmi diproduksi oleh orang Indonesia sendiri sebagai sebuah negara setalah perang kemerdekaan. Film yang menceritakan perjalanan panjang (long march) prajurit devisi Siliwangi RI yang diperintahkan kembali ke pangkalan semula, dari Yogyakarta ke Jawa Barat setelah kota itu di duduki oleh Belanda pada agresi militer ke dua tahun 1949. Perjalanan panjang yang dipimpin Kapten Sudarto (del Juzar), diceritakan dalam film penuh dengan mara bahaya, banyak peristiwa terjadi seperti sergapan musuh yang menewaskan beberapa prajurit, kisah asmara sang kapten, penderitaan prajurit dan dilema menjadi prajurit dalam kondisi negara yang belum menentu, menjadi drama realis yang begitu menghanyutkan pada malam itu. Kisah perjuangan dan rasa nasionalisme menjadi narasi utama dalam film yang berdurasi 2 jam tersebut. Dengan segala kelebihan dan kekurangan secara teknis film ini, Usmar Ismail yang juga menjadi bapak perfilman nasional dan baru saja dianugerahi gelar pahlawan nasional, sebagai seorang sutradara berhasil menyuguhkan karya film sebagai alat perjuangan di waktu krisis dan transisi kebangsaan untuk tujuan kesatuan dan persatuan di antara anak bangsa. Setelah film selesai malam itu kemudian dilanjutkan dengan acara diskusi untuk membedah film yang sudah selesai di tonton. Zahid Asmara sebagai pembedah pertama menyatakan, bahwa film Darah dan Doa sebagai bentuk diplomasi budaya yang dilakukan Usmar Ismail melalui film. Hal ini juga bagian dari sikap Usmar Ismail dalam merespon maraknya film asing terutama dari Amerika yang membanjiri dunia perfilman nasional. “Maka dari hal itu, agaknya Pak Usmar Ismail dalam konteks ini ingin memberikan visi perfilman nasional sebagai pijakan para sineas muda bangsa di tengah arus perfilman global,” Ujar Zahid yang juga pengkaji film Nasional dari Pondok Kaliopak. Selain itu film ini seperti disampaikan Zahid sebagai anak wayang dalam artian basis keaktoran para pemerannya tidak bisa dilepaskan dari kesenian tradisi yang sudah hidup ditengah masyarakat. Seperti ludruk, stambul, bahkan wayang itu sendiri. Sementara itu Yudha Wibisono sebagai seorang produser film menyatakan bahwa film ini begitu luar biasa karena diproduksi dalam kondisi krisis. Tercatat pembiayaan produksi ini hanya sekitar 150 ribu zaman itu, yang didapatkan dari kementerian penerangan. Ia juga mencatat film begitu realis menciptakan situasi peperangan dari sudut pandang rakyat biasa, sehingga pada saat itu film ini dianggap tidak mewakili kepentingan militer. Lebih jauh Yudha melihat film ini tidak bisa kita bandingkan dengan teknologi perfilman yang berkembang pesat hari ini. Tapi upaya Usmar Ismail dalam menyuguhkan film untuk tujuan membangkitkan nasionalismenya inilah yang patut kita teladani sebagai penggiat film hari ini. Dan nampaknya ketika melihat dinamika produksi film hari ini, akan jauh berbeda, karena film hari ini masuk dunia industri, yang sering kali gagasan terkait lokalitas dan nasionalisme tidak mempunyai ruang banyak di sana. “Bagaimanapun itu, saya menonton film-film Usmar Ismail mulai dari sejak remaja, dari film beliaulah saya akhirnya mencintai dunia film,” Tutur Yudha menceritakan pengalaman pertamanya dengan nama Usmar Ismail. Beda halnya seperti disampaikan oleh Rendra Bagus Pamungkas sebagai seorang aktor yang sudah malang melintang di dunia perfilman nasional. Ia melihat film Darah dan Doa ini, berusaha menampilkan gambar realisme dari suatu peristiwa yang benar-benar hadir ditengah masyarakat. Sehingga film ini seperti mengajak kita semua untuk melihat kondisi rell pada saat itu. Selain itu, Rendra mengungkapkan bahwa bagaimanapun film ini diproduksi dengan tujuan untuk propaganda untuk membangkitkan semangat persatuan dan nasionalisme di tengah ancaman disintegrasi bangsa ini di tengah perang saudara yang terjadi pada saat itu. Dari hal itu juga, apa yang dilakukan oleh Usmar Ismail ini bagian dari statement beliau atas kondisi bangsa ini melalui karya film yang akan menjadi pijakan untuk para penggiat film nasional kita. “Dan film Darah dan Doa ini merupakan upaya yang dilakukan bapak Usmar Ismail untuk mengambil posisi seperti apa seharusnya perfilman nasional kita di tengah perfilman global,” Tegas Rendra yang pernah menjadi pemeran utama dalam film Wage WR Soepratman (2017) itu. Melihat Usmar Ismail Dari Sisi Seorang Santri Berbeda halnya dengan pembedah sebelumnya, Kiai Jadul Maula juga menanggapi film Darah dan Doa ini dari sisi seorang santri yang jarang di baca oleh banyak orang selama ini. Menurut kiai Jadul dalam film Darah dan Doa ini sisi ke santrian Usmar Ismail terlihat jelas. Hal ini tergambar dari cerita yang begitu kuat menampilkan sisi religiusitas yang terdapat pada ungkapan-ungkapan doa yang ditampikan. Kemudian sisi kemanusiaan atau merakyatnya dalam film ini dapat kita lihat pada beberapa adegan misalnya kita dapati bagaimana keterlibatan masyarakat kampung saat menyambut barisan prajurit yang datang. Dan rasa Nasionalisme dalam film ini sudah tidak bisa bantah lagi, karena hampir dari semua plot cerita menggambarkan rasa cinta tanah air yang luar biasa. Ketiga hal tersebut, mulai dari religiusitas, merakyat, dan cinta tanah air NKRI merupakan bagian dari identitas santri yang juga termasuk sudah tertanam dalam diri seorang Usmar Ismail. Hal tersebut sebenarnya bukan tanpa sebab, jika melihat latar belakang keluarga keluarganya merupakan pemuka agama dari daerah Minang. Dan waktu kecil dikabarkan Usmar Ismail belajar mengaji di surau-surau, begitulah kiranya identitas santri Usmar Ismail dibentuk. Dalam konteks tertentu menurut Kiai Jadul film sendiri bagi Usmar Ismail adalah alat perjuangan sebagai bentuk ekspresinya sebagai seorang santri. Dan hal ini bisa kita lihat dari film Darah dan Doa ini. Bagaimana film ini muncul dalam situasi masa transisi ditambah lagi dinamika politik kebangsaan yang bergejolak dan tidak menentu. Dari film inilah Usmar Ismail bersikap melalui film Darah dan Doa yang sebenarnya memiliki makna yang dalam. “Makna judul Darah dan Doa The Long March seperti memberi PR untuk kita semua yang mana long march perjalanan panjang perjuangan bangsa kita sebenarnya belumlah usai untuk menghindari konflik sipil diantara anak bangsa. Sehingga pertumpahan darah ini harus dihindari, dan doa itu sendiri bagian yang mesti terus kita pegangi sebagai bekal perjalanan panjang kebangsaan kita ini,” Tegas Kiai Jadul yang juga menjabat sebagai ketua LESBUMI PBNU. Maka film ini mendapat relevansinya ketika kita melihat kondisi bangsa kita hari ini, yang mana benturan idiologi sampai sekarang ini yang belum selesai, dan masih dimainkan untuk memecah belah persatuan kita. Antara yang ingin menjadikan negara ini menjadi sangat liberal/komunis sehingga berhadap-hadapan dengan yang membuat negara ini sangat islamis. Disamping itu makna penting lain dari Usmar Ismail sebagai seorang santri adalah, ia menggunakan film bukan untuk tujuan utama. Tapi ia memilih medium film sebagai medan perjuangan. Dan jika melihat profil Usmar Ismail yang juga bergulat pada politik, ia menggunakan politik untuk menjadikan film bisa diterima di dalam negeri sendiri. Dimana saat itu, dominasi film luar begitu kuat, sehingga ia menggunakan politik untuk memberi pangung bagi per film Indonesia agar sejajar dengan perkembangan film dunia. Dan akhirnya film ini menjadi tujuan akhir dari agama itu sendiri, yaitu film untuk mengekspresikan gagasan spritual dan kebangsaan.
Siapa yang tidak mengenal Usmar Ismail, yang selama ini dikenal sebagai bapak perfilman Indonesia itu. Pada Jumat (29/10/2021), tersiar kabar bahwa seniman kelahiran Minang tersebut dianugrahi gelar pahlawan nasional oleh pemerintah. Kabar tersebut tentu menjadi momen sepesial bagi keluarga besar Pengurus Besar Lembaga Seni Budaya Muslimin Indonesia (Lesbumi), yang mana di waktu bersamaan lembaga kebudayaan dan kesenian NU tersebut, sedang sibuk menggelar Rapat Kordinasi Nasional Kamis-Jumat 28-29/ 10/ 2021 yang ke 4 di Pondok Pesantren Budaya Kaliopak, Bantul, Yogyakarta.
Mengenang Usmar Ismail seperti diceritakan oleh Kiai Jadul Maula ketua Lesbumi NU, bahwa ia mempunyai hubungan erat dengan Lesbumi. Karena ia tercatat sebagai salah satu ketua pertama Lesbumi pada tahun 1962, bersama DJamaludin Malik, dan Asrul Sani. Dalam beberapa catatan arsip Lesbumi, Kehadiran Usmar Ismail dalam tubuh Lesbumi pada saat itu memberi warna yang sebelumnya tidak terbayangkan oleh banyak kalangan di luar organisasi NU. Karena sebagai lembaga keagamaan traditional, NU saat itu dikenal dan sering kali dianggap hanya sebagai kaum sarungan dan tidak banyak mengerti dengan perkembangan moderitas. Namun Lesbumi dibawah Usmar Islmail dan kawan-kawan, dengan kerja kesenian dan kebudayaannya ternyata mampu menampilkan karya-karya monumental dalam berbagai bidang seni, mulai dari sastra, seni pertunjukan, terutama film, yang waktu itu bisa dikatakan sebagai puncak dari produk kesenian modern.
Beberapa karya film seperti, Pedjuang, Darah dan Doa, Tiga Dara, Enam Ejam di Jogya dan masih banyak lagi karya film-nya, belum lagi naskah drama dan sastranya. Semua bernafaskan spirit nasionalisme dan religiusitas. Selain itu karya film yang dihasilkan bisa dikatakan sebagai pijakan perfilman Nasional dengan menggambarkan gagasan cinta tanah air, membangun jiwa bangsa yang berkarakter dengan budaya masyarakat Indonesia.
“Dari hal itulah sudah sepatutnya Usmar Ismail mendapat anugerah sebagai Pahlawan Nasional, atas kontribusinya dalam bidang kesenian dan kebudayaan Indonesia, “ Tukas Kiai Jadul Maula dalam sambutannya di konser Lesbumi Ensambel.
Selain itu, keberadaan Umar Ismail dalam tubuh Lesbumi merupakan respon NU ditengah pergolakan politik tahun 60-an. “Para kiai sepuh, terutama waktu itu kiai Wahab Hasbullah dengan cerdas dapat menggandeng tokoh-tokoh modern dari Minang ini, untuk memberi tandingan atas ideologi politik dan kebudayaan yang ada saat itu ada seperti Lekra,” Ujar kiai Jadul Maula yang juga sebagai pengasuh Pondok Budaya Kaliopak Yogyakarta.
Ada dua faktor internal dan eksternal yang melatar belakangi berdirinya Lesbumi yang jelas hal ini tidak bisa dilepaskan dari dengan nama Umar Ismail. Pertama keluarnya manifesto politik pada tahun 1959 oleh Presiden Soekarno, kedua pengarusutamaan Nasakom dalam tata kehidupan sosial budaya dan politik Indonesia pada awal tahun 1960-an. Dan ketiga perkembangan Lekra 1950 sebagai lembaga kebudayaan yang menunjukkan semakin dekat hubungannya dengan PKI, baik secara kelembagaan maupun dengan ideologinya yaitu materialisme sosialis.
Sedangkan faktor internal lahirnya Lesbumi NU berkaitan dengan momen budaya, yang bertujuan sebah lembaga kebudayaan yang dapat melestarikan dan memoles seni budaya yang dihidupi NU. Dan faktor penting lainnya adalah kebutuhan akan pendampingan terhadap kelompok kesenian tradisional dilingkungan NU. Kedua kebutuhan akan modernisasi seni budaya dalam hal ini Umar Ismail menjadi salah satu tonggaknya dalam tubuh Lesbumi.
Rakornas Lesbumi Menemukan Jalan Kebudayaan
Rakornas Lesbumi yang ke 4 sendiri, diadakan sebagai upaya menyongsong Muktamar NU yang ke-34 Lampung yang akan diadakan pada Desember nanti. Mengambil tema Tantangan, Global dan Kebuntuan Wacana Islam Nusantara, Lesbumi dalam pertemuan yang dihadiri hampir 120 perwakilan anak ranting, cabang, sampai pengurus wilayah ini, menjadikan Rakornas sebagai ruang konsolidasi nasional. Untuk mendesak PBNU menjadikan Lesbumi sebagai badan otonom (banom), seperti awal lembaga ini didirikan.
Karena seperti disampaikan oleh Kiai Abdullah Wong dalam poin-poin rekomendasi hasil rakornas, diantaranya menyebutkan bahwa keberadaan Lesbumi bagi NU merupakan garda terdepan untuk membumikan gagasan Islam Nusantara di tengah masyarakat. Dalam hal ini, ketika NU yang mendaku sebagai penerus ajaran Wali Sanga, maka konsekuensinya NU mustahil alergi, apa lagi menafikan kebudayaan sebagai jalan dakwah. Karena itu juga sudah seharusnya NU berada di garda depan dalam menghimpun dan mengkonsolidasikan ragam gerakan adat istiadat, tradisi, dan budaya yang berbasis ketuhanan Nusantara.
Selain itu, bahwa keinginan untuk menjadi banom ini sebenarnya merupakan aspirasi kuat yang berasal dari pengurus wilayah, cabang, ranting dan anak ranting Lesbumi NU yang membutuhkan garis kordinasi, intruksi dan komunikasi yang lebih efektif dan efisien.
“sebagai lembaga otonom, Lesbumi dapat mengatur rumah tangga sendiri secara kebijaksanaan atau pun secara teknis strategis sesuai kebudayaan Lesbumi NU yaitu Saptawikrama (tujuh prinsip Kebijaksanaan kebudayaan),” demikian bunyi poin rakornas yang ditanda tangani oleh ketua Pengurus Pusat (PP) Lesbumi NU KH. M Jadul Maula dan Kiai Abdullah Wong sebagai Sekertaris Lesbumi NU.
Tidak hanya itu, selain semangat kuat dari semua pengurus, secara teknis sebenarnya Lesbumi juga sudah memenuhi sarat untuk menjadi banom NU. Karena ketersediaan dan penyebaran Lesbumi NU di berbagai daerah, baik di dalam maupun luar negeri. Hal ini juga di dukung pula oleh 70persen lebih para anggota Lesbumi NU di setiap tingkatan yang telah mengikuti progam Madarasah Kader NU.
Lesbumi sendiri dalam beberapa tahun ini juga mengalami perkembangan yang cukup pesat. Tercatat, saat ini ada delapan pengurus wilayah, 118 pengurus cabang, 246 pengurus majelis wakil cabang, 303 pengurus anak ranting, dan empat pengurus cabang istimewa yakni Rusia, Belanda, Riyadh, serta Western Australia (part).
Dalam rangka membekali wawasan kebudayaan berbasis tauhid kepada pengurus dan anggota, Lesbumi NU sejak Rakornas III telah memiliki wahana kaderisasi. Secara prinsip, wahana kaderisasi diselenggarakan untuk menjelaskan Saptawikrama. Wahana kaderisasi itu bernama Asrama Saptawikrama (Astawikrama) untuk seluruh tingkatan pengurus, serta Pesantren Ramadhan Islam Nusantara (Pramistara) utuk santri di pondok pesantren.
Karena di berbagai tingkatan telah membuktikan diri secara mandiri dan swadaya dalam melakukan percepatan organisasi serta administrasi, maka Rakornas V di Yogyakarta ini merekomendasikan kepada Muktamar ke 34 NU untuk mengabulkan agar Lesbumi kembali menjadi banom NU.
Karena NU sendiri secara subtansial didirikan bukan semata untuk menjawab problematika umat yang terkait masalah keagamaan, tetapi sebenarnya lebih luas dari itu. Menurut Lesbumi sendiri, NU hadir untuk menjawab persoalan umat dalam konteks Kebudayaan. Lesbumi berpandangan bahwa kebudayaan merupakan satu-satunya aset dari identitas bangsa Indonesia yang secara efektif dapat digunakan untuk melawan arus dan penetrasi global. Dalam hal ini, kebudayaan yang berasal dari sinaran tauhid. Dengan demikian, NU secara jamaah dan jamiyah adalah jalan kebudayaan yang berbasis ke tauhidan.
Rakornas sendiri ditutup dengan menampikan konser yang bertajuk Lesbumi Ensembel di Pendopo Kaliopak. Dengan menampilkan pentas musik kolaborasi Orkestra, Hadroh, dan gamelan Jawa untuk membawakan lagu Syair Tanpo Waton, dan Yalal Wathan hasil olahan komposer musik Dadang S. Piano dan Eki Santria. Kolaborasi tersebut merupakan bentuk dari upaya Lesbumi mendialogkan peradaban melalui pentas musik, yaitu alat musik dari Barat, Arab dan Nusantara.
Pondok Pesantren Budaya Kaliopak buka Ngaji Bima Seni (23/10), datangkan Kiai Nasirun untuk membedah karyanya yang berjudul "Gundono". Ngaji Bima Seni sendiri merupakan progam baru yang digagas oleh Pondok Kaliopak, sebagai ruang untuk ngaji dan diskusi bersama pelaku seni, untuk membaca proses kreatif dan spritual seorang seniman dan karyanya. Menurut Kiai Jadul Maula Pengasuh Pondok Budaya Kaliopak, Ngaji Bima Seni ini sebenarnya diagendakan untuk melengkapi program Ngaji Dewa Ruci yang membahas ilmu-ilmu agama melalui kitab-kitab klasik ulama yang sudah rutin ada sejak tahun 2018 lalu. Sedangkan Ngaji Bima Seni ini merupakan upaya lain dari Pondok Kaliopak untuk meniti jalan kebudayaan melalui jalur kesenian. "Progam Ngaji Bima Seni akan diadakan setiap malam Minggu, sebagai forum untuk mengaji ilmu-ilmu kemanusiaan melalui karya seni,"ujar Kiai Jadul Maula yang juga menjabat sebagai ketua LESBUMI PBNU. Jalan kebudayaan itu sendiri menurut Kiai jadul penting untuk diperhatikan, karena ia sering ditanya bagaimana sebenarnya jalan budaya tersebut. Dari hal itu menurutnya ada dua jalan kebudayaan yang sebenarnya nanti ujungnya juga sama yaitu ketemu dengan dirinya, atau dalam kerangka agama bertemu dengan Tuhan. Pertama jalan yang dipandu oleh teks-teks agama. Dan yang kedua adalah jalan sosial termasuk dengan proses kesenian. Kedua jalan tersebut, tentu penuh lika-liku dalam prosesnya, bukan mana yang lebih baik, tetapi menyadarinya sebagai alternatif pilihan adalah upaya yang dapat kita tawarkan di era hari ini. Sedangkan Kiai Nasirun saat menjelaskan karyanya "Gundono", menyatakan bahwa karya yang satu ini merupakan bentuk ibadah yang ia lakukan untuk mengenang Alm. Selamet Gundono. Diawali dari cerita mimpinya bertemu dengan Slamet Gundono yang penuh dengan gambaran metaforik, ia menggambarkan sosok dalang kontemporer bersuara merdu tersebut, melalui intrepretasinya melalui teks "Maca" sebagai salah satu karya master pieces Gundono. Maka gambar yang muncul dalam lukisan ini adalah sosok Semar yang berikatkan bendera merah putih di kepalanya. Tidak hanya itu di dalam lukisan tersebut juga banyak teks-teks dan simbol-simbol wayang yang merupakan bentuk dari interpretasi Kiai Nasirun melihat pergulatan Gundono selama berkiprah dalam wilayah seni dan kebudayaan. Kiai Nasirun juga menyatakan bahwa proses seniman kita itu berbeda dengan seniman Barat yang biasanya hanya mengandalkan riset dan kecerdasan intelektual. Tapi banyak seniman kita proses kreatifnya lebih mendahulukan proses untuk menemukan dirinya sebagai bagian dari mengaktualisasikan karunia Tuhan yang diberikan kepadanya. "Dari hal itu, seni harus bisa memberi berdampak kepada masyarakat dalam berbagai bentuk," ungkap maestro seni rupa Indonesia tersebut.
Meningkatnya arus perkembangan digital sekarang ini menjadi fakta yang tidak bisa kita tolak. Semua lapisan masyarakat tidak terkecuali para santri juga dituntut untuk beradaptasi dengan arus budaya baru ini. Dari hal itulah Pondok Pesantren Salafiyah Al Qodir Cangkringan Yogyakarta pada moment Hari Santri 2021 (20/10/2021) bekerja sama dengan tim Ceritasantri.id, dari Pondok Budaya Kaliopak Piyungan Yogyakarta adakan seminar untuk santri terkait pentingnya konten kreatif di media sosial bagi santri. Seperti yang disampaikan oleh Eka Y Saputra salah satu tim Ceritasantri.id, bahwa menjadi santri hari ini harus bisa mengembangkan skill literasinya termasuk menulis di dalam platfom media sosial dan jejaring internet sebagai medium baru para santri berinteraksi hari ini. Selain itu, kecakapan literasi melalui skill menulis kreatif yang baik bagi santri ini juga penting digunakan sebagai ujung tombak dakwah Islamiah di hari ini. "Santri al Qodir sudah memegang hp semua kan? maka tidak ada alasan lagi tidak menggunakan perangkat digital tersebut untuk mengembangkan diri untuk dakwah di media sosial," ujar Eka yang juga menjadi fasilitator progam literasi digital Keminfo ini. Pada acara tersebut Eka juga menyatakan bahwa arus baru media digital sebenarnya bisa menjadi wahana baru bagi santri untuk mengembangkan kreativitasnya dengan menulis atau membuat konten positif. Selain diterangkan terkait dasar-dasar perangkat digital dan bagaimana contoh-contohnya yang perlu dikembangkan oleh santri Al Qodir, seminar ini kemudian dilanjut dengan praktik langsung menulis oleh para santri untuk nanti tulisan terbaik dari beberapa santri akan dimuat di media Ceritasantri.id. Ceritasantri.id sendiri merupakan media sastra santri di bawah naungan Pondok Pesantren Budaya Kaliopak. Media yang sudah berjalan hampir dua tahun ini, selama ini menjadi ruang kreatif bagi santri di seluruh Indonesia untuk mengembangkan skill literasi terutama tulis menulis dalam berbagai bentuk puisi, esai, dan cerpen. Menurut Atif Titah Amituhu sebagai salah satu kurator naskah Ceritasantri.id menuturkan bahwa selama ini sudah banyak santri mengirimkan tulisannya di media ini. Dari berbagai tulisan yang ditampung, Ceritasantri.id ingin menjadi rumah bersama bagi seluruh Santri Indonesia untuk berkarya dan mengekspresikan suaranya dalam bentuk karya tulisan. Dari hal itu pelatihan atau workshop menulis seperti ini, tidak pertama kali ini dilakukan, karena sebelumnya sudah beberapa pesantren di Yogyakarta telah disambangi.
Pameran seni rupa berjudul Senyawa di gelar di Pondok Pesantren Budaya Kaliopak Yogyakarta (Minggu/17/10). Pameran yang digelar atas kerja sama dengan mahasiswa Universitas Negeri Surabaya (UNESA) ini, diikuti oleh lima seniman muda Revan, Jefry Yulia, Ainun dan Riza yang sedang menjalani residensi di studio salah seorang seniman Yogyakarta yaitu Laksmi Sitharesmi. Pameran ini juga menjadi salah satu rangkaian acara Maulid Nabi Muhammad dan Hari Santri yang diadakan oleh Pondok Kaliopak. Dalam sambutan pembukaan pameran oleh Kiai Jadul Maula selaku pengasuh Pondok Pesantren Budaya Kaliopak menyatakan bahwa pameran yang dilakukan oleh teman-teman UNESA ini menjadi moment yang penting bagi Pondok Kaliopak, sebagai bentuk penegasan bahwa pondok pesantren merupakan ruang yang terbuka untuk tumbuhnya ekspresi kesenian termasuk seni rupa. Karena esensi kesenian itu sendiri menurut kiai Jadul adalah wujud dari keindahan dan agama mengajari kita untuk memperindah dunia, dari hal itu keduanya jangan sampai dihadap-hadapkan atau bahkan di betur-benturkan. "Dalam hal ini pameran ini bisa jadi tidak hanya semata gelar karya saja tetapi juga bisa menjadi moment spiritual karena berbarengan dengan moment peringatan Maulid Nabi dan Hari santri", Ungkap Kiai Jadul yang juga menjadi ketua LESBUMI PBNU. Sementara itu Laksmi Sitharesmi selaku seniman dalam sambutanya juga menyampaikan bahwa, pameran ini merupakan hasil dari kerja keras anak didiknya dari UNESA yang hampir dua bulan residensi di tempatnya. Pameran ini juga sulit, terjadi tanpa kerjasama dengan Pondok Kaliopak. Tidak hanya itu ia juga memberi pesan bagi anak didiknya, semoga pengalaman residensi di Jogya ini, bisa di bawa pulang ke Surabaya dan semakin memantapkan diri mereka untuk terus berkarya menjadi seniman. Laksmi juga menyampaikan bahwa adanya pameran ini semoga memberi keberkahan untuk kita semua yang hadir terutama untuk para seniman muda ini. Kemudian Indah Chrysanti Angge selaku ketua Jurusan Seni Rupa UNESA selaku pembuka pameran Senyawa ini juga menyampaikan bahwa ia bertrimakasih kepada Pondok Kaliopak yang telah memberi ruang untuk mengadakan pameran untuk anak didiknya. "Kepada Bu Laksmi, saya mengucapkan terimakasih sebesar-besarnya yang telah sepenuh hati membersamai anak didiknya selama di Yogya sehingga memberi ilmu dan pengalaman yang luar biasa sehingga menjadi bekal proses untuk para seniman muda ini. Pembukaan acara pameran yang akan digelar sampai tanggal 23 oktober ini dilakukan dengan prosesi potong tumpeng bersama. Dengan adanya pembukaan cara ini juga, rangkaian acara Maulid Nabi dan Hari Santri resmi di di mulai di Pondok kaliopak yang rencananya akan digelar sampai puncaknya tanggal 29 oktober. Rangkaian acara sampai akhir bulan ini akan ada beberapa peristiwa budaya dan kesenian, mulai dari Diskusi Seni Bersama Maestro Seni Rupa Nasirun, Pemutaran film, dan puncaknya ada pentas musik kolaborasi okestra, gamelan, dan hadroh di akhir bulan ini.
Ramadhan segera tiba, dan kita masih dalam suasana pandemi Covid-19 yang selama satu tahun terakhir telah mengguncang struktur kebudayaan dunia. Tatanan masyarakat yang sebelumnya dipaksa berubah cepat oleh arus budaya modern dengan hentakan teknologi informasinya menciptakan disrupsi di setiap sendi kehidupan, tiba-tiba terhenti kolaps sedemikian rupa. Sehingga patut kita pertanyakan, apakah pengetahuan, sikap dan cara hidup kita selama ini akan mengantarkan kita kepada tujuan hidup kemanusiaan kita yang sejati?. Pada moment yang demikian, agama yang sebenarnya memuat nilai dan energy untuk ikut serta mengurai segala persoalan dunia juga ikut tertatih-tatih mengikuti dinamika zaman yang melaju kencang ini. Agama saat ini seakan terpisah dengan elan-vital kehidupan dan kebudayaan manusia. Sehingga yang muncul adalah formalisme beragama yang mengarah kepada kesalehan personal, namun luput menjadi kesalehan social untuk mewarni tumbuh kembangnya kebudayaan. Belum lagi terbelahnya pandangan dunia masyarakat yang kalau kita runut bermula sejak masa kolonial. Antara pandangan masyarakat yang berinduk kepada nilai-nilai tradisi, yakni masyarakat local yang menyebar disetiap jengkal pulau Indonesia, dengan pandangan dunia baru yang disodorkan belakangan di pusat-pusat produksi pengetahuan formal. Keduanya saling mengintrupsi, terpisah, bahkan saling bertolak belakang. Sehingga yang muncul adalah krisis identitas, jati diri dan kemanusiaan. Karena semakin tinggi jenjang pendidikan seseorang, bukan semakin ia dekat dan tahu masyarakat budaya yang telah membentuknya, justru semakin terpisah dan asing. Sehingga ketika kita mau jujur, segala bentuk dan ukuran kemajuaan bangsa kita saat ini, tidak berbanding lurus dengan kedewasaan mental, kedaulatan diri, dan luhurnya budaya bangsa yang telah menyatakan kemerdekaanya sejak 76 tahun yang lalu ini. Kita sebagai bangsa masih menjadi pengimpor utama pengetahuan, konsumen produk-produk dan penonton atas menjamurnya kebudayaan luar. Pada tahap inilah kita bisa merasakan budaya kita semakin dekaden dan kehilangan arah tujuan. Sikap kreatif dan kosmopolitan yang menjadi corak utama kebudayaan bangsa kita selama ratusan tahun telah terbentuk dan manifest menjadi tradisi, adat dan ekspresi kesenian terasa kehilangan rumus perkembangan dan perubahannya. Ia ada namun tak lagi berdenyut sebagai sumber nilai dan pandangan dunia masyarakat yang konon telah melahirkannya. Mungkin situasi tersebut yang diingatkan dalam sebuah tulisan “Inikah Akhir Zaman Budaya Kita?”sebagaimana termuat dalam bukunya “Islam Berkebudayaan”. Dengan terus membiarkannya hidup, namun tak lagi kita perhatikan. Terus apa yang bisa kita lakukan?. Refleksi tulisan di atas tentunya bukan bermaksud untuk membuat panic apalagi putus asa atas apa yang telah terjadi. Namun marilah kita jadikan uraian dia atas sebagai cermin untuk memantulkan cahaya baik untuk diri kita sendiri, untuk senantiasa belajar dan berbenah diri. Dan pada moment Ngaji Posonan tahun ini, sebagai hari-hari baik dan suci,gelisah kebudayaan tersebut coba kita tengok dan uraikan pelan-pelan dalam satu nafas tema “ Islam Berkebudayaan, Jalan Menemukan Diri Secara Kosmopolitan” dengan format acara ngaji, kajian dan belajar bersama. Ngaji posonan merupakan agenda tahunan yang diadakan Pesantren Budaya Kaliopak selama bulan Romadhan dan tahun ini sudah berjalan yang ke-3. Usaha mengisi bulan suci dengan agenda-agenda produktif dan kreatif. Seperti kajian, belajar bersama dan mujahaddah, yang semuanya berorientasi kepada karya yang bisa dihasilkan selama proses Ngaji Posonan berlangsung. Untuk kebutuhan tersebut, maka diharapkan semua yang terlibat bisa secara intens mengikuti rangkaian ngaji yang berlangsung selama 17 hari. Dengan tema besar “Islam Berkebudayaan Menemukan Diri Secara Kosmopolitan”, Ngaji Posonon 2021 diharapkan mampu menyodorkan aternatif jalan untuk menemukan diri sendiri, dalam laku kosmopolit di era yang serba sulit saat ini. Tema-tema yang disusun merupakan rangkaiaan isu yang diharapkan mampu menjadi satu pengetahuan utuh yang berakar kedalam jantung kebudayaan kita sendiri, sekaligus mampu menjulang tinggi namun tak mudah koyak diterpa angin perubahan. Dari hal tersebut Ngaji Posonan tahun ini mengusung tema ISLAM BERKEBUDAYAAN: MENEMUKAN DIRI SECARA KOSMOPOLITAN Yang akan di adakan pada Waktu & Tempat : 16 April – 2 Mei 2021 di Pondok Kaliopak, jln Wonosari Km.11, Klenggotan, Srimulya, Piyungan, Bantul. Untuk mengikuti progam ini sendiri ada beberapa persyaratan yang harus di penuhi diantaranya sebagai berikut;