Membaca naskah kuno untuk generasi kita saat ini bukanlah hal mudah. Apalagi naskah yang ditulis sekitar abad XVI – XVII M. Meskipun naskah-naskah tersebut lahir dari rahim budaya kita sendiri, namun perbedaan huruf yang digunakan saat naskah-naskah tersebut ditulis, seperti aksara Hanacaraka, atau bahasa Jawa yg ditulis dengan huruf Arab — sering disebut Arab pegon — dengan bahasa kita saat ini (latin), menjadi kendala utama naskah-naskah tersebut hilang dan terpinggirkan. Padahal dengan huruf-huruf tersebut sejarah serta khazanah keilmuan leluhur kita dituliskan. Demikian pengantar Prof. Dr. Marsono SU, Guru Besar filologi UGM sebelum masuk ke isi kandungan serat Lokajaya. Diskusi ini merupakan pembuka rangkaian Ngaji Posonan Pesantren Budaya Kaliopak tahun 2019 dengan tema “Merajut Khazanah Islam Nusantara”. Akademisi yang hampir setengah hidupnya dihabiskan bersama naskah-naskah kuno ini merasa prihatin dengan keadaan ratusan ribu naskah nusantara yang banyak belum terbaca. Maka besar harapan dengan adanya kajian Serat Lokajaya, khazanah yang kaya akan nilai-nilai luhur tersebut dapat dilirik kembali oleh generasi muda. Serat Lokajaya sebagai pembuka di Ngaji Posonan 2019 menghangatkan limasan Kaliopak, tempat kajian digelar. Peserta yang berjumlah puluhan berasal dari berbagai daerah dan komunitas pun mulai bertegur sapa meski terkesan malu-malu karena baru pertama kali bertemu. Diiringi semilir angin tepian Sungai Kaliopak, udara malam yang dingin, peserta dan panitia pun larut menyimak jalannya kajian. Serat Lokajaya Cerita tentang Lokajaya ini sebenarnya berada di jilid ke-12 Serat Centini. Yakni, kitab yang sering disebut para ahli sebagai ensiklopedi buku keilmuan Jawa yang membahas berbagai bidang. Salah satunya tekait dakwah Islam, dan di situlah Serat Lokajaya tersebut tersimpan. Tepatnya di Suluk Sujinah. Diceritakan dalam Serat Lokajaya, bahwa Lokajaya sendiri merupakan nama samaran dari Raden Said — atau lebih dikenal dengan Sunan Kalijaga — ketika masih menjadi seorang berandal. Meskipun beliau seorang anak dari Bupati Tuban yang mempunyai kedudukan yang tinggi, beliau merasa kecewa dengan kehidupan kerajaan yang ia anggap bertindak tidak adil dan sewenang-wenang terhadap rakyat. Semenjak itulah beliau memutuskan keluar dari istana dan menjadi seorang berandal. Kehidupan Raden Said sebagai seorang berandal membuatnya terjebak kehidupan hitam (malima), menjadi jadhug karena selalu menang dalam adu tanding dan kesaktian. Pada fase kehidupan ini kemudian Raden Said dikenal sebagai Brandal Lokajaya. Namun kehidupan Brandal Lokajaya ini berubah semenjak ia bertemu dengan Sunan Bonang. Seorang wali yang masyhur dengan kearifan ilmu hikmahnya. Pada pertemuan tersebut diceritakan, ketika Sunan Bonang dalam perjalanan di tengah hutan, beliau dihentikan oleh Lokajaya untuk dirampas bekal dan harta yang dimilikinya. Dengan kasar kemudian Lokajaya merampas bekal dari Sunan Bonang, sampai akhirnya sang Sunan pun tersungkur ke tanah. Tersungkurnya Sunan Bonang justru membuat Lokajaya sebagai anak muda merasa iba. Begitu teganya ia merampas bekal orang tua yang sedang dalam perjalanan. Seketika dalam kejatuhan Sunan Bonang tersebut beliau menasihati Lokajaya, “Apa yang kau harapkan dari aku yang tua renta seperti ini anak muda? Kalau hanya harta yang kau inginkan dariku, buah itu kamu ambil semua.” Sambil menunjuk ke pohon aren yang sudah berubah menjadi emas, Sunan Bonang pun melanjutkan perjalannya. Keterkejutan dan rasa penasaran menyelimuti Lokajaya ketika melihat peristiwa tersebut. Namun, bukan kegembiraan yang didapatkannya. Selepas kepergian Sunan Bonang, rasa bersalah justru membayangi Lokajaya. Sehingga, dengan jiwa yang masih terkoyak dan linangan air mata, Lokajaya berlari mengejar Sunan Bonang untuk memohon maaf sekaligus meminta untuk dirinya diakui menjadi murid. Tepat di bantaran sungai (kali), Lokajaya akhirnya menemui Sunang Bonang. Dengan pertemuan tersebut akhirnya Lokajaya diterima sebagai murid Sunan Bonang. Raden Said kemudian diwejang tentang hakikat hidup, lantas disuruh bertapa di tepi sungai selama satu tahun. Sejak itulah Brandal Lokajaya (Raden Said) sering dikenal dengan Sunan Kalijaga. Pertemuan Sunan Kalijaga dengan Nabi Khidir Cerita tidak hanya berhenti di situ. Dalam Serat Lokajaya diceritakan juga tentang perjalanan Kanjeng Sunan Kalijaga mencari air zamzam ke negeri Mekkah untuk menjalankan perintah gurunya. Perjalanan yang harus ditempuh sang Sunan melewati samudra luas untuk sampai ke tempat tujuan. Dalam perjalanan, Sunan Kalijaga tiba-tiba mendengar percakapan tiga burung tetang makna hidup. Ketika mendengar percakapan tersebut Sunan Kalijaga tertegun dan justru semakin yakin untuk melaksanakan perintah sang guru. Dengan penuh keyakinan dan ketabahan niat menjalankan perintah sang guru, Kanjeng Sunan akhirnya memberanikan diri menceburkan dirinya ke laut. Di tengah deru ombak dan tajamnya gelombang, Sunan Kalijaga memasrahkan dirinya masuk di kedalaman samudra. Dan di saat itulah beliau ditemui oleh Nabi Khidir. Masih dalam keadaan pasrah total, beliau ditanya oleh Nabi Khidir, “Apa yang kau cari di tengah samudra seperti ini?” Kanjeng Sunan pun menjawab, "Saya hanya menjalankan perintah sang guru. Tidak ada maksud yang lain.” Setelahnya, Sunan Kalijaga pun diwejang oleh Nabi Khidir tentang kesulitan hidup bila diliputi kebodohan. Seorang guru hanya memberikan petunjuk, berkembang atau tidaknya tergantung dirinya sendiri. Setelah itu, Sunan Kalijaga disuruh masuk ke telinga kiri Nabi Khidir. Di alam rohani ini, beliau dihadapkan dengan berbagai warna yang ada di dalam hati manusia. Warna-warna inilah yang mendorong manusia berbuat baik, buruk, bijak, iri, amarah, dan dengki di alam dunia. Kemudian, beliau dinasihati lagi untuk membedakan antara hitam dan putih, mengupas hakikat manusia dari mana ia berasal dan kemana ia akan berakhir, serta kewajibannya untuk selalu merujuk kitab suci ketika ditimpa persoalan agar mendapatkan petunjuk. Karena darah akan bercampur lagi dengan sukma ketika manusia meninggal, maka nasihat-nasihat yang diberikan Nabi Khidir kepada Sunan Kalijaga sebenarnya hanya ingin menunjukkan tentang hakikat Hyang Widhi yang menghidup-matikan manusia. Hal itu terletak di dalam hati setiap manusia, dan untuk mencapainya manusia harus berani tirakat dan bertapa. "Tidak hanya mbleg kedhibleg, mangan wareg, turu ambleg, gebleg," tutur Prof. Marsono. Hyang Widhi di sini menurut Prof. Marsono diambil dari bahasa Sansekerta berarti "Yang Maha Tahu". Selanjutnya, beliau juga menjelaskan tentang maksud Hyang Manon yang mempunyai arti "Yang Maha Melihat". Bahwa hakikatnya Tuhan itu berada di atas, di bawah, di kanan dan kiri setiap makhluk. Ia jauh tapi tak berjarak. Ia dekat tapi tak berkumpul. Wejangan Tentang Hakikat Hidup Selanjutnya, masih di alam antara, di telinga Nabi Khidir, Sunan Kalijaga mendapatkan wejangan tentang iman, tauhid, dan hidup setelah mati. Kanjeng Sunan diwejang untuk jangan sekali-kali mati dalam keadaan kafir, karena kekafiran seseorang atau keadaan ingkarnya manusia tentang adanya Tuhan, membuat Tuhan menolak kembalinya seorang makhluk. Jangan juga merasa memiliki, karena jasad, rupa, suara, dan sebagainya yang melekat pada diri manusia hanya milik Hyang Sukma. Jangan pula sombong ketika sudah mengetahui wejangan ini, karena pada dasarnya setiap manusia yang hidup adalah mati, dan yang mati adalah hidup. Setelah mengetahui wejangan-wejangan tersebut, meskipun keberadaan Kanjeng Sunan di dalam telinga Nabi Khidir terasa lebih nyaman dan bahagia, tiba-tiba beliau terpental keluar. Di sinilah kemudian beliau mendapatkan pengetahuan rohani tentang hidup atau ilmu kasampurnan sejati yang sebenarnya tersimpan bukan di luar diri. Namun, hakikat hidup bisa ditemukan di dalam diri manusia sendiri. Bagaimana Kita Harus Bersikap? Demikian pemaparan terakhir Prof. Marsono sebelum masuk ke bagian tanya jawab bagi peserta kajian. Semangat yang menggebu masih nampak di wajah beliau meskipun waktu sudah menunjukkan larut malam. Diakhiri dengan nasihat-nasihat kepada peserta ngaji yang kebanyakan masih usia muda, beliau lantas mempersilakan kalau ada yang ingin bertanya. *** Kesempatan pertama, Firda Salam, salah satu peserta dari Ponorogo bertanya tentang proses Syekh Malaya mendapat ilmu kesempurnaan. Kemudian, ada konsep yang menurutnya menjadi inti dari ajaran Syekh Malaya, yakni pernyataan tentang "hidup di dalam mati dan mati di dalam hidup". Hal ini, menurutnya, melatih kita sebagai manusia untuk berproses mati menuju yang hidup. Bagaimana konsep mati dan proses hidup yang sesungguhnya dalam Serat Lokajaya? Prof. Marsono menjawab bahwa "mati dalam hidup dan hidup dalam kematian" artinya ketika manusia hidup dianjurkan mengendalikan hawa nafsunya. Hidup dalam kematian yakni hidup yang penuh pengendalian diri. Karena siapapun yang mematikan hawa nafsunya, ia akan mampu mengendalikan arah dan tujuan hidup yang diinginkan, bahkan mereka bisa tahu kapan dirinya sendiri akan meninggal. Hal ini terjadi karena sudah terlatih dalam hidup yang sempurna, yakni dengan menjalankan syariat, tarekat, makrifat, dan hakikat, seperti yang dilakukan Sunan Kalijaga. Sunan Kalijaga melakukan syariat taat kepada guru, taat kepada raja, menjalankan salat dan mendirikan masjid, bersikap sabar, menyesali segala dosa dan bertobat, bertapa dan berkhalwat, hidup mengembara tanpa harta. Peristiwa Syekh Malaya masuk ke telinga Nabi Khidir adalah simbolisasi manusia ketika mulai melihat dirinya sebagai Dzat Tuhan, dan dirinya menyadari keberadaannya sebagai wakil Tuhan. Demikian jawaban Prof. Marsono. Seketika mendengar penjelasan yang disampaikan, suasana forum menjadi hening dan tenang. Dilanjutkan pertanyaan yang kedua. Kali ini ditanyakan oleh Taufik. Ia bertanya di luar materi serat yang disampaikan, namun lebih menyoroti dinamika naskah yang disinggung sedikit oleh Prof. Marsono di awal diskusi. Pertanyaannya, kita kesulitan untuk memasuki alam serat ini. Ada kesenjangan antara hidup hari ini dengan ketika serat ini dibuat. Tidak ada yang menjembatani. Kalau peninggalan Yunani bisa menjadi jembatan bagi kejayaan masa kini. Tapi kok rasanya di Indonesia masih terlihat gelap, tidak diminati, dan tidak mudah dipahami. Mengapa? Selanjutnya, bagaimana serat seperti ini di universitas juga belum nampak semaraknya, meskipun bisa menjadi ladang subur bagi penelitian. Namun, pemerintah yang punya otoritas tidak melirik sama sekali hal ini, semacam yang lalu biar menjadi masa lalu. Mengapa? Dengan menarik nafas yang panjang, Prof. Marsono menjawab dengan perlahan. "Dampaknya, banyak bupati kena KPK karena tidak menghayati seperti ini. Tinggal terserah Saudara-saudara mau bagaimana karena saya sudah tua. Kiprah dikembalikan ke Saudara. Apakah birokrasi akan kedodoran, seluruh penjara penuh, ini kemunduran. Ketika serat seperti ini semakin terpinggirkan, ya sudahlah. Majapahit runtuh bukan karena serangan dari luar, karena aparatur negaranya pada bermewah-mewah." "Jika ini tidak saya bongkar, belum tentu satu abad lagi akan dibongkar. Karena naskah ini berada di Serat Sujinah, terpendam dan tidak mudah ditemukan. Saudara-saudara harus bersikap atas fenomena ini. Jika ini ditularkan dan kemudian tertanam, maka buahnya adalah kebaikan bagi kondisi di kemudian hari. Nilai-nilai ini harus ditanamkan, kalau tidak sangat berbahaya." "Karya ini punya amanat dan harus diikuti. Jika hanya dikubur, maka harapan Indonesia menjadi negara yang berbudaya dengan tidak meninggalkan akar lokalitas di masing-masing daerah hanya akan menjadi harapan!" tegas Prof. Marsono. *** Tulisan diolah dari notulensi Ngaji Posonan 2019 oleh Muhamad Najih. Video dokumentasi bisa ditonton di Serial Membabar Serat Lokajaya - Prof. Dr. Marsono S.U. Foto: dokumentasi Pesantren Kaliopak Editor: EYS
Kebiasaan saya ikut nimbrung dengan masyarakat (srawung) sering kali membuat saya mendapatkan kabar-kabar mengejutkan. Tak jarang, beragam keluh kesah menjadi bumbu manis perbincangan. Seperti ketika saya belanja di pasar, atau saat membeli bahan pokok makanan di warung-warung kecil pinggir jalan. Seperti biasa, sembari memilih barang, muncul perbincangan spontan dengan banyak pedagang, terutama berkaitan dengan situasi sosial ekonomi di kala pandemi COVID-19 ini. Sekilas dapat saya potret dari beberapa orang yang saya temui di pasar dan toko, muncul rasa was-was, ketidakpastian, terhadap melambatnya ekonomi di kala pandemi saat ini. Secara pribadi, saya melihat memang terjadi perubahan yang sangat signifikan di pasar tradisional hari-hari belakangan ini. Salah satu pedagang di pasar Giwangan, pasar induk terbesar di kota Yogyakarta, menyatakan, “Di waktu pandemi saat ini, penjualan memang tidak menentu. Meskipun pasar tidak akan ditutup, namun jumlah penjualan menurun drastis. Imbauan untuk selalu di rumah saja membuat banyak pembeli membatasi tatap muka secara langsung. Banyak juga warung-warung makan yang selama ini banyak pelanggan, kini menutup warung karena sepinya pembeli.” Selain ke pasar induk, hal yang sama terjadi di pasar yang lebih kecil, yakni pasar desa/dusun. Meskipun sirkulasi ekonomi di pasar seperti ini tidak begitu besar, namun kelokalan dan cakupan aktivitas ekonomi yang hanya melibatkan masyarakat sekitar sepertinya bisa menjadi representasi masyarakat paling bawah. Seperti apa sebenarnya aktivitas ekonomi sosial bergerak dan nantinya akan berjalan. Sama seperti di pasar Giwangan, beberapa pasar dusun tetap buka meski tidak sepadat biasanya. Beberapa ruang terlihat kosong. Aktivitas jual beli yang biasanya riuh rendah dengan tawar menawar ibu-ibu pasar kini senyap. Yang muncul justru keluhan dan ratapan. Salah satu ibu penjual sembako mengatakan tanpa saya tanya, “Yo ngéné iki, Mas. Pasaré sepi. Apa-apa larang. Nèk ngéné iki terus tekan bada, ra ngerti bakalé kepiyé.” (Ya seperti ini, Mas. Pasarnya sepi. Semuanya mahal. Kalau begini terus sampai lebaran, tidak tahu nanti bagaimana.) Mendengar keluhan tersebut, saya rasa situasi seperti ini memang masa penuh ketidakjelasan dan ketidakpastian. Wabah korona, yang pertama kali muncul di Wuhan dataran Cina, akhirnya terasa dampaknya hingga unit terkecil masyarakat kita. Tidak semata dampak virusnya yang sangat berbahaya. Namun, adanya skenario sosial untuk menanggulangi penyebaran wabah korona ini juga berefek kepada kehidupan sosial ekonomi masyarakat. Dan, itu nyata adanya. Kalau benar dugaan Martin Suryajaya di salah satu esainya, bahwa di situasi seperti inilah akhirnya sistem ekonomi kapitalisme yang menjadi saka guru sistem ekonomi kita akan mengalami kebangkrutan. Berdasar pada hukum pergerakan yang menjadi jati diri sistem kapitalisme, maka dengan adanya pembatasan-pembatasan sosial yang ada sekarang hal tersebut bisa sangat terjadi. Dengan empat argumen yang ia sodorkan: deindustrialisasi, definalisasi, diskoneksi fisik serta pelokalan global, keempat kriteria tersebut menurut Martin akan mengarahkan situasi saat ini menuju sosialisme ataupun babarisme yang amat menakutkan. Bagi saya sendiri, terlepas para pengamat dengan analisisnya yang beragam dan cukup logis tersebut, gejala-gejala sosial ekonomi di masa-masa sulit saat ini justru bisa menjadi pelajaran penting bagi kehidupan umat manusia ke depan. Pertanyaannya, dengan ditutupnya banyak fasilitas umum, tersendatnya laju perekonomian, dan begitu mudahnya manusia ambruk terhadap wabah ini, dan itu terjadi di hampir seluruh dunia, masihkah kita merasa digdaya dengan kemanusiaan kita? Tidakkah kita malu sebagai manusia, yang selama ini menghasilkan banyak karya cipta, penghancur alam dan manusia lainnya? Sudahkah kita kemudian bisa berendah diri atas kuasa diluar diri kita?
Perdebatan keagamaan selalu saja menyisakan pergumulan yang tak mudah diselesaikan. Antara benar dan salah, syariat dan non-syariat, lokal dan universal; tidak berhenti pada wilayah diskursus semata, tetapi merembes ke medan politik, kekuasaan, bahkan ke tingkat kebijakan hukum publik. Hasilnya terkadang mengikat dan begitu kaku. Ketika syariat dijadikan hukum formal di tengah masyarakat, kita kadang abai, apakah benar basis argumen yang menjadi titik tolak bersumber dari nilai Islam yang universal agar layak menjadi acuan hukum yang mengikat di semua tempat dengan masyarakat, budaya, sosial, dan geografi yang berbeda? Atau justru hukum syariat yang sudah dianggap islami tersebut semata ekspresi budaya yang sarat akan ornamen-ornamen lokal dari suatu komunitas Islam tertentu, sehingga ketika diterapkan di wilayah dan masyarakat yang berbeda justru menimbulkan kebingungan. Hal lain yang menjadi paradoks: seringkali dalam proses penerapan nilai-nilai Islam yang belum jelas apakah bersifat lokal atau universal tersebut, justru mengeliminir budaya setempat, memarginalkan, dan tak segan untuk menyingkirkan budaya (lokalitas) yang sudah ada di suatu masyarakat. Pertanyaanya, ketika fenomena ini muncul lagi belakangan ini, ketika banyak penganut kepercayaan lokal, ritual-ritual agama yang bersumber dari tradisi masyarakat Indonesia, distigmatisasi menjadi bidah dan tidak “Islami”, apakah arif kehadiran Islam di bumi Nusantara. Tidakkah rumusan ajaran dan pemikiran Islam juga berkelit-kelindan dengan nilai-nilai lokal yang ada di masyarakat Arab. Kedua aras di atas penting kiranya genarasi Islam dewasa ini ikut melihat fenomena tersebut secara dalam dan jernih. Bagaimana keterkaitan antara lokalitas dan universalitas dalam doktrin Islam sehingga muncul parameter yang jelas. Setelahnya kita akan bertanya tentang aplikasi yang paling memungkinkan sehingga kedua nilai tersebut, baik lokal maupun universal, bisa saling menguatkan, bukan justru saling mengasingkan. Seperti yang disampaikan Kiai Jadul dalam Ngaji Dewa Ruci tanggal 7/1/2020, persoalan terkait nilai-nilai universal dan lokal dalam Islam ini memang menjadi isu hangat di awal tahun 2000-an. Menurut penuturan beliau yang saat itu berkesempatan untuk riset terkait hal tersebut, fenomena Peraturan Daerah (Perda) Syariat yang lagi marak di berbagai daerah di Indonesia menyebabkan banyak kebuntuan di tengah masyarakat. Di satu sisi pemerintah daerah ingin menjalankan syariat Islam secara konsekuen di tengah masyarakat sehingga tatanan bisa berjalan lebih baik, tapi kenyataannya perda-perda yang menggunakan justifikasi syariat tersebut justru membuat gejolak di tengah masyarakat. Karena selalu bertentangan dengan sistem nilai masyarakat yang sudah ada. Terlepas dari konflik yang ditimbulkan akibat adanya perda-perda tersebut, yang perlu diperhatikan adalah epistimologi pemikiran antara yang lokal-universal, apa yang dianggap nilai lokal dan universal dalam Islam dan bagaimana memosisikan keduanya dalam kehidupan keberagamaan dan kebangsaan kita saat ini. Antara “Pengalaman” dan “Wacana” Kenabian Untuk membongkar kebekuaan di antara nilai-nilai universal-lokal ini, Kiai Jadul mempunyai argumen bahwa, kita semestinya membedakan terlebih dahulu antara “pengalaman kenabian” yang selalu didasarkan kepada sosok Nabi Muhamamad SAW yang dieksperimentasikan hidup bersama sahabatnya tinggal di Makkah dan Madinah, dengan “wacana kenabian” yang dibangun dan diteruskan sahabat selepas Nabi wafat. Perbedaannya dalam dua hal tersebut, pertama ketika sosok Nabi masih hidup beliau hadir dalam kehidupan masyarakat yang selalu menggetarkan sehingga memungkinkan masyarakat bergerak ke segala arah, karena ada panduan dan rujukan yang jelas dan pasti, yakni sang Nabi. Sementara kedua, setelah wafatnya Nabi, situasi kenabian “dihadirkan” dalam bentuk wacana atau sebuah eksperimen social engginering bersiat linier, mendirikan, mempertahankan dan mengembangkan Negara (Islam Berkebudayaan: 72). Hal lain yang perlu diperhatikan dalam konteks tersebut adalah reproduksi wacana kenabian tidak mungkin bisa dilepaskan dari sosok Nabi yang menjadi poros utama, dan tidak bisa dipungkiri juga sangat terikat dengan situasi historis yang melekat dikehidupan beliau. Sebagai manusia Nabi mempunyai kecendrungan, biologis-psikologis-historis layaknya manusia pada umumnya, yang hidup di Jazirah Arab abad 6-7 M. Namun faktanya kondisi ini dalam arus besar pemikiran Islam selalu saja tidak mendapatkan ruang yang tidak proposional. Sosok nabi banyak digambarkan secara sepotong-potong, tidak lengkap, sehingga tampak selalu ideal, dan ada kecenderungan mistifikasi berlebih-lebihan karena selalu dikaitkan dengan Nabi sang penerima wahyu. Legitimasi wahyu inilah yang kemudian perlu diurai terlebih dahulu. Dalam hal ini Kiai Jadul berpijak kepada studi yang dilakukan banyak pemikir Islam kotemporer seperti Nasr Hamid Abu Zayd dan Muhamad Arkoun, yang berargumen bahwa fenomena kehadiran wahyu memang salalu saja menyulut perdebatan mengenai kebenaran di kalangan masyarkat Arab terkait asal-usul kebenaran. Tapi tidak bisa disangkal bahwa apa yang disampaikan Nabi dengan wahyu tersebut selalu saja menarik perhatian banyak kalangan. Argumen ini kemudian menghantarkan ke teori Abu Zayd tentang wahyu, di dalam studi Alquran bahwa, dalam proses reproduksi wacana kenabian variabel perubahan di tengah masyarakat sangatlah penting dijadikan rujukan utama untuk memahami Nabi secara pararel, antara sisi kenabian dan kemanusian yang keduanya beliau emban. Sehingga ketika posisi ini kita dudukkan ada kemungkinan gerakan yang terbuka dari antropologi wahyu yang hidup dan berkembang di tempat dan zaman yang berbeda ketika Nabi masih hidup dan ketika beliau sudah meninggal.
Hal ini menunjukkan gerak antara lokal dan universal Islam tersebut punya nuansa yang dinamis, lentur dan selalu meyesuaikan dengan apa yang sudah ada, mengisi, memperkuat, menambahi. Bukan justru melemahkan yang lokal dan mengukuhkan yang dianggap universal dengan tanpa mempertimbangkan nialai-nilai yang bersifat lokal.Kembali ke diskusi universalitas dan lokalitas dalam Islam, dalam konteks Islam Indonesia upaya untuk selalu labelisasi dengan simbol-simbol agama yang dimainkan terus-menerus tentunya akan berakibat terhadap kristalisasi pola keagamaan yang sewaktu-waktu bisa pecah. Apalagi melihat corak keagamaan yang tumbuh di Nusantara, dengan beragam ekspresi yang ditampilkan seturut dengan nilai-nilai lokal yang tumbuh di masyarakat membuat kebanyakan adat-adat, ekpresi-ekspresi keislaman di Nusantara teramat sukar untuk langsung kita carikan referensi, baik dari teks Alquran yang memang bersifat global-universal, maupun dari hadis-hadis Nabi yang sangat terikat dengan konteks kultural-sosial. Namun yang peting dari perdebatan antara lokal-universal dalam Islam ini adalah maqosid dari Islam itu sendiri, yang meliputi penjagaannya atas agama, jiwa, pikiran, harta, keturunan. Dan kalaulah kita belajar dari para ulamak Nusantara dalam memposisikan antara yang lokal-universal dalam Islam ini, kita akan melihat keduanya bisa berjalan beriringan dan saling menopang. Seperti kalau di Jawa ada falsafah "Jowo di gowo, Arab digarab", di Sumatra Barat "Adat bersandi syarak, syarak bersandi kitabullah". Falsafah seperti ini masih banyak kita temui, dan yang dapat kita petik adalah kearifan ulama-ulama Nusantara untuk menyandingkan antara yang lokal-universal dalam Islam, bukan justru mempertentangkan. (MA)
Menjaga Alquran tidak hanya dengan menghapal dan mengkajinya, tapi ada cara lain yang tidak kalah penting, namun sekarang tidak banyak diperhatikan. Yakni, muqoddaman. Prosesi pembacaan Alquran secara bersama-sama dalam satu waktu dari mulai juz 1 sampai juz 30. Biasanya amalan seperti ini dilakukan oleh kelompok atau komunitas masyarakat sebagai kegiatan rutinan, selain untuk mengisi acara-acara syukuran dan slametan ketika peringatan kematian, kelahiran anak, dan hajatan-hajatan lain khas masyarakat Islam. Muqoddaman yang mempunyai arti “awal” atau “yang paling awal”, berasal dari suku kata qodama-yuqoddimu-muqoddaman, menurut saya mempunyai makna esotoris yang cukup menarik untuk kita gali dan perdalam lebih jauh. Terutama berkaitan dengan sebuah aktivitas keagamaan, sosial serta kebudayaan yang umum di wilayah Nusantara. Meskipun sampai saat ini belum pernah ditemukan jejak historisnya sejak kapan muqoddaman ini ada, seperti banyak aktivitas sosial-keagamaan yang lumrah di masyarakat pedesaan, yang pasti faktanya amalan ataupun kegiatan sosial keagamaan tersebut masih dapat kita temukan di banyak pelosok Nusantara, tentunya dengan wajah dan ekspresi yang berwarna. Tapi dalam konteks tulisan ini, saya ingin melihat amalan tersebut tidak semata sebagai ritual, atau kegiatan masyarakat yang rutin dilakukan. Namun, memposisikan muqoddaman tersebut sebagai peristiwa sosial-agama dan budaya yang tumbuh beriringan dengan dinamika zaman yang perlu dimaknai secara produktif dan kontekstual. Amalan Bermula dari kegelisahan pribadi saya, terkait Alquran dan eksistensi keberadaanya di tengah masyarakat terutama bagi masyarakat pedesaan, muncul pertanyaan yang selalu berkelit di kepala. Bagaimana caranya ulama-ulama Nusantara zaman dulu menghembuskan jiwa Alquran di tengah masyarkat, dan dengan apa Alquran dapat terus dijaga keberadaanya. Mengingat secara sosiologis, meskipun Islam sebagai agama mayoritas masyarakat Indonesia, tidak kemudian ajaran khas Arab normatif secara mentah akrab dengan dunia batin dan akal manusia Nusantara. Banyak dari ajaran, nilai, dan bahasa yang identik dengan bahasa Arab, bertransformasi dalam bahasa lokal atau menjadi pondasi ekpresi-ekspresi kebudayaan Nusantara yang muncul. Seperti acara kenduren, slametan, sekaten dan banyak produk budaya yang lain yang masih dapat kita lihat hari ini (Islam Berkebudayaan, 2019) Berangkat atas dasar tersebut, saya kira cara untuk menumbuh-kembangkan Alquran di masyarakat Nusantara tidak hanya bisa dibebankan kepada para hafiz-hafizah yang sedang berproses menghapal di banyak pesantren di Indonesia saat ini, para akademisi yang fokus di wilayah pengkajiaan Alquran, atau di mimbar-mimbar pengajiaan yang marak saat ini. Namun, melihat efek yang ditimbulkan, acara seperti muqoddaman ini justru menurut saya memuat nilai yang sangat produktif dalam menjaga keberadan Alquran. Karena di dalam muqoddaman, antara pengamalan dan ajaran Alquran dapat berjalan secara beriringan. Bertolak dari akar makna muqoddaman yang sudah dijelaskan di atas, menurut saya mempunyai maksud yang cukup unik. Karena ketika kita melihat praktik yang dilakukan di dalam muqoddaman tersebut yang dilakukan justru khataman Alquran, yang sering dimaknai masyarakat umum, sebagai penutup, selesai dan berakhirnya pembacaan Alquran dari mulai awal surat sampai terakhir. Dan ketika muqoddaman tersebut dilakukan, orang-orang berkumpul dengan jumlah yang cukup banyak, kemudiaan di bagi perorang satu juz, kemudiaan dibaca secara bersama dan di waktu itu juga diakhiri dengan doa khataman Alquran.
Hal ini tentunya berbanding terbalik dengan maksud “awal” sebagai makna dari kata muqoddaman. Sehingga muncul pertanyaan, apa makna “awal” dalam konteks tersebut. Dan akhirnya ditemukanlah satu ulasan hasil diskusi dengan berbagai pihak yang cukup argumentatif untuk mendasari praktik khataman Alquran kenapa dinamai muqoddaman.Makna “awal” di sini dimaksudkan sebagai doa dan harapan khataman sebagai tanda berakhirnya membaca, ngaji atau belajar Alquran secara tekstual. Dan pada tahap selanjutnya adalah “awal” atau muqoddam untuk mengamalkan nilai dan perintah-perintah dalam Alquran. Ajaran Selain sebagai amalan dan doa yang disematkan dalam peristiwa sosial tersebut, bagi saya yang menarik adalah upaya proses internalisasi dan pribumisasi Alquran di tengah masyarakat. Praktik muqoddaman selain berfungsi sebagai ruang untuk saling belajar dan menghidup-hidupkan Alquran di tengah masyarakat, juga dapat menjadi jaring pengaman masyarakat dari nilai-nilai luar yang tidak produktif. Hal ini sangat penting, melihat fenomena yang muncul akhir-akhir ini terkait pembudayaan Alquran di tengah masyarakat. Apalagi, faktanya sekarang pengkajiaanAlquran yang hanya bertumpu kepada TPA (Taman Pendidikan Alquran), cenderung bersifat formal, justru menghilangkan pendidikan Alquran yang bersifat kultural. Pengajian di surau-surau, musala, di rumah kiai kampung, yang dulu sangat melekat di dunia anak-anak pedesaan. Dan sekarang justru diabaikan, bahkan ditinggalkan. Anak-anak lebih memlih menghabiskan waktu malamnya untuk belajar les prifat untuk pelajaran-pelajaran formalnya, daripada ngaji Alquran kepada guru ngaji atau seorang kiai. Melihat fenomena ini, maka penting kiranya muqoddaman sebagai bentuk dari ruang sosial yang sudah ada, warisan para pendahulu untuk selalu dirawat dan dikembangkan. Adanya muqoddaman sebagai pengejawantahan nilai agama di dalam praktik sosial, sangat terbuka untuk bisa dimasuki semua kalangan, dengan demikian Alquran yang bersifat salih likulli zaman wa makan akan selalu dapat diwujudkan. Dan inilah cara orang-orang Nusantara menjaga Alquran. (MA) Tulisan ini pernah dimuat di Alif.id
Foto: Mathori Brilyan Wacana keagamaan akhir-akhir ini terasa kering dan mandek dengan hal-hal yang serba hitam-putih. Perbincangan seputar agama hanya berkutat kepada persoalan boleh tidaknya cadar, sertifikasi halal produk berlabel syariat, serta politik keagamaan untuk saling berebut pengaruh. Corak agama demikian juga marak di kalangan anak muda milenial, meski pun tidak semua tentunya. Kecepatan dan kebiasaan instan seringkali menyebabkan pendangkalan terhadap diskursus agama. Agama hanya dikaitkan dengan urusan-urusan ubudiyyah berbaju syariat semata, yang ujung-ujungnya akan kembali ke benar-salah, halal dan haram. Bagi saya sendiri, fenomena keagamaan yang demikian memang sangat wajar sebagai konsekuensi logis atas situasi sosio-kultural kita, yang bisa dikatakan sedang mengalami kemandulan. Kenapa, di tengah situasi politik demokrasi yang mensyaratkan keterbukaan dan kebebasan, ditambah gerak kapitalisme liberal, maka relasi dalam masyarakat pun ikut berubah, tak terkecuali di dalam relasi sosial keagamaan kita. Banyak anak muda terjebak ke dua arus besar gejala sosial kebudayaan kita yang berkembang saat ini. Satu sisi fundamentalisme agama yang selalu mengarahkan ke formalisme nilai. Di sisi lain ke arah sekularisme liberal yang mengajak ke arah kebebasan membabibuta. Wacana agama yang hanya berkutat kepada dua arus besar tersebut, fundamentalisme dan sekularisme liberal, membawa pemikiran dan kegiatan-kegiatan keagamaan menuju ke arah ekstrimisme yang merusak sendi-sendi kemasyarakatan. Dalam arus tersebutlah buku Islam Berkebudayaan muncul dengan menawarkan sikap ber-Islam lewat prespektif kebudayaan, yang sebenarnya sudah tumbuh subur dalam sejarah panjang Nusantara. Dan saya kira hal ini juga penting diketahui anak milenial hari ini. Mengapa penting, dalam buku tersebut dijalaskan, sebagai bangsa yang mayoritas penduduknya memeluk agama Islam, bahkan terbesar di dunia, corak keberagamaan yang tumbuh dan berkembang di bumi Nusantara ini memang mempunyai ekspresi yang berbeda, dan cendrung unik dari banyak pemeluk agama Islam yang tumbuh dibelahan dunia yang lain. Perjalanan panjang bangsa kita selalu diwarnai peradaban-peradaban besar yang masih dapat kita lihat bentuknya sampai hari ini. Candi Borobudur, Prambanan, kompleks Kerajaan Majapahit di Trowulan, sampai yang masih eksis dan hidup adalah Kerajaan Islam, Surakarta dan Yogyakarta dan banyak lagi yang tersebar di bumi Nusantara ini. Semua itu mengindikasikan bahwa Indonesia terbentuk dari pergumulan dan saling-silang aspek kebudayaan. Tidak dipungkiri juga, penyebaran Islam di Nusantara tak mungkin berjalan masif tanpa dibarengi kebudayaan yang saling menopang dan mengisi. Kepekaan sosial serta spiritualitas para penyebar Islam awal (Wali Sanga) dan para ulama merancang bangunan dan sistem sosial masyarakat terkait erat dengan kearifan budaya yang tumbuh dan berkembang. Nilai-nilai Islam selalu disusupkan di jantung setiap ekpresi kebudayaan. Ekspresi kebudayaan, tata-nilai, adat, ritual, bahkan sampai ke tarian dan kesenian pun, merupakan bagian proses dari cipta, rasa, dan karsa manusia untuk olah budi (budaya) yang beriringan dengan nilai-nilai baik, dan anjuran untuk selaras dengan entitas yang lain, Alam dan Tuhan. Bahkan kalau kita lebih jauh merunut, dalam literatur naskah Jawa, Wedhatama, istilah “budi” menunjuk sisi terdalam dari manusia: Karsa, Cipta, Jiwa, dan Rasa. Olah budi (budaya) dengan demikian adalah proses olah rohani manusia untuk menempa secara bertahap unsur-unsur di dalam diri agar kemanusiaan kita lebih utuh. (Ketuhanan yang Berkebudayaan, Irfan Afifi, 2019) Dalam konteks tersebutlah M. Jadul Maula, dengan sangat yakin dalam salah satu artikel di dalam buku tersebut dengan judul, "Inikah Akhir Zaman Budaya Kita?" menulis, “Dan Jauh lebih penting lagi untuk disadari, bahwa ribuan kultur yang hidup di setiap jengkal pulau-pulau pembentuk Indonesia bukanlah semata-mata warna-warni dan tetek bengek yang eksotik. Melainkan juga wilayah belajar dan 'sekaligus' modal sosio-kultural dasar (kebangsaan) kita.” Sehingga infrastruktur kebudayaan yang ada sebenarnya tidak semata eksotisme yang patut kita banggakan, tanpa meliriknya untuk selalu dipelajari kembali dan dimaknai ulang. Kepentingan untuk selalu menjaga tradisi dengan terus menemukan diri dan identitas yang terserak di arus peradaban.
“Karena, di dalam apa yang kita sebut dengan kultur lokal itu seringkali tersimpan pengalaman, jejak-jejak kreativitas dan pencapaiaan-pencapaiaan tertentu dari para genius lokal dalam mengembangkan pandangan hidup, tata berpikir dan juga sistem sosial tertentu.”Kekayaan budaya yang dimiliki bangsa inilah sebenarnya sumber kearifan tata-sosial masyarakat diciptakan. Dan pada titik tertentu saat proses islamisasi berlangsung, nilai-nilai budaya ini kemudian diperkaya dengan khasanah nilai Islam kemudian diarahkan kepada Tuhan yang Mahatunggal. Sehingga bisa dikatakan kalau kita benar-benar menjaga budaya kita, mempelajari dari mulai bentuk hingga makna yang paling dalam dan menjalankan nilai-nilai tersebut di setiap jengkal perjalanan kehidupan, maka di situlah kita menjadi insan (manusia) yang iman (percaya tentang adanya Tuhan), Islam (tunduk dan patuh terhadap perintah-perintah Tuhan) yang arahnya ahsan (menebarkan kebaikan) ke setiap makhluk Tuhan. Islam berkebudayaan adalah Islam yang rahmatan lil 'alamin. (MA)
Sebagai orang yang tinggal di kampung, kehidupan di masyarakat merupakan pelajaran yang sangat berarti bagi saya. Terutama, ketika saya sudah lama hidup di perantauan, kesadaran begitu amat arif dan bijaksananya kehidupan kampung menjadi beban rindu yang tak tertanggungkan. Apa lagi berkaitan dengan agama sebagai seperangkat nilai dan ajaran yang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan masyarakat desa. Meskipun secara sepintas agama tidak selalu hadir langsung dalam bentuk simbol formalnya, namun ketika dihayati, nilai-nilai keagamaan — terutama Islam — sudah menjadi nafas bangunan sosial kebudayaan masyarakat. Hal ini tercermin dari tradisi-tradisi masyarakat di pedesaan Jawa khususnya. Dalam setiap pranata sosial dan ekspresi-ekspresi kebudayaan selalu mengarahkan dan mengajak manusia untuk mencapai kebaikan, keutuhan, dan kesempurnaan baik secara individu maupun secara sosial. Seperti kata sangkan paraning dumadi. Salah satu nilai di desa, terutama pihak kasepuhan yang acap kali digemakan dan dinasihatkan bagi anak cucunya. Secara pribadi pertama kali saya mencecap nilai kata-kata ini ketika masih usia kanak-kanak. Anggapan saya, ketika dinasihati oleh simbah-simbah di desa, nilai ini serupa ajaran Jawa asli yang tidak ada sangkut pautnya dengan agama, apalagi Islam. Sehingga, kesan acuh ketika pertama kali saya mendengarnya. Namun, seiring berjalannya waktu dan belajar yang terus dilakukan, keinginan memahami Islam sebagai pedoman hidup di satu sisi, dan bagaimana seperangkat nilai tradisi yang telah membentuk keutuhan diri secara kultural di sisi lain tak mungkin dilepaskan begitu saja. Ini membuat saya bergulat terus menerus untuk selalu memosisikan diri. Apalagi melihat fenomena agama Islam yang berkembang belakangan dengan euforia formalisme yang semakin menguat. Yang selalu mempertontonkan "berebut benar" dari pada mencari kesepakatan, mementingkan citra, simbol, dari pada makna dan kedalaman, lebih suka bertengkar daripada persatuan dan kemaslahatan. Pertanyaan prihatin saya, apakah demikian Islam, agama Allah yang agung, yang disampaikan Nabi Muhammad yang amat luhur, diajarkan? Bukankah Islam melalui Al-Qur’an mengajarkan untuk "bersatu dan selalu berpegang kepada tali (agama) Allah, dan jangan bercerai berai" (QS. Ali Imron:103), dan dianjurkan untuk selalu "berlomba-lomba dalam kebaikan" (Q.S. Al-Baqaroh: 148)? Secara tersirat maupun tersurat jelas sebenarnya, ketika kita merujuk ke Al-Qur’an, arah dari kehadiran agama yakni kebaikan dan kedamaian dunia atau rahmatan lil alamin (rahmat bagi sekalian alam). Maka, melihat kesenjangan antara apa yang seharusnya dengan kenyataan yang ada, bagaimana fenomena Islam sebagai agama yang tumbuh dan berkembang di tengah masyarakat, yang tebersit adalah frasa sangkan paraning dumadi yang sudah disebutkan di atas. Secara bahasa, maksudnya adalah “dari mana hidup berasal dan kemana hidup akan mengarah”. Kata-kata ini seturut mengajak untuk berefleksi memaknai hidup dan orientasi keagamaan yang lebih utuh. Dalam Al-Qur’an, pesan yang sepadan juga bisa di temukan di (Al-Baqaroh: 156) yakni, "yaitu orang-orang yang apabila di timpa musibah berkata 'Sesungguhnya saya milik Allah dan kepadayalah kami kembali'". Di desa-desa dan di banyak tempat yang lain, penggalan ayat ini menjadi penanda setiap ada musibah kematian. Mengingatkan manusia sebagai makhluk, dari mana berasal dan kemana akan berakhir, yakni Allah SWT. Pemahaman terhadap asal mula dan ke mana tujuan hidup yang sebenarnya sudah diwasiatkan oleh para orang tua kita di banyak kesempatan. Sangkan paraning dumadi ini justru menguatkan bangunan keagamaan Islam yang sudah ada. Dan, ini menjadi bukti bahwa antara nilai-nilai yang hidup di tengah masyarakat dan ajaran agama, sejak dulu sampai sekarang, tidak saling bertentangan. Justru saling menopang ketika kita mampu menyelaminya lebih dalam. Apalagi ketika dihadapkan fenomena mengerasnya sentimen keagamaan antar kelompok maupun terhadap agama yang lain. Pesan surat Al-Baqaroh:156 dan sangkan paraning dumadi yang telah hidup di tengah masyarakat bisa selalu menjadi pengaman dan pengingat untuk selalu mengembalikan segala persoalan kepada sumber dan asal mula kehidupan. Tuhanlah yang berhak menghukumi kebaikan dan keburukan manusia, sedangkan tugas kita adalah menjalankan perintahnya semaksimal mungkin, menjaga kedamaian dan menjadikan Islam bagi rahmat sekalian alam. *** Editor: EYS
Foto: galerikitabkuning.com Kerja intelektual kadang kala membuat manusia lupa akan hakikat dirinya yang lemah. Manusia diciptakan Tuhan berserta kelebihan dan kekurangannya. Ia dikaruniai potensi-potensi kemanusiaan, hati untuk merasa, akal untuk berpikir, jasad untuk bergerak. Dengan harapan potensi kemanusiaan tersebut menjadikan ia, manusia, mencapai derajat kemakhlukan yg unggul dibandingkan dengan makhluk yang lain. Namun bukan hal mudah bagi manusia untuk dapat mencapai derajat tertinggi kemakhlukan tersebut. Kecuali manusia dengan potensi-potensi kebaikan tersebut murah hati, tidak sombong, dan selalu berjalan ke arah kemaslahatan bersama sehingga derajat makhluk setaraf malaikat dapat ia raih. Sebaliknya, ketika manusia lebih terdorong meliarkan potensi keburukannya, iri hati, kikir, sombong, selalu mengajak ke arah kerusakan, tak bisa dipungkiri ia akan lebih rendah dari pada hewan yang tak mempunyai akal. Dengan segala potensi baik dan buruk dan terbolak-baliknya hati manusia tersebutlah maka Allah SWT menurunkan Al-Qur'an melalui Nabi Muhammad SAW untuk dijadikan pedoman sekaligus petunjuk bagi manusia untuk menapaki jalan lurus yg dikehendaki Allah SWT. Dan dengan itu pula manusia dapat mengaktifkan potensi-potensi kemanusiaannya. Demikianlah pembuka di kitab Syajaratul Ma'arif (Pohon Pengetahuan) karya SyaikhuI Islam Izzuddin Ibn Abdussalam, seorang ulama' penyambung antara zaman ulama salaf dan ulama khalaf ditulis. Melihat sejarah Islam di masa Syekh Izzudin (abad VI - VII Hijriah) di mana kitab ini ditulis, dunia Islam sedang mengalami asyrud tadwin, masa kehancuran peradaban Islam setelah penyerangan pasukan Mongol ke kota Bagdad. Masa-masa ini adalah masa berat bagi umat Islam karena pada saat inilah khazanah klasik umat Islam terancam hilang karena serangan pasukan Mongol yang membumihanguskan seisi kota Bagdad. Umat Islam merasa lemah dan mengalami krisis kepercayaan setelah penyerangan tersebut. Dalam konteks tersebut, Syekh Izzudin menulis demi mengajak umat bangkit dari keterpurukan. Dalam mukadimah kitab yang pertama, beliau menjelaskan fungsi diturunkannya Al-Qur'an sebagai media pendidikan bagi manusia. Di dalamnya, Al-Qur'an memuat bimbingan bagi manusia untuk menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangan-larangan-Nya. Lanjut Syekh Izzudin, secara umum Al-Qur'an berusaha mengajak manusia untuk beribadah dengan kualitas yg tinggi. Dhohiron wa bathinan, yakni ibadah tidak sekadar aspek formalnya semata, namun lebih dalam lagi hingga mampu mencapai aspek-aspek hati - spiritual. Semisal, sikap merendahkan diri di hadapan Allah SWT. Karakter semacam ini selaras dengan makna Islam, yakni mengajak manusia untuk selalu memasrahkan diri secara total kepada Allah. Dengan sikap rendah diri, pasrah secara total di hadapan nama-nama Allah yang agung, manusia dengan segala potensi kemanusiaannya ketika memiliki kekuasaan tak akan sombong, dalam posisi terpuruk pun tak ambyar yang terlalu dalam. Karena iua tahu bahwa ada kuasa Allah di balik semua hal. Selain itu di mukadimah juga dijelaskan bahwa Al-Qur'an mengajak manusia untuk mengikuti sifat rububiyah Allah. Yang paling utama dari sifat Allah tersebut adalah bersifat adil dan selalu mewujudkan kebaikan. Di sini sekali lagi Al-Qur'an tidak hanya menghendaki manusia untuk semata berhenti pada teks maupun makna semata, namun lebih jauh dari itu adanya Al-Qur'an berupaya merangsang potensi-potensi kebaikan manusia untuk dicecap secara performatif. Artinya, Al-Qur'an dibaca, dirasakan, dipahami untuk kemudian dilakukan di kehidupan sehari-hari. Dengan demikian, Al-Qur'an sebagai petunjuk yang diberikan Allah kepada manusia bisa berfungsi secara maksimal dan tidak sekadar menjadi wacana dan angan-angan sosial. Namun, Al-Qur'an juga menjadi praktik kebudayaan yang hidup dan tumbuh di tengah kehidupan masyarakat. Antara Ilmu dan Amal Sejenak saya teringat filosofi Jawa ilmu kuwi kelakune kelawan kanti laku yang berarti pengetahuan bisa dikatakan menjadi ilmu ketika pengetahuan tersebut dipraktekkan atau diamalkan. Karena ilmu tidak semata berhenti menjadi wacana yang berjarak dengan realitas. Justru ilmu menjadi jawaban atas realitas yang selalu bergerak. Menurut saya, penggalan filsafat Jawa di atas mempunyai kesamaan maksud dengan fasal terakhir mukadimah kitab Syajaratul Ma’arif yang dijelaskan oleh Kyai Jadul Maula. Beliau menjelaskan antara ilmu dan amal merupakan suatu hal yang tak terpisahkan, seperti dzat dan sifat. Diibaratkan dalam kitab tersebut bahwa pengetahuan antara dzat dan sifat manusia layaknya seperti pohon. Dzat merupakan akar, sementara batang beserta cabang dan daun-daun merupakan sifatnya, sedangkan buah dari pohon tersebut adalah perbuatan. Bagi manusia, pengetahuan dzat adalah pengetahuan atas hati mereka sebagai akar tumbuhnya segala pikiran, ucapan, dan perbuatan. Karena hati adalah akar dari segala ekspresi manusia, maka hati harus senantiasa kokoh, disiram dengan pengetahuan agar memunculkan batang dan cabang perbuatan yang baik-baik. Dengan demikian akan muncul buah kemaslahatan dan kedamaian. Pengetahuan atas pohon kebijaksanaan yang bersumber dari kondisi hati ini adalah tolok ukur bagaimana antara ilmu dan amal bisa berjalan beriringan sehingga membuahkan kemaslahatan. Karena, tak ada amal yang baik tanpa ilmu, dan ilmu tak akan berguna tanpa adanya amal. Bisa dikatakan, apa yang ingin disampaikan Syekh Izzudin dalam pembuka kitab Syajaratul Ma’arif adalah pengetahuan keagamaan yang tidak hanya berhenti di wilayah syariatnya saja, namun mengajak kita semua untuk mencari makna yang lebih dalam, yakni hakikat atau maqosid dari sebuah syariat atau aturan. Allahuyarham. *** Editor: EYS
Pembacaan riwayat hidup dan maulid (kelahiran) Nabi Muhammad bagi masyarakat muslim Nusantara mempunyai peran yang sangat penting. Tidak hanya menjadi sebuah ritual personal, pembacaan maulid sejak pertama kali hidup dan tumbuh di Nusantara menjadi ritual keagamaan yang bersifat sosial. Berjanjenan, Diba’aan, demikian biasanya masyarakat menyebut proses pembacaan kitab tersebut. Biasanya pembacaan kitab berzanji ini dilaksanakan setiap kamis malam jumat di langgar-langgar dan masjid desa. Di langgar, sehabis menjalankan shalat magrib berjamaah warga kampung berkumpul kemudian membacakan kitab tersebut. Beberapa syair sholawat, puji-pujian dan sejarah Nabi dibacakan penuh khikmad dan semangat. Ditambah pengeras suara, pembacaan kitab ini serings saling menyahut antara langgar dan masjid desa dan mencipta orkestrasi doa-doa. Sampai hari ini pembacaan maulid masih bisa kita temui di banyak tempat seantero pelosok Nusantara, sehingga bisa dikatakan maulidan dan pembacaan kitab al-Berzanji sudah menjadi bagian budaya Indonesia yang tak terpisahkan dan menjadi pemersatu bangsa lewat prosesi nyanyian yang saling berkelindan. Meskipun demikian, mungkin belum banyak dari kita yang mengetahui sejarah bagaimana kitab al-Barzanji ini sampai di bumi Nusantara. Data yang ada saat ini masih terbatas biografi muallif (penulis) yang tertera di dalam kitab yang menunjukkan keberadaan tempat dan peran di mana beliau berasal dan belajar dan akhirnya menulisakan kitab tersebut. Lebih jauh dari itu, proses kehadiran kitab al-Barzanji sampai di tangan kita saat ini dan pengaruh-pengaruhnya terhadap muslim Indonesia masih sedikit yang memaparkan. Pengaruh Orang Kurdi Keberadaan Indonesia sebagai negeri kepulauaan yang kaya sejak ribuan tahun yang lalu selalu menarik orang-orang dari bangsa lain untuk berkunjung. Banyak bangsa dari belahan dunia bagian Barat dan Timur berbondong-bondong mengkunjungi kawasan ini. Maka wajar sampai saat ini masih bisa ditemui jejak-jejak pengaruh budaya bangsa lain yang mewarnai budaya kita. Dalam konteks keagamaanpun demikian, terutama Islam, beragam sumber sejarah menunjukkan bahwa kehadiran Islam di Nusantara tidak langsung dari sumber asali agama Islam ini muncul yakni bangsa arab (Mekkah-Madinah), namun melalui jalur pinggiran yakni Persia, Cina, India, Hadramaut dan Kurdi. Dan untuk daerah Kurdi, meskipun tak banyak orang menyebutkan pengaruhnya terhadap proses Islam di Indonesia, namun di luar dugaan—menurut Martin Van Burnisesn selaku salah satu peneliti ulung Islam Indonesia—menyebutkan daerah Kurdi berperan cukup signifikan, apalagi berkaitan dengan kitab al-Barzanji. Siapa sangka kitab al-Barrzanji sebagai kitab paling populer setelah al-Qur’an bagi muslim Indonesia ini, ternyata adalah nama dari keluarga ulama dan syekh-syekh tarekat sufi yang paling berpengaruh di daerah Kurdistan bagian selatan. Sehingga adanya kitab al-Barzanji dan beberapa bukti yang lain, menurut Martin van Bruinessen, sejak pertengahan abad ke -17 sudah memainkan peran dalam proses Islamisasi di Indonesia. Lebih khusus, menurut Martin, wilayah Kurdistan bagian selatan juga melahirkan banyak ulama yang sangat berpengaruh terhadap perkembangan Islam Indonesia. Terutama sesepuh/syekh ulama Madinah berasal dari Kurdi, yakni Ibrahim ibn Hasan al-Kurani. Dari sosok guru Ibrahim inilah kemudian sosok ulama sepeti Abdul Rauf Singkil dan Syekh Yusuf al-Makassri dan beberapa ulama Nusantra lain menjadi muridnya dan kemudian menyebarkan ajaran dan gagasan Ibrahim. Di sini Martin menyebut Ibrahim sebagai contoh perantara budaya (cultural broker) yang secara tidak langsung mempengaruhi corak intelektual dan keberislaman di Nusantara. Dengan jalan tersebut kemudian kitab berzanji sampi ke bumi Nusantara. Dan berangsur-angsur menjadi kitab yang amat berpengaruh, sampai saat ini. Melihat dinamika tersebut, bisa dikatakan kitab al-Barzanji adalah pionir perkembangan budaya Islam yang sekarang menjadi budaya Indonesia yang tak terpisahkan. Nyanyiannya telah menjalin untaian pulau-pulau di semanjung ini, setiap malam jumat dan maulid Nabi tercinta.
“Abda’uibismillahi warrahmani, wabirrahimi daimil ihsani
Falhamdulillahi qodimil al akhiri baqii bila takhawwuli”
Ketika saya duduk di salah satu serambi masjid, nadhom-nadhom di atas sayup-sayup terdengar di pojok-pojok pesantren. Anak-anak kecil dengan penuh gembira melantunkan, kadang dengan suara keras dan kadang pelan, tanpa lelah mengulang bait-bait dari kitab Aqidatul Awam tersebut. Persis seperti apa yang saya lakukan ketika seumuran dengan mereka.
Bagi kalangan pesantren terutama di pedesaan, kitab Aqidatul Awam amat popular dan familiar. Entah kapan kitab ini pertama kali masuk ke Nusantara, yang pasti kitab tipis berisi 57 nadhom/bait yang menjelaskan akidah dasar Islam ini sampai saat ini masih diajarkan di banyak pesantren, masjid-masjid dan mushalla-musahalla di Indonesia.
Kitab karangan Al-Alim Ahmad Al-Marzuqi al-Maliki al-Makki, seorang mufti Madzhab Maliki di Mekkah ini mempunyai karakter yang khas. Bentuknya berua nadhom atau bait berlarik dua baris yang ditulis dengan rima yang sama di setiap ujung syairnyasehingga mengasyikkan untuk dilagukan. Bagi kalangan yang baru belajar, bentuk tersebut juga sangat memudahkan untuk diingat dan dihafalkan.
Hal lain yang menarik adalah secara umum kitab ini berkaitan dengan sistem kepercayaan dalam ajaran Islam. Hal-hal yang wajib diketahui dan diyakini oleh setiap umat, baik berkaitan langsung dengan Allah maupun dengan utusan-utusannya (para rasul dan nabi).
Seperti 20 sifat Allah yang wajib kita ketahui, Maujud (ada), Qodim (telah ada sebelum adanya sesuatu), Baqqi (kekal abadi tanpa akhir) Mukhalafatul Lil Khalak (tidak ada sepadan seperti mahluk secara mutlak), Qaim (berdiri sesendiri tidak memerlukan sesiapa) Yang Maha Kaya, Wahhidun (yang Maha Esa), Hayyun (Yang Maha Hidup Tidak akan mati), Qoddirun (Yang Maha Berkuasa), Muriddun (Yang Maha Berkehendak), ‘Alimun (Yang Maha mengetahui segala sesuatu), Samii’ (Yang Maha Mendengar), Bashiir (Yang Maha Melihat), Muttakallim (Maha Berbicara). Dan selanjutnya Qudrah (berkuasa), Iradah (berkehendak), Sama’(mendengar), Bashor (melihat), Hayyat (hidup), Al-Ilmu (berpengetahuan), dan yang terakhir Kallam (bercakap) secara terus menerus.
Dalam kitab Aqidatul Awwam, sifat-sifat Allah memiliki sifat wajib yang harus ada bagi Allah SWT, pula sifat mustahil dan jaiz. Di samping bagi Allah, kitab ini juga menjelaskan sifat-sifat Rasul. Artinya bagi kita yang mengakui dan percaya terhadap Allah sebagai pencipta alam dan makhluk sudah seharusnya mengetahui dan mempercayai sifat-sifat tersebut sebagai akidah dan fondasi utama kita dalam beragama.
Dengan mengetahui dan percaya pada Allah dan utusan-utusannya, kemudian kita akan sepenuhnya berserah kepada Allah, dalam makna Islam yang sebenarnya (yakni patuh, berserah diri) bisa terwujud.
Belajar dengan Gembira
Bait-bait pertama dalam kitab Aqidatul Awam ini menjelaskan hal yang sangat penting dalam Islam. Tanpa mengurangi esensi makna apa yang ingin disampaikan, dunia pesantren punya caranya sendiri untuk mengajarkan ini kepada para santri sehingga menyenangkan untuk dilantunkan, mudah dipelajari dan lekat diingat.
Nadhom-nadhom kitab ini memiliki langgam yang sangat enak untuk disenandungkan bersama-sama. Tak jarang beberapa alat musik sekadarnya ikut disertakan untuk mengiringi, dan dengan penuh gembira pesan-pesan yang ingin disampikanpun dalam kitab ini merasuk dalam sanubari, menjadi keyakinan yang kuat dalam diri setiap orang.
Foto: Lukisan karya Syaiful Adnan tahun 1977, tersimpan di Galeri Nasional. Al-Qur’an sebagai pedoman umat Islam menuntut untuk selalu dipahami kemudian dijalankan sebagai petunjuk di kehidupan sehari-hari. Dengan demikian, bagi umat Islam, Al-Qur’an menjadi rujukan utama yang tidak boleh ditinggalkan untuk menyikapi segala persoalan kehidupan di dunia. Namun, jarak yang begitu panjang antara masa kenabian Muhammad SAW, saat sebagian besar ayat-ayat Al-Qur’an pertama kali diturunkan sampai purna dan utuh, dan kita saat ini dengan segenap perubahan dan persoalan yang kompleks mempunyai konsekuensi/resiko tidak tersampaikannya latar belakang ayat Al-Qur’an selain hanya teks yang tersimpan di mushaf saat ini. Baik meliputi asbabun-nuzul-nya, latar belakang sosio-kultural maupun politik saat suatu ayat diturunkan, maupun melingkupi bahasa dan cara tutur, maupun keadaan psikologi pada saat Nabi menyampaikan wahyu Al-Qur’an ini. Hal ini menjadi sangat penting dalam konteks kajian Al-Qur’an. Karena tidak komprehensifnya pembacaan atas latar belakang munculnya suatu teks akan berimplikasi atas produk pembacaan Al-Qur’an itu sendiri. Tantangannya adalah bagaimana fungsi diturunkannya Al-Quran sebagai pedoman dan petunjuk bisa tetap dijalankan dengan sebaik-baiknya tanpa meninggalkan beberapa variabel munculnya suatu teks tersebut. Secara isi dan kandungan jelas tidak ada keraguan bahwa Al-Qur'an akan selalu bisa beradaptasi dan relevan menjawab tantangan zaman. Sebagaimana dijelaskan dalam Hadis Nabi sendiri bahwa Al-Qur’an senantiasa bersifat as-sholoh likulli zaman wal makan, yakni akan selalu cocok dan relevan di setiap ruang dan waktu yang berbeda. Tapi hal ini sekali lagi tergantung bagaimana cara membaca dan memahami Al-Qur’an itu sendiri yang kemudian menentukan hasil apakah Al-Qur’an senantiasa bisa bersifat produktif dengan jawaban-jawabannya, atau sebaliknya dengan hasil pembacaan-pembacaan tersebut justru akan membekukan makna dan maksud yang ingin disampaikan Al-Qur’an. Pembacaan untuk mengungkapkan arti dan makna yang terkandung dalam Al-Qur’an ini dalam tradisi kajian Al-Qur’an ada dua model yang selama ini umum digunakan, yakni tafsir dan ta'wil yang sampai saat ini sudah berkembang sedemikian rupa untuk menjawab tuntutan penggalian atas makna Al-Qur’an. Antara Tafsir dan Ta’wil Seperti yang dijelaskan salah satu tokoh tafsir era klasik Syihab al-Din al-Sayyid Muhammad al-Alusi al-Bagdadi dalam kitabnya Ruh Ma’ani, kata “tafsir” merupakan bentuk “taf’il” susunan huruf "fa’, sin, dan ra’" yang secara bahasa kata tersebut bermakna penjelasan dan penyingkapan. Ada pendapat lain yang juga menyatakan bahwa kata tersebut merupakan bentuk pembalikan dari susunan huruf “sin, fa’ dan fa’ ", yang mempunyai arti terbukanya sesuatu yang tidak terbuka, dengan alasan kata “tafsir” bermakna melepaskan agar berjalan dan berangkat. Ungkapan “Fassartu al-fassara’ ” artinya “arroaituhu liyanthaliqa” (saya melepaskan kuda agar berjalan). Dengan demikian, kata ini mempunyai arti "menyingkap." Dalam kitab itu pula dijelaskan pendapat para ulama tentang tafsir sebagai ilmu yang mengkaji tentang bagaimana menuturkan kata-kata Al-Qur’an, tentang makna-maknanya, aturan-aturan dari kata-kata tersebut ketika distrukturkan dan berdiri sendiri, serta hal-hal yang melingkupinya seperti pengetahuannya tentang nasakh, sebab turunnya, menjelaskan kisah yang samar dalam Al-Qur’an dan sebagianya. Lebih sederhana Prof. Quraish Shihab dalam bukunya Membumikan Al-Qur’an mengutip dari kitab Al-Muafakat menjelaskan bahwa tafsir adalah “penjelasan tentang arti dan maksud firman-firman Allah sesuai dengan kemampuan manusia (mufasir). Dan bahwa kepastian arti satu kosa kata maupun ayat tidak mungkin atau hampir tidak mungkin dicapai kalau pandangan hanya tertuju dengan kosa kata atau ayat tersebut secara berdiri sendiri." Sementara itu “ta'wil” sendiri berasl dari akar kata “awl ”, yaitu kembali. Ada yang mengatakan juga bahwa kata tersebut berasal dari “iyalah”, yaitu mengatur (siyasah), seolah-olah penakwil mengaturnya dan menempatkan makna ujaran pada tempatnya. Namun sebenarnya para ulama berbeda pendapat soal membedakan antara tafsir dan ta’wil. Masih di dalam kitab Ruh Ma’ani, Abu Ubaidah mengatakan keduanya sama. Al-Raghib juga berpendapat bahwa tafsir lebih umum, lebih baik kaitannya dengan kosa kata dalam kitab-kitab ketuhanan, keagamaan dan lain-lainnya. Secara lebih gamblang Al-Maturidi mengatakan tafsir adalah yang dimaksudkan Allah begini, sementara ta’wil mengunggulkan salah satu kemungkinan tanpa memastikannya. Ada pula yang menyatakan, tafsir berkaitan dengan riwayat, sementara ta’wil berkaitan dengan dirayah. Dari uraian-uraian di atas berkaitan dengan tafsir dan ta’wil semuanya adalah upaya untuk membuka makna dalam Al-Qur’an. Dan dalam tahap selanjutnya akan banyak pengembangan diskursus atas model-model pembacaan tersebut. Yang pasti, dalam memahami Al-Qur’an, kebenaran paling mutlak hanyalah milik Allah dan Nabi Muhammad yang langsung diajarkan Malaikat Jibril sebagai pembawa wahyu. Dan kita saat ini yang memang berjarak dengan realitas kenabian, yang patut kita lakukan adalah menggali makna Al-Qur’an dari model pembacaan para ulama sebagai pewaris nabi. *** Editor: EYS