Kala senja membinar di saat Magrib menjelang, aku duduk di beranda dengan obrolan-obrolan yang terlontar jenaka, hingga kerut rona siluet panorama Magrib terlibas oleh malam. Orang-orang dibuat cemas oleh virus baru bernama COVID-19. Kampus-kampus mendadak diliburkan, toko dan warung mulai menutup diri dan memilih pulang kampung halaman. Magrib serasa begitu mengambang, lirih dan terabaikan. Masjid-masjid hanya menyisakan suara azan terdengar, “Solluu fii Buyutikum” salat di rumah, dan tidak ada salat berjamaah di masjid.
Rona-rona siluet langit jingga kemerahan perlahan terbenam. Aku beranjak ke Pondok Kaliopak. Pondok tempat aku melipat-lipat waktu jauh panjang ke belakang, ziarah waktu pada leluhur, hingga hembusan napas begitu terasa mendesir iramanya. Sungguh, suatu hal yang tidak bisa aku dapatkan di kampus, di mana aturan-aturan dipadatkan, pengetahuan dibakukan, dan imajinasi dilumat oleh organisasi. Mahasiswa disibukkan dengan tugas, dosen sibuk dengan rapat, dan organisasi sibuk dengan pengkaderan-pengkaderan formatif serta even-even money oriented. Lalu aku bertanya, di manakah waktu luang dan pengetahuan tercipta, dikonstruksi, dikomposisikan kembali, hingga terdistribusi. Kini, tinggallah menyisakan manusia-manusia kering dan sepi.
Sesampainya di pondok, aku menuju dapur untuk menyiapkan makan kembulan Ngaji Dewaruci, tugas pokok darmaku di pondok memang memasak. Ia sudah seperti meditasiku dalam bentuk lain. Meditasi yang memang semestinya meditasi, ialah laku olah rasa dan kendali raga. Ajaran filasfat Timur mengajarkan banyak hal perihal ini, meditasi bisa dalam bentuk apapun, seperti ajaran Zen-Budhisme yang berkembang dalam dunia kepenulisan hingga hari ini.
Kali ini makan kembulan memakai piring masing-masing, akibat dari COVID-19 yang merebak, dan untuk kehati-hatian. Malam ini, menu makan adalah bihun, sayur hijau dan kuah sup. Ditambah perasan jeruk nipis, sambal dan kerupuk.
Aku menuju pendopo yang hening, malam menundukkan pundak dan kepala. Gelaran karpet dan tikar, tiang-tiang kayu yang dibalut kain kuning, dan foto raja-raja Mataram Islam, berjejeran di tiang beranda pendopo limasan. Bacaan wirid Ratib al-Haddad sudah dilantunkan. Bacaan-bacaan ini adalah kalam-kalam baik yang kita upload, kembali pada Allah, Tuhan semesta alam.
Kalam-kalam langit dilantunkan sebagai medium untuk melarungkan kekotoran diri dan pikiran di hadapan bumi dan Ilahi. Pondok membiasakan hal itu dilaksanakan sebelum Ngaji Dewaruci dimulai. Semua imaji-pikiran dikembalikan pada ketak-terhinggaan semesta langit, sehingga tidak berakhir pada batas bumi argumentatif ketika ngaji. Suasana lirih bergetaran di bibir, bilik-bilik surau dan tanah yang disirami lafal yang mengheningkan jiwa dan pikiran.
Tema ngaji kali ini adalah “Riwayat Indrapura (catatan perjalanan ke pantai barat Sumatera)”, dipantik oleh mas Raudal Tanjung Banua, ia seorang sastrawan-budayawan dan peneliti sosial. Di samping itu, ia sering melibatkan diri dalam dunia teater.
Mas Raudal melakukan perjalan untuk yang kesekian kalinya ke ujung selatan Sumatera Barat, terakhir pada oktober 2019 lalu. Ia mengemukakan bahwa Indrapura adalah nama indah yang jika kita telisik ada di mana-mana. Ada Siak Sri Indrapura di Riau, Indrapura Air Putih di Batubara, atau Indrapuri di Aceh. Pahang yang kita kenal sekarang, dulu bernama Indrapura, termasuk ibukota Champa (Vietnam). Nama-nama tempat India kuno pun banyak memakai nama Indrapura. Artinya lebih kurang tempat bertakhta raja Indra (raja tertinggi), demikian pernah ditulis budayawan prolifik Emran Djamal Datuak Mudo.
Dalam buku Rusli Amran, Sumatera Barat Hingga Plakat Panjang (1981), disebutkan, kesultanan Indrapura jadi pumpunan teks setebal 652 halaman tersebut. Gusti Asnan dalam Dunia Maritim Pantai Barat Sumatera (2007), juga membicarakan Indrapura sebagai pelabuhan penting penghasil lada hitam (merica) dan emas. Dalam buku yang lain, Kerajaan Indrapura (2013), Gusti Asnan (sebagai editor) bersama Yulizal Yunus dan Muhapril Musri, juga mengkaji sistem pemerintahan Indrapura.
Tak kalah menarik untuk disimak, dalam sebuah roman Balai Pustaka, yaitu Hulu Balang Raja (cet.1, 1934) karya Nur Sutan Iskandar, mengambil lanskap Indrapura. Tokoh-tokoh utamanya juga terdiri dari bangsawan Indrapura seperti Ali Akbar, Putri Ambun Sari, Muhammad Syah, Malafar Syah dan Raja Maulana. Tentu, masih banyak lagi Indrapura kita temukan dalam berbagai teks Nusantara, baik klasik maupun kontemporer. Demikian, papar Mas Raudal.
Paparan-paparan yang dikemukakan begitu terasa sastrawi, terlebih Mas Raudal memotret itu semua, dan menempatkan dirinya sebagai pejalan atau peziarah waktu. Bukan tanpa alasan perjalanan itu dijelajahi, ia memiliki memori masa kecil yang tersimpan. Memori itu membayang dalam imajisitas perjalanan rantaunya ke negeri seberang. Di Yogyakarta, ketika dirasa ada jarak, justru memori itu muncul kembali. Jejak memori yang membentang luas, sedikit aneh dan menggetarkan, hingga getaran jarak itu mengantarkannya untuk bisa melihat dan sampai pada jejak-langkah moyangnya.
Perjalanan pergi jauh ke rimba raya negeri seberang, memang menyisakan luka jarak ruang, namun mampu melipatkan waktu untuk melihat luka-ruang tersebut dengan jernih. Sorren Kiekergard, seorang filsuf eksistensialis berkebangsaan Denmark mengungkapkan perjalanan seperti itu sebagai ‘pergumulan individu dan kebatiniahan’.
Dunia tasawuf Islam dan teosofi mengenal kebatiniahan individu tersebut sebagai suwung, ialah suatu keadaan kosong. Kosong yang merindu akan isi. Layaknya seorang musafir yang kehabisan bekal, dan kehausan di gurun pasir fatamorgana pencarian makrifatnya. Seperti pula pengembaraan seekor elang yang terus terbang mengejar pusaran matahari.
Hati pun menjadi dingin yang menjelma kebisuan, tinggallah menyisakan laku suluk yang membiaskan dahaga akan air kehidupan, air kehidupan yang akan melumatkan semua luka, dan memberikan kesegeran abadi di sisa hidupnya. Konon, air kehidupan itu dikenal dalam kisah raja-raja yang mengerahkan seluruh pasukannya, untuk menemukan air itu. Namun air tersebut hanya diperuntukkan bagi para pejalan, peziarah yang tengah kehausan dan akut kebingungan. Hingga sampailah ia di sungai yang berpasrah pada laut, terseok oleh derasnya rahasia lika-liku air yang meliuk, membentur batu, terjun bebas, hingga menenang sunyi di muara samudera biru.
Sultan Agung menuliskan pergumulan batiniah perjalanannya dalam nubuwat babad Serat Nitik. Syekh Maloyo atau Sunan Kalijaga menyuratkan perjalanan itu dalam Suluk Linglung. Dan lakon Dewaruci menyiratkannya dalam Suluk Dewaruci. Suluk dan serat-serat tersebut adalah medium kita untuk bisa melihat pada diri sendiri. Ialah jalan dan jati diri kita, sebagai manusia Nusantara yang diperagakan dalam teknologi lakon berupa wayang. Kita bisa mengaksesnya melalui lakon suluk diri masing-masing, ialah suluk yang tidak berbatas pada pengetahuan saja, namun pengerahan kanti laku diri dengan totalitas.
Begitu pun dengan perjalanan Bujangga Manik, ia adalah seorang bangsawan dan rahib yang hidup di masa paceklik keruntuhan Dayeuh Pakuan Padjajaran, ia lebih memilih berkelana dan meninggalkan pusat kekuasaan. Kemudian ia melakukan perjalan jauh, berkelana ke rimba raya pulau Jawa-Selat Bali hingga dua kali. Di Mataram Islam Jawa, kita akan menemukan sosok imajisitas Bujangga Manik dalam diri Ki Ageng Suryomentaram. Menanggalkan jubah kebangsawanan, dan memilih jalan kelana bukanlah tanpa sebab, ia syarat dengan situasi sosial-politik yang menjalar-banal pada saat itu.
Perjalanan kelana tersebut adalah laku-asketis sebagai olah rasa untuk menemukan diri yang baru. Ialah perjalan menemukan jati diri yang beraroma karsa. Karsa yang sejatinya memunculkan bau wangi dengan sendirinya, juga memberi wangi pada diri yang lain. Dan itulah nama asketis yang diberikan pada leluhur manusia Pasundan, ialah Prabu Siliwangi. ‘Siliwangi’ artinya ‘saling wangi’, dan memberi wangi (Silih-Wangi). Dirinya mewangi dengan sendirinya, lalu dengan sendirinya pula ia memberi wangi pada sekitarnya. (MA)
Kala senja membinar di saat Magrib menjelang, aku duduk di beranda dengan obrolan-obrolan yang terlontar jenaka, hingga kerut rona siluet panorama Magrib terlibas oleh malam. Orang-orang dibuat cemas oleh virus baru bernama COVID-19. Kampus-kampus mendadak diliburkan, toko dan warung mulai menutup diri dan memilih pulang kampung halaman. Magrib serasa begitu mengambang, lirih dan terabaikan. Masjid-masjid hanya menyisakan suara azan terdengar, "Solluu fii Buyutikum" salat di rumah, dan tidak ada salat berjamaah di masjid.
Rona-rona siluet langit jingga kemerahan perlahan terbenam. Aku beranjak ke Pondok Kaliopak. Pondok tempat aku melipat-lipat waktu jauh panjang ke belakang, ziarah waktu pada leluhur, hingga hembusan napas begitu terasa mendesir iramanya. Sungguh, suatu hal yang tidak bisa aku dapatkan di kampus, di mana aturan-aturan dipadatkan, pengetahuan dibakukan, dan imajinasi dilumat oleh organisasi. Mahasiswa disibukkan dengan tugas, dosen sibuk dengan rapat, dan organisasi sibuk dengan pengkaderan-pengkaderan formatif serta even-even money oriented. Lalu aku bertanya, di manakah waktu luang dan pengetahuan tercipta, dikonstruksi, dikomposisikan kembali, hingga terdistribusi. Kini, tinggallah menyisakan manusia-manusia kering dan sepi.
Sesampainya di pondok, aku menuju dapur untuk menyiapkan makan kembulan Ngaji Dewaruci, tugas pokok darmaku di pondok memang memasak. Ia sudah seperti meditasiku dalam bentuk lain. Meditasi yang memang semestinya meditasi, ialah laku olah rasa dan kendali raga. Ajaran filasfat Timur mengajarkan banyak hal perihal ini, meditasi bisa dalam bentuk apapun, seperti ajaran Zen-Budhisme yang berkembang dalam dunia kepenulisan hingga hari ini.
Kali ini makan kembulan memakai piring masing-masing, akibat dari COVID-19 yang merebak, dan untuk kehati-hatian. Malam ini, menu makan adalah bihun, sayur hijau dan kuah sup. Ditambah perasan jeruk nipis, sambal dan kerupuk.
Aku menuju pendopo yang hening, malam menundukkan pundak dan kepala. Gelaran karpet dan tikar, tiang-tiang kayu yang dibalut kain kuning, dan foto raja-raja Mataram Islam, berjejeran di tiang beranda pendopo limasan. Bacaan wirid Ratib al-Haddad sudah dilantunkan. Bacaan-bacaan ini adalah kalam-kalam baik yang kita upload, kembali pada Allah, Tuhan semesta alam.
Kalam-kalam langit dilantunkan sebagai medium untuk melarungkan kekotoran diri dan pikiran di hadapan bumi dan Ilahi. Pondok membiasakan hal itu dilaksanakan sebelum Ngaji Dewaruci dimulai. Semua imaji-pikiran dikembalikan pada ketak-terhinggaan semesta langit, sehingga tidak berakhir pada batas bumi argumentatif ketika ngaji. Suasana lirih bergetaran di bibir, bilik-bilik surau dan tanah yang disirami lafal yang mengheningkan jiwa dan pikiran.
Tema ngaji kali ini adalah “Riwayat Indrapura (catatan perjalanan ke pantai barat Sumatera)”, dipantik oleh mas Raudal Tanjung Banua, ia seorang sastrawan-budayawan dan peneliti sosial. Di samping itu, ia sering melibatkan diri dalam dunia teater.
Mas Raudal melakukan perjalan untuk yang kesekian kalinya ke ujung selatan Sumatera Barat, terakhir pada oktober 2019 lalu. Ia mengemukakan bahwa Indrapura adalah nama indah yang jika kita telisik ada di mana-mana. Ada Siak Sri Indrapura di Riau, Indrapura Air Putih di Batubara, atau Indrapuri di Aceh. Pahang yang kita kenal sekarang, dulu bernama Indrapura, termasuk ibukota Champa (Vietnam). Nama-nama tempat India kuno pun banyak memakai nama Indrapura. Artinya lebih kurang tempat bertakhta raja Indra (raja tertinggi), demikian pernah ditulis budayawan prolifik Emran Djamal Datuak Mudo.
Dalam buku Rusli Amran, Sumatera Barat Hingga Plakat Panjang (1981), disebutkan, kesultanan Indrapura jadi pumpunan teks setebal 652 halaman tersebut. Gusti Asnan dalam Dunia Maritim Pantai Barat Sumatera (2007), juga membicarakan Indrapura sebagai pelabuhan penting penghasil lada hitam (merica) dan emas. Dalam buku yang lain, Kerajaan Indrapura (2013), Gusti Asnan (sebagai editor) bersama Yulizal Yunus dan Muhapril Musri, juga mengkaji sistem pemerintahan Indrapura.
Tak kalah menarik untuk disimak, dalam sebuah roman Balai Pustaka, yaitu Hulu Balang Raja (cet.1, 1934) karya Nur Sutan Iskandar, mengambil lanskap Indrapura. Tokoh-tokoh utamanya juga terdiri dari bangsawan Indrapura seperti Ali Akbar, Putri Ambun Sari, Muhammad Syah, Malafar Syah dan Raja Maulana. Tentu, masih banyak lagi Indrapura kita temukan dalam berbagai teks Nusantara, baik klasik maupun kontemporer. Demikian, papar Mas Raudal.
Paparan-paparan yang dikemukakan begitu terasa sastrawi, terlebih Mas Raudal memotret itu semua, dan menempatkan dirinya sebagai pejalan atau peziarah waktu. Bukan tanpa alasan perjalanan itu dijelajahi, ia memiliki memori masa kecil yang tersimpan. Memori itu membayang dalam imajisitas perjalanan rantaunya ke negeri seberang. Di Yogyakarta, ketika dirasa ada jarak, justru memori itu muncul kembali. Jejak memori yang membentang luas, sedikit aneh dan menggetarkan, hingga getaran jarak itu mengantarkannya untuk bisa melihat dan sampai pada jejak-langkah moyangnya.
Perjalanan pergi jauh ke rimba raya negeri seberang, memang menyisakan luka jarak ruang, namun mampu melipatkan waktu untuk melihat luka-ruang tersebut dengan jernih. Sorren Kiekergard, seorang filsuf eksistensialis berkebangsaan Denmark mengungkapkan perjalanan seperti itu sebagai ‘pergumulan individu dan kebatiniahan’.
Dunia tasawuf Islam dan teosofi mengenal kebatiniahan individu tersebut sebagai suwung, ialah suatu keadaan kosong. Kosong yang merindu akan isi. Layaknya seorang musafir yang kehabisan bekal, dan kehausan di gurun pasir fatamorgana pencarian makrifatnya. Seperti pula pengembaraan seekor elang yang terus terbang mengejar pusaran matahari.
Hati pun menjadi dingin yang menjelma kebisuan, tinggallah menyisakan laku suluk yang membiaskan dahaga akan air kehidupan, air kehidupan yang akan melumatkan semua luka, dan memberikan kesegeran abadi di sisa hidupnya. Konon, air kehidupan itu dikenal dalam kisah raja-raja yang mengerahkan seluruh pasukannya, untuk menemukan air itu. Namun air tersebut hanya diperuntukkan bagi para pejalan, peziarah yang tengah kehausan dan akut kebingungan. Hingga sampailah ia di sungai yang berpasrah pada laut, terseok oleh derasnya rahasia lika-liku air yang meliuk, membentur batu, terjun bebas, hingga menenang sunyi di muara samudera biru.
Sultan Agung menuliskan pergumulan batiniah perjalanannya dalam nubuwat babad Serat Nitik. Syekh Maloyo atau Sunan Kalijaga menyuratkan perjalanan itu dalam Suluk Linglung. Dan lakon Dewaruci menyiratkannya dalam Suluk Dewaruci. Suluk dan serat-serat tersebut adalah medium kita untuk bisa melihat pada diri sendiri. Ialah jalan dan jati diri kita, sebagai manusia Nusantara yang diperagakan dalam teknologi lakon berupa wayang. Kita bisa mengaksesnya melalui lakon suluk diri masing-masing, ialah suluk yang tidak berbatas pada pengetahuan saja, namun pengerahan kanti laku diri dengan totalitas.
Begitu pun dengan perjalanan Bujangga Manik, ia adalah seorang bangsawan dan rahib yang hidup di masa paceklik keruntuhan Dayeuh Pakuan Padjajaran, ia lebih memilih berkelana dan meninggalkan pusat kekuasaan. Kemudian ia melakukan perjalan jauh, berkelana ke rimba raya pulau Jawa-Selat Bali hingga dua kali. Di Mataram Islam Jawa, kita akan menemukan sosok imajisitas Bujangga Manik dalam diri Ki Ageng Suryomentaram. Menanggalkan jubah kebangsawanan, dan memilih jalan kelana bukanlah tanpa sebab, ia syarat dengan situasi sosial-politik yang menjalar-banal pada saat itu.
Perjalanan kelana tersebut adalah laku-asketis sebagai olah rasa untuk menemukan diri yang baru. Ialah perjalan menemukan jati diri yang beraroma karsa. Karsa yang sejatinya memunculkan bau wangi dengan sendirinya, juga memberi wangi pada diri yang lain. Dan itulah nama asketis yang diberikan pada leluhur manusia Pasundan, ialah Prabu Siliwangi. ‘Siliwangi’ artinya ‘saling wangi’, dan memberi wangi (Silih-Wangi). Dirinya mewangi dengan sendirinya, lalu dengan sendirinya pula ia memberi wangi pada sekitarnya. (MA)
Kala senja membinar disaat magrib menjelang, duduk di beranda dengan obrolan-obrolan yang terlontar jenaka, hingga kerut rona siluet panorama terlibas oleh malam. Magrib serasa begitu mengambang, lirih dan terabaikan. Orang-orang dibuat cemas oleh virus baru bernama covid-19. Ugm, Uny, Uin, Upn, dan berbagai kampus lainnya mengeluarkan kebijakan untuk menghentikan seluruh aktifitas kelas dan kerumunan di kampus. Alternatifnya, kampus memberlakukan sistem kuliah daring. Suasana memang cukup genting.
Namun semuanya seolah dibuat keruh dan panik oleh media, khusunya online. Jika kita mau merenung sedikit saja, jika kita semua adalah kaum beragama, mengapa kita dibuat takut yang berujung panik oleh keadaan. Bukankah agama mengajarkan untuk bertahan akan ketidakpastian. Itu adalah jalan utama ketuhanan. Dengan begitu, Tuhan menguji kita untuk tetap tenang. Jalan takwa atau kehati-hatian adalah jalan benar, ia adalah jalan menenangkan, tidak takut yang berujung pada kepanikan. Namun naluri manusia tetap saja menjalar tak beraturan.
Rona-rona siluet langit perlahan terbenam. Aku beranjak pergi ke pondok kaliopak. Pondok tempat aku melipat-lipat waktu jauh ke belakang, ziarah waktu pada leluhur, hingga hembusan nafas begitu terasa nyambung iramanaya. Sungguh, suatu hal yang tidak aku dapatkan dari peradaban baru abad ini, sebuah dunia yang berlari. Manusia dipacu oleh waktu, bertabrak-tabrakan, dan mengarah pada pusaran yang sama, ialah berhala-berhala baru abad modern yang mereka ciptakan sendiri.
Sesampainya di pondok, aku menuju dapur untuk menyiapakan makan kembulan ngaji dewaruci, tugas pokok dharmaku di pondok memang memasak. Ia sudah seperti meditasiku dalam bentuk lain. Meditasi yang memang semestinya meditasi, ialah laku olah rasa dan kendali raga. Ajaran filasfat timur mengajarkan banyak hal perihal ini, meditasi bisa dalam bentuk apapun, seperti ajaran zen-budhisme yang berkembang dalam dunia kepenulisan hingga hari ini.
Kali ini makan kembulan memakai piring masing, akibat dari virus covid-19 yang merebak, dan untuk kehati-hatian. Malam ini, menu makan adalah bihun, sayur hijau dan kuah sup. Ditambah perasan jeruk nipis, sambal dan kerupuk.
Aku menuju pendopo yang hening, malam menundukkan pundak dan kepala. Gelaran karpet dan tikar, tiang-tiang kayu yang dibalut kain kuning, dan foto raja-raja jawa Mataram Islam, berjejeran di tiang beranda pendopo limasan. bacaan wirid rothibul haddad sudah dilantunkan. Bacaan-bacaan ini adalah kalam-kalam baik yang kita upload, kembali pada Allah tuhan semesta alam.
Kalam-kalam langit dilantunkan sebagai medium untuk melarungkan kekotoran diri dan pikiran dihadapan bumi dan Ilahi. Pondok membiasakan hal itu dilaksanakan sebelum ngaji dewaruci dimulai. Semua imaji-pikiran dikembalikan pada ketak-terhinggaan semesta langit, sehingga tidak berakhir pada batas bumi argumentatif ketika ngaji. Suasana lirih bergetaran dibibir, bilik-bilik surau dan tanah yang disirami lafal yang mengheningkan jiwa dan pikiran.
Tema ngaji kali ini adalah “Riwayat Indrapura (catatan perjalanan ke pantai barat Sumatera)”, dipantik oleh mas Raudal tanjung buana, ia sering melibatkan diri dalam dunia teater, disamping itu ia seorang sastrawan-budayawan dan peneliti sosial.
Mas Raudal melakukan perjalan untuk yang kesekiankalinya ke ujung selatan Sumatera Barat, terakhir pada oktober 2019 lalu. Ia mengemukakan bahwa Indrapura adalah nama indah yang jika kita telisik ada di mana-mana. Ada Siak Sri Indrapura di Riau, Indrapura Air Putih di Batubara, atau Indrapuri di Aceh. Pahang yang kita kenal sekarang dulu bernama Indrapura, termasuk ibukota Champa (Vietnam). Nama-nama tempat India kuno pun banyak memakai nama Indrapura. Artinya lebih kurang tempat bertahta raja Indra (raja tertinggi), demikian pernah ditulis budayawan prolifik Emran Djamal Datuak Mudo.
Dalam buku Rusli Amran juga disebutkan, ‘Sumatera Barat Hingga Plakat Panjang (1981)’, Kesultanan Indrapura jadi pumpunan teks setebal 652 halaman tersebut. Gusti Asnan dalam Dunia Maritim Pantai Barat Sumatera (2007), juga membicarakan Indrapura sebagai pelabuhan penting penghasil lada hitam (merica) dan emas. Dalam buku yang lain disebutkan, Kerajaan Indrapura (2013), Gusti Asnan (sebagai editor) bersama Yulizal Yunus dan Muhapril Musri, juga mengkaji sistem pemerintahan Indrapura.
Tak kalah menarik untuk disimak, dalam sebuah roman Balai Pustaka, yaitu Hulu Balang Raja (cet.1, 1934) karya Nur Sutan Iskandar, mengambil lanskap Indrapura. Tokoh-tokoh utamanya juga terdiri dari bangsawan Indrapura; seperti Ali Akbar, Putri Ambun Sari, Muhammad Syah, Malafar Syah dan Raja Maulana. Tentu, masih banyak lagi Indrapura kita temukan dalam berbagai teks Nusantara, baik klasik maupun kontemporer. Demikian, papar mas Raudal.
Paparan-paparan yang dikemukakan begitu terasa sastrawi, terlebih mas Raudal Tanjung memotret itu semua, dan menempatkan dirinya sebagai pejalan atau peziarah. Bukan tanpa alasan perjalanan itu dijelajahi, ia memiliki memori masa kecil yang tersimpan. Memori itu membayang dalam imajisitas perjalanan rantaunya ke negri sebrang. Di Yogyakarta, ketika dirasa ada jarak, justru memori itu muncul kembali. Jejak memori yang membentang luas, sedikit aneh dan menggetarkan, hingga getaran jarak itu mengantarkannya untuk bisa melihat dan sampai pada jejak-langkah moyangnya.
Perjalanan pergi jauh ke rimba raya negri sebrang, memang menyisakan luka jarak ruang, namun mampu melipatkan waktu untuk melihat luka-ruang tersebut dengan jernih. Sorren Kiekergard, seorang filsuf eksistensialis berkebangsaan Denmark mengungkapkan perjalanan seperti itu sebagai ‘pergumulan individu dan kebatiniahan’.
Dunia tasawuf Islam dan teosofi mengenal kebatiniahan Individu tersebut sebagai Suwung, ialah suatu keadaan kosong. Kosong yang merindu akan isi. layaknya seorang musafir yang kehabisan bekal, dan kehausan digurun pasir fatamorgana pusat makripatnya. Seperti pengembaraan seekor elang, yang terus mengejar pusat matahari.
Yang tersisa tinggallah laku suluk, membiaskan dahaga akan air kehidupan yang akan melumatkan semua luka, dan memberikan kesegeran ketika meminumnya. Air kehidupan yang dikenal dalam kisah raja-raja yang mengerahkan seluruh pasukan, untuk menemukan mata airnya. Namun air itu hanya diperuntukkan bagi para pejalan, peziarah yang tengah kehausan dan kebingungan. Hingga sampailah ia di sungai yang berpasrah pada laut, terseok oleh derasnya rahasia lika-liku air yang meliuk, membentur batu, terjun bebas, hingga menenang sunyi di muara samudera biru.
Sultan Agung menuliskan pergumulan batiniah perjalanannya dalam nubuwat babad ‘Serat Nitik’. Syekh Maloyo atau Sunan Kalijaga menyuratkan perjalanan itu dalam ‘Suluk Linglung’. Dan lakon Dewaruci menyiratkannya dalam ‘suluk Dewaruci’. Suluk dan serat-serat tersebut adalah medium kita untuk bisa melihat pada diri sendiri. Ialah jalan dan jati diri kita, sebagai manusia Nusantara yang diperagakan dalam teknologi lakon berupa wayang. Kita bisa mengaksesnya melalui lakon suluk diri masing-masing, ialah suluk yang tidak berbatas pada pengetahuan saja, namun pengerahan kanti laku diri dengan totalitas.
Begitupun dengan perjalanan Bujangga Manik, ia adalah seorang bangsawan yang hidup dimasa panceklik keruntuhan Dayeuh Pakuan Padjajaran, ia lebih memilih berkelana dan meninggalkan pusat kekuasaan. Kemudian ia melakukan perjalan jauh, berkelana ke rimba raya pulau Jawa-Selat Bali hingga dua kali. Di Mataram Islam Jawa, kita akan menemukan sosok imaji Bujangga manik dalam diri Ki Ageng Suryomentaram. Memilih jalan kelana bukanlah tanpa sebab, ia syarat dengan situasi sosial-politik yang menjalar-banal pada saat itu.
Perjalanan kelana tersebut adalah laku-asketis sebagai olah rasa untuk menemukan diri yang baru. Ialah perjalan menemukan jati diri yang beraroma karsa. Karsa yang sejatinya memunculkan bau wangi dengan sendirinya, juga memberi wangi pada diri yang lain. Dan itulah nama asketis yang diberikan pada leluhur manusia Pasundan, ialah Prabu Siliwangi. ‘Siliwangi’ artinya ‘saling wangi’, dan memberi wangi (Silih-Wangi). Dirinya mewangi dengan sendirinya, lalu dengan sendirinya pula ia memberi wangi pada sekitarnya.
Pagi ini sedikit kelabu, mungkin karena sisa hujan semalam. Aku bangun dari tertidur sendiri. Masih menyisakan sedikit bayang-bayang lorong malam, kelabu seorang perempuan yang diantarkan ibunya ke gereja di tengah malam natal. Lalu sembahyang pagi. Lalu sembahyang pagi. Sembahyang sasih tilem di pura-pura malam purnama. Dan bersamadi malam jumat di stupa vihara.
Belakangan bulanan ini, aku sering sembahyang subuh di pagi hari, sudah memasuki waktu duha sebenarnya. Sejenak merenung pada relung-relung mimpi tadi malam. Rasanya sudah lama mimpi ini mengendap. Sorak-sorainya berlarian tak berarah. Ingin sekali aku meliriknya kembali, kembali ke lubuk dasar, usai pergi jauh.
Fajar menyingsing kala aku berjalan menuju pasar, pagi hari aku suka ke pasar untuk membeli bahan masakan. Suasana pasar sedianya begitu, ramai berjejeran dan kelabu pada lorong-lorong. Aku membeli ikan pindang, tahu segar dan rempah. Pagi ini aku memasak tumis tahu, ikan pindang goreng dengan sedikit tepung. Mamah suka memasak ikan seperti ini dengan istilah “ikan dijaketin”, maksudnya bagian kulitnya dikasih tepung agar tidak ‘bebeletukan’ ketika digoreng. Aku memang terbiasa memasak sendiri sedari SD, tidak ada yang mengajari, namun aku suka melihat mamah waktu memasak. Disitulah aku melihat, belajar dan bisa sendiri.
Belakangan ini, seringkali aku hanyut dalam aktivitas memasak, ia sudah seperti aktivitas rasa, layaknya meditasi. Seminggu yang lalu, aku baru saja ikut pre-order dari penerbit Komunitas Bambu. Ia menerbitkan kembali (cetakan kedua) buku ”Mustika Rasa”, buku itu adalah warisan Bung Karno dalam merangkum dan mendokumentasikan masakan di seluruh Indonesia. Bung Karno memang tidak main-main soal urusan identitas, ia menelusurinya hingga pada kuliner. Karena cukup fundamental, cita rasa masakan dan jenis makanan itu memcirikan suatu identitas yg dinamis dan terus berkembang, terlebih Indonesia sebegai samudera yang ditaburi ragam ribu kepulauan yang sangat kaya raya akan rempah. Rempah yang pernah menjadi sumber kekayaan bangsa ini. Rempah ini pula yang menjadi daya pikat para pelancong Eropa, yang kemudian membentuk Koloni kongsi dagang. Kelak menjadi ironi bangsa ini, kekayaan yang justru menjadi nestapa, hingga kini.
Nasi diatas kompor yang aku tinggalkan ketika ke pasar sudah matang, nasi liwet dengan rempah bawang merah, batang sereh, daun salam, sedikit garam dan penyedap rasa. Kuhidangkan semuanya di meja beranda, meja yang dikelilingi kursi tempat kami duduk dan bercerita. Tembok disekelilingnya terdapat gambar lukisan tentang perjalanan lakon dewa ruci. Nama dewa ruci dipakai untuk istilah pengajian rutin yang kami selenggarakan setiap malam rabu, Ngaji Dewaruci. Sesekali tamu yang berdatangan biasa duduk di beranda ini pula. Tamu yang datang dan pergi; ada yang menepi, sowan pada pak Yai, meminjam tempat untuk acara organisasi dan lainnya. Pondok limasan ini memang terbuka bagi siapapun yang datang kemari. Meski sekedar menepi.
"Kita bergerak dan bersuara
Berjalan jauh tumbuh bersama
Sempatkan pulang ke beranda
Tuk mencatat hidup dan harganya”
(Hindia)
(MA)Kau telah mengantarkanku pada musim hujan deru angin yang bersorak-sorai kian kesana-kemari gemuruh badai menggeliat mengoyak-koyak terseok tak tersisa melumatkan semua menyisakan aliran sungai mengantarkan pada laut
Dan kau telah membasuhku atas segala dahaga kering kemarau panjang pada malam bulan pelabuhan semilir wangi purnama menerawangkan cahayanya Hening yang menyisakan sunyi sepi samadi dini hari kini, hanya kau dan aku basuh membasuh terbasuh kembali terbangun (MA)Dan lagi, terus begini-begini saja.
Bayang-bayang akut pikiran yang masih melekat di kepala, mengalir pada tubuh layaknya sebuah labirin waktu: getir aku menyadarinya, ingin terbebas dari bayangannya. Labirin yang terus saja berjejalan pada titik bayang di antara kedua mataku, hyperreality. Aku masih saja termenung sendiri, merasa tak mampu berbuat. Kosong dan rendah gairah. Melankolia.
Sepintas ingin aku bisa mereda semua, perlahan. Konsep kesaradaran “mindfulness” ajaran Zen-Budhisme. Ia menyarankan pada kita mengambil waktu (jeda) dalam sehari untuk bermeditasi. Dalam ajaran Zen, meditasi sebenarnya bisa dalam bentuk apa saja: membaca, menulis, memasak, melukis, dan sebagainya. Namun dalam ajaran Budhisme, meditasi dengan cara layaknya ritual formal: kita duduk, diam bersila, lalu mengatur nafas. Zen-Budhisme kemuďian berkembang di kawasan Asia-Timur. Semacam ada pertemuan antara Zen sebagai ajaran moral lokal Jepang, dengan berkembangnya ajaran Budha dari India ke kawasan Asia.
Dari pengaturan napas inilah sebenarnya yang perlahan akan membuka alam bawah sadar kita, artinya kesadaran kita akan terbuka dan menemukan keseimbangannya. Kita dilatih untuk menemukan diri dari dalam, bukan dari luar. Sehingga akan tercipta pembentukan diri, bukan citra diri. Zen-Budhisme mengajarkan cara menjelajahi itu dengan berse-meditasi. Cara menempuhnya memang perlu waktu, melatih diri, dan tidak mudah. Kesadaran adalah kemewahan di abad ini, di tengah manusia yang dinilai kemewahannya dari apa yang ia beli dan barang apa yang ia punya, itulah abad modern kita.
Berfilsafat adalah aktifitas yang menyenangkan, meski seperti tak ada pekerjaan. Namun dalam filsafat menyediakan wadah untuk mereka yang dahaga pada pengetahuan dan mencintai laku bijak, sejak dalam berpikir. Berfilsafat adalah aktifitas merenung (kontemp-meditad). Kontemplasi adalah aktifitas berpikir, dan meditasi adalah aktifitas jiwa, rasa, dan raga. Keduanya perlu memiliki asupan yang baik, hingga terciptanya keseimbangan. (MA)
Pernah kuberjalan di bentangan bukit sabana
Tempat aku sendiri bersama hingar bingar ilalang liar
Angin datang begitu keras menerpa,
Riuh gemuruh menggoncangkan langkah
Aku berlindung di sebatang pohon kanopi yang sendiri
Duduk terdiam di baliknya yang melawan arah angin
Terus melawan, dan bertahan
Aku terkuras, seterkuras-kurasnya.
Ke manakah gemuruh badai ini akan bersarang ?
Sampai kapankah ia di sini ?
Dan sampai kapankah ia pergi ?
Hidupku adalah jalan sunyi, dan sangsi
Pulanglah ke lembah napas itu,
Menjadi semilir yang menenangkan
(MA)Hampir tiga malam ini aku berkunjung ke rumah Simbah. Sebenarnya aku kerap mengobrol dengannya, namun hanya sebatas angin lewat saja pembicaraan itu tercipta. Baru awal tahun ini, tepatnya ketika malam tahun baru, aku mengobrol cukup panjang bersamanya.
Berawal dari ajakan Mba Grey menonton film-film garapan Akira Kurosawa yang mengangkat falsafah Asia Timur secara luas, dan Jepang secara khusus. Filsafat dan kesusastraan Asia Timur terasa begitu dekat dengan Indonesia, begitu juga arus modernitas yang telah berlangsung lama di sana. Mba Grey, demikian aku menyapanya, adalah aktifis perempuan, anggota Majestic 55 (Mapala FH UGM). Ia menekuni isu lingkungan hidup dan sering terlibat dalam pagelaran kesenian lokal. Sekitar dua bulan yang lalu aku mengundangnya ke sebuah diskusi yang diadakan Mapala Mahameru di Pendopo Merah Fakultas Ilmu Sosial UNY, sekadar berbagi pengalaman terkait upacara Kebo Ketan yang cukup terkenal itu.
Pergantian tahun diguyur hujan hampir seharian penuh. Pukul 20.00 hujan sedikit mereda, aku berangkat menuju Pojok, tempat Simbah. Penamaan pojok sendiri aku tidak tahu, mungkin karena letaknya di tepian jalan, masuk gang kecil sebelum pasar Piyungan, jalan Wonosari. Bisa juga karena letaknya di pojokan sawah. Sawah-sawah yang dikelilingi bebukitan berundak di belakangnya, termasuk bukit Api Purba. Di kala malam tampak lampu-lampu penduduk dan warung-warung di kawasan Bukit Bintang yang ramai oleh wisatawan malam. Untuk melihat Yogyakarta malam hari, kita cukup duduk di warung-warung yang tersedia, sambil menikmati jagung bakar dan teh hangat. Tempat pojok persis berada di samping monumen Dupa Alu. Tempat yang aku kunjungi pada malam 17 Agustus, kala itu sedang berlangsung pagelaran seni rakyat, sekaligus upacara hasil bumi, diakhiri dengan makan kembulan bersama sebagai ekspresi rasa syukur kepada Ibu Bumi, Tuhan yang Maha Esa.
Kembali aku diingatkan pada suatu tempat yang asing. Aku membayangkan diriku sebagai Sophie Amundsen menemukan sarang dalam pencarian dirinya, bertemu cermin bayangan dirinya bertanya-dialog, hingga mampu berkontemplasi. Imaji itu pula yang terbentuk saat pertama memasuki pintu pojok Pondok Kaliopak. Tempat aku menepi dari arus waktu dunia yang berlari, duduk hening bersemadi. Hingga sampailah aku pada ujung malam, di antara lelap dan sadar. Layaknya seorang yang bermakrifat pada pagi, melewati fantasi malam panjang. Sepintas aku teringat Al-Kahfi, surat paling indah dalam Alquran menurutku. Surat ini mengisahkan tujuh pemuda yang lelah karena harus hidup di antara orang-orang yang tak beragama, dan akhirnya mengungsi ke dalam sebuah gua, di mana mereka tertidur nyenyak dalam waktu lama. Allah lalu mengunci telinga mereka, dan membuat mereka tertidur selama tiga ratus sembilan tahun. Ketika terbangun, mereka terpana menyaksikan perubahan dunia yang sudah terjadi. Allah yang membuat perubahan masa secara alami, dan kenikmatan tertidur yang sangat nyenyak
Tempat pojok ini juga mengingatkanku pada suatu tempat ketika Himura Khensin bertemu gurunya, tempat ia kembali ke habitatnya, tempat ia berguru, berlatih menempa dan ditempa diri. Perlahan ia tersadar dari tidur panjangnya, setelah terhempas dalam lautan ketersesatan. Kala itu hujan angin dan gemuruh badai, ia menceburkan diri ke laut hingga terbawa arus samudera biru, lalu tak sadarkan diri. Beruntung, sang guru menemukannya di tepi pantai.
Sisa ingatan-ingatannya kini mulai merekah, perlahan ia mulai diingatkan untuk pulang ke haribaan dirinya. Jalan hidup samurai menyeretnya mengabdi pada dinasti Shogun yang dikata akan mengantar kepada sebuah era baru. Jalan itu ditempuhnya, dengan menebas samurai-samurai muda yang tidak bersalah, hingga ia mendapat julukan sang pembunuh, Himura Battosai. Di persimpangan jalan, ia bertanya-tanya, apakah yang telah dilakukannya itu benar? Dari situ ia menemukan titik tolak, berjanji dan mengabdi pada dirinya sendiri untuk tidak membunuh lagi dalam jalan hidup samurainya. Kemudian ia menemukan sang guru, pembuat samurai legendaris dengan mata pedang terbalik, sebagai pesan ikrar tanda arus balik jalan hidup samurainya.
Semilir angin sore mengabarkan bahwa ia masih berguna. Karenanya ia harus tetap hidup, hingga memutuskan berjalan pulang, menapaki jejak langkahnya kembali. Ia duduk dan termangut melihat bentangan jalan yang dilaluinya, sungguh terjal dan berliku. Hujan yang menghujam tiada terasa derasnya. Hujan itu pula yang melumatkan semua lukanya, hingga tak sadar menerabas marabahaya dari tebing-tebing curam yang dilewati. Hujan badai semacam ini pernah datang berbulan-bulan lalu tiada henti, seolah pipa-pipa pemadam kebakaran yang ada di muka bumi, tercurah serentak di sana. Di ujung malam, di antara lelap dan sadar, ia terjaga, seakan letih tak mengganggunya. Ia terus berjalan menjemput pagi. Ia terlahir kembali.
Rumah tua lusuh dengan halaman yang rimbun oleh pepohonan, taman rumput yang terpotong jalan di halaman, dan kolam ikan di sebelah saluran irigasi sawah. Di belakang rumah terdapat hamparan tanah kosong; kayu bambu hitam, pohon pisang, tumbuhan rempah, dan dinding-dinding batu bata berlumut hitam yang membentuk pondasi rumah setengah jadi.
Simbah masih ditemani dua anjingnya yang suka bersuara setiap orang masuk ke pintu halaman rumah. Langgar kayu tua semakin lusuh oleh kepulan asap tungku kayu bakar tempat ia membuat air panas untuk kopi dan teh. Kami duduk di depan bongkahan batu yang dijadikan meja tamu. Aku membuat kopi sendiri untuk menemani di sela-sela obrolan. Salah satu budaya yang terbentuk dari Mapala adalah tidak membuat repot orang lain.
Simbah pernah menjadi anggota Mapala. Dia banyak bercerita pengalaman perjalanannnya ke berbagai pulau di Indonesia: pegunungan Sumatera, Kalimantan, Jawa, Argopuro, hingga puncak Cartens Papua pada tahun 2002. Ia sendiri dibesarkan di kepulauan Riau. Ketika aku bertanya tentang tempat tinggalnya, Simbah bertanya padaku, "Kamu baca novel Laskar Pelangi, kan? Nah, tempatku lebih ngeri dari Belitung yang diceritakan Andrea.” Gerak tubuhnya lugas dan tenag. Suara yang keluar membentuk bunyi pesan, dan kalimatnya tercipta dari garis-garis yang mengerut di dahinya.
Seringkali tamu datang dari berbagai daerah, teman-teman Mapala-nya dari berbagai kepulauan Indonesia. Sesekali berlatih di daerah tempat ini, hingga ia menamakan tempat pojok ini sebagai Rumah Indonesia. Tak jarang pula ia mengantar tamu asing dari luar: Belanda, Spanyol, Italia, Jerman. Semuanya ia terima dengan prinsip kesadaran dan kebersamaan. Bergembira. (MA)
Kinahrejo, suatu pagi. Sesuai janji sore tadi, dan atas ajakan seorang teman, malam ini pukul 23.00 aku hendak ke rumah Mbah Suketi. Aku bergegas mandi, seusai bermain badminton di Gor Balai Desa Dusun Gandok. Setiap malam Minggu, aku bermain badminton bersama bapak-bapak warga dusun Gandok. Ada juga beberapa teman mahasiswa dari UNY dan UGM. Dusun Gandok adalah dusun tempat sekretariat HMI UNY berada, sebuah perhimpunan mahasiswa Islam di UNY. Jadi, selain akrab dengan teman-teman HMI, aku cukup akrab pula dengan warga dusun sini. Aku sendiri sebenarnya bukan anggota HMI, namun aku nyaman bergaul dengan mereka: bermain bersama, bertukar pikiran, bercengkrama, masak dan makan bersama, lalu menginap hingga lupa hari. Pukul 23.00, sambil menunggu teman-teman lain yang belum datang, sediakalanya kami bercerita saja di beranda. Semilir aroma tanah basah seusai hujan menambah gelap malam ini. Mas Bambang dan Mas Baizal yang datang dari Semarang hendak ikut juga. Mereka berdua adalah senior HMI. Mas Bambang setiap akhir pekan pulang dari Semarang ke Yogyakarta, rehat dari pekerjaan hariannya di jasa keuangan Bank Mandiri. Seringkali ia mengajakku main, sekedar nongkrong di kedai atau keliling kota. Tak berselang lama, dua orang datang menghampiri. Rupanya mereka teman Abe Bangkong yang sedang berada di sampingku. Namanya Aegis dan Haris. Aegis anak Kebijakan Pendidikan FIP UNY, keduanya mahasiswa aktif dan bergiat di Lembaga Pers Mahasiswa UNY. Sekitar pukul 00.10 malam, kami berangkat menuju rumah Mbah Suketi, lokasinya di lereng Merapi penghujung Desa Kinahrejo. Sebuah desa yang tidak tertera dalam peta Babad Tanah Jawi. Desa ini pula yang diceritakan dengan cukup menarik oleh seorang Indonesianis asal Jerman, Elizabeth D. Inandiak. Dalam novel fiksinya yang berjudul Babad Ngalor-Ngidul, Elizabeth bercerita;
“Sabtu 23 Oktober 2010, lava dari kawah Merapi mulai mengalir ke Kali Gendol. Di Dusun Kinahrejo tidak ada orang yang memperhatikan gejala alam itu. Kecuali Bu Pujo yang tampak gelisah. Suaminya malah keluar rumah karena Bu Pujo mulai ngobrol ngalor-ngidul lagi. Hanya si perempuan waskita ini yang masih bisa (berbicara) bahasa purba itu. Sesudah kematiannya dalam letusan, siapa lagi akan ngomong ngalor-ngidul?”Ngalor-ngidul dalam istilah bahasa Jawa kini lazim diberi makna tutur yang tak tersambung, ngaco belo, pertanda ketakwarasan akal. Namun, Elizabeth justru memperlihatkan ngalor-ngidul mengandung makna yang berbeda. Ia adalah percakapan mesra purbakala: antara yang di utara (lor) dan yang di selatan (kidul). Dalam konteks masyarakat Yogyakarta yang hidup dalam rengkuhan Laut Selatan dan Gunung Merapi, ngalor-ngidul tak lain adalah suatu hubungan timbal balik, saling bergantung tanpa henti, antara geleduk awan panas di utara dan gelora ombak laut di selatan. Elizebeth mengutarakan terjadinya pergeseran makna kosmologis dan perubahan masyarakat lokal, melihat fenomena yang terjadi pra-pasca erupsi 2010. Masyarakat kini lebih percaya pada Bmkg ketimbang hubungan (langsung) kosmologi diri (masyarakat)nya sendiri. Percakapan ngalor-ngidul telah bergeser makna, bahkan terputus hilang tiada makna. Akibatnya, Kinahrejo kala itu menjadi desa terparah yang terkena dampak erupsi Merapi 2010.
Perlahan sangat pelan hingga terang kan menjelang Cahaya nyali besar mencuat runtuhkan bahaya Di sini kuberdiskusi dengan alam yang lirih Kenapa indah pelangi tak berujung sampai di bumi Aku orang malam yang membicarakan terang Aku orang tenang yang menentang kemenangan oleh pedang Cahaya bulan menusukku dengan ribuan pertanyaan Yang takkan pernah kutahu di mana jawaban itu Bagai letusan berapi bangunkanku dari mimpi Sudah waktunya berdiri mencari jawaban kegelisahan hati (Soe Hok Gie)Angin malam cukup menusuk malam ini, kabut tipis pun turun pelan-pelan di lembah Merapi. Pertanda sepertinya akan turun hujan. Beberapa menit kemudian, Mas Faizal, Mas Bambang dan Riski masuk tenda untuk istirahat hingga Subuh hari datang nanti. Rencananya, pukul lima pagi mereka mau ke Kaliadem melihat matahari terbit. Sementara aku, Abe Bangkong, dan Aegis pulang kembali ke rumah Mbah Suketi. Melentangkan tubuh di sofa, hingga tertidur, lelah.
Dini hari ini, ketika matahari memberi tanda akan terbit Aku datang kembali Ke dalam ribaanmu, dalam sepimu Dan dalam dinginmu Walaupun setiap orang berbicara tentang manfaat dan guna Aku bicara padamu tentang cinta dan keindahan Dan aku terima kau dalam keberadaanmu Seperti kau terima daku Aku cinta padamu, Merapi yang dingin dan sepi Sungaimu adalah nyanyian keabadian tentang tiada Hutanmu adalah misteri segala Cintamu dan cintaku adalah kebisuan semesta Malam itu ketika dingin dan kebisuan menyelimuti Merapi Kau datang kembali Dan bicara padaku tentang kehampaan semuaPagi hari aku terbangun sendiri, Ageis dan temannya masih tertidur pula. Abe Bangkong yang tidur di sofa sebelahku sudah tidak ada, berselang sepuluh menit kemudian mereka datang menghampiri. Nampak keduanya sudah pergi ke Kaliadem. Lima menit kemudian teman-teman yang camp di belakang datang berkumpul di sofa tengah rumah. Pagi pukul enam, kami bersepakat untuk mampir ke kopi Merapi. Kopi ini belakangan ramai pengunjung, bukan tanpa alasan, kedai ini cukup menarik perhatian karena titik lokasinya terhampar bentangan Merapi hingga puncaknya yang gagah. Jalan yang dilalui oleh mobil Jeep wisata Merapi, parkiran pasir dan kerikil yang luas, denah yang khas; ruangan kayu, bongkahan batu yang ditata menjadi meja dan kursi. Udara dan suasana di sini memang ramah untuk bercerita, cukup hening untuk menepi dari kebosanan harian dan arus cepat kota peradaban modern. (MA)
Biarlah angin menghembuskan pada sisa jejak-jejak langkah, pada batas lorong-lorong waktu, dan menyisakan relung sunyi, menapaki tanah, kembali.
Sore hari, seusai hujan reda, udara beranda rumah semilir tanah basah. Sore ini aku hendak ke basecamp diksar teman-teman Mahasiswa Pecinta Alam (MPA) Mahameru.
Setelah packing keperluan secukupnya untuk 3-4 hari ke depan, aku melaju dengan kendaraan motor. Sendiri.
Untuk kedua kalinya, diksar dilaksanakan di tempat yang sama, tepatnya di Bukit Sikunci, Kajoran, Kaliangkrik. Letak rumah basecamp berada di perbatasan jalan utama antara Magelang-Wonosobo, tepatnya di Pasar Kajoran.
Di pasar ini, kami biasa makan soto, es buah, dan milung (mie balung). Selain murah, kuah soto cukup kental karena menggunakan santan. Es buah murah yang tak kalah segar dan enaknya. Begitu pun milung.
Aku sempat bertanya-tanya singkatan dari milung. Ada yang berkelakar mie pelung. Pelung adalah nama rimba Priyo Utomo. Kalau mau diusut, memang perawakannya mirip ayam pelung. Hitam dan tinggi besar. Namun, rupanya mie ayam tersebut menggunakan balung (tulang). Mungkin kalau orang Sunda mengiranya mie alung. Artinya, mie yang dihidangkan ke dalam mangkuk dengan cara di-alung (dilempar).
Kabut tipis turun pelan-pelan melembabkan udara sore menuju petang. Aku tiba kala magrib mengambang. Lirih berkumandang suara azan. Sudut-sudut pemukiman warga desa yang menyepi. Perlahan serangga malam mulai bergeming dengan suaranya. Di jendela, aku melihat anak-anak kecil berbondong di tepian jalan, melewati rumah menuju masjid dengan pakaian rapi dan berpeci, hendak sembahyang dan mengaji bersama.
Mas Sidiq, salah satu seniorku, rupanya baru juga sampai, tak lama berselang sesampainya aku di basecamp. Ia tengah bersiap menuju titik lokasi siswa flying camp 3. Di luar, hujan kian turun dan menderas. Aku dan Mas Sidiq memutuskan untuk sembahyang magrib terlebih dulu sambil menunggu hujan reda.
Bau kemenyan udara masjid dan sudut-sudut pemukiman warga menyumbat pada hidung dan menambah harum segar di kepala. Setelah menepi dan tinggal paruh waktu di Pondok Kaliopak, aku cukup akrab dengan wangi bau kemenyan dan dupa. Hal itu tidaklah semata-mata wangian mistis, namun untuk menambah aroma segar pada raga di kala malam tiba, setelah beraktivitas laku harian. Aroma wewangian dupa juga sebagai etika luhur, untuk menghargai dan memberi wangi pada mahkluk hidup lain. Hari telah senja. Malam hari pun tiba. Waktunya manusia istirahat bersama keluarga. Janganlah takut akan gelap, karena gelap melindungi dari rasa lelah, agar kau terjaga menuju pagi kembali.
Sembahyang magrib dengan lampu-lampu yang temaram. Hujan masih gemericik. Warga beribadah jamaah selepas semua orang pulang dari ladang, lembah, dan berdagang. Aku bermakmum tepat di belakang kiri mihrab imam.
Seusai sembahyang magrib, aku menuju basecamp kembali. Mas Agung baru saja tiba. Ia sedang meregangkan kaki usai berkendara dari Jogja sambil meminum air hangat untuk tubuhnya yang mulai mendingin. Sementara, aku dan Mas Sidiq menyiapkan barang yang hendak kami bawa. Kami bersiap berjalan menuju titik lokasi diksar, flying camp 3.
Hujan di luar jendela masih saja merintik berbalut kabut malam. Kami memutuskan untuk berjalan meski kondisi hujan. Tak lupa, masing-masing mengenakan jas hujan. Kami melewati area masjid. Ketika melewati gang-gang kecil pemukiman warga, sepintas aku melihat anak-anak kecil sedang mengaji di madrasah yang lusuh. Al-Qur’an yang bertumpuk nan lusuh pula.
Suara-suara nadam dan salawat mengingatkanku pada masa itu. Aku belajar pada guru ngaji di surau saat seumuran mereka. Aku sempat berkaca-kaca saat melewati anak-anak itu. Mata mereka mencuri-curi pandang ke arah rombonganku yang tengah berjalan menuju pintu masuk hutan, menyusuri jalan setapak yang licin berbatu. Suasana gelap menyisakan gemericik suara hujan pada batu dan aliran sungai.
Di persimpangan jalan yang bercabang, di sebuah area terbuka, Ikhsan yang memimpin perjalanan menunjuk ke arah cahaya lampu flying camp yang terlihat samar dan temaram. Kami beristirahat sejenak. Celana Mas Sidiq basah kuyup karena tidak terlindungi jas hujan, hanya mengandalkan jaket oranye kebanggaan MPA Mahameru. Ia bangga karena jaket itu banyak tempelannya setelah dikenakan sepanjang ekpedisi tiga gunung tertinggi di Jawa; Slamet, Ciremai, dan Semeru. Kami menamakannya Scientific Expedition Triarga Jawadwipa. Meski tinggal menyisakan Semeru, ekpedisi itu masih terbengkalai hingga sekarang. Oleh sebab itu, aku jarang mengenakan jaket itu kecuali dalam acara-acara resmi organisasi.
Setelah berjalan menyusuri punggungan lereng Bukit Sikunci, kami tiba di fly camp 3. Kontur lokasinya berundak dengan jajaran pohon pinus. Suasana keras menyelimuti siswa yang tengah ditempa oleh para instruktur.
Sejenak sampai, aku merebah sambil mengamankan barang-barang yang dibawa ke flying camp. Minum air dan menghisap sebatang sigaret premium. Cuaca mereda meski masih berair dari kabut. Tak lama kemudian malam merekah, membukakan panorama langit, menampilkan sedikit bintang-bintang. Kerlap-kerlip cahayanya menandakan cuaca sepertinya akan cerah meski tidak ada yang pasti untuk cuaca gunung saat ini. Sigaret kretek premium sejenak kunikmati bersama. Bercengkerama sembari sejenak meregangkan kaki.
Aku berjalan melihat aktivitas teman-teman instruktur lainnya. Sementara itu, peserta diberi jeda untuk menghangatkan tubuh setelah diguyur hujan seharian di hutan.
Setelah menghabiskan sigaret, peserta dipencarkan satu persatu. Kemudian aku menyambangi satu peserta didik, aku menanyakan namanya, asalnya, dan mengapa ia mau ikut pendidikan dasar MPA Mahameru. Sambil mengumpulkan ranting-ranting, aku mengajarkan siswa itu teknik menyalakan kayu dalam kondisi basah. Aku berikan pengetahuan bahwa getah pinus bisa tetap menyala meski dibakar dalam kondisi basah.
Senyapnya malam bergemuruh
Dilaut batin yang keruh,
Sajak-sajak nyanyian tentang sinar
Berharap kembali terlahir terang
Udara malam kian mendingin. Pukul sepuluh malam, siswa dipersilakan beristirahat. Tidur di bivak kelompok. Lalu, aku kembali ke flying camp. Aku melihat kawan-kawan instruktur sedang bercengkerama hangat. Mengerumuni bongkahan api unggun kecil. Berceloteh gaya urakan sambil mengeringkan pakaian yang basah, terutama kaos kaki yang sedap baunya dipanasi asap kayu.
Di penghujung aktivitas, kami melakukan evaluasi bersama dan merancang agenda kegiatan untuk hari berikutnya. Malam melarutkan kami dengan kabut yang kembali datang, menandakan hujan akan tiba. Lalu kami pindah. Masuk ke dalam flying camp dan tenda. Hanya menyisakan suara rintik hujan di luar sana, kepulan asap bekas api yang terkepul, hingga akhirnya terlelap tidur. Sementara, aku masih terduduk diam karena malam ini tugasku berjaga dan mengontrol siswa hingga esok pagi pukul 04.15. Selamat malam, kawan-kawan Mahameru! Selamat beristirahat!
Gelap dini hari masih diselimuti sisa-sisa kabut malam. Udara embun pagi mulai terasa menetes pada percikan-percikan daun dan atap jendela tenda. Aku beranjak untuk mengondisikan para siswa diksar. Sejenak sebatang sigaret premium kuhisap pelan untuk daya penawar rasa dingin. Aku bersama instruktur Genjot membangunkan siswa, menyuruh mereka menggerakan tubuh. Berolahraga dan memasak hasil latihan survival kemarin. Tubuh harus bergerak dan beraktivitas agar tidak terserang dingin.
Pagi perlahan menepi, cahaya matahari mulai terlihat menyorot di sela-sela pohon. Pukul tujuh pagi, siswa akan diberangkatkan menuju flying camp 4. Instruktur Cebong, Bangkong, dan Mondo muncul menghampiri. Mereka bertiga membawa makan pagi untuk kawan-kawan instruktur. Kami duduk tak beraturan. Bercengkrama, bercerita dengan sorai kelakar. Menu makan pagi dijejer di atas kertas nasi yang dialasi matras.
"Selamat makan. Terima kasih, Mahameru, jasamu abadi," demikian ritual ucapan kami setiap memulai makan bersama.
Usai makan pagi, kami berkemas merapikan bekas-bekas yang akan kami tinggalkan. Setiap hari, layaknya kaum nomaden, kami berpindah tempat dari flying camp satu ke flying camp selanjutnya. Beberapa instruktur menemani siswa berjalan menuju flying camp 4, sisanya turun ke basecamp untuk bergantian waktu istirahat dan menyiapkan shelter di flying camp 4 pukul dua siang.
Kami turun melewati jalur yang berbeda dari yang semalam aku lewati. Kali ini melewati lembah yang cukup curam, sampai pada akhirnya bertemu sungai. Aliran air yang melambai, deras mengalun dan jernih layaknya oase segar. Ingin rasanya mandi di sungai seperti ketika masa kecil dulu. Masa ketika tak ada sesak di dada yang menyumbat pada aliran kepala. Rasa-rasanya, aliran air sungai itu bisa mengalirkan segala hal yang memberat dan keruh agar kembali jernih.
Di perjalanan menuju basecamp, sesekali kami bertemu warga yang sedang beraktivitas di lembah; mengambil kayu bakar, bercocok tanam, dan memanggul rumputan ilalang dari hutan untuk pakan ternak mereka di rumah. Sepintas aku merasakan kasihan. Namun, mereka nampak senang dengan aktivitas hariannya.
Seperti ada yang keliru dalam caraku melihat fenomena itu. Aku merasa berjarak dengan mereka, layaknya dalam frasa aku dan mereka. Entah karena aku sudah lupa pada asalku yang juga bagian dari mereka, atau karena sekolah yang telah membentukku hingga punya cara pandang seperti itu.
Benar kata Pramoedya, "Rasa kasihan sudah menjadi kemewahan baru untuk kita." Ia semacam rasa elitisme baru yang membentuk dalam stratifikasi sosial. Tidak ada lagi pertautan rasa antara petani yang menanam, pedagang yang menjual, dan kami yang mengonsumsi. Semuanya berjarak sejak dalam pikiran, apalagi perbuatan. Lalu, apa gunanya Pancasila dibakuhantamkan oleh negara hingga memakan ongkos politik dan kemanusiaan yang sia-sia. Toh, dasar dari Ekasila, gotong-royong, sudah tidak terjadi. Namun, petani tetaplah petani. Tanpa peduli apa yang terjadi, ia menanam harap pada bumi. Filosofi hidup padi.
"Stop complaining!"
said the farmer.
"Who told you a calf to be?
Why don’t you have wings to fly with,
Like the swallow so proud and free ?”
– John Baez
Sesampainya di basecamp, sejenak kami meregangkan kaki sambil menjemur kaos kaki dan sepatu yang basah. Merokok sembari berjemur di teras basecamp yang menghadap langsung ke jalan utama. Matahari pagi hari ini menyingsing, cukup untuk menghangatkan tubuh dan menemani obrolan-obrolan kami sambil melihat-sapa lalu lalang warga, anak-anak sekolah yang tengah berlarian, juga pedagang kaki lima di halaman sekolah. Kami punya waktu empat jam untuk istirahat, buang air, mandi, makan, dan rebahan. Lalu, kami merebah dan tertidur. Sejenak saja.
Di kala waktu zuhur tiba, langit kembali meredup. Kabut tipis yang turun dari lembah perlahan mengitari pemukiman. Pak Taka datang sendirian. Tak berselang lama, Mbak Dika mengeluarkan beberapa helai kain troso, produk dari tanah Jepara, lalu dibagikan pada teman-teman Mahameru. Hujan pun kembali menggemericikan airnya.
Pak Taka adalah senior kami, Mahameru angkatan kelima. Seangkatan dengan Mbak Dika yang duduk di sampingnya. Tampangnya sangat garang, namun nuraninya halus. Selain men-support dalam urusan perlengkapan yang dibutuhkan diksar, Pak Taka selalu menyempatkan hadir. Begitupun dengan Mba Dika. Setiap tahunnya, ia selalu diundang dan mengikuti rangkaian kegiatan diksar sedari awal hingga diakhiri pelantikan.
Tahun lalu, satu hari setelah diksar, Mbak Dika mampir di sekretariat setelah membeli nutrisi buku sastra di Togamas, masak-masak, dan bermain judo. Kali ini, Mbak Dika membeli buku puisi Joko Pinurbo dan novel Oka Rusmini.
Sebelum mengenal Oka Rusmini, Mbak Dika sudah akrab dengan karya sastra NH Dini yang sama-sama tinggal di Semarang. Tahun lalu, Mbak Dika bercerita perihal meninggalnya NH Dini. Berawal dari sebuah kecelakaan lalu lintas dengan mobil yang dikendarainya.
Dari Mbak Dika pula aku mengenal nama Oka Rusmini, seorang perempuan Bali yang menulis novel yang tengah ia baca, Tempurung. Kajian sastra antropologisnya cukup memikatku untuk membaca karya-karyanya dalam bentuk novel lainnya.
Dari Oka Rusmini, aku mengenal Saras Dewi yang sama-sama berasal dari Bali. Ia seorang dosen di departemen filsafat UI. Kajian besarnya bergerak dalam perjuangan ekofeminisme. Ia mengritik pandangan hidup antroposentris manusia modern yang telah menciptakan kerusakan dalam bentuk ekploitasi alam. Hal itu dianggapnya budaya patriarkis yang melekat pada laki-laki. Begitu kira-kira.
Menjelang pukul dua siang, kabut menyelimuti kembali, turun dari lembah-lembahnya yang dingin. Mas Akuntomo tiba-tiba muncul dari balik pintu basecamp. Rupanya, mobil yang dikendarainya sudah terparkir di pinggir jalan. Ia datang dan berkunjung bersama istrinya. Kami memanggilnya Mbak Dayu. Nama aslinya Ida Ayu Inten, seorang perempuan brahmana Bali. Ia menikah dengan laki-laki Jawa, lintas etnik dan agama. Tiada masalah di saat cinta itu hadir bersemayam dalam sanubari manusia. Mereka pasangan baru menikah. Keduanya memiliki hobi yang sama, traveling dan mendaki gunung. Kami mempersilakan mereka berdua untuk masuk. Sekadar untuk berbincang ringan dengan kehangatan.
Udara masih menyisakan kelembaban. Pukul dua siang ini kami harus menuju flying camp 4. Kami berkemas dan mempersiapkan diri untuk berangkat. Kali ini lokasinya bisa diakses dengan menggunakan kendaraan motor terlebih dulu, lalu berjalan kaki menanjak lima menit saja.
Di tengah jalan, ketika berkendara, hujan turun deras. Seketika kami menepi di pekarangan masjid. Niatnya menunggu hujan sedikit mereda, namun cukup lama. Lalu kami memutuskan untuk tetap melaju ke lokasi dengan mengenakan jas hujan. Sesampainya di flying camp 4, hujan masih belum reda. Flying camp 4 cukup rapat dengan pohon pinus dan rumput ilalang hutan sehingga kami sedikit terlindungi dari deras air hujan. Sementara itu, siswa masih dalam penempaan dari para instruktur. Kali ini, mereka baru usai memasang bivak individu untuk tidur malam nanti.
Menjelang magrib, hujan mulai mereda. Di pekarangan shelter bivak, kami membuat bakaran kecil kayu untuk sedikit menghangatkan tubuh. Teman-teman melingkar mengitari api sembari bertukar cerita. Kayu basah masih bisa dinyalakan dengan cara mengambil bagian tengahnya yang kering setelah dipapas dengan pisau tebas. Malam yang sendu. Hutan yang dingin dengan batang-batang pohon pinus di setiap sudut gelap. Masih kuingat tahun lalu, saat aku tidur di antara dua pohon pinus dengan menggunakan hammock. Cahaya langit kala itu sedang purnama. Sedikit awan hitam tipis yang lalu lalang melewati rembulan. Sejenak rembulan itu meredup, kemudian merekah kembali hingga menidurkan kami yang tengadah ke langit.
Karena malam ini adalah malam terakhir, siswa akan dievaluasi. Semacam ujian terkait materi-materi yang sudah diberikan; IMPK, tali temali, survival, dan sebagainya. Setelah evaluasi usai, siswa ditempa sampai habis, dilanjutkan makan malam hasil survival, lalu istirahat.
Keesokan harinya, pukul dua pagi, siswa dibangunkan dan ditempa kembali. Kemudian mereka digiring berjalan menuju tempat pelantikan.
Pukul empat pagi, upacara pelantikan dilakukan. Kali ini di area curug air terjun. Acara pelantikan dilakukan dengan khidmat karena ia cukup sakral. Kami masih melaksanakannya dengan upacara kecil. Menyanyikan lagu Hymne Mahameru, lagu Syukur, lalu disirami air bunga, mencium bendera Merah Putih dan Mahameru. Suasana hening bergeming dan haru karena tidaklah mudah melewati hari-hari selama pendidikan dasar. Yang mengikuti dan melewatinya adalah langkah besar untuk dirinya. Lalu, kawan-kawan instruktur menyalami satu persatu siswa. Mereka terkulai dengan haru. Sambil berucap selamat sudah menjadi bagian dari keluarga MPA Mahameru. Teruslah ber-Mahameru! MPA Mahameru adalah tempat belajar mengenal rumah, rumah Indonesia! Menjadi Mahameru adalah menjadi Indonesia!
Mahameru kutapakkan kaki
Menyusuri gunung rimba
Berderap tangguh dan bersatu
Jiwa sukma tridharma
Menjaga kesatuan
Bumi hijau pertiwi
Berjuanglah
Berkorbanlah
Untuk kejayaan
Berpetualang
Demi panji-panji Mahameru.
Seusai pelantikan, kami bersorak-kelakar dengan tawa lepas di depan siswa. Kami menceburkan diri ke sungai curug air terjun, menuntaskan rasa lelah sambil bermain air. Wajah para instruktur tertawa lepas. Tidak ada lagi wajah garang kawan-kawan instruktur seperti selama diksar berlangsung. Wajah-wajah yang layaknya hyena bermuka harimau. Mata- mata tajam seperti elang. Licin dan luwes bagaikan ular. Bukan tanpa sebab, itu semua karena jiwa-jiwa yang ada di MPA Mahameru adalah jiwa-jiwa yang hidup. Tubuh mereka layaknya semesta bumi kecil yang peka dan jeli melihat setiap keadaan. Singkatnya, Mahameru bukan tempat jiwa-jiwa yang kering kerontang layaknya kadal haus di gurun fatamorgana. Haha...
Usai itu semua, kami makan pagi dengan menu opor ayam. Semacam bahasa kalbu instruktur kepada para siswa yang melewati tiga hari dengan menu survival. Hanya dibekali beberapa batang korek untuk keperluan memasak dan bertahan hidup. Selesai makan, seperti biasa, kami foto bersama. Posisi siswa di tengah paling depan sambil memegang bendera Mahameru. Setelahnya, berswafotoria, ber-selfie, and the end, foto per angkatan.
Syukur kami sembahkan
ke hadirat-Mu, Tuhan.