Beragam Pembacaan Al-Qur’an antara Ta’wil dan Tafsir

Foto: Lukisan karya Syaiful Adnan tahun 1977, tersimpan di Galeri Nasional.
 
Al-Qur’an sebagai pedoman umat Islam menuntut untuk selalu dipahami kemudian dijalankan sebagai petunjuk di kehidupan sehari-hari. Dengan demikian, bagi umat Islam, Al-Qur’an menjadi rujukan utama yang tidak boleh ditinggalkan untuk menyikapi segala persoalan kehidupan di dunia.
Namun, jarak yang begitu panjang antara masa kenabian Muhammad SAW, saat sebagian besar ayat-ayat Al-Qur’an pertama kali diturunkan sampai purna dan utuh, dan kita saat ini dengan segenap perubahan dan persoalan yang kompleks mempunyai konsekuensi/resiko tidak tersampaikannya latar belakang ayat Al-Qur’an selain hanya teks yang tersimpan di mushaf saat ini. Baik meliputi asbabun-nuzul-nya, latar belakang sosio-kultural maupun politik saat suatu ayat diturunkan, maupun melingkupi bahasa dan cara tutur, maupun keadaan psikologi pada saat Nabi menyampaikan wahyu Al-Qur’an ini.
Hal ini menjadi sangat penting dalam konteks kajian Al-Qur’an. Karena tidak komprehensifnya pembacaan atas latar belakang munculnya suatu teks akan berimplikasi atas produk pembacaan Al-Qur’an itu sendiri. Tantangannya adalah bagaimana fungsi diturunkannya Al-Quran sebagai pedoman dan petunjuk bisa tetap dijalankan dengan sebaik-baiknya tanpa meninggalkan beberapa variabel munculnya suatu teks tersebut.
Secara isi dan kandungan jelas tidak ada keraguan bahwa Al-Qur’an akan selalu bisa beradaptasi dan relevan menjawab tantangan zaman.  Sebagaimana dijelaskan dalam Hadis Nabi sendiri bahwa Al-Qur’an senantiasa bersifat as-sholoh likulli zaman wal makan, yakni akan selalu cocok dan relevan di setiap ruang dan waktu yang berbeda.
Tapi hal ini sekali lagi tergantung bagaimana cara membaca dan memahami Al-Qur’an itu sendiri yang kemudian menentukan hasil apakah Al-Qur’an senantiasa bisa bersifat produktif dengan jawaban-jawabannya, atau sebaliknya dengan hasil pembacaan-pembacaan tersebut justru akan membekukan makna dan maksud yang ingin disampaikan Al-Qur’an.
Pembacaan untuk mengungkapkan arti dan makna yang terkandung dalam Al-Qur’an ini dalam tradisi kajian Al-Qur’an ada dua model yang selama ini umum digunakan, yakni tafsir dan ta’wil yang sampai saat ini sudah berkembang sedemikian rupa untuk menjawab tuntutan penggalian atas makna Al-Qur’an.
Antara Tafsir dan Ta’wil
Seperti yang dijelaskan salah satu tokoh tafsir era klasik Syihab al-Din al-Sayyid Muhammad al-Alusi al-Bagdadi dalam kitabnya Ruh Ma’ani, kata “tafsir” merupakan bentuk “taf’il”  susunan huruf “fa’, sin, dan ra’” yang secara bahasa kata tersebut bermakna penjelasan dan penyingkapan. Ada pendapat lain yang juga menyatakan bahwa kata tersebut merupakan bentuk pembalikan dari susunan huruf “sin, fa’ dan fa’ “, yang mempunyai arti terbukanya sesuatu yang tidak terbuka, dengan alasan kata “tafsir” bermakna melepaskan agar berjalan dan berangkat. Ungkapan “Fassartu al-fassara’ ” artinya “arroaituhu liyanthaliqa” (saya melepaskan kuda agar berjalan). Dengan demikian, kata ini mempunyai arti “menyingkap.”
Dalam kitab itu pula dijelaskan pendapat para ulama tentang tafsir sebagai ilmu yang mengkaji tentang bagaimana menuturkan kata-kata Al-Qur’an, tentang makna-maknanya, aturan-aturan dari kata-kata tersebut ketika distrukturkan dan berdiri sendiri, serta hal-hal yang melingkupinya seperti pengetahuannya tentang nasakh, sebab turunnya, menjelaskan kisah yang samar dalam Al-Qur’an dan sebagianya.
Lebih sederhana Prof. Quraish Shihab dalam bukunya Membumikan Al-Qur’an mengutip dari kitab Al-Muafakat menjelaskan bahwa tafsir adalah “penjelasan tentang arti dan maksud firman-firman Allah sesuai dengan kemampuan manusia (mufasir). Dan bahwa kepastian arti satu kosa kata maupun ayat tidak mungkin atau hampir tidak mungkin dicapai kalau pandangan hanya tertuju dengan kosa kata atau ayat tersebut secara berdiri sendiri.”
Sementara itu “ta’wil” sendiri berasl dari akar kata “awl ”, yaitu kembali. Ada yang mengatakan juga bahwa kata tersebut berasal dari “iyalah”, yaitu  mengatur (siyasah), seolah-olah penakwil mengaturnya dan menempatkan makna ujaran pada tempatnya.
Namun sebenarnya para ulama berbeda pendapat soal membedakan antara tafsir dan ta’wil. Masih di dalam kitab Ruh Ma’ani, Abu Ubaidah mengatakan keduanya sama. Al-Raghib juga berpendapat bahwa tafsir lebih umum, lebih baik kaitannya dengan kosa kata dalam kitab-kitab ketuhanan, keagamaan dan lain-lainnya. Secara lebih gamblang Al-Maturidi mengatakan tafsir adalah yang dimaksudkan Allah begini, sementara ta’wil mengunggulkan salah satu kemungkinan tanpa memastikannya. Ada pula yang menyatakan, tafsir berkaitan dengan riwayat, sementara ta’wil berkaitan dengan dirayah.
Dari uraian-uraian di atas berkaitan dengan tafsir dan ta’wil semuanya adalah upaya untuk membuka makna dalam Al-Qur’an. Dan dalam tahap selanjutnya akan banyak pengembangan diskursus atas model-model pembacaan tersebut. Yang pasti, dalam memahami Al-Qur’an, kebenaran paling mutlak hanyalah milik Allah dan Nabi Muhammad yang langsung diajarkan Malaikat Jibril sebagai pembawa wahyu. Dan kita saat ini yang memang berjarak dengan realitas kenabian, yang patut kita lakukan adalah menggali makna Al-Qur’an dari model pembacaan para ulama sebagai pewaris nabi.
***
Editor: EYS

About the Author

You may also like these