Catatan Harian di Masa Pandemi COVID-19: Apakah Perlu Takut dengan Virus SARS-CoV-2?

novel coronavirus SARS-CoV-2
Ada hikmahnya tiap hari kita membicarakan tentang virus. Kita jadi tahu apa itu virus. Boleh jadi kita selama ini sering mendengar tentang virus dan menyifatinya dengan istilah viral, tapi tidak tahu bagaimana wujudnya, karakternya, apakah dia benda mati atau makhluk hidup, mengapa dia bisa mengakibatkan penyakit, dan lain sebagainya.
Virus adalah nukleoprotein infeksius, asam nukleat (DNA/RNA) yang diselubungi mantel protein. Sifatnya infeksius, mudah menular. Meskipun vaksin cacar ditemukan oleh Jenner lebih awal pada akhir abad ke-18, agen yang disebut sebagai virus baru diketahui pada akhir abad ke-19. Awalnya ditemukan pada tanaman tembakau yang menunjukkan gejala daun mosaik. Pada saat itu, gejala daun mosaik dikira terinfeksi bakteri. Namun Ivanovsky menemukan ternyata penyebab penyakit mosaik tembakau berasal dari suatu agen yang ukurannya sangat kecil, lebih kecil dari bakteri.
Sap tanaman tembakau bergejala mosaik yang telah disaring dengan saringan Chamberland ternyata masih dapat mengakibatkan penyakit ketika diinokulasikan ke tembakau sehat. Hal inilah yang kemudian menjadi sebuah ungkapan “contagium vivum fluidum”, cairan hidup yang bisa menular. Kemudian belakangan agen penyebab penyakit mosaik tembakau itu disebut oleh Beijerinck sebagai virus. Tobacco Mosaic Virus (TMV) kemudian disebut sebagai virus pertama yang ditemukan oleh manusia dan berhasil dikristalkan.

Jadi virus itu benda mati atau makhluk hidup? Ini yang menarik dan berkali-kali bikin saya takjub. Virus itu dikatakan sebagai threshold of life. Dikatakan benda mati ya memang karena hanya asam nukleat dan protein saja, tidak bernafas, tidak beranak, tidak makan bahkan bisa dikristalkan. Tapi dikatakan sebagai makhluk hidup ya tidak keliru juga karena dalam proses replikasinya virus menghasilkan progeni yang karakternya sama, yang ini berarti merupakan tanda-tanda kehidupan. Membingungkan, bukan?
Ketika belajar tentang virus baik di kelas maupun ketika baca jurnal, saya menemukan diri saya sedang menyelami wujud nyata asma Tuhan, antara lain al-Musawwir, al-Hafiz, al-Wakil, al-Muhyi, al-Mumit, az-Zahir, al-Batin, yang menggelora, merasuki saya dan membuat saya tak bisa berhenti untuk mempelajarinya lagi dan lagi. Saya menemukan betapa kuasa dan hebatnya Tuhan dalam penciptaan makhluk-Nya, betapa sayangnya Tuhan ke semua makhluknya tak terkecuali, betapa Tuhan menjaga makhluknya sedemikian rupa dalam kesempurnaan sistem-Nya.
Hal inilah yang membuat saya berpikir bahwa universitas itu tak ubahnya sebuah aliran tarekat yang kitabnya ditulis dari riset dalam upaya menguak misteri maupun fenomena ciptaan Tuhan. Mursyidnya adalah dosen-dosen, jalannya adalah laboratorium dan semesta, wiridnya adalah diskusi. Kadang, kalau ngobrol dengan teman-teman geng saya bilang, “Dosen-dosen itu bagiku lebih dari sekadar dosen, namun juga mursyid spiritualku.”
Maha Suci Allah dengan segala kemahaan-Nya.
 

Apakah perlu takut dengan virus SARS-CoV-2?
Kalau pertanyaan itu dilontarkan pada saya, saya akan bilang saya tidak takut dengan virusnya. Tapi saya akan bilang ke masyarakat bahwa mereka perlu waspada sembari menceritakan seputar virus ini yang kira-kira akan bikin masyarakat berpikir dua kali untuk berurusan dengan virus ini. Tak ubahnya ini seperti Panji Petualang dan ular-ularnya. Panji jelas tidak takut ular, tapi Panji pasti selalu bilang bahwa ular itu hewan berbahaya dan punya potensi mematikan sehingga sebaiknya masyarakat umum tidak bermain-main atau dekat-dekat dengan ular.
Tentang Coronavirus sendiri, jika kita baca dari ICTV (Komite Internasional Taksonomi Virus) dan buku-buku virologi, adalah kelompok virus dengan genom RNA yang sejauh ini menjadi salah satu virus yang paling tinggi diversitasnya. Ada sekitar 500 spesies yang telah teridentifikasi, kebanyakan menginfeksi kelelawar dan beberapa hewan, antara lain kucing, musang, paus, unta, dan trenggiling. Tujuh spesies dalam kelompok ini telah diketahui menginfeksi manusia.
Empat spesies di antaranya (HCoV, ada 4 spesies) merupakan virus lemah yang umum tertular di masyarakat, mengakibatkan common cold, atau meriang, masuk angin, nggregesi. Kelompok ini tidak mematikan dan umumnya akan sembuh sendiri. Tiga sisanya adalah Coronavirus yang mematikan dan sangat infeksius (SARS-CoV, MERS-CoV, dan SARS-CoV-2/COVID-19). Ketiga Coronavirus mematikan ini telah mengakibatkan kejadian penyakit yang cukup tinggi dan diklasifikasikan sebagai epidemi. Bahkan SARS-CoV-2 saat ini telah diklasifikasikan sebagai pandemi global.
Laporan-laporan internasional menyebut angka mortalitas SARS-CoV yang jadi epidemi di Asia pada 2003 berada sekitar 10%. Angka mortalitas MERS-CoV yang sempat jadi epidemi di Timur Tengah bahkan mencapai 35%. Sedangkan SARS-CoV-2 yang disebut WHO sebagai pandemi yang terjadi saat ini memiliki angka mortalitas global hampir mendekati 5%. Jika dibandingkan prediksi WHO saat status SARS-CoV-2 masih PHEIC di Januari lalu yang menyebut mortalitas akan berada di angka 3.4%, dengan kondisi angka mortalitas global di 5% saat ini, maka ini tentu merupakan kenaikan yang signifikan.
Tentu saja hal ini tidak bisa dianggap sebagai angka yang remeh. Bayangkan, tiap 100 orang sakit, maka akan ada 5 kematian. Di Indonesia sendiri angka mortalitas bahkan mencapai 9.5%, hampir dua kali lipat angka mortalitas global. Jika berkaca pada Italia per hari ini, 0.2% penduduknya telah dinyatakan positif terinfeksi. Bagaimana jika hal itu terjadi di Indonesia, yakni 0.2% dari 267 juta terinfeksi? Akan ada lebih dari setengah juta warga positif COVID-19, dan jika angka mortalitas masih di 9.5%, maka akan ada lebih dari 50 ribu orang meninggal dalam waktu hampir bersamaan.
Selain mortalitasnya yang tinggi, laju penyebaran virus ini pun tinggi. Nah, laju penyebaran ini sifatnya eksponensial. Dari satu jadi dua, dua jadi empat, empat jadi enam belas, kemudian dua ratus lima puluh enam, dan seterusnya. Akan semakin tinggi penyebarannya jika terdapat kerumunan massa. Kita bisa belajar dari kasus Shincheonji di Korea Selatan, ketika ada satu wanita paruh baya yang tetap bersikeras menghadiri majelis kharismatik, ternyata merupakan penyebar (super-spreader). Belakangan diketahui menjadi penyebab 80% kasus positif COVID-19 di negeri itu.
Kita juga bisa belajar dari kasus tabligh akbar di Putrajaya, Malaysia yang menyebabkan kasus positif COVID-19 di negeri itu melonjak tajam. Belum lagi kasus Jamaah Ijtima di Gowa, Sulawesi dan Jamaah Masjid di Jakarta yang berkaitan erat dengan penambahan kasus positif COVID-19. Berdasarkan pengalaman-pengalaman itu, bijak kiranya memang untuk menghindari kerumunan guna memutus rantai penularan. Bahkan sejak beberapa pekan belakangan, Arab Saudi menutup akses umrah dan bahkan mungkin haji di tahun ini.
Selain itu, belakangan diketahui penularan dapat terjadi melalui udara. Hal ini berarti bahwa disinfeksi yang dilakukan di ruang-ruang publik bisa jadi tidak lagi berguna efektif sebagai cara pencegahan COVID-19. Hal ini tentu sangat berdampak bagi kegiatan-kegiatan yang diselenggarakan di ruang publik dan tidak bisa digantikan secara daring, misalnya Jumatan.
Sejauh ini diketahui bahwa penularan dapat terjadi dari orang yang kelihatannya sehat-sehat saja, atau yang kita kenal sebagai asimtomatis (Orang Tanpa Gejala/OTG). Laporan-laporan ilmiah membuktikan bahwa virus SARS-CoV-2 dapat menular bahkan ketika ia belum menyebabkan seseorang yang terpapar menunjukkan gejala. Hal ini mengakibatkan potensi penyebaran semakin luas jika tidak disiasati dengan baik. Karena belum adanya tes deteksi virus massal, masyarakat umum tidak bisa membedakan mana orang yang masih bebas virus, mana yang sudah terinfeksi dan berpotensi jadi penular.
Maka menurut hemat saya, sangat perlu kehati-hatian di tengah wabah pandemi seperti sekarang khususnya dalam melakukan kegiatan yang melibatkan banyak orang. Bahkan sangat penting untuk kemudian melakukan upaya preventif agar wabah tidak menjadi semakin parah. Kita telah melihat upaya preventif dilakukan oleh Arab Saudi untuk menunda pelaksanaan umrah dan menutup dua tanah suci sementara waktu agar tak menjadi sumber penularan wabah.
Dalam kondisi pandemi ini, apalagi ada bukti terjadinya penularan dari orang yang belum menunjukkan gejala, tiap orang yang kita temui bisa saja telah terinfeksi, atau bahkan jangan-jangan kita sendiri yang telah terinfeksi. Tapi hendaknya ini tidak disikapi sebagai prasangka buruk, semata-mata ini adalah upaya untuk mencegah tersebarnya wabah lebih parah lagi.
Oleh karena itu, perlu sekali untuk melakukan pembatasan kontak fisik apalagi kerumunan. Hal-hal yang telah dianjurkan oleh WHO dan pemerintah merupakan hal yang patut kita laksanakan. Tapi yang perlu digarisbawahi adalah kontak fisik bisa saja terjadi tak hanya di lingkungan rumah, namun juga dapat terjadi di pasar, di angkutan umum, dan di tempat-tempat kerumunan lainnya, di saat kita berupaya untuk mencukupi kebutuhan. Praktis, saat ini hampir tidak ada tempat yang aman dari ancaman sebaran virus ini. Bahkan kita sudah menyaksikan bagaimana virus telah tersebar di wilayah pedesaan yang jauh dari kota dan tempat wisata, salah satunya kasus Ponjong, Gunungkidul. Belum lagi potensi sebaran yang lebih luas jika sebagian masyarakat kita yang merantau ke daerah-daerah episentra penularan nekat kembali ke desa dan enggan disiplin untuk mengarantina diri sendiri.
Oleh karena itu sangat penting untuk menerapkan lagi saling asah-saling asuh-saling jaga. Cuci tangan dengan sabun setelah beraktivitas dari luar rumah, karantina mandiri jika pernah bepergian dari daerah lain, dan menggunakan masker jika pergi ke luar rumah, dan menghindari kerumunan adalah upaya-upaya yang saat ini bisa diterapkan ke diri kita dan keluarga, serta tentu saja memperkuat ikatan komunitas (community empowerment).
Bagaimana dengan orang-orang yang menganggap bahwa “corona adalah flu biasa” dan “saya lebih takut Allah daripada corona”, bahkan yang ekstrim menganggap “takut corona tak ubahnya bentuk kesyirikan”? Warga Italia awalnya menganggap COVID-19 adalah flu biasa, yang terjadi kemudian adalah outbreak besar-besaran dengan angka mortalitas mencapai sekitar 12%, diikuti runtuhnya sistem fasilitas kesehatan negeri itu, bahkan tenaga medis harus memilih siapa yang mau diselamatkan dan siapa yang mau dibiarkan. Tenaga medisnya pun banyak yang meninggal karena ikutan terinfeksi.
Warga Iran awalnya menganggap COVID-19 adalah hal biasa, takdir mati, mereka tetap berziarah dan berkumpul di pusat-pusat keagamaan. Tokoh-tokoh agamanya begitu bersikeras bahwa COVID-19 bukanlah masalah serius. Tak lama kemudian Iran menyusul Italia dalam hal jumlah kasus positif dan angka mortalitas. Bahkan beberapa anggota kabinet dan tokoh penting di negeri itu dikabarkan positif terinfeksi dan meninggal.
Melihat contoh-contoh tersebut, bagaimanakah kita semestinya bersikap? Apakah takut COVID-19 adalah perkara yang menjurus ke kesyirikan? Saya bukan ahli fikih dalam perkara ini, tapi saya mencoba menjawab berdasarkan nalar saya.
Berdasarkan tuturan dari para psikolog dan neuroscientist, adanya rasa takut itu wajar. Semua manusia punya rasa takut, baik yang sifatnya personal, maupun rasa takut yang sifatnya kolektif, baik berupa ketakutan yang sifatnya fobia, maupun yang sifatnya berupa kekhawatiran. Takut itu tercipta sebagai respon natural kita terhadap adanya sesuatu yang kita anggap sebagai ancaman.
Saya pribadi punya anggapan bahwa COVID-19 yang saat ini sedang menakuti kita sebaiknya kita anggap sebagai sebuah peringatan untuk mengubah cara pandang kita terhadap alam, sekaligus cara kita mengolah akal untuk menyelesaikan masalah yang menyangkut keselamatan seluruh umat manusia. Pada akhirnya, kita bisa temukan panduan bagaimana melalui pandemi ini pada firman suci “…dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya…” (MA)
 
Sukoharjo, 4 April 2020
Argawi Kandito S.P., M.Sc. | Virologis

About the Author

You may also like these