Siapa yang tidak mengenal Usmar Ismail, yang selama ini dikenal sebagai bapak perfilman Indonesia itu. Pada Jumat (29/10/2021), tersiar kabar bahwa seniman kelahiran Minang tersebut dianugrahi gelar pahlawan nasional oleh pemerintah. Kabar tersebut tentu menjadi momen sepesial bagi keluarga besar Pengurus Besar Lembaga Seni Budaya Muslimin Indonesia (Lesbumi), yang mana di waktu bersamaan lembaga kebudayaan dan kesenian NU tersebut, sedang sibuk menggelar Rapat Kordinasi Nasional Kamis-Jumat 28-29/ 10/ 2021 yang ke 4 di Pondok Pesantren Budaya Kaliopak, Bantul, Yogyakarta.
Mengenang Usmar Ismail seperti diceritakan oleh Kiai Jadul Maula ketua Lesbumi NU, bahwa ia mempunyai hubungan erat dengan Lesbumi. Karena ia tercatat sebagai salah satu ketua pertama Lesbumi pada tahun 1962, bersama DJamaludin Malik, dan Asrul Sani. Dalam beberapa catatan arsip Lesbumi, Kehadiran Usmar Ismail dalam tubuh Lesbumi pada saat itu memberi warna yang sebelumnya tidak terbayangkan oleh banyak kalangan di luar organisasi NU. Karena sebagai lembaga keagamaan traditional, NU saat itu dikenal dan sering kali dianggap hanya sebagai kaum sarungan dan tidak banyak mengerti dengan perkembangan moderitas. Namun Lesbumi dibawah Usmar Islmail dan kawan-kawan, dengan kerja kesenian dan kebudayaannya ternyata mampu menampilkan karya-karya monumental dalam berbagai bidang seni, mulai dari sastra, seni pertunjukan, terutama film, yang waktu itu bisa dikatakan sebagai puncak dari produk kesenian modern.
Beberapa karya film seperti, Pedjuang, Darah dan Doa, Tiga Dara, Enam Ejam di Jogya dan masih banyak lagi karya film-nya, belum lagi naskah drama dan sastranya. Semua bernafaskan spirit nasionalisme dan religiusitas. Selain itu karya film yang dihasilkan bisa dikatakan sebagai pijakan perfilman Nasional dengan menggambarkan gagasan cinta tanah air, membangun jiwa bangsa yang berkarakter dengan budaya masyarakat Indonesia.
“Dari hal itulah sudah sepatutnya Usmar Ismail mendapat anugerah sebagai Pahlawan Nasional, atas kontribusinya dalam bidang kesenian dan kebudayaan Indonesia, “ Tukas Kiai Jadul Maula dalam sambutannya di konser Lesbumi Ensambel.
Selain itu, keberadaan Umar Ismail dalam tubuh Lesbumi merupakan respon NU ditengah pergolakan politik tahun 60-an. “Para kiai sepuh, terutama waktu itu kiai Wahab Hasbullah dengan cerdas dapat menggandeng tokoh-tokoh modern dari Minang ini, untuk memberi tandingan atas ideologi politik dan kebudayaan yang ada saat itu ada seperti Lekra,” Ujar kiai Jadul Maula yang juga sebagai pengasuh Pondok Budaya Kaliopak Yogyakarta.
Ada dua faktor internal dan eksternal yang melatar belakangi berdirinya Lesbumi yang jelas hal ini tidak bisa dilepaskan dari dengan nama Umar Ismail. Pertama keluarnya manifesto politik pada tahun 1959 oleh Presiden Soekarno, kedua pengarusutamaan Nasakom dalam tata kehidupan sosial budaya dan politik Indonesia pada awal tahun 1960-an. Dan ketiga perkembangan Lekra 1950 sebagai lembaga kebudayaan yang menunjukkan semakin dekat hubungannya dengan PKI, baik secara kelembagaan maupun dengan ideologinya yaitu materialisme sosialis.
Sedangkan faktor internal lahirnya Lesbumi NU berkaitan dengan momen budaya, yang bertujuan sebah lembaga kebudayaan yang dapat melestarikan dan memoles seni budaya yang dihidupi NU. Dan faktor penting lainnya adalah kebutuhan akan pendampingan terhadap kelompok kesenian tradisional dilingkungan NU. Kedua kebutuhan akan modernisasi seni budaya dalam hal ini Umar Ismail menjadi salah satu tonggaknya dalam tubuh Lesbumi.
Rakornas Lesbumi Menemukan Jalan Kebudayaan
Rakornas Lesbumi yang ke 4 sendiri, diadakan sebagai upaya menyongsong Muktamar NU yang ke-34 Lampung yang akan diadakan pada Desember nanti. Mengambil tema Tantangan, Global dan Kebuntuan Wacana Islam Nusantara, Lesbumi dalam pertemuan yang dihadiri hampir 120 perwakilan anak ranting, cabang, sampai pengurus wilayah ini, menjadikan Rakornas sebagai ruang konsolidasi nasional. Untuk mendesak PBNU menjadikan Lesbumi sebagai badan otonom (banom), seperti awal lembaga ini didirikan.
Karena seperti disampaikan oleh Kiai Abdullah Wong dalam poin-poin rekomendasi hasil rakornas, diantaranya menyebutkan bahwa keberadaan Lesbumi bagi NU merupakan garda terdepan untuk membumikan gagasan Islam Nusantara di tengah masyarakat. Dalam hal ini, ketika NU yang mendaku sebagai penerus ajaran Wali Sanga, maka konsekuensinya NU mustahil alergi, apa lagi menafikan kebudayaan sebagai jalan dakwah. Karena itu juga sudah seharusnya NU berada di garda depan dalam menghimpun dan mengkonsolidasikan ragam gerakan adat istiadat, tradisi, dan budaya yang berbasis ketuhanan Nusantara.
Selain itu, bahwa keinginan untuk menjadi banom ini sebenarnya merupakan aspirasi kuat yang berasal dari pengurus wilayah, cabang, ranting dan anak ranting Lesbumi NU yang membutuhkan garis kordinasi, intruksi dan komunikasi yang lebih efektif dan efisien.
“sebagai lembaga otonom, Lesbumi dapat mengatur rumah tangga sendiri secara kebijaksanaan atau pun secara teknis strategis sesuai kebudayaan Lesbumi NU yaitu Saptawikrama (tujuh prinsip Kebijaksanaan kebudayaan),” demikian bunyi poin rakornas yang ditanda tangani oleh ketua Pengurus Pusat (PP) Lesbumi NU KH. M Jadul Maula dan Kiai Abdullah Wong sebagai Sekertaris Lesbumi NU.
Tidak hanya itu, selain semangat kuat dari semua pengurus, secara teknis sebenarnya Lesbumi juga sudah memenuhi sarat untuk menjadi banom NU. Karena ketersediaan dan penyebaran Lesbumi NU di berbagai daerah, baik di dalam maupun luar negeri. Hal ini juga di dukung pula oleh 70persen lebih para anggota Lesbumi NU di setiap tingkatan yang telah mengikuti progam Madarasah Kader NU.
Lesbumi sendiri dalam beberapa tahun ini juga mengalami perkembangan yang cukup pesat. Tercatat, saat ini ada delapan pengurus wilayah, 118 pengurus cabang, 246 pengurus majelis wakil cabang, 303 pengurus anak ranting, dan empat pengurus cabang istimewa yakni Rusia, Belanda, Riyadh, serta Western Australia (part).
Dalam rangka membekali wawasan kebudayaan berbasis tauhid kepada pengurus dan anggota, Lesbumi NU sejak Rakornas III telah memiliki wahana kaderisasi. Secara prinsip, wahana kaderisasi diselenggarakan untuk menjelaskan Saptawikrama. Wahana kaderisasi itu bernama Asrama Saptawikrama (Astawikrama) untuk seluruh tingkatan pengurus, serta Pesantren Ramadhan Islam Nusantara (Pramistara) utuk santri di pondok pesantren.
Karena di berbagai tingkatan telah membuktikan diri secara mandiri dan swadaya dalam melakukan percepatan organisasi serta administrasi, maka Rakornas V di Yogyakarta ini merekomendasikan kepada Muktamar ke 34 NU untuk mengabulkan agar Lesbumi kembali menjadi banom NU.
Karena NU sendiri secara subtansial didirikan bukan semata untuk menjawab problematika umat yang terkait masalah keagamaan, tetapi sebenarnya lebih luas dari itu. Menurut Lesbumi sendiri, NU hadir untuk menjawab persoalan umat dalam konteks Kebudayaan. Lesbumi berpandangan bahwa kebudayaan merupakan satu-satunya aset dari identitas bangsa Indonesia yang secara efektif dapat digunakan untuk melawan arus dan penetrasi global. Dalam hal ini, kebudayaan yang berasal dari sinaran tauhid. Dengan demikian, NU secara jamaah dan jamiyah adalah jalan kebudayaan yang berbasis ke tauhidan.
Rakornas sendiri ditutup dengan menampikan konser yang bertajuk Lesbumi Ensembel di Pendopo Kaliopak. Dengan menampilkan pentas musik kolaborasi Orkestra, Hadroh, dan gamelan Jawa untuk membawakan lagu Syair Tanpo Waton, dan Yalal Wathan hasil olahan komposer musik Dadang S. Piano dan Eki Santria. Kolaborasi tersebut merupakan bentuk dari upaya Lesbumi mendialogkan peradaban melalui pentas musik, yaitu alat musik dari Barat, Arab dan Nusantara.
Oleh: Doel Rohim
Malam minggu (18/12/2021) di Pondok Pesantren Budaya Kaliopak terasa beda. Lampu pendapa yang biasa digunakan acara begitu gelap, yang terlihat hanya cahaya yang dipancarkan di tembok. Pemutaran film dengan projektor ternyata sedang terjadi malam itu. Kurang lebih 30 orang memadati pendapa yang gagah diterpa cahaya malam, mereka nampak khusyuk hayut dalam film yang di putar dengan judul Darah dan Doa The Long march karya Usmar Ismail dalam acara Bimaseni #2 yang diadakan rutin di Pondok di bantaran Kaliopak ini.
Film yang diproduksi tahun 1950 ini, merupakan film Indonesia pertama yang secara resmi diproduksi oleh orang Indonesia sendiri sebagai sebuah negara setalah perang kemerdekaan. Film yang menceritakan perjalanan panjang (long march) prajurit devisi Siliwangi RI yang diperintahkan kembali ke pangkalan semula, dari Yogyakarta ke Jawa Barat setelah kota itu di duduki oleh Belanda pada agresi militer ke dua tahun 1949. Perjalanan panjang yang dipimpin Kapten Sudarto (del Juzar), diceritakan dalam film penuh dengan mara bahaya, banyak peristiwa terjadi seperti sergapan musuh yang menewaskan beberapa prajurit, kisah asmara sang kapten, penderitaan prajurit dan dilema menjadi prajurit dalam kondisi negara yang belum menentu, menjadi drama realis yang begitu menghanyutkan pada malam itu.
Kisah perjuangan dan rasa nasionalisme menjadi narasi utama dalam film yang berdurasi 2 jam tersebut. Dengan segala kelebihan dan kekurangan secara teknis film ini, Usmar Ismail yang juga menjadi bapak perfilman nasional dan baru saja dianugerahi gelar pahlawan nasional, sebagai seorang sutradara berhasil menyuguhkan karya film sebagai alat perjuangan di waktu krisis dan transisi kebangsaan untuk tujuan kesatuan dan persatuan di antara anak bangsa.
Setelah film selesai malam itu kemudian dilanjutkan dengan acara diskusi untuk membedah film yang sudah selesai di tonton. Zahid Asmara sebagai pembedah pertama menyatakan, bahwa film Darah dan Doa sebagai bentuk diplomasi budaya yang dilakukan Usmar Ismail melalui film. Hal ini juga bagian dari sikap Usmar Ismail dalam merespon maraknya film asing terutama dari Amerika yang membanjiri dunia perfilman nasional.
“Maka dari hal itu, agaknya Pak Usmar Ismail dalam konteks ini ingin memberikan visi perfilman nasional sebagai pijakan para sineas muda bangsa di tengah arus perfilman global,” Ujar Zahid yang juga pengkaji film Nasional dari Pondok Kaliopak.
Selain itu film ini seperti disampaikan Zahid sebagai anak wayang dalam artian basis keaktoran para pemerannya tidak bisa dilepaskan dari kesenian tradisi yang sudah hidup ditengah masyarakat. Seperti ludruk, stambul, bahkan wayang itu sendiri.
Sementara itu Yudha Wibisono sebagai seorang produser film menyatakan bahwa film ini begitu luar biasa karena diproduksi dalam kondisi krisis. Tercatat pembiayaan produksi ini hanya sekitar 150 ribu zaman itu, yang didapatkan dari kementerian penerangan. Ia juga mencatat film begitu realis menciptakan situasi peperangan dari sudut pandang rakyat biasa, sehingga pada saat itu film ini dianggap tidak mewakili kepentingan militer.
Lebih jauh Yudha melihat film ini tidak bisa kita bandingkan dengan teknologi perfilman yang berkembang pesat hari ini. Tapi upaya Usmar Ismail dalam menyuguhkan film untuk tujuan membangkitkan nasionalismenya inilah yang patut kita teladani sebagai penggiat film hari ini. Dan nampaknya ketika melihat dinamika produksi film hari ini, akan jauh berbeda, karena film hari ini masuk dunia industri, yang sering kali gagasan terkait lokalitas dan nasionalisme tidak mempunyai ruang banyak di sana.
“Bagaimanapun itu, saya menonton film-film Usmar Ismail mulai dari sejak remaja, dari film beliaulah saya akhirnya mencintai dunia film,” Tutur Yudha menceritakan pengalaman pertamanya dengan nama Usmar Ismail.
Beda halnya seperti disampaikan oleh Rendra Bagus Pamungkas sebagai seorang aktor yang sudah malang melintang di dunia perfilman nasional. Ia melihat film Darah dan Doa ini, berusaha menampilkan gambar realisme dari suatu peristiwa yang benar-benar hadir ditengah masyarakat. Sehingga film ini seperti mengajak kita semua untuk melihat kondisi rell pada saat itu.
Selain itu, Rendra mengungkapkan bahwa bagaimanapun film ini diproduksi dengan tujuan untuk propaganda untuk membangkitkan semangat persatuan dan nasionalisme di tengah ancaman disintegrasi bangsa ini di tengah perang saudara yang terjadi pada saat itu. Dari hal itu juga, apa yang dilakukan oleh Usmar Ismail ini bagian dari statement beliau atas kondisi bangsa ini melalui karya film yang akan menjadi pijakan untuk para penggiat film nasional kita.
“Dan film Darah dan Doa ini merupakan upaya yang dilakukan bapak Usmar Ismail untuk mengambil posisi seperti apa seharusnya perfilman nasional kita di tengah perfilman global,” Tegas Rendra yang pernah menjadi pemeran utama dalam film Wage WR Soepratman (2017) itu.
Melihat Usmar Ismail Dari Sisi Seorang Santri
Berbeda halnya dengan pembedah sebelumnya, Kiai Jadul Maula juga menanggapi film Darah dan Doa ini dari sisi seorang santri yang jarang di baca oleh banyak orang selama ini. Menurut kiai Jadul dalam film Darah dan Doa ini sisi ke santrian Usmar Ismail terlihat jelas. Hal ini tergambar dari cerita yang begitu kuat menampilkan sisi religiusitas yang terdapat pada ungkapan-ungkapan doa yang ditampikan. Kemudian sisi kemanusiaan atau merakyatnya dalam film ini dapat kita lihat pada beberapa adegan misalnya kita dapati bagaimana keterlibatan masyarakat kampung saat menyambut barisan prajurit yang datang. Dan rasa Nasionalisme dalam film ini sudah tidak bisa bantah lagi, karena hampir dari semua plot cerita menggambarkan rasa cinta tanah air yang luar biasa.
Ketiga hal tersebut, mulai dari religiusitas, merakyat, dan cinta tanah air NKRI merupakan bagian dari identitas santri yang juga termasuk sudah tertanam dalam diri seorang Usmar Ismail. Hal tersebut sebenarnya bukan tanpa sebab, jika melihat latar belakang keluarga keluarganya merupakan pemuka agama dari daerah Minang. Dan waktu kecil dikabarkan Usmar Ismail belajar mengaji di surau-surau, begitulah kiranya identitas santri Usmar Ismail dibentuk.
Dalam konteks tertentu menurut Kiai Jadul film sendiri bagi Usmar Ismail adalah alat perjuangan sebagai bentuk ekspresinya sebagai seorang santri. Dan hal ini bisa kita lihat dari film Darah dan Doa ini. Bagaimana film ini muncul dalam situasi masa transisi ditambah lagi dinamika politik kebangsaan yang bergejolak dan tidak menentu. Dari film inilah Usmar Ismail bersikap melalui film Darah dan Doa yang sebenarnya memiliki makna yang dalam.
“Makna judul Darah dan Doa The Long March seperti memberi PR untuk kita semua yang mana long march perjalanan panjang perjuangan bangsa kita sebenarnya belumlah usai untuk menghindari konflik sipil diantara anak bangsa. Sehingga pertumpahan darah ini harus dihindari, dan doa itu sendiri bagian yang mesti terus kita pegangi sebagai bekal perjalanan panjang kebangsaan kita ini,” Tegas Kiai Jadul yang juga menjabat sebagai ketua LESBUMI PBNU.
Maka film ini mendapat relevansinya ketika kita melihat kondisi bangsa kita hari ini, yang mana benturan idiologi sampai sekarang ini yang belum selesai, dan masih dimainkan untuk memecah belah persatuan kita. Antara yang ingin menjadikan negara ini menjadi sangat liberal/komunis sehingga berhadap-hadapan dengan yang membuat negara ini sangat islamis.
Disamping itu makna penting lain dari Usmar Ismail sebagai seorang santri adalah, ia menggunakan film bukan untuk tujuan utama. Tapi ia memilih medium film sebagai medan perjuangan. Dan jika melihat profil Usmar Ismail yang juga bergulat pada politik, ia menggunakan politik untuk menjadikan film bisa diterima di dalam negeri sendiri. Dimana saat itu, dominasi film luar begitu kuat, sehingga ia menggunakan politik untuk memberi pangung bagi per film Indonesia agar sejajar dengan perkembangan film dunia. Dan akhirnya film ini menjadi tujuan akhir dari agama itu sendiri, yaitu film untuk mengekspresikan gagasan spritual dan kebangsaan.
Waktu: Senin, 9 Agustus 2022
Waktu: 15.00 WIB
Lokasi: Pondok Kaliopak
Tiket: Gratis
Usia: Semua Umur
Senin 9 September 2020
15.00 WIB
Instagram Live Indonesia Kaya
GRATIS
Segala Umur
Malam minggu (18/12/2021) di Pondok Pesantren Budaya Kaliopak terasa beda. Lampu pendapa yang biasa digunakan acara begitu gelap, yang terlihat hanya cahaya yang dipancarkan di tembok. Pemutaran film dengan projektor ternyata sedang terjadi malam itu. Kurang lebih 30 orang memadati pendapa yang gagah diterpa cahaya malam, mereka nampak khusyuk hayut dalam film yang di putar dengan judul Darah dan Doa The Long march karya Usmar Ismail dalam acara Bimaseni #2 yang diadakan rutin di Pondok di bantaran Kaliopak ini.
Film yang diproduksi tahun 1950 ini, merupakan film Indonesia pertama yang secara resmi diproduksi oleh orang Indonesia sendiri sebagai sebuah negara setalah perang kemerdekaan. Film yang menceritakan perjalanan panjang (long march) prajurit devisi Siliwangi RI yang diperintahkan kembali ke pangkalan semula, dari Yogyakarta ke Jawa Barat setelah kota itu di duduki oleh Belanda pada agresi militer ke dua tahun 1949. Perjalanan panjang yang dipimpin Kapten Sudarto (del Juzar), diceritakan dalam film penuh dengan mara bahaya, banyak peristiwa terjadi seperti sergapan musuh yang menewaskan beberapa prajurit, kisah asmara sang kapten, penderitaan prajurit dan dilema menjadi prajurit dalam kondisi negara yang belum menentu, menjadi drama realis yang begitu menghanyutkan pada malam itu.
Kisah perjuangan dan rasa nasionalisme menjadi narasi utama dalam film yang berdurasi 2 jam tersebut. Dengan segala kelebihan dan kekurangan secara teknis film ini, Usmar Ismail yang juga menjadi bapak perfilman nasional dan baru saja dianugerahi gelar pahlawan nasional, sebagai seorang sutradara berhasil menyuguhkan karya film sebagai alat perjuangan di waktu krisis dan transisi kebangsaan untuk tujuan kesatuan dan persatuan di antara anak bangsa.
Setelah film selesai malam itu kemudian dilanjutkan dengan acara diskusi untuk membedah film yang sudah selesai di tonton. Zahid Asmara sebagai pembedah pertama menyatakan, bahwa film Darah dan Doa sebagai bentuk diplomasi budaya yang dilakukan Usmar Ismail melalui film. Hal ini juga bagian dari sikap Usmar Ismail dalam merespon maraknya film asing terutama dari Amerika yang membanjiri dunia perfilman nasional.
“Maka dari hal itu, agaknya Pak Usmar Ismail dalam konteks ini ingin memberikan visi perfilman nasional sebagai pijakan para sineas muda bangsa di tengah arus perfilman global,” Ujar Zahid yang juga pengkaji film Nasional dari Pondok Kaliopak.
Selain itu film ini seperti disampaikan Zahid sebagai anak wayang dalam artian basis keaktoran para pemerannya tidak bisa dilepaskan dari kesenian tradisi yang sudah hidup ditengah masyarakat. Seperti ludruk, stambul, bahkan wayang itu sendiri.
Sementara itu Yudha Wibisono sebagai seorang produser film menyatakan bahwa film ini begitu luar biasa karena diproduksi dalam kondisi krisis. Tercatat pembiayaan produksi ini hanya sekitar 150 ribu zaman itu, yang didapatkan dari kementerian penerangan. Ia juga mencatat film begitu realis menciptakan situasi peperangan dari sudut pandang rakyat biasa, sehingga pada saat itu film ini dianggap tidak mewakili kepentingan militer.
Lebih jauh Yudha melihat film ini tidak bisa kita bandingkan dengan teknologi perfilman yang berkembang pesat hari ini. Tapi upaya Usmar Ismail dalam menyuguhkan film untuk tujuan membangkitkan nasionalismenya inilah yang patut kita teladani sebagai penggiat film hari ini. Dan nampaknya ketika melihat dinamika produksi film hari ini, akan jauh berbeda, karena film hari ini masuk dunia industri, yang sering kali gagasan terkait lokalitas dan nasionalisme tidak mempunyai ruang banyak di sana.
“Bagaimanapun itu, saya menonton film-film Usmar Ismail mulai dari sejak remaja, dari film beliaulah saya akhirnya mencintai dunia film,” Tutur Yudha menceritakan pengalaman pertamanya dengan nama Usmar Ismail.
Beda halnya seperti disampaikan oleh Rendra Bagus Pamungkas sebagai seorang aktor yang sudah malang melintang di dunia perfilman nasional. Ia melihat film Darah dan Doa ini, berusaha menampilkan gambar realisme dari suatu peristiwa yang benar-benar hadir ditengah masyarakat. Sehingga film ini seperti mengajak kita semua untuk melihat kondisi rell pada saat itu.
Selain itu, Rendra mengungkapkan bahwa bagaimanapun film ini diproduksi dengan tujuan untuk propaganda untuk membangkitkan semangat persatuan dan nasionalisme di tengah ancaman disintegrasi bangsa ini di tengah perang saudara yang terjadi pada saat itu. Dari hal itu juga, apa yang dilakukan oleh Usmar Ismail ini bagian dari statement beliau atas kondisi bangsa ini melalui karya film yang akan menjadi pijakan untuk para penggiat film nasional kita.
“Dan film Darah dan Doa ini merupakan upaya yang dilakukan bapak Usmar Ismail untuk mengambil posisi seperti apa seharusnya perfilman nasional kita di tengah perfilman global,” Tegas Rendra yang pernah menjadi pemeran utama dalam film Wage WR Soepratman (2017) itu.
Melihat Usmar Ismail Dari Sisi Seorang Santri
Berbeda halnya dengan pembedah sebelumnya, Kiai Jadul Maula juga menanggapi film Darah dan Doa ini dari sisi seorang santri yang jarang di baca oleh banyak orang selama ini. Menurut kiai Jadul dalam film Darah dan Doa ini sisi ke santrian Usmar Ismail terlihat jelas. Hal ini tergambar dari cerita yang begitu kuat menampilkan sisi religiusitas yang terdapat pada ungkapan-ungkapan doa yang ditampikan. Kemudian sisi kemanusiaan atau merakyatnya dalam film ini dapat kita lihat pada beberapa adegan misalnya kita dapati bagaimana keterlibatan masyarakat kampung saat menyambut barisan prajurit yang datang. Dan rasa Nasionalisme dalam film ini sudah tidak bisa bantah lagi, karena hampir dari semua plot cerita menggambarkan rasa cinta tanah air yang luar biasa.
Ketiga hal tersebut, mulai dari religiusitas, merakyat, dan cinta tanah air NKRI merupakan bagian dari identitas santri yang juga termasuk sudah tertanam dalam diri seorang Usmar Ismail. Hal tersebut sebenarnya bukan tanpa sebab, jika melihat latar belakang keluarga keluarganya merupakan pemuka agama dari daerah Minang. Dan waktu kecil dikabarkan Usmar Ismail belajar mengaji di surau-surau, begitulah kiranya identitas santri Usmar Ismail dibentuk.
Dalam konteks tertentu menurut Kiai Jadul film sendiri bagi Usmar Ismail adalah alat perjuangan sebagai bentuk ekspresinya sebagai seorang santri. Dan hal ini bisa kita lihat dari film Darah dan Doa ini. Bagaimana film ini muncul dalam situasi masa transisi ditambah lagi dinamika politik kebangsaan yang bergejolak dan tidak menentu. Dari film inilah Usmar Ismail bersikap melalui film Darah dan Doa yang sebenarnya memiliki makna yang dalam.
“Makna judul Darah dan Doa The Long March seperti memberi PR untuk kita semua yang mana long march perjalanan panjang perjuangan bangsa kita sebenarnya belumlah usai untuk menghindari konflik sipil diantara anak bangsa. Sehingga pertumpahan darah ini harus dihindari, dan doa itu sendiri bagian yang mesti terus kita pegangi sebagai bekal perjalanan panjang kebangsaan kita ini,” Tegas Kiai Jadul yang juga menjabat sebagai ketua LESBUMI PBNU.
Maka film ini mendapat relevansinya ketika kita melihat kondisi bangsa kita hari ini, yang mana benturan idiologi sampai sekarang ini yang belum selesai, dan masih dimainkan untuk memecah belah persatuan kita. Antara yang ingin menjadikan negara ini menjadi sangat liberal/komunis sehingga berhadap-hadapan dengan yang membuat negara ini sangat islamis.
Disamping itu makna penting lain dari Usmar Ismail sebagai seorang santri adalah, ia menggunakan film bukan untuk tujuan utama. Tapi ia memilih medium film sebagai medan perjuangan. Dan jika melihat profil Usmar Ismail yang juga bergulat pada politik, ia menggunakan politik untuk menjadikan film bisa diterima di dalam negeri sendiri. Dimana saat itu, dominasi film luar begitu kuat, sehingga ia menggunakan politik untuk memberi pangung bagi per film Indonesia agar sejajar dengan perkembangan film dunia. Dan akhirnya film ini menjadi tujuan akhir dari agama itu sendiri, yaitu film untuk mengekspresikan gagasan spritual dan kebangsaan.