Para Peziarah yang Aneh

Para Peziarah yang Aneh

Kala senja membinar di saat Magrib menjelang, aku duduk di beranda dengan obrolan-obrolan yang terlontar jenaka, hingga kerut rona siluet panorama Magrib terlibas oleh malam. Orang-orang dibuat cemas oleh virus baru bernama COVID-19. Kampus-kampus mendadak diliburkan, toko dan warung mulai menutup diri dan memilih pulang kampung halaman. Magrib serasa begitu mengambang, lirih dan terabaikan. Masjid-masjid hanya menyisakan suara azan terdengar, "Solluu fii Buyutikum" salat di rumah, dan tidak ada salat berjamaah di masjid.  

Rona-rona siluet langit jingga kemerahan perlahan terbenam. Aku beranjak ke Pondok Kaliopak. Pondok tempat aku melipat-lipat waktu jauh panjang ke belakang, ziarah waktu pada leluhur, hingga hembusan napas begitu terasa mendesir iramanya. Sungguh, suatu hal yang tidak bisa aku dapatkan di kampus, di mana aturan-aturan dipadatkan, pengetahuan dibakukan, dan imajinasi dilumat oleh organisasi. Mahasiswa disibukkan dengan tugas, dosen sibuk dengan rapat, dan organisasi sibuk dengan pengkaderan-pengkaderan formatif serta even-even money oriented. Lalu aku bertanya, di manakah waktu luang dan pengetahuan tercipta, dikonstruksi, dikomposisikan kembali, hingga terdistribusi. Kini, tinggallah menyisakan manusia-manusia  kering dan sepi.

Sesampainya di pondok, aku menuju dapur untuk menyiapkan makan kembulan Ngaji Dewaruci, tugas pokok darmaku di pondok memang memasak. Ia sudah seperti meditasiku dalam bentuk lain. Meditasi yang memang semestinya meditasi, ialah laku olah rasa dan kendali raga. Ajaran filasfat Timur mengajarkan banyak hal perihal ini, meditasi bisa dalam bentuk apapun, seperti ajaran Zen-Budhisme yang berkembang dalam dunia kepenulisan hingga hari ini.

Kali ini makan kembulan memakai piring masing-masing, akibat dari COVID-19 yang merebak, dan untuk kehati-hatian. Malam ini, menu makan adalah bihun, sayur hijau dan kuah sup. Ditambah perasan jeruk nipis, sambal dan kerupuk.

Aku menuju pendopo yang hening, malam menundukkan pundak dan kepala. Gelaran karpet dan tikar, tiang-tiang kayu yang dibalut kain kuning, dan foto raja-raja Mataram Islam, berjejeran di tiang beranda pendopo limasan. Bacaan wirid Ratib al-Haddad sudah dilantunkan. Bacaan-bacaan ini adalah kalam-kalam baik yang kita upload, kembali pada Allah, Tuhan semesta alam.

Kalam-kalam langit dilantunkan sebagai medium untuk melarungkan kekotoran diri dan pikiran di hadapan bumi dan Ilahi. Pondok membiasakan hal itu dilaksanakan sebelum Ngaji Dewaruci dimulai. Semua imaji-pikiran dikembalikan pada ketak-terhinggaan semesta langit, sehingga tidak berakhir pada batas bumi argumentatif ketika ngaji. Suasana lirih bergetaran di bibir, bilik-bilik surau dan tanah yang disirami lafal yang mengheningkan jiwa dan pikiran.

Tema ngaji kali ini adalah “Riwayat Indrapura (catatan perjalanan ke pantai barat Sumatera)”,  dipantik oleh mas Raudal Tanjung Banua, ia seorang sastrawan-budayawan dan peneliti sosial. Di samping itu, ia sering melibatkan diri dalam dunia teater.

Mas Raudal melakukan perjalan untuk yang kesekian kalinya ke ujung selatan Sumatera Barat, terakhir pada oktober 2019 lalu. Ia mengemukakan bahwa Indrapura adalah nama indah yang jika kita telisik ada di mana-mana. Ada Siak Sri Indrapura di Riau, Indrapura Air Putih di Batubara, atau Indrapuri di Aceh. Pahang yang kita kenal sekarang, dulu bernama Indrapura, termasuk ibukota Champa (Vietnam). Nama-nama tempat India kuno pun banyak memakai nama Indrapura. Artinya lebih kurang tempat bertakhta raja Indra (raja tertinggi), demikian pernah ditulis budayawan prolifik Emran Djamal Datuak Mudo.

Dalam buku Rusli Amran, Sumatera Barat Hingga Plakat Panjang (1981), disebutkan, kesultanan Indrapura jadi pumpunan teks setebal 652 halaman tersebut. Gusti Asnan dalam Dunia Maritim Pantai Barat Sumatera (2007), juga membicarakan Indrapura sebagai pelabuhan penting penghasil lada hitam (merica) dan emas. Dalam buku yang lain, Kerajaan Indrapura (2013), Gusti Asnan (sebagai editor) bersama Yulizal Yunus dan Muhapril Musri, juga mengkaji sistem pemerintahan Indrapura.

Tak kalah menarik untuk disimak, dalam sebuah roman Balai Pustaka, yaitu Hulu Balang Raja (cet.1, 1934) karya Nur Sutan Iskandar, mengambil lanskap Indrapura. Tokoh-tokoh utamanya juga terdiri dari bangsawan Indrapura seperti Ali Akbar, Putri Ambun Sari, Muhammad Syah, Malafar Syah dan Raja Maulana. Tentu, masih banyak lagi Indrapura kita temukan dalam berbagai teks Nusantara, baik klasik maupun kontemporerDemikian, papar Mas Raudal.

Paparan-paparan yang dikemukakan begitu terasa sastrawi, terlebih  Mas Raudal memotret itu semua, dan menempatkan dirinya sebagai pejalan atau peziarah waktu. Bukan tanpa alasan perjalanan itu dijelajahi, ia memiliki memori masa kecil yang tersimpan. Memori itu membayang dalam imajisitas perjalanan rantaunya ke negeri seberang. Di Yogyakarta, ketika dirasa ada jarak, justru memori itu muncul kembali. Jejak memori yang membentang luas, sedikit aneh dan menggetarkan, hingga getaran jarak itu mengantarkannya untuk bisa melihat dan sampai  pada jejak-langkah moyangnya. 

Perjalanan pergi jauh ke rimba raya negeri seberang, memang menyisakan luka jarak ruang, namun mampu melipatkan waktu untuk melihat luka-ruang tersebut dengan jernih. Sorren Kiekergard, seorang filsuf eksistensialis berkebangsaan Denmark mengungkapkan perjalanan seperti itu sebagai ‘pergumulan individu dan kebatiniahan’.

Dunia tasawuf Islam dan teosofi mengenal kebatiniahan individu tersebut sebagai suwung, ialah suatu keadaan kosong. Kosong yang merindu akan isi. Layaknya seorang musafir yang kehabisan bekal, dan kehausan di gurun pasir fatamorgana pencarian makrifatnya. Seperti pula pengembaraan seekor elang yang terus terbang mengejar pusaran matahari.

Hati pun menjadi dingin yang menjelma kebisuan, tinggallah menyisakan laku suluk yang membiaskan dahaga akan air kehidupan, air kehidupan yang akan melumatkan semua luka, dan memberikan kesegeran abadi di sisa hidupnya. Konon, air kehidupan itu dikenal dalam kisah raja-raja yang mengerahkan seluruh pasukannya, untuk menemukan air itu. Namun air tersebut hanya diperuntukkan bagi para pejalan, peziarah yang tengah kehausan dan akut kebingungan. Hingga sampailah ia di sungai yang berpasrah pada laut, terseok oleh derasnya rahasia lika-liku air yang meliuk, membentur batu, terjun bebas, hingga menenang sunyi di muara samudera biru.

Sultan Agung menuliskan pergumulan batiniah perjalanannya dalam nubuwat babad Serat Nitik. Syekh Maloyo atau Sunan Kalijaga menyuratkan perjalanan itu dalam Suluk Linglung. Dan lakon Dewaruci menyiratkannya dalam Suluk Dewaruci. Suluk dan serat-serat tersebut adalah medium kita untuk bisa melihat pada diri sendiri. Ialah jalan dan jati diri kita, sebagai manusia Nusantara yang diperagakan dalam teknologi lakon berupa wayang. Kita bisa mengaksesnya melalui lakon suluk diri masing-masing, ialah suluk yang tidak berbatas pada pengetahuan saja, namun pengerahan kanti laku diri dengan totalitas.  

Begitu pun dengan perjalanan Bujangga Manik, ia adalah seorang bangsawan dan rahib yang hidup di masa paceklik keruntuhan Dayeuh Pakuan Padjajaran, ia lebih memilih berkelana dan meninggalkan pusat kekuasaan. Kemudian ia melakukan perjalan jauh, berkelana ke rimba raya pulau Jawa-Selat Bali hingga dua kali. Di Mataram Islam Jawa, kita akan menemukan sosok imajisitas Bujangga Manik dalam diri Ki Ageng Suryomentaram. Menanggalkan jubah kebangsawanan, dan memilih jalan kelana bukanlah tanpa sebab, ia syarat dengan situasi sosial-politik yang menjalar-banal pada saat itu.

Perjalanan kelana tersebut adalah laku-asketis sebagai olah rasa untuk menemukan diri yang baru. Ialah perjalan menemukan jati diri yang beraroma karsa. Karsa yang sejatinya memunculkan bau wangi dengan sendirinya, juga memberi wangi pada diri yang lain. Dan itulah nama asketis yang diberikan pada leluhur manusia Pasundan, ialah Prabu Siliwangi. ‘Siliwangi’ artinya ‘saling wangi’, dan memberi wangi (Silih-Wangi). Dirinya mewangi dengan sendirinya, lalu dengan sendirinya pula ia memberi wangi pada sekitarnya. (MA)

Para Peziarah yang Aneh

Kala senja membinar disaat magrib menjelang, duduk di beranda dengan obrolan-obrolan yang terlontar jenaka, hingga kerut rona siluet panorama terlibas oleh malam. Magrib serasa begitu mengambang, lirih dan terabaikan. Orang-orang dibuat cemas oleh virus baru bernama covid-19. Ugm, Uny, Uin, Upn, dan berbagai kampus lainnya mengeluarkan kebijakan untuk menghentikan seluruh aktifitas kelas dan kerumunan di kampus. Alternatifnya, kampus memberlakukan sistem kuliah daring. Suasana memang cukup genting.

Namun semuanya seolah dibuat keruh dan panik oleh media, khusunya online. Jika kita mau merenung sedikit saja, jika kita semua adalah kaum beragama, mengapa kita dibuat takut yang berujung panik oleh keadaan. Bukankah agama mengajarkan untuk bertahan akan ketidakpastian. Itu adalah jalan utama ketuhanan. Dengan begitu, Tuhan menguji kita untuk tetap tenang. Jalan takwa atau kehati-hatian adalah jalan benar, ia adalah jalan menenangkan, tidak takut yang berujung pada kepanikan. Namun naluri manusia tetap saja menjalar tak beraturan.  

Rona-rona siluet langit perlahan terbenam. Aku beranjak pergi ke pondok kaliopak. Pondok tempat aku melipat-lipat waktu jauh ke belakang, ziarah waktu pada leluhur, hingga hembusan nafas begitu terasa nyambung iramanaya. Sungguh, suatu hal yang tidak aku dapatkan dari peradaban baru abad ini, sebuah dunia yang berlari. Manusia dipacu oleh waktu, bertabrak-tabrakan, dan mengarah pada pusaran yang sama, ialah berhala-berhala baru abad modern yang mereka ciptakan sendiri.

Sesampainya di pondok, aku menuju dapur untuk menyiapakan makan kembulan ngaji dewaruci, tugas pokok dharmaku di pondok memang memasak. Ia sudah seperti meditasiku dalam bentuk lain. Meditasi yang memang semestinya meditasi, ialah laku olah rasa dan kendali raga. Ajaran filasfat timur mengajarkan banyak hal perihal ini, meditasi bisa dalam bentuk apapun, seperti ajaran zen-budhisme yang berkembang dalam dunia kepenulisan hingga hari ini.

Kali ini makan kembulan memakai piring masing, akibat dari virus covid-19 yang merebak, dan untuk kehati-hatian. Malam ini, menu makan adalah bihun, sayur hijau dan kuah sup. Ditambah perasan jeruk nipis, sambal dan kerupuk.

Aku menuju pendopo yang hening, malam menundukkan pundak dan kepala. Gelaran karpet dan tikar, tiang-tiang kayu yang dibalut kain kuning, dan foto raja-raja jawa Mataram Islam, berjejeran di tiang beranda pendopo limasan. bacaan wirid rothibul haddad sudah dilantunkan. Bacaan-bacaan ini adalah kalam-kalam baik yang kita upload, kembali pada Allah tuhan semesta alam.

Kalam-kalam langit dilantunkan sebagai medium untuk melarungkan kekotoran diri dan pikiran dihadapan bumi dan Ilahi. Pondok membiasakan hal itu dilaksanakan sebelum ngaji dewaruci dimulai. Semua imaji-pikiran dikembalikan pada ketak-terhinggaan semesta langit, sehingga tidak berakhir pada batas bumi argumentatif ketika ngaji. Suasana lirih bergetaran dibibir, bilik-bilik surau dan tanah yang disirami lafal yang mengheningkan jiwa dan pikiran.

Tema ngaji kali ini adalah “Riwayat Indrapura (catatan perjalanan ke pantai barat Sumatera)”,  dipantik oleh mas Raudal tanjung buana, ia sering melibatkan diri dalam dunia teater, disamping itu ia seorang sastrawan-budayawan dan peneliti sosial.

Mas Raudal melakukan perjalan untuk yang kesekiankalinya ke ujung selatan Sumatera Barat, terakhir pada oktober 2019 lalu. Ia mengemukakan bahwa Indrapura adalah nama indah yang jika kita telisik ada di mana-mana. Ada Siak Sri Indrapura di Riau, Indrapura Air Putih di Batubara, atau Indrapuri di Aceh. Pahang yang kita kenal sekarang dulu bernama Indrapura, termasuk ibukota Champa (Vietnam). Nama-nama tempat India kuno pun banyak memakai nama Indrapura. Artinya lebih kurang tempat bertahta raja Indra (raja tertinggi), demikian pernah ditulis budayawan prolifik Emran Djamal Datuak Mudo.

Dalam buku Rusli Amran juga disebutkan, ‘Sumatera Barat Hingga Plakat Panjang (1981)’, Kesultanan Indrapura jadi pumpunan teks setebal 652 halaman tersebut. Gusti Asnan dalam Dunia Maritim Pantai Barat Sumatera (2007), juga membicarakan Indrapura sebagai pelabuhan penting penghasil lada hitam (merica) dan emas. Dalam buku yang lain disebutkan, Kerajaan Indrapura (2013), Gusti Asnan (sebagai editor) bersama Yulizal Yunus dan Muhapril Musri, juga mengkaji sistem pemerintahan Indrapura.

Tak kalah menarik untuk disimak, dalam sebuah roman Balai Pustaka, yaitu Hulu Balang Raja (cet.1, 1934) karya Nur Sutan Iskandar, mengambil lanskap Indrapura. Tokoh-tokoh utamanya juga terdiri dari bangsawan Indrapura; seperti Ali Akbar, Putri Ambun Sari, Muhammad Syah, Malafar Syah dan Raja Maulana. Tentu, masih banyak lagi Indrapura kita temukan dalam berbagai teks Nusantara, baik klasik maupun kontemporer. Demikian, papar mas Raudal.

Paparan-paparan yang dikemukakan begitu terasa sastrawi, terlebih  mas Raudal Tanjung memotret itu semua, dan menempatkan dirinya sebagai pejalan atau peziarah. Bukan tanpa alasan perjalanan itu dijelajahi, ia memiliki memori masa kecil yang tersimpan. Memori itu membayang dalam imajisitas perjalanan rantaunya ke negri sebrang. Di Yogyakarta, ketika dirasa ada jarak, justru memori itu muncul kembali. Jejak memori yang membentang luas, sedikit aneh dan menggetarkan, hingga getaran jarak itu mengantarkannya untuk bisa melihat dan sampai  pada jejak-langkah moyangnya.

Perjalanan pergi jauh ke rimba raya negri sebrang, memang menyisakan luka jarak ruang, namun mampu melipatkan waktu untuk melihat luka-ruang tersebut dengan jernih. Sorren Kiekergard, seorang filsuf eksistensialis berkebangsaan Denmark mengungkapkan perjalanan seperti itu sebagai ‘pergumulan individu dan kebatiniahan’.

Dunia tasawuf Islam dan teosofi mengenal kebatiniahan Individu tersebut sebagai Suwung, ialah suatu keadaan kosong. Kosong yang merindu akan isi. layaknya seorang musafir yang kehabisan bekal, dan kehausan digurun pasir fatamorgana pusat makripatnya. Seperti pengembaraan seekor elang, yang terus mengejar pusat matahari.

Yang tersisa tinggallah laku suluk, membiaskan dahaga akan air kehidupan yang akan melumatkan semua luka, dan memberikan kesegeran ketika meminumnya. Air kehidupan yang dikenal dalam kisah raja-raja yang mengerahkan seluruh pasukan, untuk menemukan mata airnya. Namun air itu hanya diperuntukkan bagi para pejalan, peziarah yang tengah kehausan dan kebingungan. Hingga sampailah ia di sungai yang berpasrah pada laut, terseok oleh derasnya rahasia lika-liku air yang meliuk, membentur batu, terjun bebas, hingga menenang sunyi di muara samudera biru.

Sultan Agung menuliskan pergumulan batiniah perjalanannya dalam nubuwat babad ‘Serat Nitik’. Syekh Maloyo atau Sunan Kalijaga menyuratkan perjalanan itu dalam ‘Suluk Linglung’. Dan lakon Dewaruci menyiratkannya dalam ‘suluk Dewaruci’. Suluk dan serat-serat tersebut adalah medium kita untuk bisa melihat pada diri sendiri. Ialah jalan dan jati diri kita, sebagai manusia Nusantara yang diperagakan dalam teknologi lakon berupa wayang. Kita bisa mengaksesnya melalui lakon suluk diri masing-masing, ialah suluk yang tidak berbatas pada pengetahuan saja, namun pengerahan kanti laku diri dengan totalitas.  

Begitupun dengan perjalanan Bujangga Manik, ia adalah seorang bangsawan yang hidup dimasa panceklik keruntuhan Dayeuh Pakuan Padjajaran, ia lebih memilih berkelana dan meninggalkan pusat kekuasaan. Kemudian ia melakukan perjalan jauh, berkelana ke rimba raya pulau Jawa-Selat Bali hingga dua kali. Di Mataram Islam Jawa, kita akan menemukan sosok imaji Bujangga manik dalam diri Ki Ageng Suryomentaram. Memilih jalan kelana bukanlah tanpa sebab, ia syarat dengan situasi sosial-politik yang menjalar-banal pada saat itu.

Perjalanan kelana tersebut adalah laku-asketis sebagai olah rasa untuk menemukan diri yang baru. Ialah perjalan menemukan jati diri yang beraroma karsa. Karsa yang sejatinya memunculkan bau wangi dengan sendirinya, juga memberi wangi pada diri yang lain. Dan itulah nama asketis yang diberikan pada leluhur manusia Pasundan, ialah Prabu Siliwangi. ‘Siliwangi’ artinya ‘saling wangi’, dan memberi wangi (Silih-Wangi). Dirinya mewangi dengan sendirinya, lalu dengan sendirinya pula ia memberi wangi pada sekitarnya.

Pagi ke Pagi di Beranda

Pagi ke Pagi di Beranda

Pagi ini sedikit kelabu, mungkin karena sisa hujan semalam. Aku bangun dari tertidur sendiri. Masih menyisakan sedikit bayang-bayang lorong malam, kelabu seorang perempuan yang diantarkan ibunya ke gereja di tengah malam natal. Lalu sembahyang pagi. Lalu sembahyang pagi. Sembahyang sasih tilem di pura-pura malam purnama. Dan bersamadi malam jumat di stupa vihara.

Belakangan bulanan ini, aku sering sembahyang subuh di pagi hari, sudah memasuki waktu duha sebenarnya. Sejenak merenung pada relung-relung mimpi tadi malam. Rasanya sudah lama mimpi ini mengendap. Sorak-sorainya berlarian tak berarah. Ingin sekali aku meliriknya kembali, kembali ke lubuk dasar, usai pergi jauh.

Fajar menyingsing kala aku berjalan menuju pasar, pagi hari aku suka ke pasar untuk membeli bahan masakan. Suasana pasar sedianya begitu, ramai berjejeran dan kelabu pada lorong-lorong. Aku membeli ikan pindang, tahu segar dan rempah. Pagi ini aku memasak tumis tahu, ikan pindang goreng dengan sedikit tepung. Mamah suka memasak ikan seperti ini dengan istilah “ikan dijaketin”, maksudnya bagian kulitnya dikasih tepung agar tidak ‘bebeletukan’ ketika digoreng. Aku memang terbiasa memasak sendiri sedari SD, tidak ada yang mengajari, namun aku suka melihat mamah waktu memasak. Disitulah aku melihat, belajar dan bisa sendiri.  

Belakangan ini, seringkali aku hanyut dalam aktivitas memasak, ia sudah seperti aktivitas rasa, layaknya meditasi. Seminggu yang lalu, aku baru saja ikut pre-order dari penerbit Komunitas Bambu. Ia menerbitkan kembali (cetakan kedua) buku ”Mustika Rasa”, buku itu adalah warisan Bung Karno dalam merangkum dan mendokumentasikan masakan di seluruh Indonesia. Bung Karno memang tidak main-main soal urusan identitas, ia menelusurinya hingga pada kuliner. Karena cukup fundamental, cita rasa masakan dan jenis makanan itu memcirikan suatu identitas yg dinamis dan terus berkembang, terlebih Indonesia sebegai samudera yang ditaburi ragam ribu kepulauan yang sangat kaya raya akan rempah. Rempah yang pernah menjadi sumber kekayaan bangsa ini. Rempah ini pula yang menjadi daya pikat para pelancong Eropa, yang kemudian membentuk Koloni kongsi dagang. Kelak menjadi ironi bangsa ini, kekayaan yang justru menjadi nestapa, hingga kini.

Nasi diatas kompor yang aku tinggalkan ketika ke pasar sudah matang, nasi liwet dengan rempah bawang merah, batang sereh, daun salam, sedikit garam dan penyedap rasa. Kuhidangkan semuanya di meja beranda, meja yang dikelilingi kursi tempat kami duduk dan bercerita. Tembok disekelilingnya terdapat gambar lukisan tentang perjalanan lakon dewa ruci. Nama dewa ruci dipakai untuk istilah pengajian rutin yang kami selenggarakan setiap malam rabu, Ngaji Dewaruci. Sesekali tamu yang berdatangan biasa duduk di beranda ini pula. Tamu yang datang dan pergi; ada yang menepi, sowan pada pak Yai, meminjam tempat untuk acara organisasi dan lainnya. Pondok limasan ini memang terbuka bagi siapapun yang datang kemari. Meski sekedar menepi.

"Kita bergerak dan bersuara

Berjalan jauh tumbuh bersama

Sempatkan pulang ke beranda

Tuk mencatat hidup dan harganya”

(Hindia)

(MA)

Belajar dari Telapak Tangan

Belajar dari Telapak Tangan

Satu-satunya anggota tubuh yang hampir dapat menjangkau seluruh bagian tubuh adalah telapak tangan. Kita bisa menutup hidung dan mulut dengan telapak tangan ketika di jalan terkena polusi asap kendaraan atau menemui bau tak sedap. Jika sedang pegal, kita bisa memijat-mijat sendiri bagian tubuh yang pegal dengan telapak tangan.

Buat kalian yang sedang menikmati hubungan percintaan dengan kekasih, jika kalian sedang ada masalah, mengulurkan tangan sebagai permintaan maaf menjadi solusinya, kemudian kekasih akan menyambutnya, dan telapak tangan sepasang kekasih bertemu dengan hangat.

Pendidikan akhlak dasar yang diberikan anak salah satunya juga membiasakan untuk mencium kedua tangan orang tua. Kemudian orang tua akan membelai lembut kepala atau pundak si anak, dan memberikan doa-doa untuk tumbuh kembang anak.

Jika dalam pengetahuan khusus, telapak tangan yang dimiliki seseorang konon dapat mencerminkan pribadi dari orang tersebut. Dan pada beberapa orang yang diberikan karunia pengetahuan dan ilmu yang khusus, dengan telapak tangannnya ia dapat memberikan manfaat kebaikan kepada orang lain. Misalnya, seseorang yang ahli dalam kesehatan tubuh manusia, dengan memberikan sentuhan telapak tangannya, ia dapat membantu meredakan tubuh yang sedang sakit.

Dengan telapak tangan, kita dapat meminta. Dalam posisi berdoa, kita yang sesungguhnya berpasrah dan meminta apa yang kita inginkan agar dikehendaki oleh Tuhan, kita menengadahkan telapak tangan kita.

Kita membuka telapak tangan kita, pada posisi di depan dada. Pada jantung yang berdetak, telapak tangan terberikan rintik karunia kepasrahan dan ketenangan dalam berdoa. Dengannya, telapak tangan terilhami energi kebaikan untuk sentuhan-sentuhan hangat dalam aktivitas keseharian kita.

Ketika berjabat tangan, pun juga kita dapat memahami sebagai cara saling mendoakan. Memberikan energi kebaikan yang tersalurkan lewat sentuhan telapak tangan. Keberkahan pun dapat dirasakan ketika kita diberi kesempatan bertemu seorang ahli ibadah, lalu kita menundukkan tubuh, berjabat tangan dan menciumnya, atau menempelkananya pada dahi, sebagai tanda menjaga akal kita.

Belajar dari telapak tangan, kita dapat lebih memahami sesuatu yang sederhana di sekitar kita. Semoga menjadi motivasi semangat dan inspirasi pada hari-hari panjang yang akan dijalani. Selamat melanjutkan aktivitas kembali. Terimakasih telah meluangkan waktu untuk membaca. (MA)

 

 

 

 

Pelajaran Dari Lampu Apill

Jarak antara hidup dan mati di jalanan hanya sebatas rem dan gas. Jika sudah memutuskan pergi ke luar, maka hatimu harus sudah sumeleh

Urusanmu adalah berusaha hati-hati, tapi apa ada urusan kalau orang lain bertingkah ceroboh dan tidak bertanggung jawab.

 

Sumber Gambar: www.kaskus.co.id

Labirin Imajiner

Labirin Imajiner

Dan lagi, terus begini-begini saja.

Bayang-bayang akut pikiran yang masih melekat di kepala, mengalir pada tubuh layaknya sebuah labirin waktu: getir aku menyadarinya, ingin terbebas dari bayangannya. Labirin yang terus saja berjejalan pada titik bayang di antara kedua mataku, hyperreality. Aku masih saja termenung sendiri, merasa tak mampu berbuat. Kosong dan rendah gairah. Melankolia.

Sepintas ingin aku bisa mereda semua, perlahan. Konsep kesaradaran “mindfulness” ajaran Zen-Budhisme. Ia menyarankan pada kita mengambil waktu (jeda) dalam sehari untuk bermeditasi. Dalam ajaran Zen, meditasi sebenarnya bisa dalam bentuk apa  saja: membaca, menulis, memasak, melukis, dan sebagainya. Namun dalam ajaran Budhisme, meditasi dengan cara layaknya ritual formal: kita duduk, diam bersila, lalu mengatur nafas. Zen-Budhisme kemuďian berkembang di kawasan Asia-Timur. Semacam ada pertemuan antara Zen sebagai ajaran moral lokal Jepang, dengan berkembangnya ajaran Budha dari India ke kawasan Asia. 

Dari pengaturan napas inilah sebenarnya yang perlahan akan membuka alam bawah sadar kita, artinya kesadaran kita akan terbuka dan menemukan keseimbangannya. Kita dilatih untuk menemukan diri dari dalam, bukan dari luar. Sehingga akan tercipta pembentukan diri, bukan citra diri. Zen-Budhisme mengajarkan cara menjelajahi itu dengan berse-meditasi. Cara menempuhnya memang perlu waktu, melatih diri, dan tidak mudah. Kesadaran adalah kemewahan di abad ini, di tengah manusia yang dinilai kemewahannya dari apa yang ia beli dan barang apa yang ia punya, itulah abad modern kita.

Berfilsafat adalah aktifitas yang menyenangkan, meski seperti tak ada pekerjaan. Namun dalam filsafat menyediakan wadah untuk mereka yang dahaga pada pengetahuan dan mencintai laku bijak, sejak dalam berpikir. Berfilsafat adalah aktifitas merenung (kontemp-meditad). Kontemplasi adalah aktifitas berpikir, dan meditasi adalah aktifitas jiwa, rasa, dan raga. Keduanya perlu memiliki asupan yang baik, hingga terciptanya keseimbangan. (MA)

Pintu Sarang

Pintu Sarang

Hampir tiga malam ini aku berkunjung ke rumah Simbah.  Sebenarnya aku kerap mengobrol dengannya, namun hanya sebatas angin lewat saja pembicaraan itu tercipta. Baru awal tahun ini, tepatnya ketika malam tahun baru, aku mengobrol cukup panjang bersamanya.

Berawal dari ajakan Mba Grey menonton film-film garapan Akira Kurosawa yang mengangkat falsafah Asia Timur secara luas, dan Jepang secara khusus. Filsafat dan kesusastraan Asia Timur terasa begitu dekat dengan Indonesia, begitu juga arus modernitas yang telah berlangsung lama di sana. Mba Grey, demikian aku menyapanya, adalah aktifis perempuan, anggota Majestic 55 (Mapala FH UGM). Ia menekuni isu lingkungan hidup dan sering terlibat dalam pagelaran kesenian lokal. Sekitar dua bulan yang lalu aku mengundangnya ke sebuah diskusi yang diadakan Mapala Mahameru di Pendopo Merah Fakultas Ilmu Sosial UNY, sekadar berbagi pengalaman terkait upacara Kebo Ketan yang cukup terkenal itu.

Pergantian tahun diguyur hujan hampir seharian penuh. Pukul 20.00 hujan sedikit mereda, aku berangkat menuju Pojok, tempat Simbah. Penamaan pojok sendiri aku tidak tahu, mungkin karena letaknya di tepian jalan, masuk gang kecil sebelum pasar Piyungan, jalan Wonosari. Bisa juga karena letaknya di pojokan sawah. Sawah-sawah yang dikelilingi bebukitan berundak di belakangnya, termasuk bukit Api Purba. Di kala malam tampak lampu-lampu penduduk dan warung-warung di  kawasan Bukit Bintang yang ramai oleh wisatawan malam. Untuk melihat Yogyakarta malam hari, kita cukup duduk di warung-warung yang tersedia, sambil menikmati jagung bakar dan teh hangat. Tempat pojok persis berada di samping monumen Dupa Alu. Tempat yang aku kunjungi pada malam 17 Agustus, kala itu sedang berlangsung pagelaran seni rakyat, sekaligus upacara hasil bumi, diakhiri dengan makan kembulan bersama sebagai ekspresi rasa syukur kepada Ibu Bumi, Tuhan yang Maha Esa.

Kembali aku diingatkan pada suatu tempat yang asing. Aku membayangkan diriku sebagai Sophie Amundsen menemukan sarang dalam pencarian dirinya, bertemu cermin bayangan dirinya bertanya-dialog, hingga mampu berkontemplasi. Imaji itu pula yang terbentuk saat pertama memasuki pintu pojok Pondok Kaliopak. Tempat aku menepi dari arus waktu dunia yang berlari, duduk hening bersemadi. Hingga sampailah aku pada ujung malam, di antara lelap dan sadar. Layaknya seorang yang bermakrifat pada pagi, melewati fantasi malam panjang. Sepintas aku teringat Al-Kahfi, surat paling indah dalam Alquran menurutku. Surat ini mengisahkan tujuh pemuda yang lelah karena harus hidup di antara orang-orang yang tak beragama, dan akhirnya mengungsi ke dalam sebuah gua, di mana mereka tertidur nyenyak dalam waktu lama. Allah lalu mengunci telinga mereka, dan membuat mereka tertidur selama tiga ratus sembilan tahun. Ketika terbangun, mereka terpana menyaksikan perubahan dunia yang sudah terjadi. Allah yang membuat perubahan masa secara alami, dan kenikmatan tertidur yang sangat nyenyak

Tempat pojok ini juga mengingatkanku pada suatu tempat ketika Himura Khensin bertemu gurunya, tempat ia kembali ke habitatnya, tempat ia berguru, berlatih menempa dan ditempa diri. Perlahan ia tersadar dari tidur panjangnya, setelah terhempas dalam lautan ketersesatan. Kala itu hujan angin dan gemuruh badai, ia menceburkan diri ke laut hingga terbawa arus samudera biru, lalu tak sadarkan diri. Beruntung, sang guru menemukannya di tepi pantai. 

Sisa ingatan-ingatannya kini mulai merekah, perlahan ia mulai diingatkan untuk pulang ke haribaan dirinya. Jalan hidup samurai menyeretnya mengabdi pada dinasti Shogun yang dikata akan mengantar kepada sebuah era baru. Jalan itu ditempuhnya, dengan menebas samurai-samurai muda yang tidak bersalah, hingga ia mendapat julukan sang pembunuh, Himura Battosai. Di persimpangan jalan, ia bertanya-tanya, apakah yang telah dilakukannya itu benar? Dari situ ia menemukan titik tolak, berjanji dan mengabdi pada dirinya sendiri untuk tidak membunuh lagi dalam jalan hidup samurainya. Kemudian ia menemukan sang guru, pembuat samurai legendaris dengan mata pedang terbalik, sebagai pesan ikrar tanda arus balik jalan hidup samurainya.

Semilir angin sore mengabarkan bahwa ia masih berguna. Karenanya ia harus tetap hidup, hingga memutuskan berjalan pulang, menapaki jejak langkahnya kembali. Ia duduk dan termangut melihat bentangan jalan yang dilaluinya, sungguh terjal dan berliku. Hujan yang menghujam tiada terasa derasnya. Hujan itu pula yang melumatkan semua lukanya, hingga tak sadar menerabas marabahaya dari tebing-tebing curam yang dilewati. Hujan badai semacam ini pernah datang berbulan-bulan lalu tiada henti, seolah pipa-pipa pemadam kebakaran yang ada di muka bumi, tercurah serentak di sana. Di ujung malam, di antara lelap dan sadar, ia terjaga, seakan letih tak mengganggunya. Ia terus berjalan menjemput pagi. Ia terlahir kembali.

Rumah tua lusuh dengan halaman yang rimbun oleh pepohonan, taman rumput yang terpotong jalan di halaman, dan kolam ikan di sebelah saluran irigasi sawah. Di belakang rumah terdapat hamparan tanah kosong; kayu bambu hitam, pohon pisang, tumbuhan rempah, dan dinding-dinding batu bata berlumut hitam yang membentuk pondasi rumah setengah jadi.

Simbah masih ditemani dua anjingnya yang suka bersuara setiap orang masuk ke pintu halaman rumah. Langgar kayu tua semakin lusuh oleh kepulan asap tungku kayu bakar tempat ia membuat air panas untuk kopi dan teh. Kami duduk di depan bongkahan batu yang dijadikan meja tamu. Aku membuat kopi sendiri untuk menemani di sela-sela obrolan. Salah satu budaya yang terbentuk dari Mapala adalah tidak membuat repot orang lain.

Simbah pernah menjadi anggota Mapala. Dia banyak bercerita pengalaman perjalanannnya ke berbagai pulau di Indonesia: pegunungan Sumatera, Kalimantan, Jawa, Argopuro, hingga puncak Cartens Papua pada tahun 2002. Ia sendiri dibesarkan di kepulauan Riau. Ketika aku bertanya tentang tempat tinggalnya, Simbah bertanya padaku, "Kamu baca novel Laskar Pelangi, kan? Nah, tempatku lebih ngeri dari Belitung yang diceritakan Andrea.” Gerak tubuhnya lugas dan tenag. Suara yang keluar membentuk bunyi pesan, dan kalimatnya tercipta dari garis-garis yang mengerut di dahinya.

Seringkali tamu datang dari berbagai daerah, teman-teman Mapala-nya dari berbagai kepulauan Indonesia. Sesekali berlatih di daerah tempat ini, hingga ia menamakan tempat pojok ini sebagai Rumah Indonesia. Tak jarang pula ia mengantar tamu asing dari luar: Belanda, Spanyol, Italia, Jerman. Semuanya ia terima dengan prinsip  kesadaran dan kebersamaan. Bergembira. (MA)

Tapak Hening di Kinahrejo

Tapak Hening di Kinahrejo

Kinahrejo, suatu pagi.  Sesuai janji sore tadi, dan atas ajakan seorang teman, malam ini pukul 23.00 aku hendak ke rumah Mbah Suketi. Aku bergegas mandi, seusai bermain badminton di Gor Balai Desa Dusun Gandok. Setiap malam Minggu, aku bermain badminton bersama bapak-bapak warga dusun Gandok. Ada juga beberapa teman mahasiswa dari UNY dan UGM.   Dusun Gandok adalah dusun tempat sekretariat HMI UNY berada, sebuah perhimpunan mahasiswa Islam di UNY. Jadi, selain akrab dengan teman-teman HMI, aku cukup akrab pula dengan warga dusun sini. Aku sendiri sebenarnya bukan anggota HMI, namun aku nyaman bergaul dengan mereka: bermain bersama, bertukar pikiran, bercengkrama, masak dan makan bersama, lalu menginap hingga lupa hari.  Pukul 23.00, sambil menunggu teman-teman lain yang belum datang, sediakalanya kami bercerita saja di beranda. Semilir aroma tanah basah seusai hujan menambah gelap malam ini. Mas Bambang dan Mas Baizal yang datang dari Semarang hendak ikut juga. Mereka berdua adalah senior HMI. Mas Bambang setiap akhir pekan pulang dari Semarang ke Yogyakarta, rehat dari pekerjaan hariannya di jasa keuangan Bank Mandiri. Seringkali ia mengajakku main, sekedar nongkrong di kedai atau keliling kota. Tak berselang lama, dua orang datang menghampiri. Rupanya mereka teman Abe Bangkong yang sedang berada di sampingku. Namanya Aegis dan Haris. Aegis anak Kebijakan Pendidikan FIP UNY, keduanya mahasiswa aktif dan bergiat di Lembaga Pers Mahasiswa UNY. Sekitar pukul 00.10 malam, kami berangkat menuju rumah Mbah Suketi, lokasinya di lereng Merapi penghujung Desa Kinahrejo. Sebuah desa yang tidak tertera dalam peta Babad Tanah Jawi. Desa ini pula yang diceritakan dengan cukup menarik oleh seorang Indonesianis asal Jerman, Elizabeth D. Inandiak. Dalam novel fiksinya yang berjudul Babad Ngalor-Ngidul, Elizabeth bercerita;

“Sabtu 23 Oktober 2010, lava dari kawah Merapi mulai mengalir ke Kali Gendol. Di Dusun Kinahrejo tidak ada orang yang memperhatikan gejala alam itu. Kecuali Bu Pujo yang tampak gelisah. Suaminya malah keluar rumah karena Bu Pujo mulai ngobrol ngalor-ngidul lagi. Hanya si perempuan waskita ini yang masih bisa (berbicara) bahasa purba itu. Sesudah kematiannya dalam letusan, siapa lagi akan ngomong ngalor-ngidul?”
Ngalor-ngidul dalam istilah bahasa Jawa kini lazim diberi makna tutur yang tak tersambung, ngaco belo, pertanda ketakwarasan akal. Namun, Elizabeth justru memperlihatkan ngalor-ngidul mengandung makna yang berbeda. Ia adalah percakapan mesra purbakala: antara yang di utara (lor) dan yang di selatan (kidul). Dalam konteks masyarakat Yogyakarta yang hidup dalam rengkuhan Laut Selatan dan Gunung Merapi, ngalor-ngidul tak lain adalah suatu hubungan timbal balik, saling bergantung tanpa henti, antara geleduk awan panas di utara dan gelora ombak laut di selatan. Elizebeth mengutarakan terjadinya pergeseran makna kosmologis dan perubahan masyarakat lokal, melihat fenomena yang terjadi pra-pasca erupsi 2010. Masyarakat kini lebih percaya pada Bmkg ketimbang hubungan (langsung) kosmologi diri (masyarakat)nya sendiri. Percakapan ngalor-ngidul telah bergeser makna, bahkan terputus hilang tiada makna. Akibatnya, Kinahrejo kala itu menjadi desa terparah yang terkena dampak erupsi Merapi 2010.  Rumah Mbah Suketi berada di jalur pendakian Labuhan, jalur yang sudah ditutup pasca erupsi Merapi 2010. Rumah ini sudah seperti rumah bersama, rumah Indonesia di kalangan para pegiat alam, khususnya Mapala. Kebetulan aku tahu rumah Mbah Suketi, di saat Pendidikan Dasar (Diksar) Mpa Mahameru FIS UNY dua tahun lalu, dua tahun setelah aku masuk dan resmi menjadi anggota muda Mpa Mahameru, tahun 2017. Belakangan setelah Diksar usai, beberapa teman sering menyempatkan waktu mampir ke rumah ini. Dinding-dindingnya dipenuhi pitutur wejangan kehidupan dari para senior Mapala.  Kami melaju dari jalan Deresan, melalui jalan Kaliurang, hingga sampai di rumah Mbah Suketi pukul 01.35. Setelah melewati lembah kecil yang ditumbuhi kayu-kayu bambu, sebelum sampai di halaman rumah. Suasana cukup ramai, motor yang sudah terparkir berjejeran. Setelah melihat sedikit bercengkrama dengan salah seorang di antaranya, mereka adalah teman-teman Sispala dari pulau Sumatera. Kemudian, aku menuju rumah sebelahnya, rumah tempat Mbah Suketi tinggal. Nampaknya beliau masih bangun, dan menunggu kedatangan kami. Abe Bangkong sudah mengabarkan padanya mau singgah malam ini. Sejenak kami mengobrol, bertanya kabar dan keadaan. kemudian aku sambil istirahat sejenak. Di atap beranda itu masih terpampang tulisan "Universitas Merapi". Meski kini, rumah ini sudah berdinding tembok dan beralas semen. Sapi besar yang terparkir di samping rumahnya sudah dijual, anjing (si manis) yang sempat mengikuti jejak-jejak kami saat diksar dua tahun lalu, kini sudah tidak ada pula, kabarnya mati. Selang beberapa menit, kami ke belakang menuju spot camp. Berjalan kaki memasuki hutan terbuka, mulai memasuki area hutan lindung Taman Nasional Gunung Merapi, 20 menit kemudian kami sampai di lokasi. Kebun kopi yang menghampar luas. Kami menggelar matras untuk duduk menghangatkan suasana, malam menjelang pagi yang hening, sedikit berbintang. Suasana sendu malam, lalu lirih di sela-sela obrolan yang tercipta;
Perlahan sangat pelan hingga terang kan menjelang Cahaya nyali besar mencuat runtuhkan bahaya Di sini kuberdiskusi dengan alam yang lirih Kenapa indah pelangi tak berujung sampai di bumi Aku orang malam yang membicarakan terang Aku orang tenang yang menentang kemenangan oleh pedang Cahaya bulan menusukku dengan ribuan pertanyaan Yang takkan pernah kutahu di mana jawaban itu Bagai letusan berapi bangunkanku dari mimpi Sudah waktunya berdiri mencari jawaban kegelisahan hati (Soe Hok Gie)
Angin malam cukup menusuk malam ini, kabut tipis pun turun pelan-pelan di lembah Merapi. Pertanda sepertinya akan turun hujan. Beberapa menit kemudian, Mas Faizal, Mas Bambang dan Riski masuk tenda untuk istirahat hingga Subuh hari datang nanti. Rencananya, pukul lima pagi mereka mau ke Kaliadem melihat matahari terbit. Sementara aku, Abe Bangkong, dan Aegis pulang kembali ke rumah Mbah Suketi. Melentangkan tubuh di sofa, hingga tertidur, lelah.
Dini hari ini, ketika matahari memberi tanda akan terbit Aku datang kembali Ke dalam ribaanmu, dalam sepimu Dan dalam dinginmu Walaupun setiap orang berbicara tentang manfaat dan guna Aku bicara padamu tentang cinta dan keindahan Dan aku terima kau dalam keberadaanmu Seperti kau terima daku Aku cinta padamu, Merapi yang dingin dan sepi Sungaimu adalah nyanyian keabadian tentang tiada Hutanmu adalah misteri segala Cintamu dan cintaku adalah kebisuan semesta Malam itu ketika dingin dan kebisuan menyelimuti Merapi Kau datang kembali Dan bicara padaku tentang kehampaan semua
Pagi hari aku terbangun sendiri, Ageis dan temannya masih tertidur pula. Abe Bangkong yang tidur di sofa sebelahku sudah tidak ada, berselang sepuluh menit kemudian mereka datang menghampiri. Nampak keduanya sudah pergi ke Kaliadem. Lima menit kemudian teman-teman yang camp di belakang datang berkumpul di sofa tengah rumah. Pagi pukul enam, kami bersepakat untuk mampir ke kopi Merapi. Kopi ini belakangan ramai pengunjung, bukan tanpa alasan, kedai ini cukup menarik perhatian karena titik lokasinya terhampar bentangan Merapi hingga puncaknya yang gagah. Jalan yang dilalui oleh mobil Jeep wisata Merapi, parkiran pasir dan kerikil yang luas, denah yang khas; ruangan kayu, bongkahan batu yang ditata menjadi meja dan kursi. Udara dan suasana di sini memang ramah untuk bercerita, cukup hening untuk menepi dari kebosanan harian dan arus cepat kota peradaban modern. (MA)