Setengah Empat Pagi

Setengah Empat Pagi

Ia terbangun tepat pukul setengah empat dini hari. Dengan tergopoh-gopoh ia bangun dan beranjak menuju dapur, dituangnya sayur ke dalam wajan untuk dipanaskan, dengan terburu-buru ia memecah telur satu persatu dan menuangkannya ke dalam mangkuk berisi bumbu.
Suasana hening membuatnya heran, mengapa tak terdengar suara anak-anak yang keliling sambil memukuli ember dan kentongan, tak terdengar pula suara pak Nurhadi yang biasanya tadarus dengan pengeras suara masjid, sang suami juga belum bangun dari tidurnya, padahal biasanya tak lama setelah ia bangun suaminya ikut terbangun dan menemaninya memasak atau sekadar menghangatkan makanan untuk santap sahur.
Ia heran sebab waktu imsak tiba tak lama lagi tetapi suasana masih sunyi, "tak seperti biasanya" gumamnya pelan.
Sayur telah hangat dan telur telah matang, bersama keheranannya ia berjalan menuju kamar hendak membangunkan suaminya. Ia berjalan melewati ruang tengah dengan meja, sofa, dan televisi yang berbaris rapi menghadap jendela.
Lagi-lagi ia terheran mengapa banyak sekali camilan di meja tengah? Mengapa ada rengginang, rempeyek, nastar lengkap dengan cengkeh diatasnya, dan keripik pisang rapi dalam toples kaca?
Ia duduk di sofa dan meraih toples berisi keripik pisang, seketika air mata jatuh melewati pipinya. Ia baru sadar bahwa ramadan telah lewat, tak ada lagi anak-anak keliling membangunkan orang buat sahur, tak ada lagi suara tadarus pak Nurhadi, tak ada lagi alarm imsak yang memekakkan telinga.
Ia menangis sebab ramadan yang istimewa telah pergi melewatinya. Ia harus menunggu hingga sebelas bulan untuk bertemunya lagi jika umurnya masih tersisa.
Selesai...

Puisi-Puisi Sarah Monica

FANA   Padamlah sejenak kobaran hati api nestapa di sudut jiwa paling rahasia dunia matamu adalah maya kerajaan pikiranmu fana lukisan komedi dalam kanvas Ilahi.   ***   MENERBANGKAN DOA   Dengan puisi ini aku menerbangkan doa pada pemilik masa darimana seluruh duka berasal dan menjadi kekal.   Aku memohon dalam sekarat agar waktu tidak lagi melintas dalam lorong jiwa menahan mereka yang kucinta pergi dalam rapuh usia.   Di kesunyian yang menyelinap dalam hari-hari pengap aku terus meminta agar dunia berhenti tumbuh dalam kebun hatiku melindungi kuncup bunga demi menemukan cahaya.   Segala yang berjalan pun menjelma dalam waktu Sang Kuasa menggiringku untuk selalu singgah di rumah-rumah tanya.   Hidup selamanya permenungan yang disetubuhi gairah dan buas peristiwa. Memasuki tanpa henti, tanpa mampu memilih.   ***   MALAM KUDUS   Dunia menyala dalam lorong-lorong kepalaku sedang hatiku berjalan di padang pasir kesunyian.   Betapa aku menjumpai duka pada tiap wajah kenikmatan tersingkap bagai malam di punggung senja.   Di malam-malam kudus aku mendaki bukit kemurungan bersama jiwa para pengembara mencandu aroma maut dalam mulut waktu.   Telah kularung masa lalu, harapan, dan segala palsu di lautan hampa. Aku pun tiada dalam samudera ada.   Hidup adalah cakrawala sihir pertarungan demi seteguk keabadian. Sedang, di layar peristiwa Tuhan hadir dalam segala nama segala wujud. Dan air terjun mataku hanyalah kerinduan tak bertepi.   Jakarta-Bogor, 2017

Menara Ingatan

Menara Ingatan

Sudah hampir sepekan sejak berdirinya menara ingatan. Tak jauh dari halaman rumah Sun. Sun masih ingat betul setiap detilnya, bagaimana menara itu diresmikan.

Tuan Presiden datang ditemani tuan-tuan yang senyumnya lebih berkilau ketimbang nyala lampu puncak di menara ingatan malam ini. Pasukan-pasukan pengamanan presiden menenteng senjata dengan tuksedo hitam rapi. Rasanya, James Bond ada banyak. Semua pejabat-pejabat daerah, provinsi, hingga kabupaten hadir berderet di kursi-kursi terdepan. Tak lupa beberapa orang-orang yang dianggap penting.

Manusia demi manusia riuh berkerumun berebut melihat, dan Sun paham betul andaikata tanpa bapaknya, dia mungkin hanya dirundung gumpalan kasak-kusuk berdebu dan tenggelam dalam desakan.

“Naik di pundak. Cepat!” desis Bapaknya.

Tuas ditekan dan perlahan lampu dinaikkan. Diiringi kembang api yang turut merayakan sore menjadi malam. Malam yang kemudian menyembunyikan bapaknya, kalau bukan mati.

"Jika tidak pernah tertemukan, apa bedanya dengan mati?" pikir Sun.

Dan hingga kini Sun sulit membedakan tangis dengan tawa, sebab air mata keluar dari keduanya. Malam ini pun.

ɣ

“Sudah kubilang dari dulu, suruh suamimu ganti kerjaan, lihat anakmu sekarang, dia terancam yatim!” ucapan kakek Sun terlontar.

Kakek Sun kadang masih menyimpan rasa tak rela, sejak pernikahan ibunya, dan kini sesekali kian diungkit. Kakek Sun tidak membenci ayah Sun, cuma pekerjaannya saja.

Ibu Sun meneku, hingga akhirnya dia mengantar Sun tidur. Sun pun turut diam, dan kepada malam itulah dia berguru cara berpura-pura tidur. Didengarnya ibu bicara dengan telepon.

Nggak terhitung pengorbanan suamiku. Kenapa kalian nggak membantuku upayakan kemungkinan posisinya kini? Nggak sulit kan buat melacak lewat jaringan? Posisiku yang sekarang tentu sulit, sebab jadi pengacara tentu mustahil mengajukan tuntutan tanpa bukti ke pihak mereka. Aku udah upayakan banyak hal, tapi tolonglah kamu dan kawan-kawan sok aktivis itu jangan terus-terusan tambah mempersulit posisiku...” Di kalimat terakhir, suara ibunya menciut.

Dari situ, Sun membuka kelopak matanya, pelan-pelan, tipis-tipis, segaris mencuri pandang agar ibunya tak tahu pejam palsunya. Sontak sebuah pelajaran kedua dari malam itu. Untuk pertama kali Sun paham cara menahan tangis. Ibunya menahan tangis. Bukan dengan menyeka air mata, tetapi memandang ke jendela persis ke nyala lampu sorot di puncak menara ingatan. Sun menduga gelagat ibunya itu demi memindai air mata agar tak jadi jatuh. Sun pun mencoba meyakini kekuatan yang tersaru dalam cahaya menara ingatan.

Berbekal simpulan itu, Sun pun lelap menempuh mimpi. Entah mimpi apa detilnya, yang pasti saat terbangun, ia menuntut kakeknya.

“Buat apa kau minta denah kecamatan ini?” tanya kakeknya. Kakeknya demikian luruh jika menghadapi Sun, sebagaimana umumnya kisah kejengkelan mertua pada menantu yang selalu ditengahi lucunya cucu.

“Aku mau bikin denah ingatan,” kata Sun setengah berteriak.

“Denah ingatan? maksudmu apa, Nduk ayu?,” tanya kakek sambil mengusap lembut rambut cucunya.

Sembari menolak dibelai rambutnya, Sun berbalik arah dan lari ke pangkuan nenek. Ibu dari ibunya itu hanya bisa senyum, kemudian memandangi suaminya.

Kakek sudah lama mengenal betul bahasa tubuh istrinya, tetapi tatapannya kali ini adalah ironi. Matanya seperti ingin mementahkan segala tuduhannya kepada si menantu selama ini. Kakek tahu istrinya sangat baik dan sahaja bersikap. Pun padanya, penuh kasih sayang. Nyaris tak pernah mengeluh sepanjang hidup bersama. Tetapi tatapan siang itu membuatnya merasa bersalah. Gelagat cucu dan nenek tiba-tiba seperti satu suara. Segala pinta kudu dituruti.

Sebulan sudah berlalu. Hampir setiap hari ibu Sun pulang malam, tak jarang sampai demikian larut.

“Sayang, sudah makan malam?” ibunya mendekat.

“Aku tak lapar, Ma. Aku capek tiap hari cuma menunggu,” ucapnya. Kepalanya ditundukkan, lalu dijatuhkan di antara kedua tangannya yang bersedekap di atas meja.

Segelas teh tarik hangat disodorkan oleh ibu. Melihat putrinya tak bergeming, ibu mencoba memberi ruang. Tak sampai semenit, sang ibu kembali seperti malam itu, mendekat ke jendela dan melempar nanapnya ke arah cahaya di puncak menara. Agaknya, kerlip dan pendarnya yang terkadang seperti kejora itu mengisyaratkan harapan. Persis di relung malam kali ini, tiba-tiba nyala lampu menjadi merah.

“Suuun... Bangun, sayang. Lihatlah kemari.”

Sun kesal, namun kekesalan seorang anak manis adalah sebuah momen menunggu kejutan.

Panggilan ibunya membuatnya penasaran. Segera Sun menggerakkan tubuhnya mendekat jendela.

Dengan sedikit enggan, Sun mencoba perlahan melemparkan pandangnya ke cahaya merah yang baru pertama kali. Nanap pula. Tanpa komando, Sun berlari keluar. Di dekat teras neneknya merapal doa-doa pujian.

“Kakek dimana, Nek?”.

“Ada apa, Sun? Kenapa kau tak tidur?” tanya neneknya bingung.

“Kakekmu pasti ke menara. Pasti kesana. Sejak pintamu, Nduk, kakek sering mencoba mendekat ke sana,” jelas Nenek.

“Apa maksud Ibu?” timpal ibunya.

Dan ketahuilah, sejak saat itu, kakek pun tidak pernah kembali, bersamaan dengan nyala merah menara malam itu. Perangkat desa tak bisa banyak membantu. Polisi pun hanya sibuk mencatat laporan. Dan menara ingatan diam dalam angkuhnya.

Bergulirlah waktu. Hingga hampir dua dasawarsa, rumah itu tanpa pria. Puan, puan, dan puan.

ɣɣ

Mommy kujemput sekarang, yah?” suara puan yang tak lagi remaja itu menembus lubang-lubang kecil di sudut layar gawai. Kata orang, Sun sudah gadis.

“Baiklah, Sayang. Bentar lagi Ibu selesai. Ada perlu apa kok kamu buru-buru?”

Mommy lupa, ya? Kita kan harus ziarah ke makam nenek,” Sun tampak bersemangat.

“Ya ampun, maafkan aku, Nduk... Baiklah. Jemput Ibu sekarang.”

Percakapan daring pun usai.

Sampailah gadis yang berperawakan lebih tinggi dari puan yang dituntunnya itu persis di depan pemakaman kampung, yang apabila pucuk menara ingatan adalah mata, langkah kedua puan itu masih dalam pantauan. Harum bebunga ditaburkan, doa lirih dipanjatkan. Tak lama kemudian ibunya mendesis.

Nek, cucumu sekarang sudah besar, pintar, cantik pula. Tak lama lagi dia akan meninggalkan kampung untuk bersekolah lagi di negeri orang.”

Ibu Sun diam sesaat.

“Semoga Nenek di alam sana mendapat keberkahan. Begitu pun cucumu ini di alam ini,” sambung ibu. Sun hanya diam saja.

Dua puan itu kembali membaca doa bersama. Tak jauh beda dengan yang dahulu dirapalkan sang ahli kubur saat di teras rumah.

Maka benarlah. Tak butuh waktu lama dari ziarah yang laksana pamitan itu, Sun melesat terbang ke negeri orang.

Kecergasan Sun terus berlanjut dan terbukti hingga beberapa tahun kemudian, di kota asing ini, aku bertemu Sun.

“Aku sebentar lagi wisuda, Mommy,” katanya.

Seorang cantik, suaranya pasti mengandung manja. Buatku, arti hadir dan auranya seperti menghangatkan salju akhir musim di negeri ini. Negeri dan segala kampusnya yang, peduli setan di sudut mana maupun berapa peringkatnya, jadi mimpi utama bagi pelajar-pelajar di kampus Sun dahulu. Pemandangannya hari ini memang demikian menawan.

“Haha... Ah, bukan, Mom, ngga usah khawatir. Jangan disamakan sama wisuda yang dulu. Mommy nggak ada kewajiban buat repot-repot kesini. Cukup doanya saja,” wajahnya sedikit khawatir.

Persis disitu, wajahnya akustik. Aku menemu merah jambon tersari di kulit pipinya, sesenti di atas lesung pipit. Kangen dengan indahnya. Sebuah judul buat lukisan hidup mimiknya. Di menit itu kulihat salju di tepi-tepi pagar cafe seberang menjadi keunguan.

Sun sungguh polos kalau bicara tentang rindu. Tetapi mendadak dia terlihat s edih.

“Iya, Ma. Aku selalu berdoa buat papa, juga kakek. Aku niatkan sekolahku padanya. Aku udah nemu buktinya, Ma. Percayalah, Ma."

"Sudah dulu ya, Mama. Di situ pasti tengah malam. Istirahatlah, Mommy-ku sayang. Besok bisa kutelpon lagi.”

Selang satu hembusan asap rokokku, Sun menutup telepon.

Sun melirik padaku. Seakan tak terjadi apa-apa. Aku tahu ada ombak perasaan yang berkecamuk di lautan sanubarinya. Namun, toh senyumnya bak tanjung pemecah ombak. Lebih menggetarkan dari moodbooster manapun yang pernah kau kenal. Aku mendadak lupa dengan syak wasangka yang macam-macam.

Obrolan lain kembali meledak di restoran cepat saji malam itu. Sebelum akhirnya aku menyudahi, kulihat Sun memandangi salju yang kecoklatan di trotoar.

Ada salju keunguan, ada salju kecoklatan. Dan engkau, Sun, satu-satunya saljuku yang kemerahan. Entah aku yang buta warna atau kau yang selalu tak sadar. Sebab seorang puan cantik dan pintar terperi dari ketidaksadarannya. Biarlah kita yang menyadari. Bukan begitu pembaca?

ɣɣɣ

Di hadapan majelis sidang internasional yang nyaris jadi kegegeran bagi seantero negeri kami, kasus tentang hilangnya papa dan kekeknya dahulu mulai terkuak, persis di kota hukum yang masyhur di negeri ini. Tak kurang tujuh hakim dengan berbagai latar belakang, mulai dari akademisi, praktisi hukum, hingga yang mengaku aktivis. Tentu tak perlu dipertanyakan apakah Sun terlibat di dalamnya.

Aku persis di belakang Sun. Sun berdiri tegak berbusana cemerlang. Hampir setiap ada waktu, ia menyempatkan menyapa dan bicara, berbisik serta berdiskusi sesaat dengan para saksi yang banyak di antaranya telah dia kenal.

Sayang sekali, ibunya tidak didatangkan. Padahal, menurut Sun, ibunya adalah saksi kunci. Ini sudah usulan sidang kali kedua sejak tahun lalu. Tahun di mana Sun tak juga pulang ke rumah.

Fotonya berpakaian upacara kampus di negeri yang menyimpan segala denah ingatan itu kini terpampang di apartemen milikku, yang kukira Sun merasa demikian. Pasalnya, dia meninggalkan banyak jejak disana. Aku bahagia. Namun, kini, entah mengapa aku hanya melamun saja di tengah pembacaan dakwaan. Terutama saat Sun menjelaskan panjang lebar. Aku menemu yang berbeda. Kecantikan yang lainkah? Atau malah sesuatu yang memudar?

Ah, aku sudah lupa. Aku hanya ingat wajahnya sedikit pucat. Sepucat langit di musim itu.

“Kamu dimana? Apa benar nggak mau ikut aku pulang?” tanyaku di telepon.

“Hmm... sudahlah. Aku ingin disini dulu. Ada beberapa hal yang membuatku penasaran dengan orang-orang di bagian penyeleksi denah ingatan tentang kasus itu. Beberapa denah ingatan kian rancu dan orang-orang pendiri menara ingatan sudah ikut campur. Kau tahu lah, mereka sudah nggak mungkin terbendung. Aku kudu tuntaskan ini dulu,” jelas Sun panjang dan bersemangat.

“Apa kamu nggak ingin menyapa ibumu?” tanyaku menagih.

“Sudahlah. Nggak papa. Aku tahu Mommy paham. Aku tahu bahwa yang kulakukan ini jelas akan membuat Mommy senang. Toh, aku rajin meneleponnya.”

Terdiam sesaat, aku pun mencoba merayu, “Tapi, Sun...”

Belum sempat aku berucap kalimat, Sun menimpali, “Buka brankas lemari kita. Aku menyimpan beberapa potret yang kutemukan. Bawalah pulang, berikan padanya. Nanti kukasih alamatnya. Kau jelas harus perkenalkan diri padanya. Dia pasti senang. Mama orang yg mudah ramah dengan orang asing sekalipun. Apalagi posisimu. Biarkan aku layaknya eksil disini. Pokoknya kalo sampai rumahku, berkabar saja.”

Obrolan selanjutnya menuntunku pasif. Dia pun meminta ijin menutup telepon setelah kudengar suara gagu lelaki. Dari bahasanya, jelas mereka sedang sibuk membahas suatu hal.

Negeri yang tetap asing meski kucoba berkali-kali kuakrabi ini pun tak kalah sibuk. Konon, sedang sibuk membuat menara ingatan lain tentang hubungannya dengan menara ingatan di negeri kami. Menara ingatan yang sedang direncanakan itu akan mempekerjakan tukang-tukang dari negeri kami yang telah dikursus di negeri ini. Mereka diberi ijazah dan cap stempel, layak menjadi kaki tangan menara ingatan. Bahkan, kalau perlu, membangun menara-menara ingatan lainnya yang lebih up to date dan scientific. Karena, konon menara ingatan sudah terbilang konvensional dan mudah dipahami rahasianya. Rahasia yang juga diidap menara monumental yang katanya tak jauh dari rumah Sun.

Rumahmu, Sun! Aku berdebar, Sun. Sungguh tak karuan. Tak munafik, dalam niat pulangku ini, aku toh tertular penasaran!

Sudah hampir sebulan sejak itu. Aku memaksakan diri berkunjung ke kota kecil yang teralamatkan Sun, persis di timur pulau ini. Kota demi kota aku lalui. Secepat sawah dari kaca kereta yang seakan menonton komedi putar semesta. Tibalah aku di stasiun terakhir warisan negeri pengangkut denah ingatan. Memesan ojek online di layar gawaiku. Menembus temaram malam, mencari jalan ke rumah Sun.

Aku tiba di daerah dusun yang terlacak google map. Namanya, nama pohon. Aku ingat keterangan Sun bahwa sebelum menara dibangun, pohon yang jadi nama desa itu adalah pohon yang menjadi penanda masa panen maupun tanam. Namun, terangnya kini sudah tak ada. Dan tentu yang ada adalah menara itu.

Tak lama baru kusadari ada nyala kerlip seumpama kejora di langit yang menampakkan pucuk sebuah menara. Motor berderu pelan-pelan merobek sepi melewati jalan berlubang dan becek. Akhirnya kutemukan rumah terakhir di desa itu. Tak jauh dari semacam jurang yang tak terlihat, disembunyikan gelap, yang memisahkan rumah itu dengan menara. Ada jalan beraspal yang sedikit tak terawat, begitu keterangan Sun padaku. Aku pun meyakinkan diri, mendekat rumah dengan jendela terbuka itu.

Seorang puan sedang memandangi nyala terang di Menara Ingatan. Aku dan si driver pun turut larut pada nyalanya yang terasa berbeda ketika dilihat dari rumah Sun.

“Siapa?” suaranya memecah takjubku pada nyala menara. Dia menoleh padaku.

Segera perpisahan dengan tukang ojek online. Tak lama, obrolan mengalir di antara aku dan wanita itu. Jelas bukan wanita muda. Aku mengerti sepuhnya sejak dari cerita Sun. Tetapi, tatapannya menyangsikan usia enam dasawarsa.

Dalam obrolan hangat kami, ia menjelaskan, “Yang memberi nama bukan ayahnya, tapi aku. Sun itu boleh saja diartikan matahari. Tetapi Sun buatku lebih dari itu. Sun itu Ingsun. Sun itu keakuan yang utuh dan teguh. Bukan Sun yang kemingsun, keakuan yang angkuh. Sun kudu teguh membalas omong kosong mereka.”

Aku diam saja setengah kikuk. Ia pun melanjutkan, dan ini aku tak akan lupa.

“Sekarang ini adalah titik balik. Dan masa mendatang segalanya dimulai. Menara ingatan akan ada di mana-mana. Kemudian, petaka akan dimulai di dalam bilik-bilik ingatan.”

Kalimatnya seperti dilolohkan ke isi kepalaku. Persis di situ, kerling matanya mengajakku turut melempar pandangan ke jendela terbuka. Kusadari betul nyala di menara ingatan jadi merah kesumba.

"Dan jika harinya tiba, akan keluar asap dari tiap-tiap menara. Semua yang mencium aromanya akan sesak napas pun batinnya!"

Sejak saat itu hingga cerita ini selesai kutulis dan kukirim padamu, aku bersumpah akan meminang Sun secepatnya. Jangan sampai malaikat lebih cepat!

***

Ilustrasi: lukisan Rahmad Afandi, "Hewan yang Menyerupai Manusia" (AoC, 80 cm x 80 cm, 2019).

Editor: EYS

Pikiran-pikiran Ganjil Sofia (2)

Pikiran-pikiran Ganjil Sofia (2)

Kelanjutan: Seni yang Membosankan (1) Pagi itu matahari bersinar hangat. Sofia, yang kesadarannya mulai pulih dari mimpi, dihampiri pikiran-pikiran yang ganjil: ia ingin menjadi cangkir teh yang sedang ia nikmati, atau bunga yang tengah ia pandang, atau pintu rumahnya yang berwarna putih. Mereka semua, pikir Sofia, menjalani takdirnya tanpa beban kesadaran dan rasa ingin tahu yang kadang terasa menyiksa dan melelahkan. Hidup tanpa kesadaran, walau hanya sejenak, merupakan jeda yang memberi kesadarannya beristirahat. Dalam kesendiriannya, Sofia seringkali merasakan, bahwa segala sesuatu tidak cukup dengan hanya diketahui nama-namanya, kegunaan-kegunaannya, serta macam-macam teksturnya—yang lembut dan kasar, yang berulir dan berpotongan. Dunia ini bisa menjadi milik manusia ketika telah menjadi pengalaman dan perasaan. Kadang Sofia berpikir, agar proses itu berjalan lebih mudah, sebaiknya segala sesuatu juga seperti manusia, yang memiliki hati untuk merasakan dan menghayati takdirnya: bunga-bunga senantiasa bermeditasi seiring perkembangan bentuk dan warnanya, pula sungai dengan arus dan bebatuannya, kursi dan jendela dengan kekuatan kusen-kusennya, cangkir dan madu, angin dan jalan-jalan yang lengang, langit dan bumi... Pikiran semacam itu telah menuntut Sofia untuk menghayati segala sesuatu dalam setiap detiknya hingga ia sering kelelahan sendiri. Ia biasa mencari pertolongan dengan mendengarkan lagu, menikmati lukisan, membaca puisi, atau sekedar berdoa. Ia berharap semoga Tuhan bisa memberi jiwa bagi alam dan segala yang ia temui, bisa saling bicara dengan nada yang lembut tentang perasaan-perasaan masing-masing, serta pengalaman-pengalaman mereka yang luar biasa. Apa yang dikatakan oleh gerimis tentang setiap butirnya yang pecah sesampainya di bumi? Bagaimana bunga membentuk serat-seratnya yang penuh misteri? Adakah angin menyadari hembusannya yang gaib dan kadang mengandung bahaya? Sofia meminum tehnya sekali lagi. Matanya berbinar-binar dipenuhi pengalaman pagi itu. Sinar matahari yang cerah telah memandikan rambutnya yang bergelombang dan kemerahan, hampir sepadan dengan mawar dan senja. Sementara bunga-bunga di kebun rumahnya menampakkan gairah embun semalam, disapu angin yang lembut dan sinar matahari yang melukis bayang-bayang mereka pada permukaan bumi. Ini sebuah lukisan, pikir Sofia, tersenyum simpul. Begitulah. Jika sudah berhasil merasakan hidup dan mengalaminya, ia akan lupa tentang betapa berat usahanya untuk selalu demikian dalam setiap waktu yang dilalui. Ia tak ingat lagi bahwa beberapa saat lalu baru saja ingin menjadi sebuah cangkir. Sofia lahir dan tumbuh dalam keluarga kecil yang penuh fantasi. Ibunya adalah seorang wanita yang halus dan sopan, suka memasak roti dan peerkedel dan penuh petualangan serta pencarian di masa mudanya. Sedang ayahnya adalah seorang perancang bangunan yang menyukai musik dan pemandangan alam. Tumbuh dari kedua orang tua demikian, Sofia menjadi pribadi yang halus, pelamun, dan sering mengalami penderitaan besar akibat hal-hal kecil. Suatu kali ayahnya mengganti loteng rumahnya yang mulai keropos dengan gaya yang berbeda. Sofia merasa bahwa jiwa rumahnya tak akan bisa bersatu dengan jiwa dari model baru yang dibuat ayahnya. Memikirkan hal itu, ia merasa sedih selama berhari-hari, dan baru bisa naik ke lantai dua rumahnya beberapa bulan setelah peristwa itu. Di masa remajanya, ayahnya sering mengajak Sofia jalan-jalan keliling kota dan perdesaan  dengan mengendari sepeda motor. Sesekali berhenti di sebuah warung di tepi sawah atau sungai. Jika memungkinkan, ayahnya akan mengajaknya menonton konser atau film di malam hari. Namun, ia paling suka membaca buku di lantai dua sambil sayup-sayup mendengar ayahnya bermain gitar di ruang keluarga di lantai bawah. Sementara ibunya akan bernyanyi dengan ragu-ragu karena suaranya yang kurang mendukung serta tidak mengetahui betul liriknya. Bagi Sofia, itu adalah sebuah keindahan kecil yang lucu, dan seperti itulah hidup pada umumnya. Rumahnya merupakan rumah tua warisan kakeknya dari pihak ayah, seorang pedagang sepeda yang telah menutup usahanya karena anak-anaknya memilih usaha lain. Dibangun dengan gaya kolonial yang sederhana, dengan balkon atas menghadap ke arah jalan dan taman kecil di belakang rumah. Sofia suka mengamati bunga dan tumbuh-tumbuhan di taman itu, serta rumah sederhana di seberang gang yang tampak teduh dan bersahaja. Biasanya, pada sore hari seorang nenek akan duduk sendiri di beranda sambil menikmati teh yang disuguhkan oleh putrinya. Kadang, pada musim tertentu, tehnya akan ditemani sepiring buah jeruk selama berhari-hari—entah karena tidak pernah dimakan atau persediannya yang kelewat banyak. Bertahun-tahun kemudian, ketika mulai menginjak dewasa, ia mengenal keluarga itu. Nenek itu adalah seorang janda yang cukup bahagia. Mendiang suaminya adalah seorang tentara berpangkat rendah yang masih memberinya uang pensiunan. Tiga anaknya telah mandiri, satu orang menjadi tentara seperti ayahnya dan satu lagi menjadi perawat. Adapun si bungsu memilih tinggal di daerah asal ibunya—yaitu nenek itu—di lereng pegunungan di utara kota yang dikelilingi persawahan dan perkebunan jagung serta sayur-mayur. Kelak ibuku akan seperti nenek itu, pikir Sofia, melamun sendiri di beranda sambil minum teh. Dan mungkin dirinya juga, ketika kelak menjadi seorang nenek, pikirnya. Apa yang paling menakutkan baginya adalah manakala ia menjadi tua, terasing dan tak bisa merasakan hidupnya berlimpah perasaan dan pengalaman. Segala sesuatu yang ada di sekitarnya hanya bayangan benda-benda tak bermakna, tinggal bersama-sama dalam satu dunia tapi tak saling bicara dan mengerti. Tanpa penghayatan, manusia hidup hanya seorang diri, selebihnya cuma paras-paras alam belaka. Jika sudah berpikir demikian, ia akan segera pergi keliling kota, entah untuk menikmati lukisan di galeri yang sedang mengadakan pameran, menonton konser yang sedang berlangsung, atau sekedar minum kopi di sebuah kafe. Suatu kali, ia beruntung dapat menikmati konser pada sebuah galeri sekaligus, sehingga ia bisa menikmati musik dan lukisan pada saat yang sama. Malam itu, penyanyinya seorang pemuda dengan rambut ikal, hampir seperti patung David namun dengan rahang sedikit lebih kuat dan model pakaian yang agak ketinggalan jaman. Namun Sofia masih mengingat cahaya matanya, karaker suara dan permainan gitarnya, meski liriknya terlalu keras untuk ukurannya. Di ruang pameran yang ramai, ia menikmati lukisan-lukisan yang cerah, dengan garis-garis yang tegas menggambarkan figur-figurnya. Andai dibuat sedikit temaram dan lembut dengan mengambil warna yang matang seperti Widayat dan garis-garis halus serupa Henri Matisse mungkin akan lebih mengesankan, pikir Sofia. Seni sebagai gagasan hanya akan berakhir sebagai filsafat, agar menjadi kehidupan ia perlu mengandung banyak perasaan dan pengalaman manusia. Perjalanannya pada malam itu telah berhasil melupakan perasaan takut akan kehampaan dan keterasingan yang dalam. Ia bisa tidur lebih cepat tanpa perlu dibuat kantuk terlebih dahulu dengan membaca buku yang kurang disukai. Bagi Sofia, tidur merupakan peristiwa yang menegangkan. Ketika seseorang tidur, jiwanya akan bekerja tanpa kendali sehingga bisa berbuat semau sendiri; kurang lebih seperti binatang buas yang keluar dari kandang dan melarikan diri ke alam liar, menuju habitat alaminya yang primitif. Ia takut jiwanya akan bertemu dengan orang-orang yang terlalu besar seperti para nabi dan para pemimpin sejarah; jika mereka memberi perintah kepada jiwanya, tak ada pilihan selain menurutinya hingga terbawa di alam sadar nanti. Namun, yang lebih menakutkan adalah ketika jiwanya yang tengah lepas kendali itu bertemu dengan para moyang dari masa purba; mereka hanya saling menatap dengan perasaan aneh dan asing, tak bisa bicara karena pada masa itu manusia mungkin sudah memiliki kesadaran tapi bahasa belum ditemukan. Manusia saling bicara hanya dengan memandang dan memperhatikan satu sama lain, dan sebuah senyuman akan menjadi peristiwa besar pada masa prasejarah itu. Ketika terbangun, Sofia merasa lega. Ia tak bermimpi tentang apa yang selalu ia khawatirkan setiap kali menjelang tidur. Ia hanya mendengar irama sayup-sayup, nadanya mengngatkan pada pertunjukan musik dalam pembukaan pameran semalam ketika pemuda berambut ikal itu memainkan gitar. Tapi setelah bangun ia sadar bahwa nada yang ia dengar dalam mimpi berbeda dengan irama yang dibawakan pemuda berambut ikal itu, sedikit lebih syahdu dan lembut. Ketika terbangun, rupanya ayahnya sedang bermain gitar dan iramanya menyusup ke dalam mimpinya lewat saraf-saraf pikirannya yang masih aktif. Tapi bayangan tentang pemuda itu perlahan tumbuh dalam benaknya. Ya, dia bukan David karya Michaelangelo, tapi berbeda dengan David, ia bisa memainkan alat musik. Ia masih menikmati mimpinya ketika minum teh di taman belakang rumahnya, sambil menikmati matahari yang mulai hangat. Bunga-bunga yang masih basah oleh embun mulai bangun dari tidur panjang semalam, dan adakah mereka juga punya mimpi yang menakjubkan seperti dirinya? Jika Tuhan telah mengabulkan permintaannya agar segala sesuatu memiliki hati sebagaimana manusia, bunga-bunga itu bisa jadi juga bermimpi seperti dirinya, meski entah apa. Di tengah lamunannya, seseorang mengetuk pintu belakang rumahnya. Rupanya puteri nenek dari seberang gang hendak bertamu. “Ini, ada beberapa jeruk. Semalam keponakan datang dari pegunungan mengantar hasil panen,” katanya. “Jeruk dari kebun, segarnya. Terimakasih, Mbak. Salam untuk nenek, ya,” jawab Sofia. Bersambung...

Seni yang Membosankan (1)

Seni yang Membosankan (1)

Seorang pemuda dengan rambut ikal, bermata lebar dan dagu kuat—hampir seperti patung David, tapi dengan aura seorang pemuda dari pegunungan daripada pahatan seorang seniman legendaris—tenggelam dalam renungan tak biasa di beranda rumahnya. Ia telah mempelajari berbagai pendekatan dalam bermain gitar, memahami alat musik itu dalam berbagai bentuk dan bahannya, mendengarkan beragam suara yang dihasilkan para penyanyi terbaik dan menirunya, tetapi semua itu tak mampu menyelamatkan dirinya dari perasaan hampa yang tiba-tiba dialami seperti gelombang, tak henti-henti semenjak siang hingga menjelang senja. Rumahnya berada di lembah pegunungan utara kota yang masih sepi, dikelilingi persawahan dan ladang jagung serta sayuran. Mendiang ayahnya membangun rumah itu dengan gaya yang membingungkan, antara pondok untuk liburan, hunian tetap atau gudang beras. Tiang-tiangnya dari kayu kelapa yang dilindungi dengan cat minyak, jendela-jendela lebar untuk menangkap cahaya matahari, aliran udara dan wajah langit ketika tengah bulan purnama. Pada masa kecil, ia melihat rumahnya seperti pondok dongeng, namun sekarang ia tahu—seperti kata ibunya—rumahnya adalah rancangan paling indah untuk hunian dengan anggaran sangat terbatas. Cara terbaik menikmati rumah seperti itu adalah dengan berkebun, memelihara ayam dan kelinci, serta bermain musik dan, tentu saja, melamun tentang segala yang tiba-tiba tumbuh dalam pikirannya—seperti yang sore itu tiba-tiba menengelamkannya. Sambil memangku gitarnya layaknya seorang kekasih yang tengah rebah, perasaannya dibawa oleh angin menuju keharuan yang melemparkannya dalam perasaan sedih yang lembut. Ia pernah bermain musik bersama orang-orang dengan semangat yang sama, atau bermain sendiri membawakan lagu-lagu yang ia sukai, di berbagai pertunjukan dengan para pendengar baik yang penuh semangat atau yang sopan serta sedikit bermalas-malasan. Namun, semua itu tak memberinya perasaan bahagia sebagaimana yang diharapkan. Harus diakui, musik telah membawanya pada petualangan-petualangan yang menyenangkan. Ia bertemu dengan orang-orang menarik dan diliputi rasa penasaran di wajah mereka, dikelilingi para wanita yang mengharapkan cinta atau sekedar ciuman sederhana, serta pengalaman-pengalaman ceria melakukan pertunjukan di daerah-daerah yang tak terbayangkan—misalnya, bermain di atas sungai dengan panggung berupa jembatan dari bambu. Ia menikmati semua itu seperti minum kopi di pagi hari—kenikmatan kecil yang telah menjadi rutin dan perlahan-lahan hambar dan membosankan. Sore itu, tiba-tiba ia menyadari bahwa hal-hal yang tidak mendalam dan telah menjadi kebiasaan hanya akan diterima oleh orang-orang dengan kesadaran yang sama. Pada cahaya senja yang jatuh menyelimuti perbukitan yang mengitari kampungnya, ia menyaksikan bahwa bentuk-bentuk alam merupakan irama yang lebih abadi daripada musik yang selama ini ia mainkan. Ia lantas membayangkan berbagai pengalaman manusia dinyanyikan dengan irama-irama dari bentuk-bentuk itu: para petani sepulang dari ladang, seorang ibu yang tengah mengasuh anaknya yang masih bocah, seorang gadis yang sedang dilanda kasmaran untuk pertama kalinya, seorang bandit yang tengah kelelahan setelah melakukan pekerjaan yang sia-sia, seorang kakek tengah memasukkan ternak-ternaknya ke kandang. Ia teringat seorang teman dari masa kecilnya dulu yang suka memelihara kambing dan bercocok tanam. Temannya itu, seorang pemuda pendiam, memiliki mata lebar yang temaram, penyendiri dan menyukai perjalanan yang senyap. Suatu kali, ia mengunjungi pertunjukan musiknya pada sebuah galeri, menyalaminya dengan senyum ramah dan datar, namun tanpa memberi pendapat dan rasa kagum. Ia datang ke pertunjukan itu karena kebetulan sedang dalam perjalanan menuju rumah neneknya sambil membawa sekantung buah-buahan hasil panen. Pada saat itu, ia merasa temannya itu terlalu sederhana di tengah para pengunjung pertunjukan itu sehingga ia sedikit canggung menerimanya, tapi keramahan dan ketulusannya telah meninggalkan gema yang lebih kuat daripada semua nada yang telah ia mainkan pada malam itu. Dahulu, temannya tinggal beberapa ratus meter dari rumahnya, sedikit naik ke arah bukit dan jauh dari perumahan penduduk. Ia hidup bersama kedua orang tua dan seorang adik perempuannya yang suka membuat wadah dari anyaman bambu. Sejak lulus sekolah, ia mendengar kabar temannya itu pergi jauh untuk bekerja di kota besar, entah menjadi kuli bangunan atau sopir. Padahal ia adalah sosok suka belajar, terutama untuk pelajaran ilmu alam dan menggambar. Ia suka menghabiskan waktu selama berjam-jam sekedar untuk mencari rumus yang lebih sederhana daripada yang diajarkan agar bisa lebih ringkas menyelesaikan soal-soal.  Di masa remaja ia suka mengunjungi rumah temannya itu, terutama ketika musim burung telah tiba atau ketika kebun jeruknya tengah panen. Namun sejak pertemuan tak sengaja di galeri itu—lebih dua tahun lalu—ia belum pernah berjumpa dengannya lagi. Ia lantas berpikir bahwa alam bisa diterjemahkan menjadi musik melalui jiwa temannya itu; seorang manusia yang melakukan perjalanan demi melakukan pencarian yang alami daripada dorongan hasrat akan kepuasan atau penemuan sebuah gagasan yang besar. Namun memiliki jiwa seperti itu teramat berat bagi manusia yang telah dipenuhi bermacam keinginan dan rasa haus akan gairah serta pengakuan seperti dirinya. Renungannya sore itu hampir sampai pada perbedaan mendasar antara kesenangan dengan kebahagiaan selain bahwa kedua hal itu merupakan buah pengalaman daripada semata hasil penalaran. Perjalanan hidupnya sejak renungan aneh pada senja itu telah dihabiskan demi menjawab pertanyaan-pertanyaan yang timbul dalam benaknya. Ia lebih suka menyendiri di beranda rumah atau perbukitan sambil memandang hamparan persawahan dan perkampungan. Sesekali pergi ke tempat-tempat suci, berdoa dan berserah diri berkali-kali, menelusuri gang-gang kota dengan berjalan kaki seorang diri, memasuki warung-warung sederhana sekedar untuk melepas lelah dan mengamati kehidupan orang-orang yang bersahaja. Rupanya perjalanan dan kesendirian telah memberi kenikmatan tersendiri daripada sebelumnya, tetapi juga memberinya perasaan sepi dan asing yang amat dalam. Perlahan-lahan, teman-temannya telah melupakannya, permainan gitarnya tak lagi terdengar di kalangan pecinta musik kota itu, auranya saat berada di panggung juga telah terlupakan orang-orang. Jika beberapa dari mereka bertemu dengannya di jalan atau warung, mereka akan merasa telah menemukan sosok yang berbeda dari yang dulu pernah mereka kenal—hanya seorang pejalan kusut, sedikit aneh dan pendiam. Namun, ia mulai menikmati nasibnya itu; bahwa menjadi orang yang mengenal kehidupan adalah lebih bermakna daripada orang yang dikenal oleh kehidupan. Pada suatu malam yang telah larut ia pulang ke rumah setelah melakukan perjalanan keliling kota. Pintu rumahnya telah dikunci sehingga ia duduk sendiri di beranda. Langit malam itu begitu cerah, cahaya bintang yang jernih dapat disaksikan dengan jelas. Angin dari pegunungan berhembus lembut dan dingin. Ia mengambil gitarnya dan memainkannya perlahan. Tiba-tiba, di luar kuasanya, ia menangis sejadi-jadinya sambil terus memetik gitarnya dengan lembut. Ia tengah merasakan nada yang selama ini belum pernah ia dengar dan mainkan. Sebuah nada yang lahir bukan dari ingatan tentang music-musik lainnya, melainkan dari kesunyian batin yang telah dihidupi dengan bermacam renungan dan perjalanan yang panjang. Di tengah permainan gitarnya, rupanya ibunya membuka pintu perlahan dan duduk tak jauh dari puteranya. Barulah  ketika permainan gitarnya  jeda, ibunya bicara dengan suara pelan. “Tadi temanmu datang kemari,” kata ibunya. “Dia sempat menunggu beberapa lama tapi kemudian pergi lagi dan meninggalkan sesuatu buatmu.” Ibunya kemudian masuk ke dalam rumah untuk mengambil sebuah kantung. “Ini,” kata ibunya, Puteranya mengambil dan membuka kantung itu: beberapa buah jeruk yang telah masak--seperti yang ia saksikan ketika temannya mengunjungi pertunjukan musiknya. di galeri dan suguhan di rumahnya di kala kebun buahnya sedang panen. “Terimakasih, teman,” ucapnya, pelan. Bersambung : Pikiran-pikiran Ganjil Sofia (2) 

Kelak

Kelak, aku akan bercerita pada anakku : Nak, dulu sebelum kamu lahir, Sempat pada suatu waktu, Aku pernah minder pada Waktu   Aku yang kurang cekatan pada tugas Aku yang emosional pada keadaan Aku yang redup pada senyum matahari Aku yang berulang pada dosa Aku yang lalai pada ilmu Aku yang kurang pada kebermanfaatan Aku yang terombang-ambing pada keyakinan   Dan, Bumi kurang menyukai Bumi kurang mengapresiasi Bumi kadang bosan juga Bumi jadi berpikir ulang, Bagaimana cara terbaik menyampaikan sebuah nasehat?   Kemudian, Sebelum aku melanjutkan, Ibu mu datang, : Suatu saat kamu aku ajari ilmu musim penghujan, : Untuk apa? : Biar kamu tidak seperti Ayahmu itu : ... ... ...   Hujan turun, Malaikat menerbangkan rumah Kami, Kami diatasnya, memberi kabar pada langit Kami nitip pesan buat hujan, : Izinkan setiap tetesmu menjadi karunia terbaik Zaman ini.   Hap! Kami terbangun : Besok lagi jangan ngawur memberi dongeng buat Anakmu : (..bersamb.....)   Ilustrasi : Foto Mathori Brilyan  

Lebih Asing Tempat Ini

Lebih Asing Tempat Ini

Buku tebal menahan doa. Lembar-lembar catatan menusuk ingatan. Jenuh badan menyesak kamar. Lebih dari tiga minggu lamanya. Rutinitas tiga ruang satu tempat. Kamar tidur, meja makan, dan kamar mandi. Semuanya ditemani gawai berisi dunia maya. Berita-berita dunia, cerita-cerita tetangga, dan kabar-kabar kawan berputar-putar di ujung jari. Ditekan ke atas, bergeser ke kanan. Berulang setiap pagi, sebelum azan Subuh datang hingga saklar lampu halaman dinyalakan. “Jangan lupa, belikan camilan dan buatkan minum, Mas.” “Aku ingin tidur sekarang. Bangunkan jika sudah mulai acaranya.” “Aku harus menyapu halaman. Mengganti bola lampu yang mati.” “Berisik!” “Jemurlah pakaianmu. Hari ini semoga tak ada hujan.” Sulit jika harus hidup bersama tanpa ada penengah. Teman seatap menjadi lawan. Menjadi diam, menjadi mati, menjadi penghambat. Daripada bergerak, daripada hidup, daripada melancarkan. Saling menunggu, saling menyesal, saling berkhianat. Keadaan sulit, pemasukan tak ada. Sepi orderan, beras tinggal segenggam. Mie instan terus-menerus setiap malam. Bangun kesiangan, lupa jadwal jaga portal. Sedangkan tetangga sibuk mengolok-olok. Pejabat menahan wabah. Masyarakat desa menunggu di gapura-gapura. Tak ada saran, tak ada arahan. Ke mana kita harus berjalan. Ke mana kita harus mengadu.  Hanya menyalahkan tanpa membenarkan.

***

Bingkai foto di puncak gunung berputar balik. Bergeser menghadap utara, menempel di dinding selatan. Gunung sebenarnya di utara. Kenyataan dari puncak Merapi tempat aku dibesarkan. Lukisan air berombak laut pindah di dinding utara. Bergeser menghadap selatan, menempel di dinding utara. Laut sebenarnya di selatan. Kodrat dari Pantai Selatan tempat aku tinggal. Angka-angka tanggal keluar melampaui tahun. Di kotak-kotak kalender mencatat setiap gerak harian. Sungkan ditatap, jenuh menantang. Pakaian, baju, dan celana di pinggir saklar. Debu menempel di permukaan kain. Jamur membekas di lipatan lengan kemeja. “Kamarmu, mbok ya dibersihkan, Mas. Jaga kesehatan dan sesering mungkin mencuci tangan.” “Sebelum pergi wabah ini. Aku berhenti dari kehidupan sehari-hari.” “Jangan-jangan kau sudah terlalu takut. Di pojok kamar memandangi lukisan. Berbalik badan dan seharian rebahan. Jangan-jangan kau sudah malas?” “Bagaimana lagi melawan wabah ini? Kau berani keluar rumah, kau tanggung akibatnya sendiri.” “Namun, kita harus tetap makan. Apa pun keadaan di luar, kita harus tetap hidup dan perut harus kenyang.”

***

Menjelang Magrib, Pak RT datang membawa kantong kresek besar. Mengetuk pintu depan seraya mengucap salam. Peci dan sarung dikenakan, juga masker yang menempel. Aku terkejut mendengar suaranya dan langsung keluar menuju ruang tengah. “Aku membawa tiga bungkus nasi. Ayo kita makan. Kalian belum makan, kan?” Pak RT menaruh bungkusan di atas meja tamu, menanyakan tikar dan mulai mengambil air wudu di kamar mandi. Rakya memalingkan muka dan menoleh ke arahku. “Ambilkan sajadah, dan gelas. Kita salat Magrib dulu, baru makan bersama.” Karena lapar, Rakya menurut saja. Rakya pergi mengambil tiga gelas. Lalu ke kamar mengambil sajadah.

***

“Habiskan makanan ini. Mulai besok pagi ambil di posko timur perempatan. Mulai besok pagi, kalian tanggungjawab kami.” “Ya, Pak, terima kasih,” jawab Rakya tersenyum. Tak ada tahlilan bersama, tak ada tujuh hari untuk mendiang Bapak. Aku dan Rakya harus menerima. Kami adalah sepasang kakak beradik yang sedang terisolasi. Penduduk asli yang baru saja diterima kembali. (MA) **** Ilustrasi : "Need More Space" 2019 karya afifurrf

Lebih Mudah Daripada

Lebih Mudah Daripada

lebih mudah mengeluh daripada mensyukuri lebih mudah menyakiti daripada menyembuhkan lebih mudah merusak daripada memperbaiki lebih mudah merobohkan daripada membangun lebih mudah mengabaikan daripada menjaga lebih mudah menghambat daripada melancarkan lebih mudah mengurangi daripada menambah lebih mudah menghentikan daripada menjalankan lebih mudah membuang daripada menyimpan lebih mudah merendahkan daripada meninggikan lebih mudah menghina daripada menghormati lebih mudah diam daripada bergerak lebih mudah mati daripada hidup lebih mudah menyesali daripada berhati-hati lebih mudah marah daripada bersabar lebih mudah jatuh daripada bangkit lebih mudah risau daripada gembira lebih mudah menangis daripada menghibur lebih mudah bersuara daripada menyuarakan lebih mudah memerintah daripada memimpin lebih mudah khianat daripada setia lebih mudah ingkar daripada menepati lebih mudah menyesatkan daripada meluruskan lebih mudah menyingkirkan daripada menempatkan lebih mudah menebar kepanikan daripada menenangkan lebih mudah mengolok-olok daripada memberikan saran lebih mudah tak peduli daripada memperhatikan lebih mudah takluk daripada berjuang lebih mudah takut daripada bernyali lebih mudah menghindari daripada menghadapi lebih mudah sembunyi daripada hadir lebih mudah membenci daripada mencintai lebih mudah mendengki daripada bersimpati lebih mudah mencabut daripada menanam lebih mudah menumpahkan daripada menuang lebih mudah meminta daripada memberi lebih mudah menghilangkan daripada mengadakan lebih mudah memusnahkan daripada melahirkan lebih mudah menjegal daripada mendukung lebih mudah menjatuhkan daripada memapah lebih mudah meracuni daripada menjamu lebih mudah menjebak daripada menyambut lebih mudah mengasingkan daripada mengintimkan lebih mudah berjarak daripada berdekatan lebih mudah menggantungkan daripada memastikan lebih mudah bertengkar daripada berdamai lebih mudah menguasai daripada mengabdi lebih mudah menagih daripada menawarkan lebih mudah menyalahkan daripada membenarkan lebih mudah menghujat daripada memuliakan lebih mudah melemahkan daripada menguatkan lebih mudah mencibir daripada memuji lebih mudah mudarat daripada manfaat lebih mudah mengutuk daripada mendoakan lebih mudah sombong daripada rendah hati lebih mudah merasa bisa daripada bisa merasa lebih mudah mengancam daripada melindungi lebih mudah melupakan daripada mengenang lebih mudah merindukan daripada menjumpai lebih mudah menghapus daripada menuliskan lebih mudah memendam daripada mengungkapkan lebih mudah meruntuhkan daripada mendirikan lebih mudah menghakimi daripada membela lebih mudah memotong daripada menyambung lebih mudah memutus daripada menyulam lebih mudah melarang daripada mengizinkan lebih mudah menyulitkan daripada memudahkan lebih mudah kasar daripada lembut lebih mudah tergesa daripada berhati-hati lebih mudah tak acuh daripada menyikapi lebih mudah urakan daripada santun lebih mudah mengkhayal daripada mewujudkan (MA) ***

Galeri Kaliopak, 2020

Brily, Rohman, Rohim, Ridho, Eka

Hujan Kemarau

Hujan Kemarau

Kau telah mengantarkanku pada musim hujan deru angin yang bersorak-sorai kian kesana-kemari gemuruh badai menggeliat mengoyak-koyak terseok tak tersisa melumatkan semua menyisakan aliran sungai mengantarkan pada laut

Dan kau telah membasuhku atas segala dahaga kering kemarau panjang pada malam bulan pelabuhan semilir wangi purnama menerawangkan cahayanya Hening yang menyisakan sunyi sepi samadi dini hari kini, hanya kau dan aku basuh membasuh terbasuh kembali terbangun (MA)

Berjalan di Bukit Sabana

Berjalan di Bukit Sabana

Pernah kuberjalan di bentangan bukit sabana

Tempat aku sendiri bersama hingar bingar ilalang liar

Angin datang begitu keras menerpa,

Riuh gemuruh menggoncangkan langkah

Aku berlindung di sebatang pohon kanopi yang sendiri

Duduk terdiam di baliknya yang melawan arah angin

Terus melawan, dan bertahan

Aku terkuras, seterkuras-kurasnya.

Ke manakah gemuruh badai ini akan bersarang ?

Sampai kapankah ia di sini ?

Dan sampai kapankah ia pergi ?

Hidupku adalah jalan sunyi, dan sangsi

Pulanglah ke lembah napas itu,

Menjadi semilir yang menenangkan

(MA)