Streaming Film Darah dan Doa, Belajar dari Tokoh Usmar Ismail

Streaming Film Darah dan Doa, Belajar dari Tokoh Usmar Ismail

Malam minggu (18/12/2021) di Pondok Pesantren Budaya Kaliopak terasa beda. Lampu pendapa yang biasa digunakan acara begitu gelap, yang terlihat hanya cahaya yang dipancarkan di tembok. Pemutaran film dengan projektor ternyata sedang terjadi malam itu. Kurang lebih 30 orang memadati pendapa yang gagah diterpa cahaya malam, mereka nampak khusyuk hayut dalam film yang di putar dengan judul Darah dan Doa The Long march karya Usmar Ismail dalam acara Bimaseni #2 yang diadakan rutin di Pondok di bantaran Kaliopak ini.

Film yang diproduksi tahun 1950 ini, merupakan film Indonesia pertama yang secara resmi diproduksi oleh orang Indonesia sendiri sebagai sebuah negara setalah perang kemerdekaan. Film yang menceritakan perjalanan panjang (long march) prajurit devisi Siliwangi RI yang diperintahkan kembali ke pangkalan semula, dari Yogyakarta ke Jawa Barat setelah kota itu di duduki oleh Belanda pada agresi militer ke dua tahun 1949. Perjalanan panjang yang dipimpin Kapten Sudarto (del Juzar), diceritakan dalam film penuh dengan mara bahaya, banyak peristiwa terjadi seperti sergapan musuh yang menewaskan beberapa prajurit, kisah asmara sang kapten, penderitaan prajurit dan dilema menjadi prajurit dalam kondisi negara yang belum menentu, menjadi drama realis yang begitu menghanyutkan pada malam itu.

Kisah perjuangan dan rasa nasionalisme menjadi narasi utama dalam film yang berdurasi 2 jam tersebut. Dengan segala kelebihan dan kekurangan secara teknis film ini, Usmar Ismail yang juga menjadi bapak perfilman nasional dan baru saja dianugerahi gelar pahlawan nasional, sebagai seorang sutradara berhasil menyuguhkan karya film sebagai alat perjuangan di waktu krisis dan transisi kebangsaan untuk tujuan kesatuan dan persatuan di antara anak bangsa.

Setelah film selesai malam itu kemudian dilanjutkan dengan acara diskusi untuk membedah film yang sudah selesai di tonton. Zahid Asmara sebagai pembedah pertama menyatakan, bahwa film Darah dan Doa sebagai bentuk diplomasi budaya yang dilakukan Usmar Ismail melalui film. Hal ini juga bagian dari sikap Usmar Ismail dalam merespon maraknya film asing terutama dari Amerika yang membanjiri dunia perfilman nasional.

“Maka dari hal itu, agaknya Pak Usmar Ismail dalam konteks ini ingin memberikan visi perfilman nasional sebagai pijakan para sineas muda bangsa di tengah arus perfilman global,” Ujar Zahid yang juga pengkaji film Nasional dari Pondok Kaliopak.

Selain itu film ini seperti disampaikan Zahid sebagai anak wayang dalam artian basis keaktoran para pemerannya tidak bisa dilepaskan dari kesenian tradisi yang sudah hidup ditengah masyarakat. Seperti ludruk, stambul, bahkan wayang itu sendiri.

Sementara itu Yudha Wibisono sebagai seorang produser film menyatakan bahwa film ini begitu luar biasa karena diproduksi dalam kondisi krisis. Tercatat pembiayaan produksi ini hanya sekitar 150 ribu zaman itu, yang didapatkan dari kementerian penerangan. Ia juga mencatat film begitu realis menciptakan situasi peperangan dari sudut pandang rakyat biasa, sehingga pada saat itu film ini dianggap tidak mewakili kepentingan militer.

Lebih jauh Yudha melihat film ini tidak bisa kita bandingkan dengan teknologi perfilman yang berkembang pesat hari ini. Tapi upaya Usmar Ismail dalam menyuguhkan film untuk tujuan membangkitkan nasionalismenya inilah yang patut kita teladani sebagai penggiat film hari ini. Dan nampaknya ketika melihat dinamika produksi film hari ini, akan jauh berbeda, karena film hari ini masuk dunia industri, yang sering kali gagasan terkait lokalitas dan nasionalisme tidak mempunyai ruang banyak di sana.

“Bagaimanapun itu, saya menonton film-film Usmar Ismail mulai dari sejak remaja, dari film beliaulah saya akhirnya mencintai dunia film,” Tutur Yudha menceritakan pengalaman pertamanya dengan nama Usmar Ismail.

Beda halnya seperti disampaikan oleh Rendra Bagus Pamungkas sebagai seorang aktor yang sudah malang melintang di dunia perfilman nasional. Ia melihat film Darah dan Doa ini, berusaha menampilkan gambar realisme dari suatu peristiwa yang benar-benar hadir ditengah masyarakat. Sehingga film ini seperti mengajak kita semua untuk melihat kondisi rell pada saat itu.

Selain itu, Rendra mengungkapkan bahwa bagaimanapun film ini diproduksi dengan tujuan untuk propaganda untuk membangkitkan semangat persatuan dan nasionalisme di tengah ancaman disintegrasi bangsa ini di tengah perang saudara yang terjadi pada saat itu. Dari hal itu juga, apa yang dilakukan oleh Usmar Ismail ini bagian dari statement beliau atas kondisi bangsa ini melalui karya film yang akan menjadi pijakan untuk para penggiat film nasional kita.

“Dan film Darah dan Doa ini merupakan upaya yang dilakukan bapak Usmar Ismail untuk mengambil posisi seperti apa seharusnya perfilman nasional kita di tengah perfilman global,” Tegas Rendra yang pernah menjadi pemeran utama dalam film Wage WR Soepratman (2017) itu.

Melihat Usmar Ismail Dari Sisi Seorang Santri

Berbeda halnya dengan pembedah sebelumnya, Kiai Jadul Maula juga menanggapi film Darah dan Doa ini dari sisi seorang santri yang jarang di baca oleh banyak orang selama ini. Menurut kiai Jadul dalam film Darah dan Doa ini sisi ke santrian Usmar Ismail terlihat jelas. Hal ini tergambar dari cerita yang begitu kuat menampilkan sisi religiusitas yang terdapat pada ungkapan-ungkapan doa yang ditampikan. Kemudian sisi kemanusiaan atau merakyatnya dalam film ini dapat kita lihat pada beberapa adegan misalnya kita dapati bagaimana keterlibatan masyarakat kampung saat menyambut barisan prajurit yang datang. Dan rasa Nasionalisme dalam film ini sudah tidak bisa bantah lagi, karena hampir dari semua plot cerita menggambarkan rasa cinta tanah air yang luar biasa.

Ketiga hal tersebut, mulai dari religiusitas, merakyat, dan cinta tanah air NKRI merupakan bagian dari identitas santri yang juga termasuk sudah tertanam dalam diri seorang Usmar Ismail. Hal tersebut sebenarnya bukan tanpa sebab, jika melihat latar belakang keluarga keluarganya merupakan pemuka agama dari daerah Minang. Dan waktu kecil dikabarkan Usmar Ismail belajar mengaji di surau-surau, begitulah kiranya identitas santri Usmar Ismail dibentuk.

Dalam konteks tertentu menurut Kiai Jadul film sendiri bagi Usmar Ismail adalah alat perjuangan sebagai bentuk ekspresinya sebagai seorang santri. Dan hal ini bisa kita lihat dari film Darah dan Doa ini. Bagaimana film ini muncul dalam situasi masa transisi ditambah lagi dinamika politik kebangsaan yang bergejolak dan tidak menentu. Dari film inilah Usmar Ismail bersikap melalui film Darah dan Doa yang sebenarnya memiliki makna yang dalam.

“Makna judul Darah dan Doa The Long March seperti memberi PR untuk kita semua yang mana long march perjalanan panjang perjuangan bangsa kita sebenarnya belumlah usai untuk menghindari konflik sipil diantara anak bangsa. Sehingga pertumpahan darah ini harus dihindari, dan doa itu sendiri bagian yang mesti terus kita pegangi sebagai bekal perjalanan panjang kebangsaan kita ini,” Tegas Kiai Jadul yang juga menjabat sebagai ketua LESBUMI PBNU.

Maka film ini mendapat relevansinya ketika kita melihat kondisi bangsa kita hari ini, yang mana benturan idiologi sampai sekarang ini yang belum selesai, dan masih dimainkan untuk memecah belah persatuan kita. Antara yang ingin menjadikan negara ini menjadi sangat liberal/komunis sehingga berhadap-hadapan dengan yang membuat negara ini sangat islamis.

Disamping itu makna penting lain dari Usmar Ismail sebagai seorang santri adalah, ia menggunakan film bukan untuk tujuan utama. Tapi ia memilih medium film sebagai medan perjuangan. Dan jika melihat profil Usmar Ismail yang juga bergulat pada politik, ia menggunakan politik untuk menjadikan film bisa diterima di dalam negeri sendiri. Dimana saat itu, dominasi film luar begitu kuat, sehingga ia menggunakan politik untuk memberi pangung bagi per film Indonesia agar sejajar dengan perkembangan film dunia. Dan akhirnya film ini menjadi tujuan akhir dari agama itu sendiri, yaitu film untuk mengekspresikan gagasan spritual dan kebangsaan.

PARA PEZIARAH YANG ANEH

PARA PEZIARAH YANG ANEH

Kala senja membinar di saat Magrib menjelang, aku duduk di beranda dengan obrolan-obrolan yang terlontar jenaka, hingga kerut rona siluet panorama Magrib terlibas oleh malam. Orang-orang dibuat cemas oleh virus baru bernama COVID-19. Kampus-kampus mendadak diliburkan, toko dan warung mulai menutup diri dan memilih pulang kampung halaman. Magrib serasa begitu mengambang, lirih dan terabaikan. Masjid-masjid hanya menyisakan suara azan terdengar, “Solluu fii Buyutikum” salat di rumah, dan tidak ada salat berjamaah di masjid.  

Rona-rona siluet langit jingga kemerahan perlahan terbenam. Aku beranjak ke Pondok Kaliopak. Pondok tempat aku melipat-lipat waktu jauh panjang ke belakang, ziarah waktu pada leluhur, hingga hembusan napas begitu terasa mendesir iramanya. Sungguh, suatu hal yang tidak bisa aku dapatkan di kampus, di mana aturan-aturan dipadatkan, pengetahuan dibakukan, dan imajinasi dilumat oleh organisasi. Mahasiswa disibukkan dengan tugas, dosen sibuk dengan rapat, dan organisasi sibuk dengan pengkaderan-pengkaderan formatif serta even-even money oriented. Lalu aku bertanya, di manakah waktu luang dan pengetahuan tercipta, dikonstruksi, dikomposisikan kembali, hingga terdistribusi. Kini, tinggallah menyisakan manusia-manusia  kering dan sepi.

Sesampainya di pondok, aku menuju dapur untuk menyiapkan makan kembulan Ngaji Dewaruci, tugas pokok darmaku di pondok memang memasak. Ia sudah seperti meditasiku dalam bentuk lain. Meditasi yang memang semestinya meditasi, ialah laku olah rasa dan kendali raga. Ajaran filasfat Timur mengajarkan banyak hal perihal ini, meditasi bisa dalam bentuk apapun, seperti ajaran Zen-Budhisme yang berkembang dalam dunia kepenulisan hingga hari ini.

Kali ini makan kembulan memakai piring masing-masing, akibat dari COVID-19 yang merebak, dan untuk kehati-hatian. Malam ini, menu makan adalah bihun, sayur hijau dan kuah sup. Ditambah perasan jeruk nipis, sambal dan kerupuk.

Aku menuju pendopo yang hening, malam menundukkan pundak dan kepala. Gelaran karpet dan tikar, tiang-tiang kayu yang dibalut kain kuning, dan foto raja-raja Mataram Islam, berjejeran di tiang beranda pendopo limasan. Bacaan wirid Ratib al-Haddad sudah dilantunkan. Bacaan-bacaan ini adalah kalam-kalam baik yang kita upload, kembali pada Allah, Tuhan semesta alam.

Kalam-kalam langit dilantunkan sebagai medium untuk melarungkan kekotoran diri dan pikiran di hadapan bumi dan Ilahi. Pondok membiasakan hal itu dilaksanakan sebelum Ngaji Dewaruci dimulai. Semua imaji-pikiran dikembalikan pada ketak-terhinggaan semesta langit, sehingga tidak berakhir pada batas bumi argumentatif ketika ngaji. Suasana lirih bergetaran di bibir, bilik-bilik surau dan tanah yang disirami lafal yang mengheningkan jiwa dan pikiran.

Tema ngaji kali ini adalah “Riwayat Indrapura (catatan perjalanan ke pantai barat Sumatera)”,  dipantik oleh mas Raudal Tanjung Banua, ia seorang sastrawan-budayawan dan peneliti sosial. Di samping itu, ia sering melibatkan diri dalam dunia teater.

Mas Raudal melakukan perjalan untuk yang kesekian kalinya ke ujung selatan Sumatera Barat, terakhir pada oktober 2019 lalu. Ia mengemukakan bahwa Indrapura adalah nama indah yang jika kita telisik ada di mana-mana. Ada Siak Sri Indrapura di Riau, Indrapura Air Putih di Batubara, atau Indrapuri di Aceh. Pahang yang kita kenal sekarang, dulu bernama Indrapura, termasuk ibukota Champa (Vietnam). Nama-nama tempat India kuno pun banyak memakai nama Indrapura. Artinya lebih kurang tempat bertakhta raja Indra (raja tertinggi), demikian pernah ditulis budayawan prolifik Emran Djamal Datuak Mudo.

Dalam buku Rusli Amran, Sumatera Barat Hingga Plakat Panjang (1981), disebutkan, kesultanan Indrapura jadi pumpunan teks setebal 652 halaman tersebut. Gusti Asnan dalam Dunia Maritim Pantai Barat Sumatera (2007), juga membicarakan Indrapura sebagai pelabuhan penting penghasil lada hitam (merica) dan emas. Dalam buku yang lain, Kerajaan Indrapura (2013), Gusti Asnan (sebagai editor) bersama Yulizal Yunus dan Muhapril Musri, juga mengkaji sistem pemerintahan Indrapura.

Tak kalah menarik untuk disimak, dalam sebuah roman Balai Pustaka, yaitu Hulu Balang Raja (cet.1, 1934) karya Nur Sutan Iskandar, mengambil lanskap Indrapura. Tokoh-tokoh utamanya juga terdiri dari bangsawan Indrapura seperti Ali Akbar, Putri Ambun Sari, Muhammad Syah, Malafar Syah dan Raja Maulana. Tentu, masih banyak lagi Indrapura kita temukan dalam berbagai teks Nusantara, baik klasik maupun kontemporer. Demikian, papar Mas Raudal.

Paparan-paparan yang dikemukakan begitu terasa sastrawi, terlebih  Mas Raudal memotret itu semua, dan menempatkan dirinya sebagai pejalan atau peziarah waktu. Bukan tanpa alasan perjalanan itu dijelajahi, ia memiliki memori masa kecil yang tersimpan. Memori itu membayang dalam imajisitas perjalanan rantaunya ke negeri seberang. Di Yogyakarta, ketika dirasa ada jarak, justru memori itu muncul kembali. Jejak memori yang membentang luas, sedikit aneh dan menggetarkan, hingga getaran jarak itu mengantarkannya untuk bisa melihat dan sampai  pada jejak-langkah moyangnya. 

Perjalanan pergi jauh ke rimba raya negeri seberang, memang menyisakan luka jarak ruang, namun mampu melipatkan waktu untuk melihat luka-ruang tersebut dengan jernih. Sorren Kiekergard, seorang filsuf eksistensialis berkebangsaan Denmark mengungkapkan perjalanan seperti itu sebagai ‘pergumulan individu dan kebatiniahan’.

Dunia tasawuf Islam dan teosofi mengenal kebatiniahan individu tersebut sebagai suwung, ialah suatu keadaan kosong. Kosong yang merindu akan isi. Layaknya seorang musafir yang kehabisan bekal, dan kehausan di gurun pasir fatamorgana pencarian makrifatnya. Seperti pula pengembaraan seekor elang yang terus terbang mengejar pusaran matahari.

Hati pun menjadi dingin yang menjelma kebisuan, tinggallah menyisakan laku suluk yang membiaskan dahaga akan air kehidupan, air kehidupan yang akan melumatkan semua luka, dan memberikan kesegeran abadi di sisa hidupnya. Konon, air kehidupan itu dikenal dalam kisah raja-raja yang mengerahkan seluruh pasukannya, untuk menemukan air itu. Namun air tersebut hanya diperuntukkan bagi para pejalan, peziarah yang tengah kehausan dan akut kebingungan. Hingga sampailah ia di sungai yang berpasrah pada laut, terseok oleh derasnya rahasia lika-liku air yang meliuk, membentur batu, terjun bebas, hingga menenang sunyi di muara samudera biru.

Sultan Agung menuliskan pergumulan batiniah perjalanannya dalam nubuwat babad Serat Nitik. Syekh Maloyo atau Sunan Kalijaga menyuratkan perjalanan itu dalam Suluk Linglung. Dan lakon Dewaruci menyiratkannya dalam Suluk Dewaruci. Suluk dan serat-serat tersebut adalah medium kita untuk bisa melihat pada diri sendiri. Ialah jalan dan jati diri kita, sebagai manusia Nusantara yang diperagakan dalam teknologi lakon berupa wayang. Kita bisa mengaksesnya melalui lakon suluk diri masing-masing, ialah suluk yang tidak berbatas pada pengetahuan saja, namun pengerahan kanti laku diri dengan totalitas.  

Begitu pun dengan perjalanan Bujangga Manik, ia adalah seorang bangsawan dan rahib yang hidup di masa paceklik keruntuhan Dayeuh Pakuan Padjajaran, ia lebih memilih berkelana dan meninggalkan pusat kekuasaan. Kemudian ia melakukan perjalan jauh, berkelana ke rimba raya pulau Jawa-Selat Bali hingga dua kali. Di Mataram Islam Jawa, kita akan menemukan sosok imajisitas Bujangga Manik dalam diri Ki Ageng Suryomentaram. Menanggalkan jubah kebangsawanan, dan memilih jalan kelana bukanlah tanpa sebab, ia syarat dengan situasi sosial-politik yang menjalar-banal pada saat itu.

Perjalanan kelana tersebut adalah laku-asketis sebagai olah rasa untuk menemukan diri yang baru. Ialah perjalan menemukan jati diri yang beraroma karsa. Karsa yang sejatinya memunculkan bau wangi dengan sendirinya, juga memberi wangi pada diri yang lain. Dan itulah nama asketis yang diberikan pada leluhur manusia Pasundan, ialah Prabu Siliwangi. ‘Siliwangi’ artinya ‘saling wangi’, dan memberi wangi (Silih-Wangi). Dirinya mewangi dengan sendirinya, lalu dengan sendirinya pula ia memberi wangi pada sekitarnya. (MA)

Qurotul Ain (Syeh Yusuf al-Makassari) 5 – Kiai Jadul Maula

Qurotul Ain (Syeh Yusuf al-Makassari) 5 – Kiai Jadul Maula

https://www.youtube.com/watch?v=91U3hmTpePQ
https://www.youtube.com/watch?v=hR6upqCwFi0

Obah Obah #3 Teater Kaliopak: Seni dan Kesehatan Gladhen Beksan Wanara

Obah Obah #3 Teater Kaliopak: Seni dan Kesehatan Gladhen Beksan Wanara

https://www.youtube.com/watch?v=VCDsPGgJ1ZA