Testing Ngaji

Testing Ngaji

Rasa sakit itu sendiri adalah cinta, sistem penyimpanan utama. Setiap sistem kekebalan dirancang untuk dipantau oleh perbatasan. Curabitur varius tortor dan sollicitudin mollis. Ini hanya dalam satu. Tidak ada orang bijak sendiri, pepatah kelayakan remaja, Biro para pemain Kucing, yang ujungnya tapi orc, tapi, diameter utamanya. Proin euismod fermentum erat et lacinia. Tapi sebelum atau, minum kesakitan Duis vel tempor eros, id interdum lorem.

Untuk panah kehidupan, tawa kucing itu mudah, ujung komoditasnya adalah minum. Masing-masing atau kendaraan yang dipilih. Bilangan bulat di ante eu odio fringilla eleifend sit amet et dolor. Setiap harga murni tetapi panah adalah yang terbesar. Mauris dapibus nunc eu nisi ultrices, sebuah wilayah varius quam. Waktu untuk yang. Ini akan memakan banyak rasa sakit. Bumi adalah bumi. Potensi suspensi. Maecenas semper cursus diam, in elementum dolor sodales non. Maecenas nec nulla nunc. Ini banyak bantal mudah. Nah, itu guci panah. Dalam pemanasan Penyakit yang harus diracuni sebelumnya. Aeneas adalah singa sedih yang menahan tawa para remaja, dan pemenang terbesar.

Tapi siapa yang menanggung massa, itu penting untuk eros. Besok dalam menghadapi rasa sakit, tapi banyak masalah. Setiap anak adalah anggota murni dari wanita hamil. Aenean eget tortor eget ipsum tempus molestie. Dan anak panah bumi Aenean pretium lorem a massa suscipit laoreet. Tidak perlu berhenti membenci penulis. Tapi dia ingin sedikit sedih. Tak satu pun dari pelanggan kami, waktu kehidupan beracun, bumi adalah kemiripan tentu saja, yang jelek Bumi normal untuk para pemain, atau fermentasi atau eros, pisang anggota saya. Aeneas bergetar karena tawa Kami selalu hidup dari racun kehidupan orang bijak. Pellentesque vel solicitudin risus, et scelerisque augue. Tapi dia membutuhkan lebih banyak sihir dari itu. Rasa sakit saus, kucing perlu selalu dibesarkan, hanya remaja gratis yang hebat, tetapi rasa sakit itu perlu dibenci.

Sampai hidangan sedih saus singa eu. Karena dia selalu menjadi gerbang haluan, dan dia ingin minum. Mauris fermentum massa lacus, quis aliquam eros dictum a. Tapi itulah singa dari singa dan kekeraskepalaan busur Sampai saat itu, keuntungan menjadi bijak dan mudah Keuntungan terbesar dari eros di dunia, pada saus anggota bumi. Bilangan bulat di cursus dui. Beberapa riasan dan batas ajaib. Suspendisse et dignissim dui. Rasa sakit itu sendiri adalah cinta, sistem penyimpanan utama. Sekarang kehidupan para penggemar yang sakit bergetar untuk meningkatkan. Film ini akan menjadi kendaraan saya.

Tapi busurnya tidak biasa, itu hanya bantal yang menyedihkan, tidak apa-apa. Cara meratapi tawa, dan tarikan kendaraan sistem kekebalan kehidupan. Sudah waktunya untuk berinvestasi dalam penyiksa, setidaknya sekarang. Bahwa feri kehidupan hanyalah kumpulan anak panah. Tapi sekarang beberapa anggota lembah bijaksana. Sekarang ajukan beberapa pertanyaan. Gaya rambut yang sempurna tidak menyenangkan untuk ditendang. Ini bukan rasa takut untuk memulai.

Testing Yadnya Kasada Ritual Adat di Kaki Gunung

Testing Yadnya Kasada Ritual Adat di Kaki Gunung

ANGIN berhembus kencang. Pasir-pasir beterbangan. Barisan orang yang mengangkut berbagai macam sesaji tetap berjalan sembari sesekali menyeka mata. Pemimpin barisan berpakaian serba putih berada paling depan. Di belakangnya, beberapa orang tampak membawa pajeng (sejenis payung besar). Mereka berhenti tepat di depan Pura Poten di kaki Gunung Bromo, Jawa Timur.

Adegan ini merupakan rangkaian ritual adat Yadnya Kasada atau dikenal juga dengan sebutan Kasada Bromo. Biasa digelar oleh orang-orang Tengger dari empat kabupaten di Jawa Timur : Pasuruan, Malang, Lumajang, dan Probolinggo. Kasada diadakan tiap tahun sekali pada hari ke-15 dalam bulan Kasada atau bulan ke-12 dalam penanggalan orang Tengger. Mereka berkumpul di hamparan pasir (segara wedhi) kaki Gunung Bromo.

Dari kaki Gunung Bromo, orang-orang Tengger berjalan kaki membawa berbagai sesajian menuju kawah. Disini, mereka melempar sesajian berupa buah buahan, sayuran, hewan ternak, dan hasil bumi lainnya ke kawah. Simbol pengabdian pada Sang Hyang Widhi, pengorbanan, penyucian diri, rasa syukur, penjagaan hubungan harmonis dengan alam, dan penghormatan pada leluhur mereka.

Yadnya Kasada terbuka untuk umum dan seluruh orang Tengger dari agama apapun. Upacara ini kental dengan ritual dan ajaran agama Hindu. Tapi bagi orang Tengger, berkahnya tak hanya untuk orang-orang Hindu, tetapi juga untuk semua orang.

Orang Tengger telah menggelar Yadnya Kasada sejak kehadiran mereka di Tengger pada masa Kerajaan Majapahit sekira abad ke-13 M. Ada banyak versi tentang asal-usul orang Tengger. Sudiro dalam “Legenda dan Religi Sebagai Media Integrasi Bangsa” di jurnal Humaniora, Vol. 13 No. 1 2001, menyebutkan dua versi: legenda dan sejarah.

Versi legenda menyatakan Tengger berasal dari gabungan nama dua leluhur mereka: Rara Anteng (Teng), putri raja Brawijaya, dan Joko Seger (Ger), putra seorang Brahmana Kediri. Keduanya menikah dan hidup di sekitar wilayah Penanjakan, tak jauh dari Gunung Bromo. Tapi mereka tak punya anak untuk waktu lama. Hingga akhirnya mereka berdoa kepada Sang Hyang Widhi Wasa.

Rara Anteng dan Joko Seger berjanji jika punya anak, salah satu anaknya akan dikorbankan. Tak lama kemudian, Rara Anteng hamil dan melahirkan. Anak mereka berjumlah 25. Setelah lahir, salah seorang anak mereka, Raden Kusuma, menghilang. Mereka kemudian mendengar suara Raden Kusuma keluar dari kawah Gunung Bromo.

“Keturunan Rara Anteng dan Joko Seger atau masyarakat Tengger dapat hidup aman sejahtera bila pada waktu-waktu tertentu mereka akan memberi korban ke kawah Gunung Bromo,” sebut Sudiro.

Maksud “memberi korban” adalah mendermakan sebagian hasil panen dan ternak ke kawah Bromo. Inilah muasal upacara Kasada. Versi legenda ini tak berbeda jauh dari versi sejarah. Menurut sejumlah prasasti di sekitar pegunungan Bromo dan Negarakertagama, orang Tengger juga disebut telah bermukim di kawasan Tengger sejak masa Majapahit.

Sutarto dalam “Legenda Kasada dan Karo Orang Tengger Lumajang”, disertasi di Universitas Indonesia tahun 1997, menyebut orang-orang Tengger hidup sebagai petani yang tangguh. Alam sekitar pegunungan yang dingin menempa mereka bekerja sepanjang hari agar tubuh tetap hangat. Hasil panen melimpah dan kebutuhan mereka tercukupi oleh alam di sekelilingnya. Karena itulah mereka menghormati alam dan berusaha menjaga hubungan harmonis dengannya.

Gunung Bromo yang berkawah merupakan gunung terendah di antara gunung-gunung lain di kawasan Tengger. Orang Tengger menganggap Gunung Bromo suci. Ia adalah bagian dari alam yang telah membantu orang Tengger menghidupi kesehariannya.

Karena itu, apapun yang dilempar ke dalam kawah menjadi bermakna penghormatan pada alam sekaligus penyucian. Kawah untuk melempar sesaji pada ritual Yadnya Kasada disebut juga pelabuhan. Sebab, ke sanalah orang Tengger melabuhkan semua persembahan sebagai pesan leluhur mereka, Kyai Kusuma atau Raden Kusuma.

Ritual adat Yadnya Kasada bertahan dan diwariskan dari generasi ke generasi. Makna ritualnya tetap terjaga pula. Beberapa pengamat asing mencatat jalannya upacara ini pada rentang abad ke-19-20.

Tak banyak perubahan makna pada upacara Yadnya Kasada. Perubahan hanya menyangkut bentuk-bentuk sesaji dan rangkaian acaranya. Dahulu Kasada tak memiliki rangkaian acara lain. Memasuki tahun 1980-an, orang-orang Tengger mulai menambahkan sejumlah mata acara tari-tarian dan musik tradisional.

Selain itu, ada mata acara tambahan lainnya terkait dengan pengukuhan seseorang di luar Tengger sebagai warga kehormatan Tengger. “Pada hari raya Kasada, laut pasir dan bibir kawah Gunung Bromo penuh dengan manusia. Bahkan pada hari raya ini telah muncul tradisi baru, yakni pengukuhan pejabat tinggi negara sebagai sesepuh dan warga kehormatan Tengger,” catat Sutarto.

Beberapa nama bisa disebut seperti Menko Polkam Soesilo Soedarman (1993-1998), Mendagri Amir Machmud (1969-1982), Menparpostel Achmad Tahir (1982-1988), Menteri Peranan Wanita Lasiah Soetanto (1983-1987), dan Menteri Agama KH Munawir Sjadzali (1983-1993). Sisanya pejabat tingkat provinsi dan daerah tingkat II.

Orang-orang itu dikukuhkan oleh dukun pandhita atau pemimpin upacara adat dan keagamaan di Tengger. Dukun pandhita pula yang menyusun dan memastikan rangkaian Kasada berjalan lancar.

Menurut Nicolaas Warouw dkk dalam Inventarisasi Komunitas Adat Tengger, Kasada memiliki tiga tahapan besar. Pertama, pengambilan air (mendhak tirta) yang diikuti oleh tidak tidur secara bergantian sampai pembukaan Kasada (makemit) dan menyucikan sarana dan alat Kasada (melasti). Kedua, pembukaan Kasada berupa pertunjukan sendratari. Ketiga, membuang sesaji ke kawah secara beriringan dan berbaris.

Setelah upacara selesai, sesaji dibawa dari kaki Gunung Bromo ke atas kawah. Dan mereka melemparkan ke dalam kawah, sebagai simbol pengorbanan yang dilakukan oleh nenek moyang mereka.

Hingga hari ini, orang masih bisa menyaksikan rangkaian upacara Yadnya Kasada. Untuk dapat melihat upacara ini di Bromo lebih baik kita datang sebelum tengah malam, karena ramainya persiapan para dukun. Dari melihat Yadnya Kasada, orang bisa belajar tentang makna sebuah upacara yang tak termakan zaman.*

Testing Tokoh Agus Noor

Testing Tokoh Agus Noor

Yogyakarta memiliki tempat tersendiri di hati penulis buku Barista Tanpa Nama (2018), Agus Noor. Bergaul dalam lingkungan seniman di Kota Gudeg tersebut secara tidak langsung membentuknya untuk berpikir di luar kebiasaan. “Jogja itu apa-apa bisa jadi lelucon, apapun dibercandain. Lelucon itu bukan sekadar lucu ya, tapi memandang suatu persoalan secara berbeda. Sesuatu yang kita anggap biasa bisa jadi menarik dari kacamata lelucon,” ujar pria lulusan Fakultas Seni Pertunjukan Institut Seni Indonesia (ISI), Yogyakarta ini.

Hidup dalam lingkungan seniman juga mendidiknya untuk memiliki jiwa “memberontak”, tak terkecuali kritis terhadap kebijakan-kebijakan rezim. Namun ia sadar bahwa ada keterbatasan dalam menyampaikan kritik. “Kita tidak boleh berkonfrontasi langsung dalam mengkritik, tapi lebih kepada menyindir. Kalau di Jawa istilahnya pasemon, begitu ya begitu tapi jangan dinyatakan begitu. Ngomongnya mlipir, tapi orang kemudian mengerti yang dimaksud,” kata penulis skrip program televisi Sentilan Sentilun ini.

Menyikapi Tekanan dan Kebebasan

Lahir di tahun 1968, Agus merasakan pengalaman berkarya yang berbeda-beda di setiap era pemerintahan, dimulai dari Orde Baru. Kala itu, tekanan-tekanan vertikal dalam menyatakan kritik dan pendapat begitu terasa, terlebih ia juga aktif dalam pergerakan mahasiswa. Walau demikian, hal itu justru membuatnya bergairah untuk menulis. Dari situlah lahir karya-karya satir sosial-politiknya. Salah satunya buku Bapak Presiden yang Terhormat (1998), yang saat itu disensor dengan diberikan judul berbeda, yaitu Peang.

Dari masa ke masa, tekanan tidak hilang, hanya berubah bentuk. Bila dulu vertikal, kini horizontal akibat adanya segregasi sosial yang tajam. Menyikapi tekanan-tekanan tersebut, pria kelahiran Tegal ini punya cara khusus jika ingin menyampaikan kritik. “Kritik tak sekadar disampaikan, tapi diparodikan, diberi konteks tertentu agar situasi yang kita bicarakan jadi lebih kocak. Artinya, kita harus bersiasat. Kritik kita harus sampai tapi tidak konyol,” Agus memberi saran.

Meski kini orang bisa berpendapat secara lebih bebas, bukan berarti menjadi liar. Ia menjelaskan, “Kebebasan menyatakan pendapat itu penting dan harus dijaga. Dijaga itu kita menyatakan pendapat dengan cara-cara yang elegan. Jangan sampai itu (kebebasan berpendapat) dicabut lagi.”

Penulis Produktif dan Serbabisa

Banyak menulis sindiran sosial-politik, Agus tak ingin dikotak-kotakkan. “Saya tidak ingin menjadi penulis yang bisa dideskripsikan. Saya memperluas tema, terbuka akan banyak hal, karena saya memang gak pengin berhenti di satu (gaya penulisan). Eksperimen-eksperimen itu membuat saya tidak bosan ketika menulis,” ucap Agus.

Variasi gaya penulisan tersebut ia terapkan dalam berbagai bentuk karya sastra, seperti prosa, cerita pendek, puisi, naskah lakon, serta skenario televisi. Hal tersebut tampaknya cukup efektif dan berhasil, melihat banyak dari buku-bukunya yang menjadi best-seller dari tahun ke tahun, seperti Memorabilia (2000), Selingkuh Itu Indah (2001), Sepotong Bibir Paling Indah di Dunia (2007), Ciuman yang Menyelamatkan dari Kesedihan (2010), Cerita buat Para Kekasih (2014), Cinta Tak Pernah Sia-sia, dan Barista Tanpa Nama (2018).

Ketika ditanya strateginya untuk terus produktif menulis, Agus menjawab, “Pertama, saya menginventaris ide-ide. Kalau ada sesuatu yang menarik, misalnya satu kata atau kalimat, bahkan karakter orang, saya catat. Kedua, perbanyak bacaan, seluas-luasnya, seragam-ragamnya. Begitu kita sudah punya amunisi dengan bacaan dan ide-ide, kita bisa langsung menulis dengan cepat. Ketiga, saya memaksakan diri menulis apapun. Dulu waktu awal-awal saya menargetkan satu hari 5-7 jam. Gak mesti jadi, yang penting jangan tergoda untuk gampang pergi.”

Bertahan dan Mengembangkan Karier

Untuk menjadi seorang penulis yang bertahan dalam karier, Agus mengatakan bahwa seseorang harus menjadikan menulis sebagai sesuatu yang ia pilih. “Pahit-getir, gagal-berhasil, apapun yang terjadi, ini dunia dan profesi yang saya pilih. Maka kemudian itu (menulis) menjadi sesuatu yang diperjuangkan,” ucap sastrawan yang sering bolak-balik Yogyakarta–Jakarta karena pekerjaan tersebut.

Setelah memilih, seseorang harus tahu tujuannya menulis. “Itu pertanyaan dasar, tapi menentukan. Saya menulis karena ingin membebaskan diri dari kegilaan. Saya butuh mengekspresikan diri. Kalau tidak, saya bisa sakit jiwa. Tujuan itu harus diketahui dulu, karena setiap orang berbeda-beda,” ujarnya.

Seolah tak cukup menjadi penulis serbabisa, personel Teater Gandrik ini juga menjadi creative director untuk banyak pertunjukan musik dan teater. Bersama Butet Kartaredjasa dan Djaduk Ferianto, ia menggagas Indonesia Kita, komunitas yang pertunjukan-pertunjukannya bertujuan mengedukasi publik tentang pluralisme dalam Indonesia. Tak sulit bagi Agus untuk melompat ke bidang pekerjaan tersebut, mengingat latar belakang pendidikannya di Jurusan Teater.

“Prinsipnya juga menulis. Creative director sebenarnya juga menuliskan kisah atau adegan dalam panggung, hanya lebih kompleks. Ketika menulis buku saya tidak mempertimbangkan aspek-aspek lain, tapi kalau ini saya harus mempertimbangkan aspek-aspek produksi, siapa pemainnya, dan lain-lain,” jelas Agus.

Baginya, menjadi seorang penulis tidak berarti harus mengurung diri dan tertutup. “Jangan menganggap pergi ke tempat lain itu cuma refreshing, tidak mengerjakan sesuatu. Misal, ketika ngopi-ngopi kan kita refresh pikiran, mencoba mendengar, membual, yang herannya malah bisa jadi cerita. Ketika bertemu dengan seniman, proses sharing-sharing itu juga kita sedang bekerja. Penulis tidak bisa hidup sendirian, harus ada partner, komunitas, atau lingkungan untuk mengembangkan diri,” kata Agus, menutup perbincangan. [Swasti Triana Chrisnawati], Foto: Arif Hidayat

Testing Tradisi dan Budaya

Testing Tradisi dan Budaya

Rasa sakit itu sendiri adalah cinta, sistem penyimpanan utama. Setiap sistem kekebalan dirancang untuk dipantau oleh perbatasan. Curabitur varius tortor dan sollicitudin mollis. Ini hanya dalam satu. Tidak ada orang bijak sendiri, pepatah kelayakan remaja, Biro para pemain Kucing, yang ujungnya tapi orc, tapi, diameter utamanya. Proin euismod fermentum erat et lacinia. Tapi sebelum atau, minum kesakitan Duis vel tempor eros, id interdum lorem.

Untuk panah kehidupan, tawa kucing itu mudah, ujung komoditasnya adalah minum. Masing-masing atau kendaraan yang dipilih. Bilangan bulat di ante eu odio fringilla eleifend sit amet et dolor. Setiap harga murni tetapi panah adalah yang terbesar. Mauris dapibus nunc eu nisi ultrices, sebuah wilayah varius quam. Waktu untuk yang. Ini akan memakan banyak rasa sakit. Bumi adalah bumi. Potensi suspensi. Maecenas semper cursus diam, in elementum dolor sodales non. Maecenas nec nulla nunc. Ini banyak bantal mudah. Nah, itu guci panah. Dalam pemanasan Penyakit yang harus diracuni sebelumnya. Aeneas adalah singa sedih yang menahan tawa para remaja, dan pemenang terbesar.

Tapi siapa yang menanggung massa, itu penting untuk eros. Besok dalam menghadapi rasa sakit, tapi banyak masalah. Setiap anak adalah anggota murni dari wanita hamil. Aenean eget tortor eget ipsum tempus molestie. Dan anak panah bumi Aenean pretium lorem a massa suscipit laoreet. Tidak perlu berhenti membenci penulis. Tapi dia ingin sedikit sedih. Tak satu pun dari pelanggan kami, waktu kehidupan beracun, bumi adalah kemiripan tentu saja, yang jelek Bumi normal untuk para pemain, atau fermentasi atau eros, pisang anggota saya. Aeneas bergetar karena tawa Kami selalu hidup dari racun kehidupan orang bijak. Pellentesque vel solicitudin risus, et scelerisque augue. Tapi dia membutuhkan lebih banyak sihir dari itu. Rasa sakit saus, kucing perlu selalu dibesarkan, hanya remaja gratis yang hebat, tetapi rasa sakit itu perlu dibenci.

Sampai hidangan sedih saus singa eu. Karena dia selalu menjadi gerbang haluan, dan dia ingin minum. Mauris fermentum massa lacus, quis aliquam eros dictum a. Tapi itulah singa dari singa dan kekeraskepalaan busur Sampai saat itu, keuntungan menjadi bijak dan mudah Keuntungan terbesar dari eros di dunia, pada saus anggota bumi. Bilangan bulat di cursus dui. Beberapa riasan dan batas ajaib. Suspendisse et dignissim dui. Rasa sakit itu sendiri adalah cinta, sistem penyimpanan utama. Sekarang kehidupan para penggemar yang sakit bergetar untuk meningkatkan. Film ini akan menjadi kendaraan saya.

Tapi busurnya tidak biasa, itu hanya bantal yang menyedihkan, tidak apa-apa. Cara meratapi tawa, dan tarikan kendaraan sistem kekebalan kehidupan. Sudah waktunya untuk berinvestasi dalam penyiksa, setidaknya sekarang. Bahwa feri kehidupan hanyalah kumpulan anak panah. Tapi sekarang beberapa anggota lembah bijaksana. Sekarang ajukan beberapa pertanyaan. Gaya rambut yang sempurna tidak menyenangkan untuk ditendang. Ini bukan rasa takut untuk memulai.

Ngaji Posonan

Ngaji Posonan

WORKSHOP MODUL NGAJI POSONAN 2023: ASWAJA DAN KETERASINGAN MANUSIA KONTEMPORER 

____________________

Sebagai sebuah manhaj, atau jalan hidup dalam beragama, ahlusunnah wal jama’ah atau aswaja/sunni menjadi tolok ukur keberpihakkan. Dalam konteks umat Islam di Indonesia, Nahdlatul Ulama sebagai sebuah organisasi, telah merentang sepanjang satu abad di dalam keberpihakkan penuh pada aswaja. Bahkan dalam konteks sejarah dan budaya, praktik dan paham Islam di Indonesia telah berabad-abad mensistesiskan ajaran Islam, termasuk aswaja, ke dalam konteks lokalitas tiap-tiap suku bangsa, dan merentang selama berabad-abad hingga menjadi embrio kelahiran NU. Aswaja dengan demikian mengusung warisan Rasulullah SAW, Khulafaurrasyidin dan para sahabat, tabi’in dan tabiut-tabi’in, hingga terus berestafet  merentang dari sejak era Asy’ariyyah-Maturidi, hingga di nusantara melaui para Wali, yang bersambung terus hingga para Kyai dan muasis NU.

Kini menyongsong abad kedua, NU menghadapi tantangan di dalam mengusung sekaligus mendialogkan aswaja ke dalam kehidupan kontemporer. Peralihan kekuasaan sejak dekolonisasi terhadap penjajahan Belanda, Revolusi Kemerdekaan (1945 -1949), Demokrasi Terpimpin, Prahara 1965-66, disusul kelahiran Orde Baru sampai Reformasi, hingga kini telah 25 tahun, Nahdlatul Ulama terbukti eksis bergumul mengiringi Indonesia, dalam fluktuasi sosial-budaya, ekonomi-politik hingga mengusung landasan kehidupan beragam, dalam tatanan negara-bangsa. Menjadi penting untuk mempertanyakan, bagaimanakah NU merancang sekaligus memijakkan diri di dalam peralihan trayektori kita di dalam era transisi digital yang ditopang oleh kewargaan netizen dan dunia metaverse ini?

Jika aswaja adalah keberpihakan yang menjadi katalisator segala lini kehodupan Nahdliyin demi keberlangsunga negara-bangsa Indonesia; maka rancangan dan strategi NU dalam mengkontekstualisasikan aswaja menjadi kemendesakkan dalam menjawab kebutuhan peradaban, yang bukan saja akibat revolusi internet dan digital, tetapi juga oleh revolusi kapitalisme (high capitalism, surveillance capitalism etc) yang diikuti krisis kemanusiaan, iklim maupun lingkungan. Antroposentrisme, dibantah melalui post/pasca-antroposen, atau membantah sudut pandang angkuh manusia. Hal ini diikuti post/pasca-humanisme, atau membantah ukuran kemanusiaan warisan modernisme, yang terbukti gagal, karena menghasilkan kapitalisme dan segala pengerukan serakah atas sumber daya alam hingga terasingnya nalar-nurani manusia, baik pada alam semesta, maupun sesama manusia di tengah bangunan mutakhir tradisi dan kebudayaan cyber/digital/virtual. Walakin baik post/pasca-antroposen maupun post/pasca-humanisme sendiri nyatanya tidak pernah benar-benar membebaskan diri dari keangkuhan sudut pandang manusia (materialisme). Peradaban Euro-Amerika dihadapkan pada kebingungan atas upaya “bunuh dirinya” sendiri.

Lantas, menimbang fenomena Indonesia hari ini, dan yang akan datang, Aswaja didesak menciptakan relevansi tata kemanusiaan, sehingga melahirkan subjek aswaja yang fleksibel mendialogkan secara kreatif terhadap gejala-gejala zaman ini. Bertolak dari kompleksitas dan kebutuhan tersebut, Pesantren Kaliopak sebagai pondok pesantren yang menfokuskan pada kegiatan amaliyah dan fikriyah kebudayaan, khususnya selaku G.E.L.A.S (Gallery, Education, Library, Archives, and, Social) sengaja mengundang para tamu undangan untuk turut serta dalam sarasehan:

 

Tema                          : ASWAJA DAN KETERASINGAN MANUSIA KONTEMPORER 

Tujuan                       :

  1. Membaca fenomena dan tren keberislaman dan keberagamaan masa kini.
  2. Mengartikulasikan lagi landasan-landasan pemikiran keaswajaan dalam konteks Indonesia.
  3. Meneroka jalan keluar bagi tantangan-tantangan yang dihadapi ummat dari sudut pandang aswaja.
  4. Melahirkan rumusan-rumusan praktis dan operasional yang bisa diturunkan ke dalam bentuk modul untuk Ngaji Posonan dan selanjutnya.

 

Tempat                       : Pondok Pesantren Kaliopak

                                      Klenggotan, Srimulyo, Piyungan,

              Bantul-D.I. Yogyakarta Indonesia.

Hari/Tanggal             : Jum’at, 17 Maret 2023

Waktu                         : 15:30 WIB - Selesai

DI BALIK KELIR: KISAH ELISHA ORCARUS ALLASSO

DI BALIK KELIR: KISAH ELISHA ORCARUS ALLASSO

Siapa tidak mengenal Elisha Orcarus Allasso, sindhèn kocak yang sering tampil dalam pertunjukan wayang Ki Seno Nugroho. Namun, apakah sudah banyak yang mengenal sosok Elisha secara dalam? Siapa mengira bahwa menjadi seorang sinden merupakan sesuatu yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya bagi Elisha. Namun, ia mempunyai semangat belajar yang besar. Ia selalu gereget untuk mengetahui hal yang baru. Termasuk ketika ia masuk Jurusan Pedalangan ISI Yogyakarta dan menemukan dunia sinden di dalamnya.

Pada kesempatan kali ini, kita akan menyimak kisah perjalanannya. Elisha mengibaratkan sawah atau ladang sebagai potensi diri. Lalu, kita bertugas untuk menyuburkannya agar menghasilkan buah yang bagus, yang akan disukai banyak orang. Begitulah sawah atau ladang yang dimiliki Elisha, yaitu dunia sindhen wayang yang sedang ia petik “buah karyanya”.

Saya, pada beberapa hari lalu, menghubungi Elisha dan meminta izin untuk mewancarainya. Ia menyambut dengan ramah dan dengan senang hati bercerita serta menjawab beberapa pertanyaan. Berikut wawancara saya dengan Elisha.

Bagaimana proses perjalanan Mbak Elisha menjadi sindhèn dalang Ki Seno Nugroho?

“Awalnya karena penelitian tahun 2015, waktu masih proses skripsi. Aku cuma kenal aja. Kenalnya karena objek penelitian. Dulu sebenarnya tidak terlalu suka dengan Pak Seno. Karena, kalau sekolah di Pedalangan itu, kita lebih digiring untuk menyukai dalang-dalang klasik. Itu perasaanku, yaHehehe…”

“Terus aku coba mematahkan konsep itu dengan meneliti Pak Seno yang dulu belum seramai sekarang. Dulu, pertunjukan Pak Seno lakunya 15 sampai 18 kali dalam sebulan. Dulu sebenarnya yang ramai, kalau aku gak salah ingat, itu Pak Tono Hadi Sugito. Kalau Pak Tono lebih ke arah Hadi Sugito, jadi punya penggemarnya sendiri.”

“Aku memutuskan untuk meneliti Pak Seno. Aku mulai datang ke TKP, memperhatikan penonton, dan pertunjukan Pak Seno. Sampai pada waktu itu aku memutuskan untuk bertemu dengan Pak Seno. Awalnya, aku hanya silaturahmi biasa. Memperkenalkan diri, ngobrol ngalor ngidul.”

“Sebenarnya, Pak Seno susah diajak wawancara kalau tidak benar-benar kenal, akrab, atau nyaman. Biasanya, jawabnya pendek-pendek. Hehehe... Ya, mungkin gitu, gak banyak bicara. Akhirnya, aku melakukan pendekatan. Aku banyak bercerita tentang dunia pedalangan. Bagaimana Pak Seno mengembangkan pedalangan.”

“Kemudian, waktu itu, Wargo Laras kekurangan sindhèn. Aku lalu diajak. Aku coba. Aku kan sering lihat pertunjukannya. Jadi, aku menyesuaikan aja.”

“Aku jadi ikut… apa sih namanya? Manjing! Ya, manjing sama pertunjukannya.”

“Awalnya, aku cuma sindhèn cadangan aja. Kalau sindhèn dari Wargo Laras ada yang gak bisa, baru aku gantiin. Tapi akhirnya aku sering diajak karena aku banyak ngomongseneng ngomong, jadi bikin pertunjukan sendiri dengan Pak Seno. Aku coba eksperimen diriku sendiri dengan pertunjukan Pak Seno.”

“Kemudian, sampai aku selesai penelitian itu, aku sering diajak menjadi sindhèn Wargo Laras sampai aku S-2. Ketika S-2 aku kan meneliti lagi Pak Seno, tapi lebih ke penontonnya. Bagaimana pertunjukan Pak Seno dapat menyedot perhatian banyak orang. Di akhir S-2 aku lebih intens. Aku mulai di-tanting untuk masuk ke Wargo Laras karena aku termasuk banyak track record-nya.”

“Ya gitu lah pokoknya. Gak tau karena apa pertimbangannya, mungkin bisa tanya Pak Seno sendiri. Dari situ aku mulai jadi anggota Wargo Laras. Kemudian, September tahun… tahun berapa ya? Tahun lalu. Pokoknya aku udah satu tahun-an jadi sindhèn di Wargo Laras yang benar-benar Wargo Laras.”

Sebagai perempuan, apa yang membuat Mbak Elisa tertarik dengan dunia wayang?

“Hmm… kalau tertarik, awalnya gak terlalu tertarik sih sebenarnya. Tapi, apa ya? Aku tuh orangnya gampang penasaran, kan. Dulu tahu di wayang itu kan semiotikanya dalam. Dia mengandung simbol-simbol. Kemudian di wayang itu kan banyak nilai-nilai yang diambil. Baik itu mikrokosmos maupun makrokosmos. Bisa menyimbolkan sifat manusia dan alam semesta. Jadi, cerita-cerita wayang itu sebenarnya simbolis. Ada cerita wayang yang menyimbolkan tentang tata surya.”

“Makanya aku suka kok bisa multitafsir. Bayang-bayang yang multitafsir. Dia dianggap lugu bisa. Mau dianggap hiburan bisa. Yang dalam bisa, seperti contohnya mengandung unsur filsafat, semiotika, dan mitologi.”

“Pertunjukan itu bisa dalam banget. Misalnya, nih, kita akan meneliti pertunjukan wayang “Romo Tambak” oleh Ki Seno. Bisa dikaji banyak banget. Humornya, mitologinya, semiotikanya, penontonnya, bentuk seni pertunjukan, dan manajemen seni pertunjukannya. Banyak pokoknya. Dari situ aku mulai tertarik.”

Dulu, apakah pernah tebersit keinginan menjadi dalang atau sinden wayang?

“Dulunya kapan dulu ni? Hehehe… Kalau waktu kecil enggak pernah. SMP enggak, SMA juga enggakEnggak ada sama sekali punya pemikiran tentang jadi sindhèn atau dhalang. Dalam kamus impianku gak ada tebersit menjadi dhalang atau sindhèn wayang. Hehehe...”

“Dulu, aku masuk pedalangan awalnya karena aku ingin menjadi peneliti. Karena aku orangnya memang selalu penasaran. Tapi lama kelamaan setelah masuk ternyata ada ketertarikan lain gitu lho. Aku cuma ngikutin jalan aja.”

“Misalnya, nyoba nyindhèn. Wah, bagus juga ni! Kemudian, wah, dapat duit ni dari nyindhèn. Terus belajar lagi. Oh, ternyata sindhèn ada tingkatannya. Oh, ternyata kalau tambah tingkatan, makin bagus. Kalau makin bagus, bisa makin laku. Kalau makin terkenal, penghasilan bisa nambah. Jadi, aku pikir itu bisa jadi kerjaan part-time-ku yang sangat worth it. Makanya aku memperdalam sindhèn. Tapi gak disengaja itu malah jadi kerjaan utamaku, yang menghidupiku, bahkan yang membantuku menyelesaikan S-2. Gak sengaja banget untuk jadi sindhèn.”

“Kalau soal dalangnya, ya otomatis, karena aku masuk pedalangan, jadi ya harus bisa dalang walaupun cuma sedikit, karena ujiannya kan juga mendalang. Sebenarnya jadi sinden sama dalang itu lebih sulit ke dalangnya menurutku. Mungkin karena aku sekolah di Pedalangan dan aku belajar lebih dalam. Aku lebih ke teorinya, ya, dulu. Pemikiranku, tanggung jawab menjadi dalang itu sangat berat. Makanya aku kadang belum terlalu enjoy untuk jadi dalang. Belum sampai ke titik itu. Mungkin besok suatu saat.”

Adakah orang atau hal tertentu yang selalu menyemangati Mbak Elisa?

“Sebenarnya yang menyemangati ya perjuangan hidup ini. Kalau aku yang utama, karena itu yang menghidupimu, ya karyakan. Itu yang jadi sawah ya gimana caranya tanahnya harus subur dan menghasilkan padi lagi. Sama kalau menjadi sindhèn, tadinya yang part-time ternyata subur, menjadi pendapatan, ya harus di-opèni kan.”

“Perumpamaannya ya sawah. Udah aku bajak, aku rawat sedemikan rupa, kemudian padinya disukai orang-orang. Terus masak ya mau aku anggurin. Jadi ya harus profesional. Namanya juga… apa ya? Buah karya kanKayak gitu. Jadi yang membuat semangat ya karena orang-orang yang menikmatinya.”

Situasi pandemi ini, apakah banyak jadwal yang ditunda atau dibatalkan? Bagaimana tanggapan Mbak Elisa?

“Hmm… banyak. Banyak jadwal yang ditunda dan dibatalkan. Bahkan sampai Juni, Juli. Yang masih aman Agustus, September. Tapi gak tau situasi pandemi ini sampai kapan.”

“Ini kami gak ada pendapatan lain. Kalau sebagai seniman, mampet ya mampet. Karena gak mungkin juga kita ngundang keramaian. Jadi yang kita miliki ya tabungan, itu pun yang punya tabungan. Padahal, kebanyakan yang banyak malah punya hutang. Syukurlah aku punya tabungan, jadi ya masih bisa untuk melanjutkan hidup. Hehehe…”

“Yang jelas kalau soal tanggapan tentang pandemi ini, gak tau sih, yang jelas semuanya lagi mikir, gimana caranya agar bisa tetap berbudaya, tapi kan sekarang ekonomi lagi lesu ya. Semua bingung juga.”

“Sementara ini, Pak Seno lagi bikin wayang climen itu. Lumayan sih, dapat tanggapan positif. Tapi juga gak tau bisa berlanjut sampai kapan. Itu berupa pertunjukan amal. Seniman kecil kayak kami itu emang gak ada pilihan lain. Masih lesu semua, masih shock. Jadi ya pelan-pelan aja dijalani.”

Kesibukan apa yang sedang dilakukan Mbak Elisa pada situasi Pademi ini?

“Sebenarnya aku di rumah ajaGak terlalu banyak kesibukan. Aku sebenarnya pengen ngelanjutin S-3 yang benar-benar sedang aku mantapkan. Seharusnya masuknya bulan Juli. Tapi aku pun belum bikin proposal. Masih tahap pemantapan. Kalau aku sudah mantap, mungkin nanti untuk mengisi kegiatan di bulan Ramadan, aku membuat proposal penelitian untuk S-3-ku.”

“Kemarin, sebelum Paskah, aku ngelakuin bakti sosial yang diberi nama hashtag programnya #sihsesami. Di-support banget sih sama orang-orang. Mereka donasi, terus aku jalanin. Aku beli sembako per pack 150 ribu. Yang ngasih ide ada teman dari Klaten. Terus aku share, ternyata banyak juga yang kasih donasi. Jadi, bisa naik dua kali lipatnya. Tadinya cuma 50 pack, ternyata bisa 110 pack.”

“Kemudian aku ajak teman-teman karawitan. Sebelum ikut Wargo Laras kan dulu aku ikut Kecubung Sakti. Ya udah aku ajak mereka. Kita ada delapan orang pake dua mobil untuk turun ke jalan, berbagi ke orang-orang yang membutuhkan.”

“Terus aku juga ada pertunjukan Wayang Climen di rumah Pak Seno. Aku udah datang dua kali ke sana. Pertunjukan amal itu. Selain itu ya aku ngelakuin kegiatan rumah biasa aja. Nonton film, olahraga, masak-masak dikit. Ya gitu-gitu aja, kegiatan rumahan kayak gitu ya, Mas.”

Terakhir, pesan untuk pekerja seni dan masyarakat dari Mbak Elisa?

“Untuk pekerja seni, jangan lesu. Kalau bisa tetap berkarya dengan cara apapun. Berkarya dari rumah atau cari ide lain juga bisa. Jadi, semoga dengan adanya pandemi ini bukan membuat kita lemah, tapi membuat kita lebih kreatif untuk membuat karya seni.”

“Kemudian, untuk masyarakat, apapun yang terjadi, kita tetap harus berjuang. Berjuang bisa dari rumah, bisa juga dengan membantu sudara-saudara kita. Dan yang bekerja di luar rumah, untuk menjaga dirinya dengan physical distancing, menaati peraturan pemerintah. Apapun yang terjadi, kita tidak boleh lengah.”

***

Begitulah sedikit banyak cerita dari Elisha Orcarus Allasso yang telah memberi inspirasi bagi kita. Darinya, kita dapat belajar bahwa jalan kesuksesan bisa dari arah mana pun, bahkan tidak pernah terduga sebelumnya. Seperti yang telah dialami oleh Elisha; menjadi seorang sindhen berawal dari semangat belajar yang tinggi dan sikapnya yang selalu membuka peluang terhadap hal baru.

Dalam situasi pandemi ini, Elisha juga memberi motivasi agar kita senantiasa selalu bersemangat menjalani hari demi hari. Terlebih, esok, kita akan memasuki bulan Ramadan. Semoga kita dapat menyambutnya dengan rasa suka cita bersama sampai kondisi ini dapat segera pulih kembali. Terlebih agar masyarakat PWKS, yaitu Pecinta Wayang Ki Seno, segera terbayarkan kerinduannya melihat pagelaran wayang dari Ki Seno Nugroho serta penampilan dari sinden Elisha Orcarus Allasso.

***

Ilustrasi: foto koleksi Elisha Orcarus Allasso.

Editor: EYS

GARIS HIDUP: KISAH DI BALIK LAYAR SETIYOKO, PERUPA MUDA ASAL SUKOHARJO

GARIS HIDUP: KISAH DI BALIK LAYAR SETIYOKO, PERUPA MUDA ASAL SUKOHARJO

Tepatnya kemarin sore, kami berencana akan melihat pameran di galeri milik seniman Ugo Untoro. Pertama kalinya berkunjung di galeri Museum dan Tanah Liat (MDTL) tersebut, saya bersama Setiyoko — kerap disapa Yoko — mahasiswa seni rupa angkatan 2013 ISI Yogyakarta. Tidak banyak yang saya ketahui tentang seni rupa. Namun, saya tertarik dengan keunikan pribadi beberapa teman yang berproses dalam seni rupa. Salah satunya, Yoko, pemuda asal Sukoharjo.

Kami memasuki MDTL disambut dengan pekarangan memanjang yang dikelilingi tumbuhan hijau segar. Salah satunya, afelius (mungkin salah dalam penulisan) yang merupakan tanaman obat ampuh. Sebelumnya, saya menjumpainya — juga dengan Yoko — ketika saya bersama beberapa teman mengunjungi makam Panembahan Purboyo, di Masjid Wotgaleh, Berbah, Sleman.

Tidak ada pengunjung lainnya. Hanya kami berdua. Saya masuk pelan-pelan. Informasi yang saya dapat dari Yoko, ini merupakan pameran koleksi dari beberapa seniman.

Saya senang ketika melihat sebuah karya seni. Dan ketika melihat seni rupa, saya merasakan adanya ekspresi alamiah dari seorang seniman ketika menuangkan dirinya pada sebuah media. Melalui karya rupa, yang dalam pameran tersebut kebanyakan menggunakan media kanvas, detak jantung senimannya dapat dirasakan hanya dengan satu kotak imaji; kanvas dengan warna, garis, dan daya hidupnya. Namun ada juga karya yang, ketika saya melihatnya, saya merasakan bahwa satu kotak imaji hanya berhenti sebagai karya visual. Memang ada visual disana, namun hanya berhenti sebagai pandangan objek. Belum mampu menyiramkan perasaan-perasaan terdalam kepada yang melihatnya.

Kami keluar dari galeri. Lalu, kami duduk di kursi panjang di samping pintu masuk. Suasana yang mendukung untuk bercakap dengan Yoko, pikirku waktu itu. Suasana tenang. Kami melihat tumbuhan-tumbuhan hijau segar. Tubuh kami tersirami cahaya matahari yang menembus lewat sela-sela daun tumbuhan merambat. Kami berbicara dengan santai. Ya, santai. Tidak ada kepentingan apapun. Berbicara dengan rasa, menanggapinya dengan indera.

Saya mengawali perbincangan dengan bertanya kepada Yoko tentang konsep berkarya. Ketika sedang berproses, dari mana lahirnya kehendak membuat karya? Kepada siapa akan kita berikan? Mengapa kita harus membuatnya?

Yoko hanya terdiam. Sejenak hening. Tidak ada yang bicara.

Kemudian, ia menjawab, “Piyé, ya? Ning njero iki ana rasané. Tur angèl aku arep ngetokké, ngomongké.” (Bagaimana, ya? Di dalam (batin) ada rasanya. Tetapi sulit bagiku untuk mengungkapkan, mengucapkan.)

Hening. Yoko kembali terdiam.

Mbuh, Bril. Bingung aku arep ngomong”. (Entahlah, Bril. Bingung aku mengungkapkannya.)

Hening kembali.

Saya pelan-pelan berbicara, “Santai waé, Nda. Iki ora ana hubungané karo apa-apa. Ngobrol sakpénaké dhéwé waé.” (Tenang saja, Kawan. Ini tak ada hubungannya dengan apapun. (Cuma) ngobrol sesuka hati kita saja.)

Kami ngobrol ngalor ngidul tidak ada arah yang jelas. Lalu, pada sela-sela obrolan tersebut, Yoko mulai mengungkapkan dirinya saat ini, dirinya dengan proses seni rupa.

Yok, warna ki apa ta?” (Yok, warna itu apa, sih?)

Werna ki, ya menggambarkan perasaané awaké dhéwé, ya isa nggambarké kehidupan mbiyèn. Misalé werna-werna alam, ya kuwi angèl isa ngentukké werna kaya ngono.” (Warna itu menggambarkan perasaan kita, bisa pula menggambarkan kehidupan yang lalu. Sedangkan warna-warna alam, sulit untuk memperoleh warna seperti itu.)

Werna ya isa ndelok egoné awaké dhéwé. Aku ya ngrasa kadang aku ngrasa angkuh, sombong. Makané warnané takblok bèn nggo ngleremké sifat sombong kuwi mau.” (Warna juga bisa digunakan untuk melihat ego kita sendiri. Aku pun merasa kadang aku angkuh, sombong. Makanya warnanya kublok untuk meredakan sifat sombong itu tadi.)

Isa werna kuwi dinggo menyatukan. Misalé, werna angkuh dicampur karo werna sing adhem, ngko dadiné isa nyeimbangké, iso gawé tenang awaké dhéwé.” (Bisa juga warna digunakan untuk menyatukan. Misalnya, warna angkuh dicampur dengan warna yang dingin, nanti jadi bisa menyeimbangkan, bisa menenangkan diri kita.)

Obrolan mulai hangat. Suasana sekitar yang mendukung menjadikan waktu saya berkualitas karena dapat berbincang dengan Yoko. Lalu, saya kembali bertanya kepada Yoko tentang pengabdian. Selama melukis, kepada siapa ia mempersembahkan karyanya.

Yoko menghela nafas pelan.

Sik. Angèl é pertanyaané.” (Sebentar. Sulit juga pertanyaanmu.)

Yoko mengawalinya dengan ungkapan rasa terima kasih. Kemudian, Yoko menceritakan bahwa perjuangan orang tua tidak dapat dibayar dengan apapun. Orang tua tidak akan terlihat sedih di depan anaknya, walaupun kondisinya memang sedang terpuruk. Yoko bercerita, ketika ibunya sedang sakit, beliau masih berusaha untuk memberikan perhatian kepada anaknya.

Wong tuwa kuwi pembohong. Iya, wong tuwa kuwi ngapusi anaké. Nèk wong tuwa lagi sedih, lagi lara, wong tuwa berusaha nutupi sedihé kuwi bèn anaké ora kepikiran. Malah, wong tuwa isih berusaha piyé carané isa nyenengké anaké.” (Orang tua itu pembohong. Iya, orang tua itu menipu anaknya. Ketika orang tua berduka, sedang sakit, mereka berusaha menutupi kesedihannya agar anak mereka tidak terbebani. Justru orang tua masih berusaha untuk menyenangkan anak-anaknya.)

Yoko berbicara dengan sangat lancar. Saya merasakan bahwa dia sudah tidak berbicara dengan mulutnya yang penuh dengan aturan bahasa. Yoko mengungkap isi hatinya. Mengalir.

Dalam karya Setiyoko bertanggal 1 Februari 2019, figur seorang perempuan (ibu) menjadi ungkapan garis pada kertas.

Rasa terima kasih tersebut menjadi semangat Yoko dalam berproses. Ia menggores garis pada kertas, menggerakkan sapuan kuas pada kanvas. Salah satu yang menjadi alasan kuat mengapa Yoko terus berproses, tidak sekedar ingin mencipta sebuah karya, adalah bahwa nantinya karya tersebut akan menjadi wujud ungkapan rasa terima kasih untuk ibunya.

Saya memang sudah tahu bahwa ibu Yoko sudah tidak ada. Ibunya meninggal ketika Yoko menjadi mahasiswa di ISI Yogyakarta.

Lalu, saya pelan-pelan bertanya padanya, “Yok, lha nèk saiki karyamu tok persembahké kanggo wong sik ora ana kuwi piyé?” (Yok, kalau sekarang karyamu kau persembahkan untuk orang yang sudah tak ada, lantas bagaimana?)

Dengan sigap Yoko menjawab, “Ngéné. Karya kuwi kan ora mung dadi wujud karya. Tur ning njero karya kuwi ana akèh, ana rasa karo ana donga. Lha iya donga kuwi sing aku yakin kuwi iso ndongakké wong sing taktuju. Seka karya, glèk, dadi donga, munggah.” (Begini. Karya itu kan bukan sekadar karya saja. Di dalam karya itu ada banyak kandungan, ada rasa dan ada doa. Nah, doa itulah yang aku yakin bisa mendoakan orang yang kumaksudkan. Dari karya, glèk — interjeksi khas yoko, menjadi doa, naik.)

Saya melihat mata Yoko berkaca, bergemuruh air mata. Kami sejenak sama-sama diam. Tidak ada yang berani berbicara.

Yoko bercerita tanpa saya bertanya atau memintanya untuk berbicara. Setiap orang tentu memiliki perjalanan hidupnya. Yoko menceritakan hal-hal yang melatarbelakangi “rasa terimakasih” itu. Perjuangan ibunya ketika dulu menggarap sawah. Ketika panen tiba, ibu Yoko bekerja keras agar padi yang dihasilkan bisa utuh, tidak pecah.

Dadi nèk wong tuwa péngén sik paling apik nggo anaké. Contoné seka beras. Ibu mbiyèn péngén piyé carané beras wutuh, ora growong, ora campur menir. Bèn anaké isa mangan énak, isa séhat.” (Jadi jika ingin melihat bagaimana orang tua menginginkan yang terbaik untuk anaknya, contohnya dari beras. Ibu dulu mengupayakan agar beras bisa utuh, tidak berlubang, tidak bercampur menir, supaya anaknya bisa makan enak, bisa sehat.)

Rasa terima kasih itu memang tidak akan pernah usai. Yoko pun menyadari jika apa yang telah dilakukan ibu kepadanya merupakan sesuatu yang tak terhingga. Ia juga tidak akan dapat membalas sepenuhnya perjuangan dan pengorbanan ibunya.

Aku gelem, isa waé saiki gambar 50 meter, nèk arep nggambarké rasa terima kasihku kuwi mau. Tur kuwi ya ora isa mbales perjuangané. Soalé iku kaya samudera, jembar, ora ana batesé. Rasaku iki ora isa rampung.” (Jika aku mau, bisa saja sekarang melukis di atas kanvas sepanjang 50 meter untuk menggambarkan rasa terima kasihku itu. Tapi itu pun tak bisa membalas perjuangannya. Sebab perjuangannya seperti samudra, luas tanpa batas. Rasaku tak bisa tuntas.)

Dalam karya Setiyoko bertanggal 11 Desember 2019, figur seorang perempuan (ibu) menjadi ungkapan garis di atas kanvas.

Saya merasakan begitu besar rasa kasih Yoko kepada hidupnya. Ia sangat mencintai, mensyukuri hidupnya. Dengan begitu, setiap yang terjadi dalam hidupnya selalu ia jadikan sebagai landasan doa dan bersyukur. Apa yang dialami Yoko menjadi bekal dalam ia mengarungi samudra hidupnya yang luas, samudra rindu pada Ibunya. Barangkali ini merupakan secuil dari kisah Yoko yang dapat saya rasakan.

Seperti pada garis dalam setiap karya Yoko. Yoko sering mengatakan jika garis merupakan jantung dari seni rupa. Kisah hidup Yoko merupakan garis yang lahir pada setiap karyanya, dalam media kertas maupun kanvas. Dengan begitu, maka garis akan hidup. Karena ia terlahir tidak ingin menjadi karya visual semata, namun sebagai ungkapan hati yang dipersembahkan sebagai wujud doa.

Memang terasa berat, jika kita melihat seni rupa hanya sebagai produk seni visual. Namun, Yoko memahami dalam setiap karya dapat tersemat kedalaman rasa, wujud kasih sayang, kerinduan, dan wujud doa. Di sanalah garis akan hidup. Dan, Yoko terus mengarungi samudera hidupnya.

Saya sering mendapat kiriman gambar melalui pesan WhatsApp dari Yoko. Dalam kesehariannya, Yoko menjaga ketenangan tubuh dan batinnya. Baginya, ketika sedang menggambar, jiwa harus tenang. Setiap selesai mengungkapkan garis pada kertas, Yoko memotret dengan ponselnya, lalu mengirimkannya lewat pesan WhatsApp dengan caption “Ngopi likk”. Ya, saya menyimpan beberapa foto kiriman Yoko. Foto karya, foto makanan nasi, lauk, sayur, foto secangkir kopi, udud, cemilan, dan beberapa foto “apa sih”, seperti foto telapak kaki, foto orang mengepel lantai, foto jemuran, foto ban mobil, dan lain-lainnya.

Saya senang menikmatinya. Memang begitulah hidup, penuh daya kejut. Begitulah Yoko. Ia sangat menikmati garis hidup yang bersemayam di dalam dirinya. Begitulah Yoko yang jujur, tulus, sekaligus unik.

Kaliopak banyune mili, 16 Februari 2019

***

Ilustrasi: foto koleksi penulis

Editor: EYS

“PESAN PANDEMI” DINA TRIASTUTI

“PESAN PANDEMI” DINA TRIASTUTI

Sore itu, saya berkunjung ke rumah kontrakan Dina Triastuti, manajer Kalanari Theatre Movement. Di tengah obrolan kami yang ngalor ngidul, Dina mengatakan bahwa keesokan harinya ia akan pulang ke kampung halamannya di Mojokerto. Kemudian, terbesit keinginan dalam diri saya untuk bertanya terkait momen pandemi ini.

Terlebih yang menjadi menarik ialah pengalamannya pada dunia manajemen seni. Dina mempunyai pandangan yang cukup segar ketika memperbincangkan bagaimana sebuah produksi seni dijalankan. Pemikirannya menggugah mengenai masa depan kultur kesenian kita yang mestinya dapat mempunyai posisi dan pengaruh dalam kehidupan masyarakat.

Selamat sore, Mbak Dina. Hari ini kan kita dalam momen yang sama ya, pandemi. Tentu hal tersebut berpengaruh dengan aktivitas kita. Kalau Mbak Dina, apa yang dirasakan selama momen pandemi ini?

“Memang shock di awal ketika secara tiba-tiba harus berhenti. Beberapa kegiatan dan rencana ke depan harus ditunda dulu. Pada awal corona merebak itu, aku dua hari benar-benar gak bisa mikir. Namun, kemudian justru menjadi ruang kebersamaan yang lain ketika bertemu dengan beberapa teman lewat jaringan online, kemudian saling mengobrol terkait situasi saat ini. Agak berkurang sih ketika dengan beberapa teman membuat forum. Walaupun saat itu memang sama-sama bingung mau ke mana. Namun, paling nggak lebih melegakan ketika saling bisa mengobrol dan memberi semangat.”

Apakah ada pembelajaran Manajerial Seni dalam situasi ini?

“Hmm… aku menjadi lebih sadar saat ini kalau manajemen seni belum bisa mempersiapkan apa yang akan menjadi kebutuhan kita pada situasi seperti ini. Memang situasi ini kan di luar kendali manusia, ya. Namun, kenapa ini tidak dipersiapkan dari awal jika memang bisa disiapkan?”

“Nah, ini yang masih kendor dalam konteks manajemen seni. Dalam lembaga besar mungkin ada dana cadangan yang lumayan besar. Namun, untuk beberapa kelompok seni misalnya, mungkin ada, namun hanya cukup untuk, katakan, menjaga nafas seadanya, belum untuk kebutuhan hidup yang banyak.”

“Dalam perencanaan produksi, kita jarang memberikan slot untuk dana tak terduga. Manajemen kita manajemen yang temporer. Belum dipikirkan lima tahun ke depan, misalnya. Kalau dalam bentuk manajemen seni secara umum kan ada empat item, ya, perencanaan, pelaksanaan, controlling/monitoring, serta laporan/evaluasi. Nah, aku ingin menambahkan satu lagi yang aku kira itu juga tidak kalah penting, yaitu manajemen rasa.”

“Item ini merupakan hal yang intuitif dari beberapa orang yang berperan dalam produksi. Manajemen rasa ini sangat khas, yaitu merupakan bentuk kesadaran dan kepekaan orang-orang di dalamnya. Manajemen semestinya melangkah lebih maju dari produksi. Memiliki sebuah desain bagaimana keberlangsungan seniman dalam waktu ke depan.”

“Karena memang profesi sebagai seniman kan rada ambigu, ya. Seniman itu apa? Profesi, pekerjaan, hobi, tenaga ahli, pengajar, freelance, atau apa? Dari situ kan kita dapat rasakan, selama ini seniman belum mempunyai standarisasi mengenai pendapatan, honor, gaji, asuransi, dan sejenisnya, yang intinya mengenai bagaimana seniman mencukupi kebutuhannya.”

“Nah, kebutuhan seniman ini yang aku rasa masih kendor dalam sistem manajemen seni kita.”

Bagaimana bayangan ke depan ketika, katakan, Pandemi ini selesai?

“Menurutku ada dua hal. Yang pertama, kita akan menemukan “normal yang tidak normal”, normal baru. Kita akan menyikapi kehidupan ini dengan normal baru. Dengan membaca ulang. Dengan meredefinisi ulang. Kita akan menemukan normal yang baru dengan pembacaan atau perspektif baru. Atau, yang kedua, adalah kita memang menunggu sampai benar-benar ini selesai.”

***

Terkait “normal baru’ yang dikatakan Dina, sama dengan isi dari tulisan Dahlan Iskan yang berjudul “Hidup Baru” (DI’s Way, 20 April 2020). Dalam tulisannya, Dahlan Iskan mengatakan jika dalam sistem masyarakat kita memang membutuhkan sebuah kebijakan yang disebut dengan lockdown.

Dahlan Iskan menyampaikan dalam tulisannya,

“Mengapa perlu?”

“Karena tidak semua orang disiplin.”

“Kalau semua orang bisa disiplin tidak perlu lockdown?”

“Tidak perlu.”

“Boleh ke mana-mana?”

“Boleh.”

Dalam tulisannya tersebut, Dahlan Iskan mengatakan jika pemberlakuan lockdown merupakan sebuah cara bagaimana kita dapat membiasakan “hidup baru”. Hidup baru seperti apa yang dimaksudkan?

Dahlan Iskan meneruskan dalam tulisannya :

Serba boleh. Asal kita bisa memulai “hidup baru”.

Yakni kalau semua orang sudah bisa disiplin.

Nama hidup gaya baru itu disebut “disiplin”.

Termasuk disiplin jaga jarak.

Pada situasi seperti ini, hal yang penting merupakan pembelajaran di dalamnya. “Normal baru” yang disampaikan Dina serta “hidup baru” yang disampaikan Dahlan Iskan menjadi peringatan bagi kita semua untuk lebih memberlakukan disiplin pada diri kita masing-masing. Jika itu dapat terlaksana dengan baik, tanpa ada aturan dari pemerintah pun kita mempunyai kesadaran untuk lebih peduli pada kesehatan diri dan lingkungan. Harus dimulai dari diri sendiri. Dan, pelan-pelan mesti dilaksanakan secara serentak.

Kembali pada Dina Triastuti, saya memberikan pertanyaan mengenai refleksi yang terjadi pada dirinya dalam momen pandemi ini.

Bagaimana refleksi dari situasi pandemi ini?

“Aku jadi banyak reflektif, kontemplatif. Dari pengalaman melihat ke dalam diri ini aku jadi sadar yang sebenarnya dekat dengan kita ternyata sangat berjarak. Aku jadi mempertanyakan kembali bagaimana aku mengenali dan menyelami diri sendiri.”

“Kita yang selama ini mencari keramaian. Seakan kita tidak boleh kalah dengan laju percepatan kehidupan yang ramai ini. Dulu, ketika mau makan saja, kita punya banyak sekali pilihan tempat makan. Kita yang seakan harus pergi ke mall, nonton di bioskop, dan lain-lain. Padahal kalau kita sederhanakan, di rumah saja dengan lauk tempe, jadi. Nonton film atau dokumentasi pertunjukan di rumah juga tidak menjadi masalah.”

“Kemudian pada situasi ini, kita disuruh untuk melambat. Kita disuruh untuk tidak mengikuti keramaian yang sebelumnya menjadi rutinitas kita. Tuhan seperti mengingatkan kita untuk ‘hidup dengan sederhana dan lebih melihat ke dalam’.”

“Aku menjadi lebih sadar pentingnya pola hidup sehat dengan hidup sederhana. Dan, tidak terlalu sering keluar rumah. Aku lebih melihat ke dalam diri. Semakin kesini aku semakin sadar, menjadi bertanya kembali, apa sebenarnya hakekat hidup?”

“Suasana ini juga menggugah kesadaran lain pada diriku sendiri, yaitu untuk lebih akrab dengan rumah. Jadi lebih membuka kesadaran dalam setiap aktivitas yang dijalani seperti menanam, memasak, membaca buku, berjemur, menyirami tanaman, membersihkan perabot rumah dan aktivitas rumah lainnya.”

***

Ilustrasi : koleksi foto Kalanari Theatre Movement

Editor: EYS

Streaming Film Darah dan Doa, Belajar dari Tokoh Usmar Ismail

Streaming Film Darah dan Doa, Belajar dari Tokoh Usmar Ismail

Malam minggu (18/12/2021) di Pondok Pesantren Budaya Kaliopak terasa beda. Lampu pendapa yang biasa digunakan acara begitu gelap, yang terlihat hanya cahaya yang dipancarkan di tembok. Pemutaran film dengan projektor ternyata sedang terjadi malam itu. Kurang lebih 30 orang memadati pendapa yang gagah diterpa cahaya malam, mereka nampak khusyuk hayut dalam film yang di putar dengan judul Darah dan Doa The Long march karya Usmar Ismail dalam acara Bimaseni #2 yang diadakan rutin di Pondok di bantaran Kaliopak ini.

Film yang diproduksi tahun 1950 ini, merupakan film Indonesia pertama yang secara resmi diproduksi oleh orang Indonesia sendiri sebagai sebuah negara setalah perang kemerdekaan. Film yang menceritakan perjalanan panjang (long march) prajurit devisi Siliwangi RI yang diperintahkan kembali ke pangkalan semula, dari Yogyakarta ke Jawa Barat setelah kota itu di duduki oleh Belanda pada agresi militer ke dua tahun 1949. Perjalanan panjang yang dipimpin Kapten Sudarto (del Juzar), diceritakan dalam film penuh dengan mara bahaya, banyak peristiwa terjadi seperti sergapan musuh yang menewaskan beberapa prajurit, kisah asmara sang kapten, penderitaan prajurit dan dilema menjadi prajurit dalam kondisi negara yang belum menentu, menjadi drama realis yang begitu menghanyutkan pada malam itu.

Kisah perjuangan dan rasa nasionalisme menjadi narasi utama dalam film yang berdurasi 2 jam tersebut. Dengan segala kelebihan dan kekurangan secara teknis film ini, Usmar Ismail yang juga menjadi bapak perfilman nasional dan baru saja dianugerahi gelar pahlawan nasional, sebagai seorang sutradara berhasil menyuguhkan karya film sebagai alat perjuangan di waktu krisis dan transisi kebangsaan untuk tujuan kesatuan dan persatuan di antara anak bangsa.

Setelah film selesai malam itu kemudian dilanjutkan dengan acara diskusi untuk membedah film yang sudah selesai di tonton. Zahid Asmara sebagai pembedah pertama menyatakan, bahwa film Darah dan Doa sebagai bentuk diplomasi budaya yang dilakukan Usmar Ismail melalui film. Hal ini juga bagian dari sikap Usmar Ismail dalam merespon maraknya film asing terutama dari Amerika yang membanjiri dunia perfilman nasional.

“Maka dari hal itu, agaknya Pak Usmar Ismail dalam konteks ini ingin memberikan visi perfilman nasional sebagai pijakan para sineas muda bangsa di tengah arus perfilman global,” Ujar Zahid yang juga pengkaji film Nasional dari Pondok Kaliopak.

Selain itu film ini seperti disampaikan Zahid sebagai anak wayang dalam artian basis keaktoran para pemerannya tidak bisa dilepaskan dari kesenian tradisi yang sudah hidup ditengah masyarakat. Seperti ludruk, stambul, bahkan wayang itu sendiri.

Sementara itu Yudha Wibisono sebagai seorang produser film menyatakan bahwa film ini begitu luar biasa karena diproduksi dalam kondisi krisis. Tercatat pembiayaan produksi ini hanya sekitar 150 ribu zaman itu, yang didapatkan dari kementerian penerangan. Ia juga mencatat film begitu realis menciptakan situasi peperangan dari sudut pandang rakyat biasa, sehingga pada saat itu film ini dianggap tidak mewakili kepentingan militer.

Lebih jauh Yudha melihat film ini tidak bisa kita bandingkan dengan teknologi perfilman yang berkembang pesat hari ini. Tapi upaya Usmar Ismail dalam menyuguhkan film untuk tujuan membangkitkan nasionalismenya inilah yang patut kita teladani sebagai penggiat film hari ini. Dan nampaknya ketika melihat dinamika produksi film hari ini, akan jauh berbeda, karena film hari ini masuk dunia industri, yang sering kali gagasan terkait lokalitas dan nasionalisme tidak mempunyai ruang banyak di sana.

“Bagaimanapun itu, saya menonton film-film Usmar Ismail mulai dari sejak remaja, dari film beliaulah saya akhirnya mencintai dunia film,” Tutur Yudha menceritakan pengalaman pertamanya dengan nama Usmar Ismail.

Beda halnya seperti disampaikan oleh Rendra Bagus Pamungkas sebagai seorang aktor yang sudah malang melintang di dunia perfilman nasional. Ia melihat film Darah dan Doa ini, berusaha menampilkan gambar realisme dari suatu peristiwa yang benar-benar hadir ditengah masyarakat. Sehingga film ini seperti mengajak kita semua untuk melihat kondisi rell pada saat itu.

Selain itu, Rendra mengungkapkan bahwa bagaimanapun film ini diproduksi dengan tujuan untuk propaganda untuk membangkitkan semangat persatuan dan nasionalisme di tengah ancaman disintegrasi bangsa ini di tengah perang saudara yang terjadi pada saat itu. Dari hal itu juga, apa yang dilakukan oleh Usmar Ismail ini bagian dari statement beliau atas kondisi bangsa ini melalui karya film yang akan menjadi pijakan untuk para penggiat film nasional kita.

“Dan film Darah dan Doa ini merupakan upaya yang dilakukan bapak Usmar Ismail untuk mengambil posisi seperti apa seharusnya perfilman nasional kita di tengah perfilman global,” Tegas Rendra yang pernah menjadi pemeran utama dalam film Wage WR Soepratman (2017) itu.

Melihat Usmar Ismail Dari Sisi Seorang Santri

Berbeda halnya dengan pembedah sebelumnya, Kiai Jadul Maula juga menanggapi film Darah dan Doa ini dari sisi seorang santri yang jarang di baca oleh banyak orang selama ini. Menurut kiai Jadul dalam film Darah dan Doa ini sisi ke santrian Usmar Ismail terlihat jelas. Hal ini tergambar dari cerita yang begitu kuat menampilkan sisi religiusitas yang terdapat pada ungkapan-ungkapan doa yang ditampikan. Kemudian sisi kemanusiaan atau merakyatnya dalam film ini dapat kita lihat pada beberapa adegan misalnya kita dapati bagaimana keterlibatan masyarakat kampung saat menyambut barisan prajurit yang datang. Dan rasa Nasionalisme dalam film ini sudah tidak bisa bantah lagi, karena hampir dari semua plot cerita menggambarkan rasa cinta tanah air yang luar biasa.

Ketiga hal tersebut, mulai dari religiusitas, merakyat, dan cinta tanah air NKRI merupakan bagian dari identitas santri yang juga termasuk sudah tertanam dalam diri seorang Usmar Ismail. Hal tersebut sebenarnya bukan tanpa sebab, jika melihat latar belakang keluarga keluarganya merupakan pemuka agama dari daerah Minang. Dan waktu kecil dikabarkan Usmar Ismail belajar mengaji di surau-surau, begitulah kiranya identitas santri Usmar Ismail dibentuk.

Dalam konteks tertentu menurut Kiai Jadul film sendiri bagi Usmar Ismail adalah alat perjuangan sebagai bentuk ekspresinya sebagai seorang santri. Dan hal ini bisa kita lihat dari film Darah dan Doa ini. Bagaimana film ini muncul dalam situasi masa transisi ditambah lagi dinamika politik kebangsaan yang bergejolak dan tidak menentu. Dari film inilah Usmar Ismail bersikap melalui film Darah dan Doa yang sebenarnya memiliki makna yang dalam.

“Makna judul Darah dan Doa The Long March seperti memberi PR untuk kita semua yang mana long march perjalanan panjang perjuangan bangsa kita sebenarnya belumlah usai untuk menghindari konflik sipil diantara anak bangsa. Sehingga pertumpahan darah ini harus dihindari, dan doa itu sendiri bagian yang mesti terus kita pegangi sebagai bekal perjalanan panjang kebangsaan kita ini,” Tegas Kiai Jadul yang juga menjabat sebagai ketua LESBUMI PBNU.

Maka film ini mendapat relevansinya ketika kita melihat kondisi bangsa kita hari ini, yang mana benturan idiologi sampai sekarang ini yang belum selesai, dan masih dimainkan untuk memecah belah persatuan kita. Antara yang ingin menjadikan negara ini menjadi sangat liberal/komunis sehingga berhadap-hadapan dengan yang membuat negara ini sangat islamis.

Disamping itu makna penting lain dari Usmar Ismail sebagai seorang santri adalah, ia menggunakan film bukan untuk tujuan utama. Tapi ia memilih medium film sebagai medan perjuangan. Dan jika melihat profil Usmar Ismail yang juga bergulat pada politik, ia menggunakan politik untuk menjadikan film bisa diterima di dalam negeri sendiri. Dimana saat itu, dominasi film luar begitu kuat, sehingga ia menggunakan politik untuk memberi pangung bagi per film Indonesia agar sejajar dengan perkembangan film dunia. Dan akhirnya film ini menjadi tujuan akhir dari agama itu sendiri, yaitu film untuk mengekspresikan gagasan spritual dan kebangsaan.

PARA PEZIARAH YANG ANEH

PARA PEZIARAH YANG ANEH

Kala senja membinar di saat Magrib menjelang, aku duduk di beranda dengan obrolan-obrolan yang terlontar jenaka, hingga kerut rona siluet panorama Magrib terlibas oleh malam. Orang-orang dibuat cemas oleh virus baru bernama COVID-19. Kampus-kampus mendadak diliburkan, toko dan warung mulai menutup diri dan memilih pulang kampung halaman. Magrib serasa begitu mengambang, lirih dan terabaikan. Masjid-masjid hanya menyisakan suara azan terdengar, “Solluu fii Buyutikum” salat di rumah, dan tidak ada salat berjamaah di masjid.  

Rona-rona siluet langit jingga kemerahan perlahan terbenam. Aku beranjak ke Pondok Kaliopak. Pondok tempat aku melipat-lipat waktu jauh panjang ke belakang, ziarah waktu pada leluhur, hingga hembusan napas begitu terasa mendesir iramanya. Sungguh, suatu hal yang tidak bisa aku dapatkan di kampus, di mana aturan-aturan dipadatkan, pengetahuan dibakukan, dan imajinasi dilumat oleh organisasi. Mahasiswa disibukkan dengan tugas, dosen sibuk dengan rapat, dan organisasi sibuk dengan pengkaderan-pengkaderan formatif serta even-even money oriented. Lalu aku bertanya, di manakah waktu luang dan pengetahuan tercipta, dikonstruksi, dikomposisikan kembali, hingga terdistribusi. Kini, tinggallah menyisakan manusia-manusia  kering dan sepi.

Sesampainya di pondok, aku menuju dapur untuk menyiapkan makan kembulan Ngaji Dewaruci, tugas pokok darmaku di pondok memang memasak. Ia sudah seperti meditasiku dalam bentuk lain. Meditasi yang memang semestinya meditasi, ialah laku olah rasa dan kendali raga. Ajaran filasfat Timur mengajarkan banyak hal perihal ini, meditasi bisa dalam bentuk apapun, seperti ajaran Zen-Budhisme yang berkembang dalam dunia kepenulisan hingga hari ini.

Kali ini makan kembulan memakai piring masing-masing, akibat dari COVID-19 yang merebak, dan untuk kehati-hatian. Malam ini, menu makan adalah bihun, sayur hijau dan kuah sup. Ditambah perasan jeruk nipis, sambal dan kerupuk.

Aku menuju pendopo yang hening, malam menundukkan pundak dan kepala. Gelaran karpet dan tikar, tiang-tiang kayu yang dibalut kain kuning, dan foto raja-raja Mataram Islam, berjejeran di tiang beranda pendopo limasan. Bacaan wirid Ratib al-Haddad sudah dilantunkan. Bacaan-bacaan ini adalah kalam-kalam baik yang kita upload, kembali pada Allah, Tuhan semesta alam.

Kalam-kalam langit dilantunkan sebagai medium untuk melarungkan kekotoran diri dan pikiran di hadapan bumi dan Ilahi. Pondok membiasakan hal itu dilaksanakan sebelum Ngaji Dewaruci dimulai. Semua imaji-pikiran dikembalikan pada ketak-terhinggaan semesta langit, sehingga tidak berakhir pada batas bumi argumentatif ketika ngaji. Suasana lirih bergetaran di bibir, bilik-bilik surau dan tanah yang disirami lafal yang mengheningkan jiwa dan pikiran.

Tema ngaji kali ini adalah “Riwayat Indrapura (catatan perjalanan ke pantai barat Sumatera)”,  dipantik oleh mas Raudal Tanjung Banua, ia seorang sastrawan-budayawan dan peneliti sosial. Di samping itu, ia sering melibatkan diri dalam dunia teater.

Mas Raudal melakukan perjalan untuk yang kesekian kalinya ke ujung selatan Sumatera Barat, terakhir pada oktober 2019 lalu. Ia mengemukakan bahwa Indrapura adalah nama indah yang jika kita telisik ada di mana-mana. Ada Siak Sri Indrapura di Riau, Indrapura Air Putih di Batubara, atau Indrapuri di Aceh. Pahang yang kita kenal sekarang, dulu bernama Indrapura, termasuk ibukota Champa (Vietnam). Nama-nama tempat India kuno pun banyak memakai nama Indrapura. Artinya lebih kurang tempat bertakhta raja Indra (raja tertinggi), demikian pernah ditulis budayawan prolifik Emran Djamal Datuak Mudo.

Dalam buku Rusli Amran, Sumatera Barat Hingga Plakat Panjang (1981), disebutkan, kesultanan Indrapura jadi pumpunan teks setebal 652 halaman tersebut. Gusti Asnan dalam Dunia Maritim Pantai Barat Sumatera (2007), juga membicarakan Indrapura sebagai pelabuhan penting penghasil lada hitam (merica) dan emas. Dalam buku yang lain, Kerajaan Indrapura (2013), Gusti Asnan (sebagai editor) bersama Yulizal Yunus dan Muhapril Musri, juga mengkaji sistem pemerintahan Indrapura.

Tak kalah menarik untuk disimak, dalam sebuah roman Balai Pustaka, yaitu Hulu Balang Raja (cet.1, 1934) karya Nur Sutan Iskandar, mengambil lanskap Indrapura. Tokoh-tokoh utamanya juga terdiri dari bangsawan Indrapura seperti Ali Akbar, Putri Ambun Sari, Muhammad Syah, Malafar Syah dan Raja Maulana. Tentu, masih banyak lagi Indrapura kita temukan dalam berbagai teks Nusantara, baik klasik maupun kontemporer. Demikian, papar Mas Raudal.

Paparan-paparan yang dikemukakan begitu terasa sastrawi, terlebih  Mas Raudal memotret itu semua, dan menempatkan dirinya sebagai pejalan atau peziarah waktu. Bukan tanpa alasan perjalanan itu dijelajahi, ia memiliki memori masa kecil yang tersimpan. Memori itu membayang dalam imajisitas perjalanan rantaunya ke negeri seberang. Di Yogyakarta, ketika dirasa ada jarak, justru memori itu muncul kembali. Jejak memori yang membentang luas, sedikit aneh dan menggetarkan, hingga getaran jarak itu mengantarkannya untuk bisa melihat dan sampai  pada jejak-langkah moyangnya. 

Perjalanan pergi jauh ke rimba raya negeri seberang, memang menyisakan luka jarak ruang, namun mampu melipatkan waktu untuk melihat luka-ruang tersebut dengan jernih. Sorren Kiekergard, seorang filsuf eksistensialis berkebangsaan Denmark mengungkapkan perjalanan seperti itu sebagai ‘pergumulan individu dan kebatiniahan’.

Dunia tasawuf Islam dan teosofi mengenal kebatiniahan individu tersebut sebagai suwung, ialah suatu keadaan kosong. Kosong yang merindu akan isi. Layaknya seorang musafir yang kehabisan bekal, dan kehausan di gurun pasir fatamorgana pencarian makrifatnya. Seperti pula pengembaraan seekor elang yang terus terbang mengejar pusaran matahari.

Hati pun menjadi dingin yang menjelma kebisuan, tinggallah menyisakan laku suluk yang membiaskan dahaga akan air kehidupan, air kehidupan yang akan melumatkan semua luka, dan memberikan kesegeran abadi di sisa hidupnya. Konon, air kehidupan itu dikenal dalam kisah raja-raja yang mengerahkan seluruh pasukannya, untuk menemukan air itu. Namun air tersebut hanya diperuntukkan bagi para pejalan, peziarah yang tengah kehausan dan akut kebingungan. Hingga sampailah ia di sungai yang berpasrah pada laut, terseok oleh derasnya rahasia lika-liku air yang meliuk, membentur batu, terjun bebas, hingga menenang sunyi di muara samudera biru.

Sultan Agung menuliskan pergumulan batiniah perjalanannya dalam nubuwat babad Serat Nitik. Syekh Maloyo atau Sunan Kalijaga menyuratkan perjalanan itu dalam Suluk Linglung. Dan lakon Dewaruci menyiratkannya dalam Suluk Dewaruci. Suluk dan serat-serat tersebut adalah medium kita untuk bisa melihat pada diri sendiri. Ialah jalan dan jati diri kita, sebagai manusia Nusantara yang diperagakan dalam teknologi lakon berupa wayang. Kita bisa mengaksesnya melalui lakon suluk diri masing-masing, ialah suluk yang tidak berbatas pada pengetahuan saja, namun pengerahan kanti laku diri dengan totalitas.  

Begitu pun dengan perjalanan Bujangga Manik, ia adalah seorang bangsawan dan rahib yang hidup di masa paceklik keruntuhan Dayeuh Pakuan Padjajaran, ia lebih memilih berkelana dan meninggalkan pusat kekuasaan. Kemudian ia melakukan perjalan jauh, berkelana ke rimba raya pulau Jawa-Selat Bali hingga dua kali. Di Mataram Islam Jawa, kita akan menemukan sosok imajisitas Bujangga Manik dalam diri Ki Ageng Suryomentaram. Menanggalkan jubah kebangsawanan, dan memilih jalan kelana bukanlah tanpa sebab, ia syarat dengan situasi sosial-politik yang menjalar-banal pada saat itu.

Perjalanan kelana tersebut adalah laku-asketis sebagai olah rasa untuk menemukan diri yang baru. Ialah perjalan menemukan jati diri yang beraroma karsa. Karsa yang sejatinya memunculkan bau wangi dengan sendirinya, juga memberi wangi pada diri yang lain. Dan itulah nama asketis yang diberikan pada leluhur manusia Pasundan, ialah Prabu Siliwangi. ‘Siliwangi’ artinya ‘saling wangi’, dan memberi wangi (Silih-Wangi). Dirinya mewangi dengan sendirinya, lalu dengan sendirinya pula ia memberi wangi pada sekitarnya. (MA)