Siapa tidak mengenal Elisha Orcarus Allasso, sindhèn kocak yang sering tampil dalam pertunjukan wayang Ki Seno Nugroho. Namun, apakah sudah banyak yang mengenal sosok Elisha secara dalam? Siapa mengira bahwa menjadi seorang sinden merupakan sesuatu yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya bagi Elisha. Namun, ia mempunyai semangat belajar yang besar. Ia selalu gereget untuk mengetahui hal yang baru. Termasuk ketika ia masuk Jurusan Pedalangan ISI Yogyakarta dan menemukan dunia sinden di dalamnya.
Pada kesempatan kali ini, kita akan menyimak kisah perjalanannya. Elisha mengibaratkan sawah atau ladang sebagai potensi diri. Lalu, kita bertugas untuk menyuburkannya agar menghasilkan buah yang bagus, yang akan disukai banyak orang. Begitulah sawah atau ladang yang dimiliki Elisha, yaitu dunia sindhen wayang yang sedang ia petik “buah karyanya”.
Saya, pada beberapa hari lalu, menghubungi Elisha dan meminta izin untuk mewancarainya. Ia menyambut dengan ramah dan dengan senang hati bercerita serta menjawab beberapa pertanyaan. Berikut wawancara saya dengan Elisha.
Bagaimana proses perjalanan Mbak Elisha menjadi sindhèn dalang Ki Seno Nugroho?
“Awalnya karena penelitian tahun 2015, waktu masih proses skripsi. Aku cuma kenal aja. Kenalnya karena objek penelitian. Dulu sebenarnya tidak terlalu suka dengan Pak Seno. Karena, kalau sekolah di Pedalangan itu, kita lebih digiring untuk menyukai dalang-dalang klasik. Itu perasaanku, ya. Hehehe…”
“Terus aku coba mematahkan konsep itu dengan meneliti Pak Seno yang dulu belum seramai sekarang. Dulu, pertunjukan Pak Seno lakunya 15 sampai 18 kali dalam sebulan. Dulu sebenarnya yang ramai, kalau aku gak salah ingat, itu Pak Tono Hadi Sugito. Kalau Pak Tono lebih ke arah Hadi Sugito, jadi punya penggemarnya sendiri.”
“Aku memutuskan untuk meneliti Pak Seno. Aku mulai datang ke TKP, memperhatikan penonton, dan pertunjukan Pak Seno. Sampai pada waktu itu aku memutuskan untuk bertemu dengan Pak Seno. Awalnya, aku hanya silaturahmi biasa. Memperkenalkan diri, ngobrol ngalor ngidul.”
“Sebenarnya, Pak Seno susah diajak wawancara kalau tidak benar-benar kenal, akrab, atau nyaman. Biasanya, jawabnya pendek-pendek. Hehehe... Ya, mungkin gitu, gak banyak bicara. Akhirnya, aku melakukan pendekatan. Aku banyak bercerita tentang dunia pedalangan. Bagaimana Pak Seno mengembangkan pedalangan.”
“Kemudian, waktu itu, Wargo Laras kekurangan sindhèn. Aku lalu diajak. Aku coba. Aku kan sering lihat pertunjukannya. Jadi, aku menyesuaikan aja.”
“Aku jadi ikut… apa sih namanya? Manjing! Ya, manjing sama pertunjukannya.”
“Awalnya, aku cuma sindhèn cadangan aja. Kalau sindhèn dari Wargo Laras ada yang gak bisa, baru aku gantiin. Tapi akhirnya aku sering diajak karena aku banyak ngomong, seneng ngomong, jadi bikin pertunjukan sendiri dengan Pak Seno. Aku coba eksperimen diriku sendiri dengan pertunjukan Pak Seno.”
“Kemudian, sampai aku selesai penelitian itu, aku sering diajak menjadi sindhèn Wargo Laras sampai aku S-2. Ketika S-2 aku kan meneliti lagi Pak Seno, tapi lebih ke penontonnya. Bagaimana pertunjukan Pak Seno dapat menyedot perhatian banyak orang. Di akhir S-2 aku lebih intens. Aku mulai di-tanting untuk masuk ke Wargo Laras karena aku termasuk banyak track record-nya.”
“Ya gitu lah pokoknya. Gak tau karena apa pertimbangannya, mungkin bisa tanya Pak Seno sendiri. Dari situ aku mulai jadi anggota Wargo Laras. Kemudian, September tahun… tahun berapa ya? Tahun lalu. Pokoknya aku udah satu tahun-an jadi sindhèn di Wargo Laras yang benar-benar Wargo Laras.”
Sebagai perempuan, apa yang membuat Mbak Elisa tertarik dengan dunia wayang?
“Hmm… kalau tertarik, awalnya gak terlalu tertarik sih sebenarnya. Tapi, apa ya? Aku tuh orangnya gampang penasaran, kan. Dulu tahu di wayang itu kan semiotikanya dalam. Dia mengandung simbol-simbol. Kemudian di wayang itu kan banyak nilai-nilai yang diambil. Baik itu mikrokosmos maupun makrokosmos. Bisa menyimbolkan sifat manusia dan alam semesta. Jadi, cerita-cerita wayang itu sebenarnya simbolis. Ada cerita wayang yang menyimbolkan tentang tata surya.”
“Makanya aku suka kok bisa multitafsir. Bayang-bayang yang multitafsir. Dia dianggap lugu bisa. Mau dianggap hiburan bisa. Yang dalam bisa, seperti contohnya mengandung unsur filsafat, semiotika, dan mitologi.”
“Pertunjukan itu bisa dalam banget. Misalnya, nih, kita akan meneliti pertunjukan wayang “Romo Tambak” oleh Ki Seno. Bisa dikaji banyak banget. Humornya, mitologinya, semiotikanya, penontonnya, bentuk seni pertunjukan, dan manajemen seni pertunjukannya. Banyak pokoknya. Dari situ aku mulai tertarik.”
Dulu, apakah pernah tebersit keinginan menjadi dalang atau sinden wayang?
“Dulunya kapan dulu ni? Hehehe… Kalau waktu kecil enggak pernah. SMP enggak, SMA juga enggak. Enggak ada sama sekali punya pemikiran tentang jadi sindhèn atau dhalang. Dalam kamus impianku gak ada tebersit menjadi dhalang atau sindhèn wayang. Hehehe...”
“Dulu, aku masuk pedalangan awalnya karena aku ingin menjadi peneliti. Karena aku orangnya memang selalu penasaran. Tapi lama kelamaan setelah masuk ternyata ada ketertarikan lain gitu lho. Aku cuma ngikutin jalan aja.”
“Misalnya, nyoba nyindhèn. Wah, bagus juga ni! Kemudian, wah, dapat duit ni dari nyindhèn. Terus belajar lagi. Oh, ternyata sindhèn ada tingkatannya. Oh, ternyata kalau tambah tingkatan, makin bagus. Kalau makin bagus, bisa makin laku. Kalau makin terkenal, penghasilan bisa nambah. Jadi, aku pikir itu bisa jadi kerjaan part-time-ku yang sangat worth it. Makanya aku memperdalam sindhèn. Tapi gak disengaja itu malah jadi kerjaan utamaku, yang menghidupiku, bahkan yang membantuku menyelesaikan S-2. Gak sengaja banget untuk jadi sindhèn.”
“Kalau soal dalangnya, ya otomatis, karena aku masuk pedalangan, jadi ya harus bisa dalang walaupun cuma sedikit, karena ujiannya kan juga mendalang. Sebenarnya jadi sinden sama dalang itu lebih sulit ke dalangnya menurutku. Mungkin karena aku sekolah di Pedalangan dan aku belajar lebih dalam. Aku lebih ke teorinya, ya, dulu. Pemikiranku, tanggung jawab menjadi dalang itu sangat berat. Makanya aku kadang belum terlalu enjoy untuk jadi dalang. Belum sampai ke titik itu. Mungkin besok suatu saat.”
Adakah orang atau hal tertentu yang selalu menyemangati Mbak Elisa?
“Sebenarnya yang menyemangati ya perjuangan hidup ini. Kalau aku yang utama, karena itu yang menghidupimu, ya karyakan. Itu yang jadi sawah ya gimana caranya tanahnya harus subur dan menghasilkan padi lagi. Sama kalau menjadi sindhèn, tadinya yang part-time ternyata subur, menjadi pendapatan, ya harus di-opèni kan.”
“Perumpamaannya ya sawah. Udah aku bajak, aku rawat sedemikan rupa, kemudian padinya disukai orang-orang. Terus masak ya mau aku anggurin. Jadi ya harus profesional. Namanya juga… apa ya? Buah karya kan. Kayak gitu. Jadi yang membuat semangat ya karena orang-orang yang menikmatinya.”
Situasi pandemi ini, apakah banyak jadwal yang ditunda atau dibatalkan? Bagaimana tanggapan Mbak Elisa?
“Hmm… banyak. Banyak jadwal yang ditunda dan dibatalkan. Bahkan sampai Juni, Juli. Yang masih aman Agustus, September. Tapi gak tau situasi pandemi ini sampai kapan.”
“Ini kami gak ada pendapatan lain. Kalau sebagai seniman, mampet ya mampet. Karena gak mungkin juga kita ngundang keramaian. Jadi yang kita miliki ya tabungan, itu pun yang punya tabungan. Padahal, kebanyakan yang banyak malah punya hutang. Syukurlah aku punya tabungan, jadi ya masih bisa untuk melanjutkan hidup. Hehehe…”
“Yang jelas kalau soal tanggapan tentang pandemi ini, gak tau sih, yang jelas semuanya lagi mikir, gimana caranya agar bisa tetap berbudaya, tapi kan sekarang ekonomi lagi lesu ya. Semua bingung juga.”
“Sementara ini, Pak Seno lagi bikin wayang climen itu. Lumayan sih, dapat tanggapan positif. Tapi juga gak tau bisa berlanjut sampai kapan. Itu berupa pertunjukan amal. Seniman kecil kayak kami itu emang gak ada pilihan lain. Masih lesu semua, masih shock. Jadi ya pelan-pelan aja dijalani.”
Kesibukan apa yang sedang dilakukan Mbak Elisa pada situasi Pademi ini?
“Sebenarnya aku di rumah aja. Gak terlalu banyak kesibukan. Aku sebenarnya pengen ngelanjutin S-3 yang benar-benar sedang aku mantapkan. Seharusnya masuknya bulan Juli. Tapi aku pun belum bikin proposal. Masih tahap pemantapan. Kalau aku sudah mantap, mungkin nanti untuk mengisi kegiatan di bulan Ramadan, aku membuat proposal penelitian untuk S-3-ku.”
“Kemarin, sebelum Paskah, aku ngelakuin bakti sosial yang diberi nama hashtag programnya #sihsesami. Di-support banget sih sama orang-orang. Mereka donasi, terus aku jalanin. Aku beli sembako per pack 150 ribu. Yang ngasih ide ada teman dari Klaten. Terus aku share, ternyata banyak juga yang kasih donasi. Jadi, bisa naik dua kali lipatnya. Tadinya cuma 50 pack, ternyata bisa 110 pack.”
“Kemudian aku ajak teman-teman karawitan. Sebelum ikut Wargo Laras kan dulu aku ikut Kecubung Sakti. Ya udah aku ajak mereka. Kita ada delapan orang pake dua mobil untuk turun ke jalan, berbagi ke orang-orang yang membutuhkan.”
“Terus aku juga ada pertunjukan Wayang Climen di rumah Pak Seno. Aku udah datang dua kali ke sana. Pertunjukan amal itu. Selain itu ya aku ngelakuin kegiatan rumah biasa aja. Nonton film, olahraga, masak-masak dikit. Ya gitu-gitu aja, kegiatan rumahan kayak gitu ya, Mas.”
Terakhir, pesan untuk pekerja seni dan masyarakat dari Mbak Elisa?
“Untuk pekerja seni, jangan lesu. Kalau bisa tetap berkarya dengan cara apapun. Berkarya dari rumah atau cari ide lain juga bisa. Jadi, semoga dengan adanya pandemi ini bukan membuat kita lemah, tapi membuat kita lebih kreatif untuk membuat karya seni.”
“Kemudian, untuk masyarakat, apapun yang terjadi, kita tetap harus berjuang. Berjuang bisa dari rumah, bisa juga dengan membantu sudara-saudara kita. Dan yang bekerja di luar rumah, untuk menjaga dirinya dengan physical distancing, menaati peraturan pemerintah. Apapun yang terjadi, kita tidak boleh lengah.”
***
Begitulah sedikit banyak cerita dari Elisha Orcarus Allasso yang telah memberi inspirasi bagi kita. Darinya, kita dapat belajar bahwa jalan kesuksesan bisa dari arah mana pun, bahkan tidak pernah terduga sebelumnya. Seperti yang telah dialami oleh Elisha; menjadi seorang sindhen berawal dari semangat belajar yang tinggi dan sikapnya yang selalu membuka peluang terhadap hal baru.
Dalam situasi pandemi ini, Elisha juga memberi motivasi agar kita senantiasa selalu bersemangat menjalani hari demi hari. Terlebih, esok, kita akan memasuki bulan Ramadan. Semoga kita dapat menyambutnya dengan rasa suka cita bersama sampai kondisi ini dapat segera pulih kembali. Terlebih agar masyarakat PWKS, yaitu Pecinta Wayang Ki Seno, segera terbayarkan kerinduannya melihat pagelaran wayang dari Ki Seno Nugroho serta penampilan dari sinden Elisha Orcarus Allasso.
***
Ilustrasi: foto koleksi Elisha Orcarus Allasso.
Editor: EYS
Tepatnya kemarin sore, kami berencana akan melihat pameran di galeri milik seniman Ugo Untoro. Pertama kalinya berkunjung di galeri Museum dan Tanah Liat (MDTL) tersebut, saya bersama Setiyoko — kerap disapa Yoko — mahasiswa seni rupa angkatan 2013 ISI Yogyakarta. Tidak banyak yang saya ketahui tentang seni rupa. Namun, saya tertarik dengan keunikan pribadi beberapa teman yang berproses dalam seni rupa. Salah satunya, Yoko, pemuda asal Sukoharjo.
Kami memasuki MDTL disambut dengan pekarangan memanjang yang dikelilingi tumbuhan hijau segar. Salah satunya, afelius (mungkin salah dalam penulisan) yang merupakan tanaman obat ampuh. Sebelumnya, saya menjumpainya — juga dengan Yoko — ketika saya bersama beberapa teman mengunjungi makam Panembahan Purboyo, di Masjid Wotgaleh, Berbah, Sleman.
Tidak ada pengunjung lainnya. Hanya kami berdua. Saya masuk pelan-pelan. Informasi yang saya dapat dari Yoko, ini merupakan pameran koleksi dari beberapa seniman.
Saya senang ketika melihat sebuah karya seni. Dan ketika melihat seni rupa, saya merasakan adanya ekspresi alamiah dari seorang seniman ketika menuangkan dirinya pada sebuah media. Melalui karya rupa, yang dalam pameran tersebut kebanyakan menggunakan media kanvas, detak jantung senimannya dapat dirasakan hanya dengan satu kotak imaji; kanvas dengan warna, garis, dan daya hidupnya. Namun ada juga karya yang, ketika saya melihatnya, saya merasakan bahwa satu kotak imaji hanya berhenti sebagai karya visual. Memang ada visual disana, namun hanya berhenti sebagai pandangan objek. Belum mampu menyiramkan perasaan-perasaan terdalam kepada yang melihatnya.
Kami keluar dari galeri. Lalu, kami duduk di kursi panjang di samping pintu masuk. Suasana yang mendukung untuk bercakap dengan Yoko, pikirku waktu itu. Suasana tenang. Kami melihat tumbuhan-tumbuhan hijau segar. Tubuh kami tersirami cahaya matahari yang menembus lewat sela-sela daun tumbuhan merambat. Kami berbicara dengan santai. Ya, santai. Tidak ada kepentingan apapun. Berbicara dengan rasa, menanggapinya dengan indera.
Saya mengawali perbincangan dengan bertanya kepada Yoko tentang konsep berkarya. Ketika sedang berproses, dari mana lahirnya kehendak membuat karya? Kepada siapa akan kita berikan? Mengapa kita harus membuatnya?
Yoko hanya terdiam. Sejenak hening. Tidak ada yang bicara.
Kemudian, ia menjawab, “Piyé, ya? Ning njero iki ana rasané. Tur angèl aku arep ngetokké, ngomongké.” (Bagaimana, ya? Di dalam (batin) ada rasanya. Tetapi sulit bagiku untuk mengungkapkan, mengucapkan.)
Hening. Yoko kembali terdiam.
“Mbuh, Bril. Bingung aku arep ngomong”. (Entahlah, Bril. Bingung aku mengungkapkannya.)
Hening kembali.
Saya pelan-pelan berbicara, “Santai waé, Nda. Iki ora ana hubungané karo apa-apa. Ngobrol sakpénaké dhéwé waé.” (Tenang saja, Kawan. Ini tak ada hubungannya dengan apapun. (Cuma) ngobrol sesuka hati kita saja.)
Kami ngobrol ngalor ngidul tidak ada arah yang jelas. Lalu, pada sela-sela obrolan tersebut, Yoko mulai mengungkapkan dirinya saat ini, dirinya dengan proses seni rupa.
“Yok, warna ki apa ta?” (Yok, warna itu apa, sih?)
“Werna ki, ya menggambarkan perasaané awaké dhéwé, ya isa nggambarké kehidupan mbiyèn. Misalé werna-werna alam, ya kuwi angèl isa ngentukké werna kaya ngono.” (Warna itu menggambarkan perasaan kita, bisa pula menggambarkan kehidupan yang lalu. Sedangkan warna-warna alam, sulit untuk memperoleh warna seperti itu.)
“Werna ya isa ndelok egoné awaké dhéwé. Aku ya ngrasa kadang aku ngrasa angkuh, sombong. Makané warnané takblok bèn nggo ngleremké sifat sombong kuwi mau.” (Warna juga bisa digunakan untuk melihat ego kita sendiri. Aku pun merasa kadang aku angkuh, sombong. Makanya warnanya kublok untuk meredakan sifat sombong itu tadi.)
“Isa werna kuwi dinggo menyatukan. Misalé, werna angkuh dicampur karo werna sing adhem, ngko dadiné isa nyeimbangké, iso gawé tenang awaké dhéwé.” (Bisa juga warna digunakan untuk menyatukan. Misalnya, warna angkuh dicampur dengan warna yang dingin, nanti jadi bisa menyeimbangkan, bisa menenangkan diri kita.)
Obrolan mulai hangat. Suasana sekitar yang mendukung menjadikan waktu saya berkualitas karena dapat berbincang dengan Yoko. Lalu, saya kembali bertanya kepada Yoko tentang pengabdian. Selama melukis, kepada siapa ia mempersembahkan karyanya.
Yoko menghela nafas pelan.
“Sik. Angèl é pertanyaané.” (Sebentar. Sulit juga pertanyaanmu.)
Yoko mengawalinya dengan ungkapan rasa terima kasih. Kemudian, Yoko menceritakan bahwa perjuangan orang tua tidak dapat dibayar dengan apapun. Orang tua tidak akan terlihat sedih di depan anaknya, walaupun kondisinya memang sedang terpuruk. Yoko bercerita, ketika ibunya sedang sakit, beliau masih berusaha untuk memberikan perhatian kepada anaknya.
“Wong tuwa kuwi pembohong. Iya, wong tuwa kuwi ngapusi anaké. Nèk wong tuwa lagi sedih, lagi lara, wong tuwa berusaha nutupi sedihé kuwi bèn anaké ora kepikiran. Malah, wong tuwa isih berusaha piyé carané isa nyenengké anaké.” (Orang tua itu pembohong. Iya, orang tua itu menipu anaknya. Ketika orang tua berduka, sedang sakit, mereka berusaha menutupi kesedihannya agar anak mereka tidak terbebani. Justru orang tua masih berusaha untuk menyenangkan anak-anaknya.)
Yoko berbicara dengan sangat lancar. Saya merasakan bahwa dia sudah tidak berbicara dengan mulutnya yang penuh dengan aturan bahasa. Yoko mengungkap isi hatinya. Mengalir.
Rasa terima kasih tersebut menjadi semangat Yoko dalam berproses. Ia menggores garis pada kertas, menggerakkan sapuan kuas pada kanvas. Salah satu yang menjadi alasan kuat mengapa Yoko terus berproses, tidak sekedar ingin mencipta sebuah karya, adalah bahwa nantinya karya tersebut akan menjadi wujud ungkapan rasa terima kasih untuk ibunya.
Saya memang sudah tahu bahwa ibu Yoko sudah tidak ada. Ibunya meninggal ketika Yoko menjadi mahasiswa di ISI Yogyakarta.
Lalu, saya pelan-pelan bertanya padanya, “Yok, lha nèk saiki karyamu tok persembahké kanggo wong sik ora ana kuwi piyé?” (Yok, kalau sekarang karyamu kau persembahkan untuk orang yang sudah tak ada, lantas bagaimana?)
Dengan sigap Yoko menjawab, “Ngéné. Karya kuwi kan ora mung dadi wujud karya. Tur ning njero karya kuwi ana akèh, ana rasa karo ana donga. Lha iya donga kuwi sing aku yakin kuwi iso ndongakké wong sing taktuju. Seka karya, glèk, dadi donga, munggah.” (Begini. Karya itu kan bukan sekadar karya saja. Di dalam karya itu ada banyak kandungan, ada rasa dan ada doa. Nah, doa itulah yang aku yakin bisa mendoakan orang yang kumaksudkan. Dari karya, glèk — interjeksi khas yoko, menjadi doa, naik.)
Saya melihat mata Yoko berkaca, bergemuruh air mata. Kami sejenak sama-sama diam. Tidak ada yang berani berbicara.
Yoko bercerita tanpa saya bertanya atau memintanya untuk berbicara. Setiap orang tentu memiliki perjalanan hidupnya. Yoko menceritakan hal-hal yang melatarbelakangi “rasa terimakasih” itu. Perjuangan ibunya ketika dulu menggarap sawah. Ketika panen tiba, ibu Yoko bekerja keras agar padi yang dihasilkan bisa utuh, tidak pecah.
“Dadi nèk wong tuwa péngén sik paling apik nggo anaké. Contoné seka beras. Ibu mbiyèn péngén piyé carané beras wutuh, ora growong, ora campur menir. Bèn anaké isa mangan énak, isa séhat.” (Jadi jika ingin melihat bagaimana orang tua menginginkan yang terbaik untuk anaknya, contohnya dari beras. Ibu dulu mengupayakan agar beras bisa utuh, tidak berlubang, tidak bercampur menir, supaya anaknya bisa makan enak, bisa sehat.)
Rasa terima kasih itu memang tidak akan pernah usai. Yoko pun menyadari jika apa yang telah dilakukan ibu kepadanya merupakan sesuatu yang tak terhingga. Ia juga tidak akan dapat membalas sepenuhnya perjuangan dan pengorbanan ibunya.
“Aku gelem, isa waé saiki gambar 50 meter, nèk arep nggambarké rasa terima kasihku kuwi mau. Tur kuwi ya ora isa mbales perjuangané. Soalé iku kaya samudera, jembar, ora ana batesé. Rasaku iki ora isa rampung.” (Jika aku mau, bisa saja sekarang melukis di atas kanvas sepanjang 50 meter untuk menggambarkan rasa terima kasihku itu. Tapi itu pun tak bisa membalas perjuangannya. Sebab perjuangannya seperti samudra, luas tanpa batas. Rasaku tak bisa tuntas.)
Saya merasakan begitu besar rasa kasih Yoko kepada hidupnya. Ia sangat mencintai, mensyukuri hidupnya. Dengan begitu, setiap yang terjadi dalam hidupnya selalu ia jadikan sebagai landasan doa dan bersyukur. Apa yang dialami Yoko menjadi bekal dalam ia mengarungi samudra hidupnya yang luas, samudra rindu pada Ibunya. Barangkali ini merupakan secuil dari kisah Yoko yang dapat saya rasakan.
Seperti pada garis dalam setiap karya Yoko. Yoko sering mengatakan jika garis merupakan jantung dari seni rupa. Kisah hidup Yoko merupakan garis yang lahir pada setiap karyanya, dalam media kertas maupun kanvas. Dengan begitu, maka garis akan hidup. Karena ia terlahir tidak ingin menjadi karya visual semata, namun sebagai ungkapan hati yang dipersembahkan sebagai wujud doa.
Memang terasa berat, jika kita melihat seni rupa hanya sebagai produk seni visual. Namun, Yoko memahami dalam setiap karya dapat tersemat kedalaman rasa, wujud kasih sayang, kerinduan, dan wujud doa. Di sanalah garis akan hidup. Dan, Yoko terus mengarungi samudera hidupnya.
Saya sering mendapat kiriman gambar melalui pesan WhatsApp dari Yoko. Dalam kesehariannya, Yoko menjaga ketenangan tubuh dan batinnya. Baginya, ketika sedang menggambar, jiwa harus tenang. Setiap selesai mengungkapkan garis pada kertas, Yoko memotret dengan ponselnya, lalu mengirimkannya lewat pesan WhatsApp dengan caption “Ngopi likk”. Ya, saya menyimpan beberapa foto kiriman Yoko. Foto karya, foto makanan nasi, lauk, sayur, foto secangkir kopi, udud, cemilan, dan beberapa foto “apa sih”, seperti foto telapak kaki, foto orang mengepel lantai, foto jemuran, foto ban mobil, dan lain-lainnya.
Saya senang menikmatinya. Memang begitulah hidup, penuh daya kejut. Begitulah Yoko. Ia sangat menikmati garis hidup yang bersemayam di dalam dirinya. Begitulah Yoko yang jujur, tulus, sekaligus unik.
Kaliopak banyune mili, 16 Februari 2019
***
Ilustrasi: foto koleksi penulis
Editor: EYS
Sore itu, saya berkunjung ke rumah kontrakan Dina Triastuti, manajer Kalanari Theatre Movement. Di tengah obrolan kami yang ngalor ngidul, Dina mengatakan bahwa keesokan harinya ia akan pulang ke kampung halamannya di Mojokerto. Kemudian, terbesit keinginan dalam diri saya untuk bertanya terkait momen pandemi ini.
Terlebih yang menjadi menarik ialah pengalamannya pada dunia manajemen seni. Dina mempunyai pandangan yang cukup segar ketika memperbincangkan bagaimana sebuah produksi seni dijalankan. Pemikirannya menggugah mengenai masa depan kultur kesenian kita yang mestinya dapat mempunyai posisi dan pengaruh dalam kehidupan masyarakat.
Selamat sore, Mbak Dina. Hari ini kan kita dalam momen yang sama ya, pandemi. Tentu hal tersebut berpengaruh dengan aktivitas kita. Kalau Mbak Dina, apa yang dirasakan selama momen pandemi ini?
“Memang shock di awal ketika secara tiba-tiba harus berhenti. Beberapa kegiatan dan rencana ke depan harus ditunda dulu. Pada awal corona merebak itu, aku dua hari benar-benar gak bisa mikir. Namun, kemudian justru menjadi ruang kebersamaan yang lain ketika bertemu dengan beberapa teman lewat jaringan online, kemudian saling mengobrol terkait situasi saat ini. Agak berkurang sih ketika dengan beberapa teman membuat forum. Walaupun saat itu memang sama-sama bingung mau ke mana. Namun, paling nggak lebih melegakan ketika saling bisa mengobrol dan memberi semangat.”
Apakah ada pembelajaran Manajerial Seni dalam situasi ini?
“Hmm… aku menjadi lebih sadar saat ini kalau manajemen seni belum bisa mempersiapkan apa yang akan menjadi kebutuhan kita pada situasi seperti ini. Memang situasi ini kan di luar kendali manusia, ya. Namun, kenapa ini tidak dipersiapkan dari awal jika memang bisa disiapkan?”
“Nah, ini yang masih kendor dalam konteks manajemen seni. Dalam lembaga besar mungkin ada dana cadangan yang lumayan besar. Namun, untuk beberapa kelompok seni misalnya, mungkin ada, namun hanya cukup untuk, katakan, menjaga nafas seadanya, belum untuk kebutuhan hidup yang banyak.”
“Dalam perencanaan produksi, kita jarang memberikan slot untuk dana tak terduga. Manajemen kita manajemen yang temporer. Belum dipikirkan lima tahun ke depan, misalnya. Kalau dalam bentuk manajemen seni secara umum kan ada empat item, ya, perencanaan, pelaksanaan, controlling/monitoring, serta laporan/evaluasi. Nah, aku ingin menambahkan satu lagi yang aku kira itu juga tidak kalah penting, yaitu manajemen rasa.”
“Item ini merupakan hal yang intuitif dari beberapa orang yang berperan dalam produksi. Manajemen rasa ini sangat khas, yaitu merupakan bentuk kesadaran dan kepekaan orang-orang di dalamnya. Manajemen semestinya melangkah lebih maju dari produksi. Memiliki sebuah desain bagaimana keberlangsungan seniman dalam waktu ke depan.”
“Karena memang profesi sebagai seniman kan rada ambigu, ya. Seniman itu apa? Profesi, pekerjaan, hobi, tenaga ahli, pengajar, freelance, atau apa? Dari situ kan kita dapat rasakan, selama ini seniman belum mempunyai standarisasi mengenai pendapatan, honor, gaji, asuransi, dan sejenisnya, yang intinya mengenai bagaimana seniman mencukupi kebutuhannya.”
“Nah, kebutuhan seniman ini yang aku rasa masih kendor dalam sistem manajemen seni kita.”
Bagaimana bayangan ke depan ketika, katakan, Pandemi ini selesai?
“Menurutku ada dua hal. Yang pertama, kita akan menemukan “normal yang tidak normal”, normal baru. Kita akan menyikapi kehidupan ini dengan normal baru. Dengan membaca ulang. Dengan meredefinisi ulang. Kita akan menemukan normal yang baru dengan pembacaan atau perspektif baru. Atau, yang kedua, adalah kita memang menunggu sampai benar-benar ini selesai.”
***
Terkait “normal baru’ yang dikatakan Dina, sama dengan isi dari tulisan Dahlan Iskan yang berjudul “Hidup Baru” (DI’s Way, 20 April 2020). Dalam tulisannya, Dahlan Iskan mengatakan jika dalam sistem masyarakat kita memang membutuhkan sebuah kebijakan yang disebut dengan lockdown.
Dahlan Iskan menyampaikan dalam tulisannya,
“Mengapa perlu?”
“Karena tidak semua orang disiplin.”
“Kalau semua orang bisa disiplin tidak perlu lockdown?”
“Tidak perlu.”
“Boleh ke mana-mana?”
“Boleh.”
Dalam tulisannya tersebut, Dahlan Iskan mengatakan jika pemberlakuan lockdown merupakan sebuah cara bagaimana kita dapat membiasakan “hidup baru”. Hidup baru seperti apa yang dimaksudkan?
Dahlan Iskan meneruskan dalam tulisannya :
Serba boleh. Asal kita bisa memulai “hidup baru”.
Yakni kalau semua orang sudah bisa disiplin.
Nama hidup gaya baru itu disebut “disiplin”.
Termasuk disiplin jaga jarak.
Pada situasi seperti ini, hal yang penting merupakan pembelajaran di dalamnya. “Normal baru” yang disampaikan Dina serta “hidup baru” yang disampaikan Dahlan Iskan menjadi peringatan bagi kita semua untuk lebih memberlakukan disiplin pada diri kita masing-masing. Jika itu dapat terlaksana dengan baik, tanpa ada aturan dari pemerintah pun kita mempunyai kesadaran untuk lebih peduli pada kesehatan diri dan lingkungan. Harus dimulai dari diri sendiri. Dan, pelan-pelan mesti dilaksanakan secara serentak.
Kembali pada Dina Triastuti, saya memberikan pertanyaan mengenai refleksi yang terjadi pada dirinya dalam momen pandemi ini.
Bagaimana refleksi dari situasi pandemi ini?
“Aku jadi banyak reflektif, kontemplatif. Dari pengalaman melihat ke dalam diri ini aku jadi sadar yang sebenarnya dekat dengan kita ternyata sangat berjarak. Aku jadi mempertanyakan kembali bagaimana aku mengenali dan menyelami diri sendiri.”
“Kita yang selama ini mencari keramaian. Seakan kita tidak boleh kalah dengan laju percepatan kehidupan yang ramai ini. Dulu, ketika mau makan saja, kita punya banyak sekali pilihan tempat makan. Kita yang seakan harus pergi ke mall, nonton di bioskop, dan lain-lain. Padahal kalau kita sederhanakan, di rumah saja dengan lauk tempe, jadi. Nonton film atau dokumentasi pertunjukan di rumah juga tidak menjadi masalah.”
“Kemudian pada situasi ini, kita disuruh untuk melambat. Kita disuruh untuk tidak mengikuti keramaian yang sebelumnya menjadi rutinitas kita. Tuhan seperti mengingatkan kita untuk ‘hidup dengan sederhana dan lebih melihat ke dalam’.”
“Aku menjadi lebih sadar pentingnya pola hidup sehat dengan hidup sederhana. Dan, tidak terlalu sering keluar rumah. Aku lebih melihat ke dalam diri. Semakin kesini aku semakin sadar, menjadi bertanya kembali, apa sebenarnya hakekat hidup?”
“Suasana ini juga menggugah kesadaran lain pada diriku sendiri, yaitu untuk lebih akrab dengan rumah. Jadi lebih membuka kesadaran dalam setiap aktivitas yang dijalani seperti menanam, memasak, membaca buku, berjemur, menyirami tanaman, membersihkan perabot rumah dan aktivitas rumah lainnya.”
***
Ilustrasi : koleksi foto Kalanari Theatre Movement
Editor: EYS
Laa ilaaha illa Allah # al-malikul haqqul mubin Muhammadur rosulullah # Shodiqul wa'dil amiin
Kaliopak banyune mili # Tekan kidul saka merapi
Tetirahe kanjeng Sunan Kali # Manunggaling kawula Gusti
Duh Gusti nyuwun ngapura # Dosa kula sing ora kira
Pangapura kang dadi tamba # Ati kula kang pada lara