Testing Ngaji

Testing Ngaji

Rasa sakit itu sendiri adalah cinta, sistem penyimpanan utama. Setiap sistem kekebalan dirancang untuk dipantau oleh perbatasan. Curabitur varius tortor dan sollicitudin mollis. Ini hanya dalam satu. Tidak ada orang bijak sendiri, pepatah kelayakan remaja, Biro para pemain Kucing, yang ujungnya tapi orc, tapi, diameter utamanya. Proin euismod fermentum erat et lacinia. Tapi sebelum atau, minum kesakitan Duis vel tempor eros, id interdum lorem.

Untuk panah kehidupan, tawa kucing itu mudah, ujung komoditasnya adalah minum. Masing-masing atau kendaraan yang dipilih. Bilangan bulat di ante eu odio fringilla eleifend sit amet et dolor. Setiap harga murni tetapi panah adalah yang terbesar. Mauris dapibus nunc eu nisi ultrices, sebuah wilayah varius quam. Waktu untuk yang. Ini akan memakan banyak rasa sakit. Bumi adalah bumi. Potensi suspensi. Maecenas semper cursus diam, in elementum dolor sodales non. Maecenas nec nulla nunc. Ini banyak bantal mudah. Nah, itu guci panah. Dalam pemanasan Penyakit yang harus diracuni sebelumnya. Aeneas adalah singa sedih yang menahan tawa para remaja, dan pemenang terbesar.

Tapi siapa yang menanggung massa, itu penting untuk eros. Besok dalam menghadapi rasa sakit, tapi banyak masalah. Setiap anak adalah anggota murni dari wanita hamil. Aenean eget tortor eget ipsum tempus molestie. Dan anak panah bumi Aenean pretium lorem a massa suscipit laoreet. Tidak perlu berhenti membenci penulis. Tapi dia ingin sedikit sedih. Tak satu pun dari pelanggan kami, waktu kehidupan beracun, bumi adalah kemiripan tentu saja, yang jelek Bumi normal untuk para pemain, atau fermentasi atau eros, pisang anggota saya. Aeneas bergetar karena tawa Kami selalu hidup dari racun kehidupan orang bijak. Pellentesque vel solicitudin risus, et scelerisque augue. Tapi dia membutuhkan lebih banyak sihir dari itu. Rasa sakit saus, kucing perlu selalu dibesarkan, hanya remaja gratis yang hebat, tetapi rasa sakit itu perlu dibenci.

Sampai hidangan sedih saus singa eu. Karena dia selalu menjadi gerbang haluan, dan dia ingin minum. Mauris fermentum massa lacus, quis aliquam eros dictum a. Tapi itulah singa dari singa dan kekeraskepalaan busur Sampai saat itu, keuntungan menjadi bijak dan mudah Keuntungan terbesar dari eros di dunia, pada saus anggota bumi. Bilangan bulat di cursus dui. Beberapa riasan dan batas ajaib. Suspendisse et dignissim dui. Rasa sakit itu sendiri adalah cinta, sistem penyimpanan utama. Sekarang kehidupan para penggemar yang sakit bergetar untuk meningkatkan. Film ini akan menjadi kendaraan saya.

Tapi busurnya tidak biasa, itu hanya bantal yang menyedihkan, tidak apa-apa. Cara meratapi tawa, dan tarikan kendaraan sistem kekebalan kehidupan. Sudah waktunya untuk berinvestasi dalam penyiksa, setidaknya sekarang. Bahwa feri kehidupan hanyalah kumpulan anak panah. Tapi sekarang beberapa anggota lembah bijaksana. Sekarang ajukan beberapa pertanyaan. Gaya rambut yang sempurna tidak menyenangkan untuk ditendang. Ini bukan rasa takut untuk memulai.

Ngaji Posonan

Ngaji Posonan

WORKSHOP MODUL NGAJI POSONAN 2023: ASWAJA DAN KETERASINGAN MANUSIA KONTEMPORER 

____________________

Sebagai sebuah manhaj, atau jalan hidup dalam beragama, ahlusunnah wal jama’ah atau aswaja/sunni menjadi tolok ukur keberpihakkan. Dalam konteks umat Islam di Indonesia, Nahdlatul Ulama sebagai sebuah organisasi, telah merentang sepanjang satu abad di dalam keberpihakkan penuh pada aswaja. Bahkan dalam konteks sejarah dan budaya, praktik dan paham Islam di Indonesia telah berabad-abad mensistesiskan ajaran Islam, termasuk aswaja, ke dalam konteks lokalitas tiap-tiap suku bangsa, dan merentang selama berabad-abad hingga menjadi embrio kelahiran NU. Aswaja dengan demikian mengusung warisan Rasulullah SAW, Khulafaurrasyidin dan para sahabat, tabi’in dan tabiut-tabi’in, hingga terus berestafet  merentang dari sejak era Asy’ariyyah-Maturidi, hingga di nusantara melaui para Wali, yang bersambung terus hingga para Kyai dan muasis NU.

Kini menyongsong abad kedua, NU menghadapi tantangan di dalam mengusung sekaligus mendialogkan aswaja ke dalam kehidupan kontemporer. Peralihan kekuasaan sejak dekolonisasi terhadap penjajahan Belanda, Revolusi Kemerdekaan (1945 -1949), Demokrasi Terpimpin, Prahara 1965-66, disusul kelahiran Orde Baru sampai Reformasi, hingga kini telah 25 tahun, Nahdlatul Ulama terbukti eksis bergumul mengiringi Indonesia, dalam fluktuasi sosial-budaya, ekonomi-politik hingga mengusung landasan kehidupan beragam, dalam tatanan negara-bangsa. Menjadi penting untuk mempertanyakan, bagaimanakah NU merancang sekaligus memijakkan diri di dalam peralihan trayektori kita di dalam era transisi digital yang ditopang oleh kewargaan netizen dan dunia metaverse ini?

Jika aswaja adalah keberpihakan yang menjadi katalisator segala lini kehodupan Nahdliyin demi keberlangsunga negara-bangsa Indonesia; maka rancangan dan strategi NU dalam mengkontekstualisasikan aswaja menjadi kemendesakkan dalam menjawab kebutuhan peradaban, yang bukan saja akibat revolusi internet dan digital, tetapi juga oleh revolusi kapitalisme (high capitalism, surveillance capitalism etc) yang diikuti krisis kemanusiaan, iklim maupun lingkungan. Antroposentrisme, dibantah melalui post/pasca-antroposen, atau membantah sudut pandang angkuh manusia. Hal ini diikuti post/pasca-humanisme, atau membantah ukuran kemanusiaan warisan modernisme, yang terbukti gagal, karena menghasilkan kapitalisme dan segala pengerukan serakah atas sumber daya alam hingga terasingnya nalar-nurani manusia, baik pada alam semesta, maupun sesama manusia di tengah bangunan mutakhir tradisi dan kebudayaan cyber/digital/virtual. Walakin baik post/pasca-antroposen maupun post/pasca-humanisme sendiri nyatanya tidak pernah benar-benar membebaskan diri dari keangkuhan sudut pandang manusia (materialisme). Peradaban Euro-Amerika dihadapkan pada kebingungan atas upaya “bunuh dirinya” sendiri.

Lantas, menimbang fenomena Indonesia hari ini, dan yang akan datang, Aswaja didesak menciptakan relevansi tata kemanusiaan, sehingga melahirkan subjek aswaja yang fleksibel mendialogkan secara kreatif terhadap gejala-gejala zaman ini. Bertolak dari kompleksitas dan kebutuhan tersebut, Pesantren Kaliopak sebagai pondok pesantren yang menfokuskan pada kegiatan amaliyah dan fikriyah kebudayaan, khususnya selaku G.E.L.A.S (Gallery, Education, Library, Archives, and, Social) sengaja mengundang para tamu undangan untuk turut serta dalam sarasehan:

 

Tema                          : ASWAJA DAN KETERASINGAN MANUSIA KONTEMPORER 

Tujuan                       :

  1. Membaca fenomena dan tren keberislaman dan keberagamaan masa kini.
  2. Mengartikulasikan lagi landasan-landasan pemikiran keaswajaan dalam konteks Indonesia.
  3. Meneroka jalan keluar bagi tantangan-tantangan yang dihadapi ummat dari sudut pandang aswaja.
  4. Melahirkan rumusan-rumusan praktis dan operasional yang bisa diturunkan ke dalam bentuk modul untuk Ngaji Posonan dan selanjutnya.

 

Tempat                       : Pondok Pesantren Kaliopak

                                      Klenggotan, Srimulyo, Piyungan,

              Bantul-D.I. Yogyakarta Indonesia.

Hari/Tanggal             : Jum’at, 17 Maret 2023

Waktu                         : 15:30 WIB - Selesai

Sholawat Kaliopak (lirik)

Sholawat Kaliopak (lirik)

لَااَلَهَ اِلَّا الله #  اَلْمَلِكُ الْحَقُّ الْمُبِيْن

مُحَمَّدٌ رَسُوْلُ الله # صَدِقُ الْوَعْدِالْاَمِن

Laa ilaaha illa Allah # al-malikul haqqul mubin
Muhammadur rosulullah # Shodiqul wa'dil amiin

Kaliopak banyune mili # Tekan kidul saka merapi
Tetirahe kanjeng Sunan Kali # Manunggaling kawula Gusti

Duh Gusti nyuwun ngapura # Dosa kula sing ora kira
Pangapura kang dadi tamba # Ati kula kang pada lara

(more…)

AKTIVITASNYA DUNIAWI, NILAINYA UKHRAWI

AKTIVITASNYA DUNIAWI, NILAINYA UKHRAWI

Orang arif-bijaksana pernah mengingatkan kepada kita bahwa kalau ingin mengenal seseorang maka jangan lihat dari pakaiannya saja, akan tetapi lihatlah akhlaknya. Hal ini sejalan dengan fenomena yang sering di sekitar kita, utamanya terkait amalan-amalan sehari-hari dan ibadah-ibadah di dalamnya. Biasanya orang yang melakukan sesuatu yang secara dzahir baik, maka ia akan dinilai sebagai pangkal dari pahala untuk bekal di akhirat nanti. Ambil contoh misalnya belajar atau thalabul ilmi. Begitupun sebaliknya, sesuatu yang tak nampak nyata manfaatnya, seringkali ia akan dinilai sebagai sesuatu yang mendatangkan dosa dan hukuman di akhirat kelak. Misalnhya video game online yang sering di mainkan oleh para remaja saat ini.

Kedua contoh di atas merupakan penilaian yang bersifat lahiriyah, kedua perbuatan tersebut nampak bagi orang lain dari luarnya (dhahir). Penilaian (judgement) sebatas lahiriyah seperti itu tidak dianjurkan, apalagi derajat pangkat kita yang sama-sama manusia. Sebab ada lapisan dalam (bathin) yang juga perlu diperhatikan. Pada contoh di atas, bisa saja seorang yang secara lahiriyah hanya bermain game online, namun dari segi batiniyah memiliki niat yang baik. Misalnya bermain game ia niatkan sebagai upaya agar tidak melakukan tindakan maksiat, seperti menonton blue film, menyebar hoax, caci maki dan lainnya yang jelas-jelas mendatangkan dosa. Begitupun sebaliknya, bisa saja ia yang terlihat rajin dalam belajar ternyata hanya untuk mendapat pujian dan untuk pamer (riya’).

Semua hal tersebut kembali kepada niat dalam masing-masing diri. Ia bersifat batiniyah, tidak terlihat sebab berada pada wilayah hati seseorang yang orang lain tidak bisa mengetahuinya. Ada sebuah hadis yang diriwayatkan dari Umar bin Khattab bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: 

…إِنَّمَا اْلأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى

“Sesungguhnya semua perbuatan tergantung pada niatnya, dan setiap orang mendapatkan (balasan) sesuai niatnya” (HR. Bukhari dan Muslim)

Dalam Kitab Risalatul Mustarsyidin karangan Abu al-Haris Al-Muhasibi dijelaskan bahwa banyak amalan yang bentuknya kegiatan duniawi bisa menjadi amal akhirat sebab niat yang baik. Begitupun sebaliknya, banyak amalan yang nampaknya bernilai ukhrowi  justru menjadi penghalang amal akhirat sebab niat yang buruk. Oleh karena itu seyogyanya kita memanfaatkan seluruh aktivitas yang kita lakukan sebagai ladang pahala atau bernilai amal akhirat. Hal ini sangat mudah sekali dilakukan, misalnya kita mulai dari yang paling sederhana seperti tersenyum kepada sesama, bekerja atau mencari nafkah untuk keluarga, sampai menolong satu sama lain yang tidak memandang latar belakangnya, hingga sebatas kegiatan ngopi atau duduk-duduk saja. Itu semua bisa bernilai ibadah apabila dibarengi dengan niat yang baik.

Apabila niat baik ini sudah bisa dicapai, maka hendaklah ia menggali lagi niat selanjutnya dan terus menggali sampai menjadi tumpukan kebaikan yang berlipat-lipat.

 

Misalnya, suatu ketika pergi ke majlis ta'lim dengan niatan untuk tholabul ilmi agar mendapatkan ilmu pengetahuan agama, nah setelah mendapatkan ilmu agama, saya niatkan lagi ilmu agama ini akan saya amalkan agar menjadi pribadi yang berbudi pekerti luhur, setelah menjadi seorang yang berbudi pekerti luhur kemudian saya niatkan lagi agar menjadi sosok yang baik dan bermanfaat bagi orang lain, kemudian niatkan lagi, niatkan lagi dan seterusnya sampai mencapai titik tertinggi dalam kebaikan yaitu derajat ma'rifat.

Jadi, pada level paling dalam, kita tidak tahu persis bobot dalam niat seseorang, entah ketika melakukan ritual keagamaan atau hal-hal yang bersipat keduniawian. Hanya Tuhan saja yang tahu. Oleh karena itu, tugas dari kita masing-masing adalah terus memperbaiki niat dalam melakukan berbagai aktivitas agar menjadi bekal amal akhirat.

Sumber gambar: unsplash.com
Editor: Bruno

Sholawat Kaliopak (lirik)

Sholawat Kaliopak (lirik)

لَااَلَهَ اِلَّا الله #  اَلْمَلِكُ الْحَقُّ الْمُبِيْن

مُحَمَّدٌ رَسُوْلُ الله # صَدِقُ الْوَعْدِالْاَمِن

Laa ilaaha illa Allah # al-malikul haqqul mubin
Muhammadur rosulullah # Shodiqul wa'dil amiin

Kaliopak banyune mili # Tekan kidul saka merapi Tetirahe kanjeng Sunan Kali # Manunggaling kawula Gusti Duh Gusti nyuwun ngapura # Dosa kula sing ora kira Pangapura kang dadi tamba # Ati kula kang pada lara (more…)

Nalar Kosmopolitan dan Identitas Kita di Era Ketidakpastian

Nalar Kosmopolitan dan Identitas Kita di Era Ketidakpastian

Jika renaisans membangunkan akal manusia barat, fakultas rasa menemukan tempat dalam diri manusia timur. Bila ditarik lebih jauh pada filsafat Islam abad pertengahan, dunia barat mewarisi penyelidikan rasional (burhani) Ibnu Rusyd, sedang dunia muslim di timur mewarisi ilmu irfani yang dibawa para sufi. Peradaban barat yang rasional melahirkan teori, sistem, dan kebudayaan khasnya, begitu pula di timur yang memanifestasikan unsur-unsur rasa pada kebudayaan dan peradabannya.  Rona tasawuf yang begitu tajam membuat Dr. Fahruddin Faiz menyebut ada distingsi yang kentara antara filsafat asia timur (China, Jepang & Korea) dengan filsafat Nusantara.
Bahwa di Nusantara hal-hal etik dan nilai kebijaksanaan tidak hanya berhenti pada kehidupan duniawi, namun berlaku pula konsekuensi dari apa yg tergelar di dunia kini terhadap kehidupan setelah mati (alamul akhirah/live afterlife). Nusantara, di sisi lain telah meramu kompendium pengetahuan sendiri menggunakan bahan baku dari berbagai peradaban. Mulai dari yang bernuansa agama seperti Hindu, Buddha, dan Islam sendiri, sampai peradaban modern dari barat yang mengantarkan kita pada 'wabah' disrupsi.
Perkembangan peradaban yang memungkinkan keterhubungan antar manusia dalam satu sisi menciptakan banyak kemudahan dan kemurahan, dengan berkembangnya teknologi komunikasi mutakhir, kita bisa berkomunikasi secara tatap muka dengan orang di seberang pulau sana, saya yang sedang duduk di desa kecil di timur Jogja dapat melihat situasi terkini yang terjadi di Palestina, Venezuela, atau Rumania di wilayah timur eropa. Perkembangan teknologi ini memangkas jarak dan biaya antar pribadi untuk saling terhubung satu sama lain. Tetapi perkembangan ini juga membawa disrupsi sebagaimana sedang kita rasakan hari-hari ini, di mana iming-iming keterhubungan antar manusia, masyarakat yang tanpa sekat (borderless), kebebasan menentukan pilihan membawa kemerdekaan palsu yang melenakan kesadaran kita. Hal ini menggiring kita tersesat pada krisis di berbagai sektor tak terkecuali identitas yang jika digambarkan ia bagai bogem mentah yang mendarat tepat di pipi saat kondisi kita sedang limbung. Identitas yang selama ini dirajut dengan sabar oleh para pendahulu kita terbelah tercabik-cabik kejamnya penjajahan dan kita yang lalai menjaganya.
Akan tetapi, keterhubungan ini justru mengalienasi pribadi pada keterasingan sehingga di dalam keterhubungan yang tanpa sekat ini pribadi menjadi rapuh dan sangat butuh akan sandaran. Kebutuhan ini semakin mendesak oleh air bah informasi yang tak jelas arah berangkat dan arah menujunya. Banjir informasi ini mengaburkan dan menghanyutkan banyak hal yang selama ini dianggap telah mapan (established) semisal kepakaran atau otoritas. 
Jika kita runut kebelakang, situasi ini adalah kelanjutan dari apa yang mula-mula disuarakan Michel Foucault pada dekade 60-an tentang matinya ilmu-ilmu. Kemudian  beberapa waktu lalu juga sempat ramai ontran-ontran post-truth akibat banjir informasi tersebut yang menyebabkan matinya kepakaran sebagaimana dibabarkan oleh Tom Nichols dalam bukunya "The Death of Expertise". Meskipun bagi sebagian kalangan yang menganut paham demokrasi radikal mengatakan bahwa kematian kepakaran adalah kemenangan demokrasi dengan kesetaraan sebagai wujudnya. Namun, terlepas dari semua itu kita perlu eling lan waspada dalam mengurai persoalan ini, supaya selaras dengan konteks kita sendiri dan tepat sasaran pada persoalan-persoalan yang memang nyata di hadapan kita.
Pada persoalan banjir informasi dan post-truth, seorang Slovenia bernama Slavoj Zizek menawarkan gagasan subjek radikal. Menurutnya kita sebagai subjek, harus radikal dalam makna dengan nalar kritis kita seharusnya sadar dan mampu bertahan dari banjir informasi yang menghanyutkan, sebab subjek sendirilah pertahanan terakhir di tengah derasnya banjir informasi dan kepakaran yang telah mati. Gagasan Zizek ini mengandaikan seolah-oleh dunia saat ini benar-benar telah dipenuhi tipu daya dan tak ada satupun yang benar-benar bisa dipercaya kecuali diri kita sendiri sebagai subjek yang radikal itu.
 
Padahal secara sosiologis nalar kritis tidak bisa sekonyong-konyong dimiliki dan bebas dari pengaruh sosiologis, seperti lingkungan, latar belakang pendidikan, sosial, dan tentu saja identitas. Nahasnya identitas kita tinggal perca, yang bila kita andaikan ia bagai kain batik yang tak jelas lagi motif dan wujudnya. Walau sekadar perca, tapi hanya itu yang kita punya untuk kembali menutupi kita dari ketelanjangan, jika mengamini kata James Baldwin bahwa identitas laksana selembar kain yang menutupi ketelanjangan diri, lalu pertanyaannya seberapa cocok dan menawan kain itu kita kenakan? Bukan seberapa lebar atau seberapa sempit ia.
Kondisi yang demikian sulit ini akan semakin kacau apabila kita masih saja memperdebatkan asal-muasal kain yang akan menutupi ketelanjangan kita. Bila kita andaikan bisa saja lengan kanan baju kita diambil dari peradaban Hindu dan Budha pada lengan kiri. Warna kerah yang mencolok itu kita ambil dari ilmu barat, begitu pula bagian yang menutupi dada berasal dari warisan Islam, dan seterusnya.
Bukan waktunya lagi menggali 'sumur asli' dan saling siku siapa yang berhak mengatakan 'saya asli Nusantara', dan memang itu bukan hal yang layak diperdebatkan. Kini saatnya menenun, merajut, dan menjahit kembali identitas kita sebagai manusia Nusantara dengan kesadaran kosmopolitan yang mampu mengais dan menangkis secara elegan, satu waktu kita perlu mengais budaya lain yang baik, pada saat yang sama juga harus mampu menangkis budaya yang negatif lagi destruktif. Inilah sikap dan sifat yang seharusnya kita punyai, apalagi pendahulu kita telah mencontohkannya dengan elok dalam adagium menakjubkan Arab Digarap, Jawa Digawa, Barat Diruwat.info #1 Atau kita renungkan bagaimana menakjubkannya titah Sunan Kalijaga di Serat Lokajaya, "Anglaras Ilining Banyu, Angeli Ora Keli" yang kira-kira maknanya "ikuti arus zaman, tapi jangan sampai hanyut terbawa arus" inilah gambaran betapa nalar dan sikap kosmopolitan telah jauh-jauh hari mengakar di tanah kita ini. Demikian seharusnya kegagapan dan carut marut dampak dari perkembangan teknologi tidak seharusnya menjadi suatu hal yang menyeramkan, jika daya adaptif dari karakter kosmopolitan masih menubuh dalam jiwa manusia Nusantara.
 
ilustrasi karya: Muhammad Iqbal "mstrmnd"info #2

Ngaji Posonan 2021 (ISLAM BERKEBUDAYAAN: Jalan Menemukan Diri Secara Kosmopolitan)

Ngaji Posonan 2021 (ISLAM BERKEBUDAYAAN: Jalan Menemukan Diri Secara Kosmopolitan)

Ramadhan segera tiba, dan kita masih dalam suasana pandemi Covid-19 yang selama satu tahun terakhir telah mengguncang struktur kebudayaan dunia. Tatanan masyarakat yang sebelumnya dipaksa berubah cepat oleh arus budaya modern dengan hentakan teknologi informasinya menciptakan disrupsi di setiap sendi kehidupan, tiba-tiba terhenti kolaps sedemikian rupa. Sehingga patut kita pertanyakan, apakah pengetahuan, sikap dan cara hidup kita selama ini akan mengantarkan kita kepada tujuan hidup kemanusiaan kita yang sejati?. Pada moment yang demikian, agama yang sebenarnya memuat nilai dan energy untuk ikut serta mengurai segala persoalan dunia juga ikut tertatih-tatih mengikuti dinamika zaman yang melaju kencang ini.  Agama saat ini seakan terpisah dengan elan-vital kehidupan dan kebudayaan manusia. Sehingga  yang muncul adalah formalisme beragama yang mengarah kepada kesalehan personal, namun luput menjadi kesalehan social untuk mewarni tumbuh kembangnya kebudayaan. Belum lagi terbelahnya pandangan dunia masyarakat yang kalau kita runut bermula sejak masa kolonial. Antara pandangan masyarakat yang berinduk kepada nilai-nilai tradisi, yakni masyarakat local yang menyebar disetiap jengkal pulau Indonesia, dengan pandangan dunia baru yang disodorkan belakangan di pusat-pusat produksi pengetahuan formal. Keduanya saling mengintrupsi, terpisah, bahkan saling bertolak belakang. Sehingga yang muncul adalah krisis identitas, jati diri dan kemanusiaan. Karena semakin tinggi jenjang pendidikan seseorang, bukan semakin ia dekat dan tahu masyarakat budaya yang telah membentuknya, justru semakin terpisah dan asing. Sehingga ketika kita mau jujur, segala bentuk dan ukuran kemajuaan bangsa kita saat ini, tidak berbanding lurus dengan kedewasaan mental, kedaulatan diri, dan luhurnya budaya bangsa yang telah menyatakan kemerdekaanya sejak 76 tahun yang lalu ini. Kita sebagai bangsa masih menjadi pengimpor utama pengetahuan, konsumen produk-produk dan penonton atas menjamurnya kebudayaan luar. Pada tahap inilah kita bisa merasakan budaya kita semakin dekaden dan kehilangan arah tujuan. Sikap kreatif dan kosmopolitan yang menjadi corak utama kebudayaan bangsa kita selama ratusan tahun telah terbentuk dan manifest menjadi tradisi, adat dan ekspresi kesenian terasa kehilangan rumus perkembangan dan perubahannya. Ia ada namun tak lagi berdenyut sebagai sumber nilai dan pandangan dunia masyarakat yang konon telah melahirkannya. Mungkin situasi tersebut yang diingatkan dalam sebuah tulisan “Inikah Akhir Zaman Budaya Kita?”sebagaimana termuat dalam bukunya “Islam Berkebudayaan”. Dengan terus membiarkannya hidup, namun tak lagi kita perhatikan. Terus apa yang bisa kita lakukan?. Refleksi tulisan di atas tentunya bukan bermaksud untuk membuat panic apalagi putus asa atas apa yang telah terjadi. Namun marilah kita jadikan uraian dia atas sebagai cermin untuk memantulkan cahaya baik untuk diri kita sendiri, untuk senantiasa belajar dan berbenah diri. Dan pada moment Ngaji Posonan tahun ini, sebagai hari-hari baik dan suci,gelisah kebudayaan tersebut coba kita tengok dan uraikan pelan-pelan dalam satu nafas tema “ Islam Berkebudayaan, Jalan Menemukan Diri Secara Kosmopolitan”  dengan format acara ngaji, kajian dan belajar bersama. Ngaji posonan merupakan agenda tahunan yang diadakan Pesantren Budaya Kaliopak selama bulan Romadhan dan tahun ini sudah berjalan yang ke-3. Usaha mengisi bulan suci dengan agenda-agenda produktif dan kreatif. Seperti kajian, belajar bersama dan mujahaddah, yang semuanya berorientasi kepada karya yang bisa dihasilkan selama proses Ngaji Posonan berlangsung. Untuk kebutuhan tersebut, maka diharapkan semua yang terlibat bisa secara intens mengikuti rangkaian ngaji yang berlangsung selama 17 hari. Dengan tema besar “Islam Berkebudayaan Menemukan Diri Secara Kosmopolitan”, Ngaji Posonon 2021 diharapkan mampu menyodorkan aternatif jalan untuk menemukan diri sendiri, dalam laku kosmopolit di era yang serba sulit saat ini. Tema-tema yang disusun merupakan rangkaiaan isu yang diharapkan mampu menjadi satu pengetahuan utuh yang berakar kedalam jantung kebudayaan kita sendiri, sekaligus mampu menjulang tinggi namun tak mudah koyak diterpa angin perubahan. Dari hal tersebut Ngaji Posonan tahun ini mengusung tema ISLAM BERKEBUDAYAAN: MENEMUKAN DIRI SECARA KOSMOPOLITAN Yang akan di adakan pada Waktu & Tempat  : 16 April – 2 Mei 2021 di Pondok Kaliopak, jln Wonosari Km.11, Klenggotan, Srimulya, Piyungan, Bantul. Untuk mengikuti progam ini sendiri ada beberapa persyaratan yang harus di penuhi diantaranya sebagai berikut;

  • Bersedia mengikuti seluruh jalannya proses Ngaji Posonan selama 17 hari.
  • Bersedia membayar uang pendaftaran sebesar Rp. 350.000 dengan fasilitas:
    • Makan 2 kali Buka dan sahur
    • VCD Film Mahrajan Wali-Wali Jawa
    • Free Wifi dan asrama santri
    • E-Sertifikat
  • Menulis motivasi letter, seartsy dan seedgy apa hya livehackmu di Jogja
  • Mematuhi prokes COVID-19
  • Mengisi formulir di Linkly/ngajiposonan2021
Sementara untuk Kajianya kami sudah menyiapkan beberapa materi pada acara Ngaji Posonan tahun ini
  • Islam Berkebudayaan Sebagai Jalan Menemukan Diri
  • Sejarah Masuknya Islam di Nusantara: Teori Arab, India dan Cina (review buku “Cheng Ho” karya Tan Ta Sen)
  • Dinamika Pribumi Islam
  • Filsafat Islam Nusantara
  • Matinya Subjek dalam Modernitas
  • Struktur Kesadaran Manusia dalam Tafsir Ayat Cahaya (Ibn Sina, Al-Ghazali dan Ibn Arabi)
  • Novel “Hayy bin Yaqdzan” dan Hidupnya Subyek
  • Serat Brandal Lokajaya dan Suluk Linglung
  • Perjumpaan Islam Nusantara dan Budaya Cina
  • Pengalaman Islam Nusantara di Mata Barat
  • Komunitas Arab di Nusantara
  • Nalar Agama, Budaya dan Sains
Dimana tema diatas akan dibawakan oleh pemateri pilihan yang sudah kami pilih yaitu;
  • Kiai M. Jadul Maula
  •  Irfan Afifi
  • Nur Kholiq Ridwan
  • Inyak Ridwan Muzir
  • Muhamad Yasir Arafat
  • Argawi Kandito
  • Labibah Zain
  • Aftonul Afif
  • Holland Tylor
  • Kiai Nasirun
  • Madha Soentoro
  • Muhyiddin basroni
         

Kesurupan: Benarkah Kemasukan Jin?

Judul: Kesurupan: Benarkah Kemasukan Jin? Saya terperangah membaca ulasan menarik tentang kesurupan. Buku itu disusun oleh Lajnah Pentasih Al-Qur'an, Badan Litbang dan Penelitian Agama RI, dan LIPI berjudul Fenomena Kejiwaan Manusia: dalam Perspektif Al-Qur'an dan Sains. Tepatnya di bab paling akhir ulasan seputar kesurupan itu disematkan. Saya kaget ketika ternyata kesurupan jika dipandang dari perspektif berbeda bisa berbeda maknanya. Selama ini kita menganggap bahwa kesurupan dipicu karena ada mahluk astral masuk ke dalam tubuh manusia. Ternyata, pandangan itu sangat berbeda dengan ilmu kedokteran. Saya sih bukan mengagungkan ilmu kedokteran, dan kemudian merendahkan yang lain, tetapi setidaknya, ilmu itu bisa membantu menjelaskan fenomena kesurupan lebih baru. Kesurupan itu, yang dimaksud oleh ilmu kedokteran, dikategorikan sebagai kajian dari ilmu psikologi. Tentu saja, orang yang kesurupan memang punya gejala psikologis ekstrem dibanding biasanya. Kalau dalam buku Fenomena Kejiwaan Manusia: dalam Perspektif Al-Qur'an dan Sains, kesurupan dikategorikan dalam penyakit delusi. Delusi sendiri berarti ekspresi kepercayaan yang bersifat ilusi yang dimunculkan dalam tingkah kehidupan nyata. Perkataan dan ekspresi kelihatan sangat nyata, sehingga banyak orang percaya pada apa yang diucapkan oleh penderita. (hal. 149) Jadi, intinya kesurupan itu terjadi karena ketidakberesan saraf otak manusia. Bukan karena roh jahat atau mahluk astral yang masuk ke dalam tubuh manusia. Itulah sebentuk pandangan menurut perkembangan ilmu terbaru. Bahkan, secara tegas, dalam buku itu dijelaskan bahwa kesurupan ada banyak macamnya. Misalnya kesurupan yang disengaja seperti upacara adat, Kuda Lumpingan (kayaknya ada loh atraksi kesurupannya) serta yang lainnya. Kalau untuk model ini, kesurupan biasanya difungsikan sebagai tontonan (baca: hiburan). Selain itu, ada juga kesurupan yang sifatnya menular seperti kesurupan massal di sebuah sekolah. Jadi, kesurupan bisa menular loh. Kaya virus Corona saja, deh. Aneh bukan? Kenapa bisa menular? Itu terjadi karena tekanan. Seorang yang kesurupan memang secara fisik dan mental diasosiasikan lemah secara fisik dan mental. Mereka menderita kelelahan karena merasa tertekan. Misalnya karena tugas dari sekolah. Kalau mahasiswa mungkin tugas dari Kampus. Apalagi musim Corona seperti ini. Kata mereka sih tugasnya makin numpuk. Saya berharap semoga mereka tak merasakan kesurupan massal. Hehehe Selanjutnya, kesurupan dengan konsep seperti yang biasa kenal (baca: kemasukan roh) sebenarnya adalah pandangan budaya. Jadi, dalam kebudayaan ada kepercayaan yang berpengaruh sekali pada psikologi. Ingat ya, kesurupan seperti yang biasa kita kenali itu sebenarnya (baca: makna) dipengaruhi oleh struktur di luar dirinya, yaitu budaya. Kita tahu, kalau di Indonesia sendiri, sangat kental sekali kepercayaan pada mitos. Dalam pandangan naturalis, secara sederhana, mitos yang ada dalam budaya sebenarnya merupakan ekspresi religiusitas. Artinya, mitos yang mempengaruhi pembentukan makna atas fenomena kesurupan itu termasuk religiusitas, bahkan mungkin dalam taraf yang tinggi. Kita tahu, dalam ekspresi agama terdahulu (baca: budaya) orang bisa menempatkan satu kepercayaan atas roh. Kadang, juga, menempatkan kepercayaan kekuatan supranatural pada benda-benda. Pernak-pernik budaya agama itu lah yang semakin memperkuat keyakinan kalau kesurupan disebabkan roh yang masuk ke tubuh manusia. Konsep ini mengakar sangat kuat dari satu generasi ke dalam generasi. Islam sendiri, sebagai agama yang baru (baca: Islam dalam arti pengikut nabi Muhammad) juga mengakui eksistensi kesurupan, khususnya dengan makna yang diproduksi dari budaya masa lalu. Makannya, Islam tidak secara gamblang menyebutkan (baca: mendefinisikan) kesurupan. Islam hanya merevolusi tata cara penyembuhan atas kesurupan. Setidaknya itu yang ditulis dalam buku karya dua lembaga ini. Islam menganjurkan doa penyembuhan kerasukan dengan ayat di dalam Al-Qur'an. Sebenarnya ayat ini juga sangat umum digunakan untuk penyembuhan (baca: penyakit) lainnya. Seperti misalnya, al-Fatihah, al-Fussilat, Al-Baqarah, dan berbagai ayat lainnya. Nah, dalam konteks modern, yang sudah ada ilmu kedokteran (baca: psikologi) memberikan tanggapan yang lain soal kesurupan itu. Penjelasannya ada di paragraf awal. Setidaknya, perspektif baru itu makin memperjelas bahwa fenomena kesurupan memang lazim bagi manusia. Saya tidak tahu persis apakah kesurupan merupakan satu hal yang luar biasa atau tidak. Yang jelas, menurut beberapa orientalis, nabi Muhammad kala mendapatkan wahyu juga dianggap dalam keadaan kesurupan. Mungkin lebih tepatnya disebut sebagai gejala epilepsi atau ayan. (baca lebih lanjut pada hal. 149) Itu sih pandangan orang barat yang kritis. Kadang barat (baca: orientalis) sangat tajam ketika mengulik dimensi 'kenabian' seperti itu. Tetapi meninggalkan pandangan itu, yang jelas, kesurupan, sebenarnya bukan hal yang perlu dicela. Kalau nabi saja epilepsi (ayan) tidak dicela, bahkan dimuliakan, kenapa kalau jatuhnya pada orang lain, harus dicela. Terus disingkirkan dari pergaulan. Bukankah justru menambah keruwetan?

Chat Tono dan Tini tentang Guna Sastra

[13/5 14.09] Tini: Ton, apa guna sastra di tengah pandemi Corona? Begitulah. Tono merasa beku mendadak ketika membaca chat Tini yang masuk ke gawainya pada pertengahan bulan Mei, di satu siang yang tidak begitu berangin tapi mendung pekat tersebut. Itu bukan kali pertama Tono dihampiri pertanyaan semacamnya. Tono sudah sering kuyup dihujani pertanyaan yang serupa sejak ia masuk ke Jurusan Sastra Indonesia—baik oleh teman-teman atau dirinya sendiri.Walakin, meski pertanyaan itu lebih tua dan antik dibanding Monumen Kapal Selam di Surabaya, Tono tetap menggigil tiap kali harus menghadapi pertanyaan yang serupa. Sebab, jika Tono tidak salah merunut, pertanyaan itu sudah mengemuka sebelum kapal selam yang berakhir tragis sebagai museum itu dibuat di Rusia tahun 1952, ketika Sutan Takdir Alisyahbana, Sanusi dan Armijn Pane, dan yang lainnya saling silang pendapat pada tahun 30-an, yang kemudian dikumpulkan oleh Achdiat K. Mihardja dan terbit jadi buku berjudul Polemik Kebudayaan.   [13/5 14.10] Tono: Wah, nggak ngerti aku, Tin. Tanya Mbah Gugel ajalah. Demikianlah. Tono menulis itu di papan ketik gawainya. Dan memang itulah yang sebenarnya ada dalam pikiran Tono: belum ada jawaban final. Pernah memang, suatu pagi, ketika menonton SpongeBob memasak Crabby Patty di televisi, Tono berpikiran bahwa ia akan menyerah saja pada pendapat Horatius dalam Ars Poetica untuk menjawab pertanyaan tentang apa guna sastra, dulce et utile. Tapi, tepat saat Krabby Patty SpongeBob siap diantarkan Squidward kepada para pelanggan, Tono terhenyak begitu menyadari bahwa pendapat Horatius itu sendiri juga menyinggung tentang guna—dulce et utile: menghibur dan berguna! Akan terasa aneh, pikir Tono, jika menggunakan pendapat Horatius itu sebagai jawaban dari pertanyaan tentang guna sastra. Sebab, pikir Tono lagi, hasilnya bisa jadi malah berupa jawaban yang melahirkan pertanyaan yang sama, pertanyaan tak berujung.   [13/5 14.10] Tini: Loh, gimana kamu tuh? Kuliah sastra, masa nggak tau Seperti itulah. Tono selalu dicemooh tiap kali ditanya tentang guna sastra. Seharusnya, Tono terus bersikap abai dan merasa cukup dengan ketidaktahuannya itu. Tapi tidak pernah berhasil. Tono selalu gagal untuk tidak menimbang-nimbang guna sastra tiap kali dirinya dihina-hina. Namun, selain ingin tidak diremehkan, lebih dari segalanya, Tono sendiri pun ingin tahu apa sebenarnya guna sastra. Tono lalu mencoba mengingat-ingat kembali keterangan-keterangan yang barangkali bisa membantunya merumuskan jawaban. Pikiran Tono pun bekerja keras memilah ingatan-ingatan satu dengan yang lainnya. Setelah pikiran Tono menjelma tangan simbok-simbok ketika memisahkan beras dan kotoran dengan tampah, Tono teringat pada keterangan Felipe Restrepo Pombo dalam tulisannya di BBC News Indonesia, 03 Juli 2018. Dalam tulisannya yang mengulas Seratus Tahun Kesunyian tersebut, Felipe menyebut masterpiece Garcia Marquez itu sebagai kisah penuh alegori yang kuat tentang identitas Amerika Latin. Ceritanya yang berjangka waktu satu abad, mengambil berbagai referensi sejarah mengenai Amerika Latin, dan mengolahnya kembali dalam bentuk satu cerita ajaib itu telah menjadikan novel ini sebagai penafsir ulang atas identitas bangsa di negara-negara yang secara umum berbahasa Spanyol dan Portugis itu. Tono menimbang-nimbang komentar Felipe atas novel Garcia Marquez tersebut, yakni sebagai penafsir ulang identitas suatu bangsa—yang mungkin mirip dengan Pramoedya Ananta Toer dalam beberapa novelnya—sebagai satu landasan untuk membangun jawaban atas pertanyaan tentang apa guna sastra, yang denting dentangnya terus menggaung itu, seandainya ia tidak teringat keterangan A.S. Laksana yang tidak kalah menggoda. Dalam “Jadi, Apa Karakter Itu?”, Mas Sulak mengatakan, “… Melalui fiksi, pembaca bisa menyelami emosi dan detail psikologis orang-orang dalam berbagai situasi. Mereka menjadi tahu seperti apa yang dirasakan oleh seseorang yang mengetahui bahwa pamannya membunuh ayahnya kemudian menikahi ibunya (Hamlet) … atau segundah apa seseorang ketika merenungi bahwa orang-orang yang akan ia perangi adalah saudara-saudaranya sendiri dan guru yang ia hormati dan kakek yang ia cintai (Arjuna menjelang Bharatayudha). Klop. Pendapat Mas Sulak itu sangat mewakili apa yang mendekam dalam pikiran Tono yang sesemrawut rambutnya sendiri saat belum mandi keramas tujuh hari. Tono bahkan memiliki pengalaman pribadi yang sangat pas dengan keterangan di atas, yang didapatkannya ketika membaca The White Nights, yang intinya kira-kira begini: Di suatu Minggu yang hanya mirip pengulangan dari Minggu-Minggu sebelumnya, Tono membaca cerpen-panjang Dostoevsky itu, dan merasa bahwa kebahagiaan tak terbahasakan yang dirasakannya ketika pertama kali bertemu Tini, dengan sejelas matahari di puncak kemarau, digambarkan Dostoevsky melalui tokoh-tokoh di dalamnya. Bedanya, sekaligus untungnya, Tono menjadi pacarnya Tini, tidak seperti lelaki penyendiri kesepian yang sekaligus merupakan narator dalam cerpen-panjang itu, yang dengan mata kepala sendiri melihat Nastenka terkasih meninggalkannya dan jatuh dalam pelukan lelaki lain.   [13/5 14.17] Tono: Mungkin, sastra bisa bantu memahami pengalaman dalam hidup, Tin. Tepat. Tono sudah menuliskan kalimat itu di papan ketik gawainya karena merasa pendapat Mas Sulak itu cukup bisa ia jadikan satu opsi jawaban atas pertanyaan Tini tentang guna sastra. Tono berpikir demikian karena sangat sepakat dengan keterangan Mas Sulak dalam esai pendeknya tersebut: bahwa sastra bisa membantu memahami, minimal memberi gambaran tentang, pengalaman-pengalaman dalam hidup yang mungkin tak akan pernah, dan sedikit pun tak ingin, kita alami dalam kehidupan kita—yang tidak sesederhana kenapa hasil dari 2+2 sama dengan 2x2 sedangkan 3+3 lebih kecil dibanding 3x3—ini. Dengan membaca Rara Mendut: Sebuah Trilogi, misalnya, kita bisa merenungi bagaimana cinta dapat membuat Prana Citra dan Rara Mendut jadi sebegitu tawakal menghadapi kematian di ujung keris Tumenggung Wiraguna. Menamatkan Cinta Tak Ada Mati, kita dapat membayangkan seneraka apa hidup lelaki yang menunggu setengah abad demi cinta perempuan yang dikasihinya—yang ternyata tetap gagal didapatkan! Sehingga, barangkali, singkatnya, persis seperti yang dilakukan Lord Didi Kempot lewat lagu-lagunya, sastra bisa membuat kita patah hati tanpa harus jatuh cinta. Tono sudah menuliskan kalimat itu di papan ketik gawainya dan yakin akan mengirimkannya pada Tini. Tono sudah menuliskan kalimat itu di papan ketik gawainya dan semakin yakin akan mengirimkannya pada Tini ketika ingat tulisan dosennya yang sedang kuliah S3 di Hamburg, Jerman, yang tayang di m.detik.com tertanggal 20 April 2020, “Pandemi, Angsa Hitam, dan Imajinasi”, yang bagian akhirnya berbunyi begini: “… Fiksi memiliki kekuatan yang besar karena mampu menciptakan ruang yang tak terbatas untuk mengeksplorasi berbagai kemungkinan itu. Selanjutnya, fiksi akan meningkatkan kewaspadaan dan kesadaran reflektis sehingga jika kemudian kita mendapati situasi serupa seperti pandemi Corona saat ini, kita lebih siap secara mental karena telah menyimpan berbagai alternatif bahkan simulasi dalam gudang pengalaman untuk menghadapinya.” Dalam pikiran Tono, keterangan dosen kesayangannya itu, jika digabungkan dengan pendapat Mas Sulak, cukup bisa menjawab pertanyaan Tini. Bahwasanya, sastra (a) bisa memberi kita gambaran tentang pengalaman yang belum atau kita alami, sehingga (b) kita menjadi terbantu ketika tiba-tiba saja terlempar ke dalam keadaan yang sama sekali tidak kita duga. Hal itu, batin Tono, tepat seperti dijelsakan dosen kesayangannya di bagian awal esainya, akan terlihat jika membaca Sampar. Dalam novel Albert Camus yang pertama kali terbit di Prancis tahun 1947 itu, kita akan disuguhi cerita tentang keadaan di kota Oran, Aljazair, ketika suatu hari tiba-tiba banyak tikus yang muncul dan mati. Kejadian itu tentu menyulut kecemasan dan pemerintah memutar otak untuk mengambil tindakan: membakari bangkai tikus. Ketika kepanikan kian meluas, pemerintah mengambil langkah cepat-cepat dengan melakukan sanitasi dan karantina terhadap kota. Di tengah kemencekaman itu, digambarkan pada kita bagaimana para warga kota merespon keadaan. Dokter Rieux, yang meyakini kematian-kematian itu berasal dari penyakit pes, meminta banyak pihak untuk segera menanggapinya. Dokter dan ilmuwan bekerja keras mencari solusi. Beberapa orang memilih nekat menerabas aturan karantina untuk bisa berkumpul dengan keluarga apa pun kondisinya. Para pemuka agama kian tekun dan khusyuk berdoa. Sedangkan beberapa lainnya justru memanfaatkan situasi demi keuntungan bagi diri mereka sendiri. Tono tersenyum sendirian memikirkan bahwa ia telah merasa punya jawaban untuk pertanyaan Tini tentang guna sastra: memberi gambaran pengalaman yang belum pernah dialami yang bisa menjadi bahan persiapan jika tiba-tiba terlempar ke dalam situasi yang serupa dengannya. Dilihat dari apa yang bisa didapat dengan membaca Sampar karya Albert Camus tersebut, Tono berpikir bahwa memang demikianlah adanya. Tono kembali tersenyum dan jempolnya telah separuh perjalanan menekan tombol kirim. Tak lama lagi, batin Tono, jawabannya itu akan masuk di gawai Tini. Tini akan senang membacanya, dan ia akan senang karena bisa menyenangkan Tini. Tapi itu tidak terjadi. Tono menghapus pesan yang baru saja akan dikirimkannya. Ibu jari Tono kalah cepat dari pesan Tini yang datang mengombak.   [13/5 14.25] Tini: Ton, Google nyebelin. Aku kayak cuman dimain-mainin aja. Masa buka situs-situs jawabannya itu-itu mulu. Sebagai hiburan yang mendidiklah, kenikmatan dan kehikmahanlah, punya fungsi etis, didaktis, reflektif, rekreatif, kayak makul Pengantar Ilmu Sastra aja. Gaada yang jelas. Bikin bosen. Tapi Google mendinganlah, daripada kamu dari tadi gamau jawab. Dasar. Ton. Ton. Tonnnooooooooo… @#$%^&**&^%^&*(*&^%$#@!??!!!   [13/5 14.25] Tono: (…) Benar. Tono menghapus kembali pesan yang tadi sudah hampir dikirimkannya pada Tini, menjadi ragu, dan menimbang-nimbang kembali apa guna sastra di tengah pandemi Corona. Tono tidak jadi yakin lagi bahwa sastra bisa memberi gambaran pengalaman pada pembaca. Quote George R.R. Martin, penulis novel dan skenario A Game of Thrones—“Seorang pembaca memiliki seribu kehidupan sebelum ia mati; orang yang tidak pernah membaca hanya memiliki satu kehidupan.”—tidak menolongnya dari keraguan dan kebingungannya sendiri. Tono menghela napas. Pukulan-pukulan yang dirasakan dalam kepalanya membuat kebingungannya kian berat. Tono pun menutup mata, dan pada saat membukanya teringat statemen Martin Suryajaya di kanal YouTube-nya, yang membuat Tono berpikiran bahwa pertanyaan tentang guna sastra itu tidak perlu terlalu dirisaukan. Sebab, barangkali, sebagaimana dalam filsafat, seseorang yang terlalu mencari guna sastra hampir dapat dipastikan akan berhenti di tengah jalan. Tono hampir memutuskan untuk tidak membalas chat Tini itu dan ingin melanjutkan tidurnya saja sampai nanti waktu buka puasa tiba. Tono benar-benar sudah menarik selimutnya kembali dan akan memejamkan mata seandainya pesan Tini tidak kembali membombardirnya. Barangkali pesan Tini yang bertubi-tubi itu tidak akan jadi masalah jika Tono mengabaikannya. Tapi Tono justru membuka dan membacanya.   [13/5 14.26] Tini: Toooooonnn!!!!! Toooooooonnnn…… tonoooooooooo!!!! Ya. Chat Tini yang bertubi-tubi itu membikin Tono semakin kebingungan lagi. Namun, di ujung kebingungannya itu, tanpa dinyananya, Tono justru menemukan kalimat yang tepat untuk menjawab pertanyaan dari chat Tini. Tono pun segera menulis di papan ketik gawai dan mengirimkannya pada Tini. [13/5 14.426] Tono: Tin, apa guna sastra di tengah pandemi Corona? Mlangi, 14 Mei 2020

Qurotul Ain (Syeh Yusuf al-Makassari) 5 – Kiai Jadul Maula

Qurotul Ain (Syeh Yusuf al-Makassari) 5 – Kiai Jadul Maula

https://www.youtube.com/watch?v=91U3hmTpePQ
https://www.youtube.com/watch?v=hR6upqCwFi0