WORKSHOP MODUL NGAJI POSONAN 2023: ASWAJA DAN KETERASINGAN MANUSIA KONTEMPORER
____________________
Sebagai sebuah manhaj, atau jalan hidup dalam beragama, ahlusunnah wal jama’ah atau aswaja/sunni menjadi tolok ukur keberpihakkan. Dalam konteks umat Islam di Indonesia, Nahdlatul Ulama sebagai sebuah organisasi, telah merentang sepanjang satu abad di dalam keberpihakkan penuh pada aswaja. Bahkan dalam konteks sejarah dan budaya, praktik dan paham Islam di Indonesia telah berabad-abad mensistesiskan ajaran Islam, termasuk aswaja, ke dalam konteks lokalitas tiap-tiap suku bangsa, dan merentang selama berabad-abad hingga menjadi embrio kelahiran NU. Aswaja dengan demikian mengusung warisan Rasulullah SAW, Khulafaurrasyidin dan para sahabat, tabi’in dan tabiut-tabi’in, hingga terus berestafet merentang dari sejak era Asy’ariyyah-Maturidi, hingga di nusantara melaui para Wali, yang bersambung terus hingga para Kyai dan muasis NU.
Kini menyongsong abad kedua, NU menghadapi tantangan di dalam mengusung sekaligus mendialogkan aswaja ke dalam kehidupan kontemporer. Peralihan kekuasaan sejak dekolonisasi terhadap penjajahan Belanda, Revolusi Kemerdekaan (1945 -1949), Demokrasi Terpimpin, Prahara 1965-66, disusul kelahiran Orde Baru sampai Reformasi, hingga kini telah 25 tahun, Nahdlatul Ulama terbukti eksis bergumul mengiringi Indonesia, dalam fluktuasi sosial-budaya, ekonomi-politik hingga mengusung landasan kehidupan beragam, dalam tatanan negara-bangsa. Menjadi penting untuk mempertanyakan, bagaimanakah NU merancang sekaligus memijakkan diri di dalam peralihan trayektori kita di dalam era transisi digital yang ditopang oleh kewargaan netizen dan dunia metaverse ini?
Jika aswaja adalah keberpihakan yang menjadi katalisator segala lini kehodupan Nahdliyin demi keberlangsunga negara-bangsa Indonesia; maka rancangan dan strategi NU dalam mengkontekstualisasikan aswaja menjadi kemendesakkan dalam menjawab kebutuhan peradaban, yang bukan saja akibat revolusi internet dan digital, tetapi juga oleh revolusi kapitalisme (high capitalism, surveillance capitalism etc) yang diikuti krisis kemanusiaan, iklim maupun lingkungan. Antroposentrisme, dibantah melalui post/pasca-antroposen, atau membantah sudut pandang angkuh manusia. Hal ini diikuti post/pasca-humanisme, atau membantah ukuran kemanusiaan warisan modernisme, yang terbukti gagal, karena menghasilkan kapitalisme dan segala pengerukan serakah atas sumber daya alam hingga terasingnya nalar-nurani manusia, baik pada alam semesta, maupun sesama manusia di tengah bangunan mutakhir tradisi dan kebudayaan cyber/digital/virtual. Walakin baik post/pasca-antroposen maupun post/pasca-humanisme sendiri nyatanya tidak pernah benar-benar membebaskan diri dari keangkuhan sudut pandang manusia (materialisme). Peradaban Euro-Amerika dihadapkan pada kebingungan atas upaya “bunuh dirinya” sendiri.
Lantas, menimbang fenomena Indonesia hari ini, dan yang akan datang, Aswaja didesak menciptakan relevansi tata kemanusiaan, sehingga melahirkan subjek aswaja yang fleksibel mendialogkan secara kreatif terhadap gejala-gejala zaman ini. Bertolak dari kompleksitas dan kebutuhan tersebut, Pesantren Kaliopak sebagai pondok pesantren yang menfokuskan pada kegiatan amaliyah dan fikriyah kebudayaan, khususnya selaku G.E.L.A.S (Gallery, Education, Library, Archives, and, Social) sengaja mengundang para tamu undangan untuk turut serta dalam sarasehan:
Tema : ASWAJA DAN KETERASINGAN MANUSIA KONTEMPORER
Tujuan :
Tempat : Pondok Pesantren Kaliopak
Klenggotan, Srimulyo, Piyungan,
Bantul-D.I. Yogyakarta Indonesia.
Hari/Tanggal : Jum’at, 17 Maret 2023
Waktu : 15:30 WIB - Selesai
Bahwa di Nusantara hal-hal etik dan nilai kebijaksanaan tidak hanya berhenti pada kehidupan duniawi, namun berlaku pula konsekuensi dari apa yg tergelar di dunia kini terhadap kehidupan setelah mati (alamul akhirah/live afterlife). Nusantara, di sisi lain telah meramu kompendium pengetahuan sendiri menggunakan bahan baku dari berbagai peradaban. Mulai dari yang bernuansa agama seperti Hindu, Buddha, dan Islam sendiri, sampai peradaban modern dari barat yang mengantarkan kita pada 'wabah' disrupsi.
Akan tetapi, keterhubungan ini justru mengalienasi pribadi pada keterasingan sehingga di dalam keterhubungan yang tanpa sekat ini pribadi menjadi rapuh dan sangat butuh akan sandaran. Kebutuhan ini semakin mendesak oleh air bah informasi yang tak jelas arah berangkat dan arah menujunya. Banjir informasi ini mengaburkan dan menghanyutkan banyak hal yang selama ini dianggap telah mapan (established) semisal kepakaran atau otoritas.
Kondisi yang demikian sulit ini akan semakin kacau apabila kita masih saja memperdebatkan asal-muasal kain yang akan menutupi ketelanjangan kita. Bila kita andaikan bisa saja lengan kanan baju kita diambil dari peradaban Hindu dan Budha pada lengan kiri. Warna kerah yang mencolok itu kita ambil dari ilmu barat, begitu pula bagian yang menutupi dada berasal dari warisan Islam, dan seterusnya.
Ramadhan segera tiba, dan kita masih dalam suasana pandemi Covid-19 yang selama satu tahun terakhir telah mengguncang struktur kebudayaan dunia. Tatanan masyarakat yang sebelumnya dipaksa berubah cepat oleh arus budaya modern dengan hentakan teknologi informasinya menciptakan disrupsi di setiap sendi kehidupan, tiba-tiba terhenti kolaps sedemikian rupa. Sehingga patut kita pertanyakan, apakah pengetahuan, sikap dan cara hidup kita selama ini akan mengantarkan kita kepada tujuan hidup kemanusiaan kita yang sejati?. Pada moment yang demikian, agama yang sebenarnya memuat nilai dan energy untuk ikut serta mengurai segala persoalan dunia juga ikut tertatih-tatih mengikuti dinamika zaman yang melaju kencang ini. Agama saat ini seakan terpisah dengan elan-vital kehidupan dan kebudayaan manusia. Sehingga yang muncul adalah formalisme beragama yang mengarah kepada kesalehan personal, namun luput menjadi kesalehan social untuk mewarni tumbuh kembangnya kebudayaan. Belum lagi terbelahnya pandangan dunia masyarakat yang kalau kita runut bermula sejak masa kolonial. Antara pandangan masyarakat yang berinduk kepada nilai-nilai tradisi, yakni masyarakat local yang menyebar disetiap jengkal pulau Indonesia, dengan pandangan dunia baru yang disodorkan belakangan di pusat-pusat produksi pengetahuan formal. Keduanya saling mengintrupsi, terpisah, bahkan saling bertolak belakang. Sehingga yang muncul adalah krisis identitas, jati diri dan kemanusiaan. Karena semakin tinggi jenjang pendidikan seseorang, bukan semakin ia dekat dan tahu masyarakat budaya yang telah membentuknya, justru semakin terpisah dan asing. Sehingga ketika kita mau jujur, segala bentuk dan ukuran kemajuaan bangsa kita saat ini, tidak berbanding lurus dengan kedewasaan mental, kedaulatan diri, dan luhurnya budaya bangsa yang telah menyatakan kemerdekaanya sejak 76 tahun yang lalu ini. Kita sebagai bangsa masih menjadi pengimpor utama pengetahuan, konsumen produk-produk dan penonton atas menjamurnya kebudayaan luar. Pada tahap inilah kita bisa merasakan budaya kita semakin dekaden dan kehilangan arah tujuan. Sikap kreatif dan kosmopolitan yang menjadi corak utama kebudayaan bangsa kita selama ratusan tahun telah terbentuk dan manifest menjadi tradisi, adat dan ekspresi kesenian terasa kehilangan rumus perkembangan dan perubahannya. Ia ada namun tak lagi berdenyut sebagai sumber nilai dan pandangan dunia masyarakat yang konon telah melahirkannya. Mungkin situasi tersebut yang diingatkan dalam sebuah tulisan “Inikah Akhir Zaman Budaya Kita?”sebagaimana termuat dalam bukunya “Islam Berkebudayaan”. Dengan terus membiarkannya hidup, namun tak lagi kita perhatikan. Terus apa yang bisa kita lakukan?. Refleksi tulisan di atas tentunya bukan bermaksud untuk membuat panic apalagi putus asa atas apa yang telah terjadi. Namun marilah kita jadikan uraian dia atas sebagai cermin untuk memantulkan cahaya baik untuk diri kita sendiri, untuk senantiasa belajar dan berbenah diri. Dan pada moment Ngaji Posonan tahun ini, sebagai hari-hari baik dan suci,gelisah kebudayaan tersebut coba kita tengok dan uraikan pelan-pelan dalam satu nafas tema “ Islam Berkebudayaan, Jalan Menemukan Diri Secara Kosmopolitan” dengan format acara ngaji, kajian dan belajar bersama. Ngaji posonan merupakan agenda tahunan yang diadakan Pesantren Budaya Kaliopak selama bulan Romadhan dan tahun ini sudah berjalan yang ke-3. Usaha mengisi bulan suci dengan agenda-agenda produktif dan kreatif. Seperti kajian, belajar bersama dan mujahaddah, yang semuanya berorientasi kepada karya yang bisa dihasilkan selama proses Ngaji Posonan berlangsung. Untuk kebutuhan tersebut, maka diharapkan semua yang terlibat bisa secara intens mengikuti rangkaian ngaji yang berlangsung selama 17 hari. Dengan tema besar “Islam Berkebudayaan Menemukan Diri Secara Kosmopolitan”, Ngaji Posonon 2021 diharapkan mampu menyodorkan aternatif jalan untuk menemukan diri sendiri, dalam laku kosmopolit di era yang serba sulit saat ini. Tema-tema yang disusun merupakan rangkaiaan isu yang diharapkan mampu menjadi satu pengetahuan utuh yang berakar kedalam jantung kebudayaan kita sendiri, sekaligus mampu menjulang tinggi namun tak mudah koyak diterpa angin perubahan. Dari hal tersebut Ngaji Posonan tahun ini mengusung tema ISLAM BERKEBUDAYAAN: MENEMUKAN DIRI SECARA KOSMOPOLITAN Yang akan di adakan pada Waktu & Tempat : 16 April – 2 Mei 2021 di Pondok Kaliopak, jln Wonosari Km.11, Klenggotan, Srimulya, Piyungan, Bantul. Untuk mengikuti progam ini sendiri ada beberapa persyaratan yang harus di penuhi diantaranya sebagai berikut;
https://www.youtube.com/watch?v=xycQ_mzruLw
https://www.youtube.com/watch?v=t52hJyHD9-E
https://www.youtube.com/watch?v=Eo-hGcNi1n8
https://www.youtube.com/watch?v=D-3wueyW928
https://www.youtube.com/watch?v=IJFZITZvQ2M
https://www.youtube.com/watch?v=3nYvO06WgpY