ANGIN berhembus kencang. Pasir-pasir beterbangan. Barisan orang yang mengangkut berbagai macam sesaji tetap berjalan sembari sesekali menyeka mata. Pemimpin barisan berpakaian serba putih berada paling depan. Di belakangnya, beberapa orang tampak membawa pajeng (sejenis payung besar). Mereka berhenti tepat di depan Pura Poten di kaki Gunung Bromo, Jawa Timur.
Adegan ini merupakan rangkaian ritual adat Yadnya Kasada atau dikenal juga dengan sebutan Kasada Bromo. Biasa digelar oleh orang-orang Tengger dari empat kabupaten di Jawa Timur : Pasuruan, Malang, Lumajang, dan Probolinggo. Kasada diadakan tiap tahun sekali pada hari ke-15 dalam bulan Kasada atau bulan ke-12 dalam penanggalan orang Tengger. Mereka berkumpul di hamparan pasir (segara wedhi) kaki Gunung Bromo.
Dari kaki Gunung Bromo, orang-orang Tengger berjalan kaki membawa berbagai sesajian menuju kawah. Disini, mereka melempar sesajian berupa buah buahan, sayuran, hewan ternak, dan hasil bumi lainnya ke kawah. Simbol pengabdian pada Sang Hyang Widhi, pengorbanan, penyucian diri, rasa syukur, penjagaan hubungan harmonis dengan alam, dan penghormatan pada leluhur mereka.
Yadnya Kasada terbuka untuk umum dan seluruh orang Tengger dari agama apapun. Upacara ini kental dengan ritual dan ajaran agama Hindu. Tapi bagi orang Tengger, berkahnya tak hanya untuk orang-orang Hindu, tetapi juga untuk semua orang.
Orang Tengger telah menggelar Yadnya Kasada sejak kehadiran mereka di Tengger pada masa Kerajaan Majapahit sekira abad ke-13 M. Ada banyak versi tentang asal-usul orang Tengger. Sudiro dalam “Legenda dan Religi Sebagai Media Integrasi Bangsa” di jurnal Humaniora, Vol. 13 No. 1 2001, menyebutkan dua versi: legenda dan sejarah.
Versi legenda menyatakan Tengger berasal dari gabungan nama dua leluhur mereka: Rara Anteng (Teng), putri raja Brawijaya, dan Joko Seger (Ger), putra seorang Brahmana Kediri. Keduanya menikah dan hidup di sekitar wilayah Penanjakan, tak jauh dari Gunung Bromo. Tapi mereka tak punya anak untuk waktu lama. Hingga akhirnya mereka berdoa kepada Sang Hyang Widhi Wasa.
Rara Anteng dan Joko Seger berjanji jika punya anak, salah satu anaknya akan dikorbankan. Tak lama kemudian, Rara Anteng hamil dan melahirkan. Anak mereka berjumlah 25. Setelah lahir, salah seorang anak mereka, Raden Kusuma, menghilang. Mereka kemudian mendengar suara Raden Kusuma keluar dari kawah Gunung Bromo.
“Keturunan Rara Anteng dan Joko Seger atau masyarakat Tengger dapat hidup aman sejahtera bila pada waktu-waktu tertentu mereka akan memberi korban ke kawah Gunung Bromo,” sebut Sudiro.
Maksud “memberi korban” adalah mendermakan sebagian hasil panen dan ternak ke kawah Bromo. Inilah muasal upacara Kasada. Versi legenda ini tak berbeda jauh dari versi sejarah. Menurut sejumlah prasasti di sekitar pegunungan Bromo dan Negarakertagama, orang Tengger juga disebut telah bermukim di kawasan Tengger sejak masa Majapahit.
Sutarto dalam “Legenda Kasada dan Karo Orang Tengger Lumajang”, disertasi di Universitas Indonesia tahun 1997, menyebut orang-orang Tengger hidup sebagai petani yang tangguh. Alam sekitar pegunungan yang dingin menempa mereka bekerja sepanjang hari agar tubuh tetap hangat. Hasil panen melimpah dan kebutuhan mereka tercukupi oleh alam di sekelilingnya. Karena itulah mereka menghormati alam dan berusaha menjaga hubungan harmonis dengannya.
Gunung Bromo yang berkawah merupakan gunung terendah di antara gunung-gunung lain di kawasan Tengger. Orang Tengger menganggap Gunung Bromo suci. Ia adalah bagian dari alam yang telah membantu orang Tengger menghidupi kesehariannya.
Karena itu, apapun yang dilempar ke dalam kawah menjadi bermakna penghormatan pada alam sekaligus penyucian. Kawah untuk melempar sesaji pada ritual Yadnya Kasada disebut juga pelabuhan. Sebab, ke sanalah orang Tengger melabuhkan semua persembahan sebagai pesan leluhur mereka, Kyai Kusuma atau Raden Kusuma.
Ritual adat Yadnya Kasada bertahan dan diwariskan dari generasi ke generasi. Makna ritualnya tetap terjaga pula. Beberapa pengamat asing mencatat jalannya upacara ini pada rentang abad ke-19-20.
Tak banyak perubahan makna pada upacara Yadnya Kasada. Perubahan hanya menyangkut bentuk-bentuk sesaji dan rangkaian acaranya. Dahulu Kasada tak memiliki rangkaian acara lain. Memasuki tahun 1980-an, orang-orang Tengger mulai menambahkan sejumlah mata acara tari-tarian dan musik tradisional.
Selain itu, ada mata acara tambahan lainnya terkait dengan pengukuhan seseorang di luar Tengger sebagai warga kehormatan Tengger. “Pada hari raya Kasada, laut pasir dan bibir kawah Gunung Bromo penuh dengan manusia. Bahkan pada hari raya ini telah muncul tradisi baru, yakni pengukuhan pejabat tinggi negara sebagai sesepuh dan warga kehormatan Tengger,” catat Sutarto.
Beberapa nama bisa disebut seperti Menko Polkam Soesilo Soedarman (1993-1998), Mendagri Amir Machmud (1969-1982), Menparpostel Achmad Tahir (1982-1988), Menteri Peranan Wanita Lasiah Soetanto (1983-1987), dan Menteri Agama KH Munawir Sjadzali (1983-1993). Sisanya pejabat tingkat provinsi dan daerah tingkat II.
Orang-orang itu dikukuhkan oleh dukun pandhita atau pemimpin upacara adat dan keagamaan di Tengger. Dukun pandhita pula yang menyusun dan memastikan rangkaian Kasada berjalan lancar.
Menurut Nicolaas Warouw dkk dalam Inventarisasi Komunitas Adat Tengger, Kasada memiliki tiga tahapan besar. Pertama, pengambilan air (mendhak tirta) yang diikuti oleh tidak tidur secara bergantian sampai pembukaan Kasada (makemit) dan menyucikan sarana dan alat Kasada (melasti). Kedua, pembukaan Kasada berupa pertunjukan sendratari. Ketiga, membuang sesaji ke kawah secara beriringan dan berbaris.
Setelah upacara selesai, sesaji dibawa dari kaki Gunung Bromo ke atas kawah. Dan mereka melemparkan ke dalam kawah, sebagai simbol pengorbanan yang dilakukan oleh nenek moyang mereka.
Hingga hari ini, orang masih bisa menyaksikan rangkaian upacara Yadnya Kasada. Untuk dapat melihat upacara ini di Bromo lebih baik kita datang sebelum tengah malam, karena ramainya persiapan para dukun. Dari melihat Yadnya Kasada, orang bisa belajar tentang makna sebuah upacara yang tak termakan zaman.*
Rasa sakit itu sendiri adalah cinta, sistem penyimpanan utama. Setiap sistem kekebalan dirancang untuk dipantau oleh perbatasan. Curabitur varius tortor dan sollicitudin mollis. Ini hanya dalam satu. Tidak ada orang bijak sendiri, pepatah kelayakan remaja, Biro para pemain Kucing, yang ujungnya tapi orc, tapi, diameter utamanya. Proin euismod fermentum erat et lacinia. Tapi sebelum atau, minum kesakitan Duis vel tempor eros, id interdum lorem.
Untuk panah kehidupan, tawa kucing itu mudah, ujung komoditasnya adalah minum. Masing-masing atau kendaraan yang dipilih. Bilangan bulat di ante eu odio fringilla eleifend sit amet et dolor. Setiap harga murni tetapi panah adalah yang terbesar. Mauris dapibus nunc eu nisi ultrices, sebuah wilayah varius quam. Waktu untuk yang. Ini akan memakan banyak rasa sakit. Bumi adalah bumi. Potensi suspensi. Maecenas semper cursus diam, in elementum dolor sodales non. Maecenas nec nulla nunc. Ini banyak bantal mudah. Nah, itu guci panah. Dalam pemanasan Penyakit yang harus diracuni sebelumnya. Aeneas adalah singa sedih yang menahan tawa para remaja, dan pemenang terbesar.
Tapi siapa yang menanggung massa, itu penting untuk eros. Besok dalam menghadapi rasa sakit, tapi banyak masalah. Setiap anak adalah anggota murni dari wanita hamil. Aenean eget tortor eget ipsum tempus molestie. Dan anak panah bumi Aenean pretium lorem a massa suscipit laoreet. Tidak perlu berhenti membenci penulis. Tapi dia ingin sedikit sedih. Tak satu pun dari pelanggan kami, waktu kehidupan beracun, bumi adalah kemiripan tentu saja, yang jelek Bumi normal untuk para pemain, atau fermentasi atau eros, pisang anggota saya. Aeneas bergetar karena tawa Kami selalu hidup dari racun kehidupan orang bijak. Pellentesque vel solicitudin risus, et scelerisque augue. Tapi dia membutuhkan lebih banyak sihir dari itu. Rasa sakit saus, kucing perlu selalu dibesarkan, hanya remaja gratis yang hebat, tetapi rasa sakit itu perlu dibenci.
Sampai hidangan sedih saus singa eu. Karena dia selalu menjadi gerbang haluan, dan dia ingin minum. Mauris fermentum massa lacus, quis aliquam eros dictum a. Tapi itulah singa dari singa dan kekeraskepalaan busur Sampai saat itu, keuntungan menjadi bijak dan mudah Keuntungan terbesar dari eros di dunia, pada saus anggota bumi. Bilangan bulat di cursus dui. Beberapa riasan dan batas ajaib. Suspendisse et dignissim dui. Rasa sakit itu sendiri adalah cinta, sistem penyimpanan utama. Sekarang kehidupan para penggemar yang sakit bergetar untuk meningkatkan. Film ini akan menjadi kendaraan saya.
Tapi busurnya tidak biasa, itu hanya bantal yang menyedihkan, tidak apa-apa. Cara meratapi tawa, dan tarikan kendaraan sistem kekebalan kehidupan. Sudah waktunya untuk berinvestasi dalam penyiksa, setidaknya sekarang. Bahwa feri kehidupan hanyalah kumpulan anak panah. Tapi sekarang beberapa anggota lembah bijaksana. Sekarang ajukan beberapa pertanyaan. Gaya rambut yang sempurna tidak menyenangkan untuk ditendang. Ini bukan rasa takut untuk memulai.
Malam minggu (18/12/2021) di Pondok Pesantren Budaya Kaliopak terasa beda. Lampu pendapa yang biasa digunakan acara begitu gelap, yang terlihat hanya cahaya yang dipancarkan di tembok. Pemutaran film dengan projektor ternyata sedang terjadi malam itu. Kurang lebih 30 orang memadati pendapa yang gagah diterpa cahaya malam, mereka nampak khusyuk hayut dalam film yang di putar dengan judul Darah dan Doa The Long march karya Usmar Ismail dalam acara Bimaseni #2 yang diadakan rutin di Pondok di bantaran Kaliopak ini.
Film yang diproduksi tahun 1950 ini, merupakan film Indonesia pertama yang secara resmi diproduksi oleh orang Indonesia sendiri sebagai sebuah negara setalah perang kemerdekaan. Film yang menceritakan perjalanan panjang (long march) prajurit devisi Siliwangi RI yang diperintahkan kembali ke pangkalan semula, dari Yogyakarta ke Jawa Barat setelah kota itu di duduki oleh Belanda pada agresi militer ke dua tahun 1949. Perjalanan panjang yang dipimpin Kapten Sudarto (del Juzar), diceritakan dalam film penuh dengan mara bahaya, banyak peristiwa terjadi seperti sergapan musuh yang menewaskan beberapa prajurit, kisah asmara sang kapten, penderitaan prajurit dan dilema menjadi prajurit dalam kondisi negara yang belum menentu, menjadi drama realis yang begitu menghanyutkan pada malam itu.
Kisah perjuangan dan rasa nasionalisme menjadi narasi utama dalam film yang berdurasi 2 jam tersebut. Dengan segala kelebihan dan kekurangan secara teknis film ini, Usmar Ismail yang juga menjadi bapak perfilman nasional dan baru saja dianugerahi gelar pahlawan nasional, sebagai seorang sutradara berhasil menyuguhkan karya film sebagai alat perjuangan di waktu krisis dan transisi kebangsaan untuk tujuan kesatuan dan persatuan di antara anak bangsa.
Setelah film selesai malam itu kemudian dilanjutkan dengan acara diskusi untuk membedah film yang sudah selesai di tonton. Zahid Asmara sebagai pembedah pertama menyatakan, bahwa film Darah dan Doa sebagai bentuk diplomasi budaya yang dilakukan Usmar Ismail melalui film. Hal ini juga bagian dari sikap Usmar Ismail dalam merespon maraknya film asing terutama dari Amerika yang membanjiri dunia perfilman nasional.
“Maka dari hal itu, agaknya Pak Usmar Ismail dalam konteks ini ingin memberikan visi perfilman nasional sebagai pijakan para sineas muda bangsa di tengah arus perfilman global,” Ujar Zahid yang juga pengkaji film Nasional dari Pondok Kaliopak.
Selain itu film ini seperti disampaikan Zahid sebagai anak wayang dalam artian basis keaktoran para pemerannya tidak bisa dilepaskan dari kesenian tradisi yang sudah hidup ditengah masyarakat. Seperti ludruk, stambul, bahkan wayang itu sendiri.
Sementara itu Yudha Wibisono sebagai seorang produser film menyatakan bahwa film ini begitu luar biasa karena diproduksi dalam kondisi krisis. Tercatat pembiayaan produksi ini hanya sekitar 150 ribu zaman itu, yang didapatkan dari kementerian penerangan. Ia juga mencatat film begitu realis menciptakan situasi peperangan dari sudut pandang rakyat biasa, sehingga pada saat itu film ini dianggap tidak mewakili kepentingan militer.
Lebih jauh Yudha melihat film ini tidak bisa kita bandingkan dengan teknologi perfilman yang berkembang pesat hari ini. Tapi upaya Usmar Ismail dalam menyuguhkan film untuk tujuan membangkitkan nasionalismenya inilah yang patut kita teladani sebagai penggiat film hari ini. Dan nampaknya ketika melihat dinamika produksi film hari ini, akan jauh berbeda, karena film hari ini masuk dunia industri, yang sering kali gagasan terkait lokalitas dan nasionalisme tidak mempunyai ruang banyak di sana.
“Bagaimanapun itu, saya menonton film-film Usmar Ismail mulai dari sejak remaja, dari film beliaulah saya akhirnya mencintai dunia film,” Tutur Yudha menceritakan pengalaman pertamanya dengan nama Usmar Ismail.
Beda halnya seperti disampaikan oleh Rendra Bagus Pamungkas sebagai seorang aktor yang sudah malang melintang di dunia perfilman nasional. Ia melihat film Darah dan Doa ini, berusaha menampilkan gambar realisme dari suatu peristiwa yang benar-benar hadir ditengah masyarakat. Sehingga film ini seperti mengajak kita semua untuk melihat kondisi rell pada saat itu.
Selain itu, Rendra mengungkapkan bahwa bagaimanapun film ini diproduksi dengan tujuan untuk propaganda untuk membangkitkan semangat persatuan dan nasionalisme di tengah ancaman disintegrasi bangsa ini di tengah perang saudara yang terjadi pada saat itu. Dari hal itu juga, apa yang dilakukan oleh Usmar Ismail ini bagian dari statement beliau atas kondisi bangsa ini melalui karya film yang akan menjadi pijakan untuk para penggiat film nasional kita.
“Dan film Darah dan Doa ini merupakan upaya yang dilakukan bapak Usmar Ismail untuk mengambil posisi seperti apa seharusnya perfilman nasional kita di tengah perfilman global,” Tegas Rendra yang pernah menjadi pemeran utama dalam film Wage WR Soepratman (2017) itu.
Melihat Usmar Ismail Dari Sisi Seorang Santri
Berbeda halnya dengan pembedah sebelumnya, Kiai Jadul Maula juga menanggapi film Darah dan Doa ini dari sisi seorang santri yang jarang di baca oleh banyak orang selama ini. Menurut kiai Jadul dalam film Darah dan Doa ini sisi ke santrian Usmar Ismail terlihat jelas. Hal ini tergambar dari cerita yang begitu kuat menampilkan sisi religiusitas yang terdapat pada ungkapan-ungkapan doa yang ditampikan. Kemudian sisi kemanusiaan atau merakyatnya dalam film ini dapat kita lihat pada beberapa adegan misalnya kita dapati bagaimana keterlibatan masyarakat kampung saat menyambut barisan prajurit yang datang. Dan rasa Nasionalisme dalam film ini sudah tidak bisa bantah lagi, karena hampir dari semua plot cerita menggambarkan rasa cinta tanah air yang luar biasa.
Ketiga hal tersebut, mulai dari religiusitas, merakyat, dan cinta tanah air NKRI merupakan bagian dari identitas santri yang juga termasuk sudah tertanam dalam diri seorang Usmar Ismail. Hal tersebut sebenarnya bukan tanpa sebab, jika melihat latar belakang keluarga keluarganya merupakan pemuka agama dari daerah Minang. Dan waktu kecil dikabarkan Usmar Ismail belajar mengaji di surau-surau, begitulah kiranya identitas santri Usmar Ismail dibentuk.
Dalam konteks tertentu menurut Kiai Jadul film sendiri bagi Usmar Ismail adalah alat perjuangan sebagai bentuk ekspresinya sebagai seorang santri. Dan hal ini bisa kita lihat dari film Darah dan Doa ini. Bagaimana film ini muncul dalam situasi masa transisi ditambah lagi dinamika politik kebangsaan yang bergejolak dan tidak menentu. Dari film inilah Usmar Ismail bersikap melalui film Darah dan Doa yang sebenarnya memiliki makna yang dalam.
“Makna judul Darah dan Doa The Long March seperti memberi PR untuk kita semua yang mana long march perjalanan panjang perjuangan bangsa kita sebenarnya belumlah usai untuk menghindari konflik sipil diantara anak bangsa. Sehingga pertumpahan darah ini harus dihindari, dan doa itu sendiri bagian yang mesti terus kita pegangi sebagai bekal perjalanan panjang kebangsaan kita ini,” Tegas Kiai Jadul yang juga menjabat sebagai ketua LESBUMI PBNU.
Maka film ini mendapat relevansinya ketika kita melihat kondisi bangsa kita hari ini, yang mana benturan idiologi sampai sekarang ini yang belum selesai, dan masih dimainkan untuk memecah belah persatuan kita. Antara yang ingin menjadikan negara ini menjadi sangat liberal/komunis sehingga berhadap-hadapan dengan yang membuat negara ini sangat islamis.
Disamping itu makna penting lain dari Usmar Ismail sebagai seorang santri adalah, ia menggunakan film bukan untuk tujuan utama. Tapi ia memilih medium film sebagai medan perjuangan. Dan jika melihat profil Usmar Ismail yang juga bergulat pada politik, ia menggunakan politik untuk menjadikan film bisa diterima di dalam negeri sendiri. Dimana saat itu, dominasi film luar begitu kuat, sehingga ia menggunakan politik untuk memberi pangung bagi per film Indonesia agar sejajar dengan perkembangan film dunia. Dan akhirnya film ini menjadi tujuan akhir dari agama itu sendiri, yaitu film untuk mengekspresikan gagasan spritual dan kebangsaan.
Kala senja membinar di saat Magrib menjelang, aku duduk di beranda dengan obrolan-obrolan yang terlontar jenaka, hingga kerut rona siluet panorama Magrib terlibas oleh malam. Orang-orang dibuat cemas oleh virus baru bernama COVID-19. Kampus-kampus mendadak diliburkan, toko dan warung mulai menutup diri dan memilih pulang kampung halaman. Magrib serasa begitu mengambang, lirih dan terabaikan. Masjid-masjid hanya menyisakan suara azan terdengar, “Solluu fii Buyutikum” salat di rumah, dan tidak ada salat berjamaah di masjid.
Rona-rona siluet langit jingga kemerahan perlahan terbenam. Aku beranjak ke Pondok Kaliopak. Pondok tempat aku melipat-lipat waktu jauh panjang ke belakang, ziarah waktu pada leluhur, hingga hembusan napas begitu terasa mendesir iramanya. Sungguh, suatu hal yang tidak bisa aku dapatkan di kampus, di mana aturan-aturan dipadatkan, pengetahuan dibakukan, dan imajinasi dilumat oleh organisasi. Mahasiswa disibukkan dengan tugas, dosen sibuk dengan rapat, dan organisasi sibuk dengan pengkaderan-pengkaderan formatif serta even-even money oriented. Lalu aku bertanya, di manakah waktu luang dan pengetahuan tercipta, dikonstruksi, dikomposisikan kembali, hingga terdistribusi. Kini, tinggallah menyisakan manusia-manusia kering dan sepi.
Sesampainya di pondok, aku menuju dapur untuk menyiapkan makan kembulan Ngaji Dewaruci, tugas pokok darmaku di pondok memang memasak. Ia sudah seperti meditasiku dalam bentuk lain. Meditasi yang memang semestinya meditasi, ialah laku olah rasa dan kendali raga. Ajaran filasfat Timur mengajarkan banyak hal perihal ini, meditasi bisa dalam bentuk apapun, seperti ajaran Zen-Budhisme yang berkembang dalam dunia kepenulisan hingga hari ini.
Kali ini makan kembulan memakai piring masing-masing, akibat dari COVID-19 yang merebak, dan untuk kehati-hatian. Malam ini, menu makan adalah bihun, sayur hijau dan kuah sup. Ditambah perasan jeruk nipis, sambal dan kerupuk.
Aku menuju pendopo yang hening, malam menundukkan pundak dan kepala. Gelaran karpet dan tikar, tiang-tiang kayu yang dibalut kain kuning, dan foto raja-raja Mataram Islam, berjejeran di tiang beranda pendopo limasan. Bacaan wirid Ratib al-Haddad sudah dilantunkan. Bacaan-bacaan ini adalah kalam-kalam baik yang kita upload, kembali pada Allah, Tuhan semesta alam.
Kalam-kalam langit dilantunkan sebagai medium untuk melarungkan kekotoran diri dan pikiran di hadapan bumi dan Ilahi. Pondok membiasakan hal itu dilaksanakan sebelum Ngaji Dewaruci dimulai. Semua imaji-pikiran dikembalikan pada ketak-terhinggaan semesta langit, sehingga tidak berakhir pada batas bumi argumentatif ketika ngaji. Suasana lirih bergetaran di bibir, bilik-bilik surau dan tanah yang disirami lafal yang mengheningkan jiwa dan pikiran.
Tema ngaji kali ini adalah “Riwayat Indrapura (catatan perjalanan ke pantai barat Sumatera)”, dipantik oleh mas Raudal Tanjung Banua, ia seorang sastrawan-budayawan dan peneliti sosial. Di samping itu, ia sering melibatkan diri dalam dunia teater.
Mas Raudal melakukan perjalan untuk yang kesekian kalinya ke ujung selatan Sumatera Barat, terakhir pada oktober 2019 lalu. Ia mengemukakan bahwa Indrapura adalah nama indah yang jika kita telisik ada di mana-mana. Ada Siak Sri Indrapura di Riau, Indrapura Air Putih di Batubara, atau Indrapuri di Aceh. Pahang yang kita kenal sekarang, dulu bernama Indrapura, termasuk ibukota Champa (Vietnam). Nama-nama tempat India kuno pun banyak memakai nama Indrapura. Artinya lebih kurang tempat bertakhta raja Indra (raja tertinggi), demikian pernah ditulis budayawan prolifik Emran Djamal Datuak Mudo.
Dalam buku Rusli Amran, Sumatera Barat Hingga Plakat Panjang (1981), disebutkan, kesultanan Indrapura jadi pumpunan teks setebal 652 halaman tersebut. Gusti Asnan dalam Dunia Maritim Pantai Barat Sumatera (2007), juga membicarakan Indrapura sebagai pelabuhan penting penghasil lada hitam (merica) dan emas. Dalam buku yang lain, Kerajaan Indrapura (2013), Gusti Asnan (sebagai editor) bersama Yulizal Yunus dan Muhapril Musri, juga mengkaji sistem pemerintahan Indrapura.
Tak kalah menarik untuk disimak, dalam sebuah roman Balai Pustaka, yaitu Hulu Balang Raja (cet.1, 1934) karya Nur Sutan Iskandar, mengambil lanskap Indrapura. Tokoh-tokoh utamanya juga terdiri dari bangsawan Indrapura seperti Ali Akbar, Putri Ambun Sari, Muhammad Syah, Malafar Syah dan Raja Maulana. Tentu, masih banyak lagi Indrapura kita temukan dalam berbagai teks Nusantara, baik klasik maupun kontemporer. Demikian, papar Mas Raudal.
Paparan-paparan yang dikemukakan begitu terasa sastrawi, terlebih Mas Raudal memotret itu semua, dan menempatkan dirinya sebagai pejalan atau peziarah waktu. Bukan tanpa alasan perjalanan itu dijelajahi, ia memiliki memori masa kecil yang tersimpan. Memori itu membayang dalam imajisitas perjalanan rantaunya ke negeri seberang. Di Yogyakarta, ketika dirasa ada jarak, justru memori itu muncul kembali. Jejak memori yang membentang luas, sedikit aneh dan menggetarkan, hingga getaran jarak itu mengantarkannya untuk bisa melihat dan sampai pada jejak-langkah moyangnya.
Perjalanan pergi jauh ke rimba raya negeri seberang, memang menyisakan luka jarak ruang, namun mampu melipatkan waktu untuk melihat luka-ruang tersebut dengan jernih. Sorren Kiekergard, seorang filsuf eksistensialis berkebangsaan Denmark mengungkapkan perjalanan seperti itu sebagai ‘pergumulan individu dan kebatiniahan’.
Dunia tasawuf Islam dan teosofi mengenal kebatiniahan individu tersebut sebagai suwung, ialah suatu keadaan kosong. Kosong yang merindu akan isi. Layaknya seorang musafir yang kehabisan bekal, dan kehausan di gurun pasir fatamorgana pencarian makrifatnya. Seperti pula pengembaraan seekor elang yang terus terbang mengejar pusaran matahari.
Hati pun menjadi dingin yang menjelma kebisuan, tinggallah menyisakan laku suluk yang membiaskan dahaga akan air kehidupan, air kehidupan yang akan melumatkan semua luka, dan memberikan kesegeran abadi di sisa hidupnya. Konon, air kehidupan itu dikenal dalam kisah raja-raja yang mengerahkan seluruh pasukannya, untuk menemukan air itu. Namun air tersebut hanya diperuntukkan bagi para pejalan, peziarah yang tengah kehausan dan akut kebingungan. Hingga sampailah ia di sungai yang berpasrah pada laut, terseok oleh derasnya rahasia lika-liku air yang meliuk, membentur batu, terjun bebas, hingga menenang sunyi di muara samudera biru.
Sultan Agung menuliskan pergumulan batiniah perjalanannya dalam nubuwat babad Serat Nitik. Syekh Maloyo atau Sunan Kalijaga menyuratkan perjalanan itu dalam Suluk Linglung. Dan lakon Dewaruci menyiratkannya dalam Suluk Dewaruci. Suluk dan serat-serat tersebut adalah medium kita untuk bisa melihat pada diri sendiri. Ialah jalan dan jati diri kita, sebagai manusia Nusantara yang diperagakan dalam teknologi lakon berupa wayang. Kita bisa mengaksesnya melalui lakon suluk diri masing-masing, ialah suluk yang tidak berbatas pada pengetahuan saja, namun pengerahan kanti laku diri dengan totalitas.
Begitu pun dengan perjalanan Bujangga Manik, ia adalah seorang bangsawan dan rahib yang hidup di masa paceklik keruntuhan Dayeuh Pakuan Padjajaran, ia lebih memilih berkelana dan meninggalkan pusat kekuasaan. Kemudian ia melakukan perjalan jauh, berkelana ke rimba raya pulau Jawa-Selat Bali hingga dua kali. Di Mataram Islam Jawa, kita akan menemukan sosok imajisitas Bujangga Manik dalam diri Ki Ageng Suryomentaram. Menanggalkan jubah kebangsawanan, dan memilih jalan kelana bukanlah tanpa sebab, ia syarat dengan situasi sosial-politik yang menjalar-banal pada saat itu.
Perjalanan kelana tersebut adalah laku-asketis sebagai olah rasa untuk menemukan diri yang baru. Ialah perjalan menemukan jati diri yang beraroma karsa. Karsa yang sejatinya memunculkan bau wangi dengan sendirinya, juga memberi wangi pada diri yang lain. Dan itulah nama asketis yang diberikan pada leluhur manusia Pasundan, ialah Prabu Siliwangi. ‘Siliwangi’ artinya ‘saling wangi’, dan memberi wangi (Silih-Wangi). Dirinya mewangi dengan sendirinya, lalu dengan sendirinya pula ia memberi wangi pada sekitarnya. (MA)