Pada masanya, Amangkurat IV (1719-1726) memiliki seorang patih bernama Patih Adipati Cakrajaya — yang kemudian berganti nama menjadi Adipati Danureja. Dalam masa peralihan pemerintahan dari Amangkurat IV menuju pemerintahan Pakubuwono II (Raden Mas Prabasuyasa), terdapat polemik di dalam kerajaan. Pakubuwono II, yang saat itu masih berusia 15 tahun, berhasil naik tahta berkat bantuan VOC. Pangeran Arya Mangkunegara, putra sulung Amangkurat IV yang seharusnya menggantikan ayahnya, difitnah oleh Patih Danureja. Dituduh selingkuh dengan istri Pakubuwono II, ia dibuang ke Sri Lanka. Sedangkan alasan sebenarnya ialah karena Pangeran Arya Mangkunegara tidak mau tunduk dengan VOC dan memilih untuk memberontak. Pada masa pemerintahan Pakubuwono II (1726-1942), Patih Danureja menjabat dalam 4 tahun pertama. Setelah itu, patih diganti Adipati Natakusuma. Saat itu berlangsung peristiwa Geger Pecinan 1942. Akibatnya, Keraton Mataram dipindahkan dari Kartasura menuju Surakarta. Pangeran Mangkubumi, saudara kandung Pakubuwono II yang tak mau tunduk pada VOC, melakukan perlawanan terhadap tahta Mataram. Ia mengajak Raden Mas Said (Pangeran Sambernyawa), menantunya yang sekaligus anak dari Pangeran Arya Mangkunegara, untuk melawan Pakubuwono II dan VOC. Pada tanggal 20 Desember 1749, Pakubuwono II meninggal. Ia diganti anaknya yang bernama Raden Mas Soerjadi dengan gelar Pakubuwono III. Raja ini juga diangkat oleh VOC. Pada saat bersamaan, Pangeran Mangkubumi diangkat oleh rakyat pengikutnya sebagai Pakubuwono III dengan didampingi Raden Mas Said. Peperangan antar saudara pun terjadi hingga berakhir pada tahun 1755 dengan Perjanjian Giyanti. Perjanjian Giyanti atau Palihan Nagari terjadi pada hari Kamis Kliwon tanggal 13 Februari 1755. Perjanjian ini membagi wilayah untuk Raden Mas Soerjadi (dengan wilayah Surakarta) dan Pangeran Mangkubumi sebagai Sultan Ngayogyakarta dengan gelar Hamengkubuwono I. Selain itu, Pangeran Mangkubumi meminta Tumenggung Yudanegara dari Banyumas menjadi Patihnya. Tumenggung Yudanegara dari Banyumas dilantik sebagai Patih (rijksbestierder) dengan nama Danureja atas persetujuan Gubernur Nicolas Hartingh. Saat itu, Banyumas dipimpin Adipati Danureja I. Adipati Danureja I nama lainya ialah Raden Bagus Konting Mertowijoyo, dengan nama belakang lainnya Patih Cakrajaya, Sumowijoyo, atau Raden Adipati Yudonegoro III. Patih Danureja I sebelumnya bernama Raden Tumenggung Yudanegara, bupati Banyumas yang lahir pada tahun 1708 dan meninggal tanggal 19 Agustus 1799. Adipati Danureja I menikah dengan Bendara Raden Ayu Tongle, putri Amangkurat IV. Yudonegoro I dan Karya Sastra Yang menarik dari sosok Yudonegoro ialah karya sastra yang dihasilkan. Salah satu karya sastranya berupa serat yang menjadi pedoman kesenian Shalawat Emprak. Laporan penelitian tahun 2017 dalam Jurnal Smart yang ditulis oleh Endah Susilantini menyebutkan sebuah naskah gubahan Yudonegoro I, yaitu Serat Zikir Maulud (A.475) yang menjadi koleksi perpustakaan Reksapustaka, Istana Mangkunegaran, Surakarta. Naskah tersebut berbentuk gancaran (prosa) berjumlah 33 halaman dengan tulisan tangan berhuruf Jawa dan1 tidak disebutkan tahun penulisannya. Bagian awal naskah menyebut nama penulis seperti berikut: Sebet byar lah ing kono wau, anenggih engkang ngiyasani Kitab Zikir Maulud cara Jawi, Pangeran Yudonegoro ingkang kaping sepisan.,ing nagari Surakarta Hadiningrat. Letnan KolonelPan Stap saha ajudanipun Kanjeng Tuwan ingkang wicaksana,Gupernur Djendral ing Nederland, mila yasa Kitab Zikir Maulud cara Jawi. Sarehning boten angertos dhateng tembung Arab, anyariyosaken wiyos Dalem Gusti Kanjeng Nabi Rasulullah. Penulis masih mencari tahu asal-usul dan kepastian gelar dari pemimpin Banyumas yang bergelar Tumenggung Yudonegoro. Apakah Yudonegoro III, pemimpin Banyumas yang menjadi patih Pangeran Mangkubumi, ialah keturunan dari Yudonegoro I yang menjadi patih di masa Pakubuwono II dengan gelar Danureja? *** Editor: EYS
Foto Straatbeeld, Jogjakarta koleksi Tropenmuseum.
Salah satu cara praktis – meski tak selalu efektif – untuk mengenal sistem kultur masyarakat perkotaan secara umum adalah dengan menilik nama-nama jalan di daerah tempat tinggalnya.
Misalnya, cukup dengan melihat papan nama bertuliskan “Jalan Batikan”, kita bisa sekilas mengimajinasikan kampung para perajin batik yang pada suatu masa pernah eksis di sekitar jalan tersebut, meskipun belum tentu masih bisa ditemukan saat ini.
Dari imajinasi itu, kita boleh menerka bahwa kebiasaan masyarakat sekitar tentu lekat dengan kultur seni rupa yang akrab dengan simbol dan busana yang identik dengan kelas sosial. Pola pikir mereka cenderung lebih kompleks dan artistik jika dibandingkan dengan masyarakat kampung di seputaran Jalan Jlagran (perajin nisan) atau Jalan Pandeyan (perajin peranti logam).
Sekali lagi, perlu kita garis bawahi bahwa terkaan semacam ini belum tentu akurat. Sebab, derasnya dinamika kemajuan zaman telah membuat struktur masyarakat perkotaan kian majemuk dan cenderung acak.
Sebagaimana hasil kajian antropolinguistik oleh Prihadi dan Ari Listiyorini yang dimuat di jurnal Litera, dari 130 nama jalan terpilih di wilayah Kota Yogyakarta, secara historis kultural bisa dikelompokkan ke dalam sembilan aspek kehidupan:
Tahun 1920-an merupakan masa kebangkitan nasional Indonesia. Kesadaran akan persatuan muncul di Hindia Belanda. Pemerintah Hindia Belanda melalui Balai Pustaka menghimpun karya-karya sastra. Bahasa dan isi karya tersebut harus sesuai dengan ketentuan pemerintah Hindia Belanda. Di kemudian hari, Balai Pustaka dianggap sebagai awal kemunculan Sastra Modern Indonesia. Karya-karya Balai Pustaka yang menjadi tonggak sejarah sastra Modern Indonesia antara lain novel Azab dan Sengsara (1919) karya Merari Siregar dan Sitti Nurbaya (1922) karya Marah Rusli. Tema-tema semacam perkawinan paksa dan perlawanan terhadap adat mendapat tempat. Karya-karya sastra tersebut mengisahkan masalah adat dan perubahannya. Secara sosiologis, karya-karya masa Balai Pustaka sangat kental dengan kepentingan ideologi kolonial. Di luar karya-karya Balai Pustaka, berkembang pula aktivitas bersastra di kalangan masyarakat peranakan Tionghoa. Mereka berkarya dalam Bahasa Melayu Rendah. Karya-karya ini dianggap sebagai bacaan liar. Sebenarnya, “bacaan liar” tersebut adalah karya sastra yang tidak lulus di Balai Pustaka. Sastra peranakan Tionghoa kebanyakan mengambil bahan dari peristiwa aktual yang terjadi di dalam masyarakat. Sastra peranakan Tionghoa bersifat realistis dan tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat. Memasuki tahun 1920-an, tema yang digarap meluas ke luar lingkup kehidupan masyarakat peranakan Tionghoa. Mereka mengolah bahan-bahan dari peristiwa yang ditabukan oleh Balai Pustaka, seperti pemberontakan PKI (1926), pembuangan tokoh pergerakan nasional ke Boven Digul hingga aksi-aksi pemogokan buruh industri dan perkebunan. Karya-karya tersebut merupakan aset bangsa yang memperlihatkan bentuk-bentuk pembaharuan. Jika dibandingkan dengan karya-karya sastra Balai Pustaka, sastra peranakan Tionghoa lebih kaya tema dan ragam nilai yang mencerminkan hakikat masyarakat. Sastra peranakan Tionghoa merupakan salah satu mata rantai vital bagi perkembangan dan pembentukan identitas Sastra Modern Indonesia. Sastrawan-sastrawan peranakan Tionghoa yang memiliki rekam sejarah yang dahsyat, antara lain: 1. Lie Kim Hok (...-1912) Lie Kim Hok (LKH) adalah Bapak Melayu Tionghoa. Sebutan tersebut adalah penghargaan atas dedikasinya menulis buku berjudul Kitab Darihal Perkataan-perkataan Melajoe yang lebih dikenal dengan Kitab Eja A.B.C (1884). Buku tersebut berisi aturan-aturan penggunaan Bahasa Melayu peranakan Tionghoa atau Bahasa Melayu Rendah yang jamak digunakan di daerah Betawi (Melayu Betawi). Pemerintah Hindia Belanda membagi ragam Bahasa Melayu menjadi dua: Melayu Tinggi (dialek Riau) dan Melayu Rendah (dialek non-Riau). LKH lahir dan besar di Buitenzorg (Bogor). Awalnya, LKH mengembangkan Bahasa Melayu Rendah di daerah Jawa Barat, kemudian menyebar ke berbagai daerah meliputi Jawa Timur, Medan, Banjarmasin, hingga Palembang. Persebaran ini dipengaruhi oleh keterlibatan LKH dalam memopulerkan Bahasa Melayu Rendah sebagai bahasa pers di sejumlah surat kabar. Persebaran Bahasa Melayu Rendah dengan ragam ejaan yang dipelopori LKH memosisikannya sebagai penyeimbang Bahasa Melayu Tinggi yang menggunaan Ejaan van Ophuijsen. Dengan demikian, pers dan penerbitan berbahasa Melayu Rendah menjadi media perlawanan terhadap Balai Pustaka dengan hegemoni bahasanya. Perkenalan LKH dengan dunia pers dimulai ketika ia belajar di sekolah swasta Tionghoa di bawah bimbingan misionaris D.J. Van der Linden. Sang misionaris memiliki percetakan yang menerbitkan majalah De Opwekker dan Bintang Djohar. Pada tahun 1886, LKH sempat memiliki saham surat kabar Pemberita Betawi di Batavia (Jakarta). Selama hidupnya, LKH menulis di beberapa surat kabar seperti Pemberita Betawi, Bintang Barat, Domingoe, Dinihari, Hindia Olanda, Taman Sarie, Bintang Betawi. LKH juga menulis novel Thjit Liap Seng atau Bintang Toedjoe pada tahun 1886. Novel ini dianggap sebagai novel pertama dalam dunia sastra Indonesia yang menggunakan Bahasa Melayu Rendah. Sebab, karya-karya sastra lainya adalah terjemahan dari karya berbahasa Eropa atau Arab. 2. Tan Khoen Swie (1883-1953) Tan Khoen Swie (TKS) adalah seorang penulis keturunan Tionghoa yang lahir di Wonogiri, Karesidenan Surakarta. Ia belajar pada Mas Ngabei Mangoenwidjojo, seorang ahli literatur Jawa. Ia berteman dengan beberapa tokoh seperti Padmosusastro (Bapak Sastra Modern Jawa) dan Tan Tik Sioe Sian alias Ramamoerti, seorang mistikus. TKS mendirikan penerbit dan toko buku Boekhandel Tan Khoen Swie. Ia menerbitkan karya-karya milik R. Tanaya, Ki Mangoenwidjaya dan Ki Padmasusastra. Percetakannya memainkan peran penting dalam dunia literasi Jawa. Peran TKS dalam dunia literasi di masa Hindia Belanda mewujudkan perubahan dari tradisi lisan ke tradisi tulis dengan aksara latin dan Bahasa Melayu. Pada tahun 1922, penerbitan TKS mencetak buku Babad Kadiri karya Mas Ngabehi Purbawijaya (selanjutnya direvisi oleh Mangun Wijaya pada tahun 1932). Buku-buku lainnya yang ia terbitkan antara lain Tiga Sastra, Wedha Satya (penulis tidak diketahui), Kalatida karya R. Ngabehi Ronggowarsito, Kitab Wulang Reh karya Sri Susuhunan Pakubuwana IV, Wedatama karya Mangkunegara IV, juga buku-buku karya R. Ngabehi Yosodipuro. Buku-buku terbitan Tan Khoen Swie tergolong lengkap, dari filsafat Jawa, pengetahuan olah rasa, pengetahuan rahasia wanita, pengobatan tradisional, sejarah, dan lain-lainnya. TKS menulis buku Tjinta Kebangkitan pada Tanah Air (1941) sebagai wujud penentangan terhadap kaum penjajah. Selain itu, ia juga menulis tangan sejumlah manuskrip, antara lain Babat Gianti seri I dan II, Kitab Kaweruh Pakih, dan Niti Soerti Watjana. Bahasa yang digunakan juga beragam, dari Bahasa Melayu beruruf latin, Bahasa Jawa berhuruf latin, hingga Bahasa Jawa berhuruf Jawa murdha (kapital). 3. Kwee Tek Hoay (1885-1951) Kwee Tek Hoay (KTH) lahir di Buitenzorg (Bogor). Selama hidupnya, KTH pernah menjadi wartawan di surat kabar Ho Po, Li Po, Sin Po. Ia mendirikan majalah Panorama untuk menyuarakan pandangan politiknya dan majalah Sam Kauw Gwat Po yang bernapas "Agama Tionghoa" (gabungan Agama Konfusianisme, Buddhisme, dan Taoisme). KTH adalah seorang esais yang juga melahirkan sejumlah drama dan novel. Dalam esai-esainya, KTH menulis kritik terkait dunia pendidikan. Salah satunya, kritik atas pendidikan berbahasa Mandarin dan kebudayaan Tionghoa di Tiong Hoa Hwee Koan (THHK). Karya-karya dramanya seperti Allah yang Palsu (1919), Drama di Boven Digul (1938), Drama dari Merapi, dan Drama dari Krakatau. Novelnya yang terkenal berjudul Boenga Roos dari Tjikembang (1927). KTH juga sering menerjemahkan buku-buku agama terkenal dan menulis cerita untuk anak-anak dengan muatan kritik sosial. Pada permulaan abad ke-20, banyak penulis keturunan Tionghoa bermunculan dengan berbagai karya. Karya-karya mereka dilatarbelakangi kehidupan sehari-hari masyarakat di berbagai wilayah di kepulauan Hindia Belanda. Selain ketiga sastrawan tersebut, masih banyak sastrawan keturunan Tionghoa lainnya. Seorang penulis perempuan, Ong Pik Hwa (1906-1972), menerbitkan sebuah majalah wanita berbahasa Belanda dengan nama Fu Len pada tahun 1937. Lewat majalah Fu Len, ia menyuarakan tentang pemberdayaan wanita dan pandangan hidup progresif. Njoo Cheong Seng (1902-1962) adalah penulis cerita bersambung Gagaklodra. Ia belajar menulis dari So Chuan Hong. Selama hidupnya, ia menulis lebih dari 170 novel dan lebih banyak lagi cerpen dengan berbagai nama samaran seperti Monsieur Amor, Monsieur d'Amour, Munzil Anwar dan Mung Mei. Tan Hong Boen (1905-1983), seorang wartawan di masa Hindia Belanda, adalah penulis biografi pertama Soekarno. Ia bertemu dengan Soekarno saat sama-sama menjadi tahanan di Penjara Sukamiskin. Di Makassar, ada Hoo Eng Djie (1910-1938) dan Ang Ban Tjiong (1906-1962) yang syair-syair banyak mengisi majalah dan surat kabar di lokal seperti Pembrita Makassar dan Favoriet. Dalam karya-karyanya, Hoo Eng Djie mengadaptasi nyanyian Tionghoa ke dalam Bahasa Makassar sehingga menjadi bagian tradisi masyarakat di Makassar. Nama-nama di atas adalah bukti eksistensi sastrawan keturunan Tionghoa dalam sejarah sastra Indonesia. Sastra Modern Indonesia tidak lepas dari peran keturunan Tionghoa yang tersebar di seantero Nusantara. Kekuatan karya dan keterbukaan pandangan para sastrawan keturunan Tionghoa mampu mengabadikan berbagai peristiwa bersejarah dalam bahasa sehari-hari, terutama Bahasa Melayu Rendah. Sastra berbahasa daerah sebagai pondasi sastra nasional Indonesia sangat dipengaruhi oleh budaya, bahasa dan kreativitas para sastrawan keturunan Tionghoa. (MA) *** Foto : www.freepik.com
Kiai Nur Iman adalah seorang pangeran yang memilih jalan untuk menepi dari keraton dan menjadi orang biasa agar lebih leluasa memberikan pelayanan agama Islam. Nama kecilnya adalah Raden Mas Sandeyo. Beliau lahir dari seorang ibu bernama RA. Retno Susilawati, putri dari Adipati Untung Surapati. Ayahnya adalah putra dari Pangeran Puger (Pakubuwono I) yang bernama Raden Mas (RM) Surya Putra atau yang lebih dikenal sebagai Amangkurat IV. Saat terjadinya perselisihan antara Pakubuwono I dengan Amangkurat II, RM Surya Putra melarikan diri ke arah timur, tepatnya ke Surabaya. Di sana RM. Surya Putra memakai nama samaran Muhammad Ihsan dan nyantri di Pesantren Gedangan asuhan Kiai Abdullah Muhsin. Penyamarannya terungkap ketika pada sebuah acara di Pesantren Gedangan, Adipati Untung Surapati mengenalinya. Kemudian, sewaktu menghadap Kiai Abdullah Muhsin dan Muhammad Ihsan, RM. Surya Putra memperoleh perintah untuk berkunjung ke kediaman Untung Surapati. Saat itu Untung Surapati menghendaki RM. Surya Putra untuk menikahi putrinya, RA. Retno Susilawati. Selang waktu berganti. Saat RA. Susilawati hamil, RM. Surya Putra harus kembali ke Mataram. Sang istri dititipkan kepada Kiai Abdullah Muhsin dengan sebuah pesan: kelak jika anak itu lahir laki-laki akan diberi nama Raden Mas Sandeyo alias Muhammad Nur Iman. Dan benar adanya, anak yang dikandung RA. Retno Susilawati lahir laki-laki dan dinamai Raden Mas Sandeyo. Pemerintahan Amangkurat IV berlangsung antara tahun 1719-1726 Masehi. Di akhir hidupnya, ia teringat bahwa dahulu memiliki seorang anak yang dititipkan di sebuah pesantren di Surabaya. Maka, sebelum meninggal, ia mengirimkan utusan untuk menjemput RM. Sandeyo dan membawanya ke Kraton Mataram. Dalam perjalanan, sang utusan ditemani dua orang pengikut, yakni Sanusi dan Tanmisani. Meski sedang dalam perjalanan, tak lupa misi dakwah mereka jalankan. Mereka mendirikan beberapa pesantren di daerah Ponorogo dan Pacitan. Sesampainya di Kraton Mataram, RM. Sandeyo diperkenalkan kepada keluarga dan kerabat kerajaan. Beliau diberi gelar KGPH. Kartosuro. Sayangnya, kepulangan sang pangeran ke Kraton Mataram disambut oleh perselisihan antara kedua adiknya, yaitu Pangeran Sambernyowo dan Pangeran Mangkubumi. Perselisihan itu dipuncaki dengan Perjanjian Giyanti yang membelah Kraton Mataram menjadi dua. Oleh sebab RM. Sandeyo tidak menyukai perselisihan, maka beliau memilih untuk menepi ke arah barat Kali Progo. Di sana ia bertemu dengan Demang Hadiwongso yang kelak menjadi mertuanya. Sepeninggal Ki Demang Hadiwongso, Nur Iman memutuskan untuk bergeser ke sisi timur Kali Progo. Saat itu berlangsung penobatan Pangeran Mangkubumi, yang tak lain adalah adiknya sendiri, menjadi Sultan Hamengkubuwono I. Sang sultan lantas memberikan hadiah berupa tanah perdikan bebas pajak sebagai penghormatan seorang adik kepada kakaknya. Tanah itu kini dikenal dengan nama Mlangi, bermula dari kata mulangi (mengajari). Persis dengan apa yang dilakukan oleh Kiai Nur Iman, yaitu mulangi ilmu agama Islam. Sesuai dengan ucapan Kiai Abdullah Muhsin bahwa kelak RM. Sandeyo akan menjadi seorang ulama besar yang alim, ramalan itu terbukti dengan beberapa kitab yang lahir dari tangan Kiai Nur Iman. Di zaman beliau pula didirikan empat Masjid Pathok Negoro yang hingga kini masih berdiri. Beberapa pesantren besar di sekitar DIY dan Jawa Tengah didirikan dan diasuh oleh santri-santri Kiai Nur Iman. Sepeninggal Kiai Nur Iman, ilmu yang beliau wariskan masih bisa kita pelajari hingga kini. Makam Kiai Nur Iman bisa kita ziarahi di area Makam Mlangi, tepatnya di sisi samping kiri Masjid Pathok Negoro Mlangi. Tak berlebihan jikalau makam tersebut banyak yang menziarahi, sebab sosoknya menjadi tauladan dan acuan kealiman di tengah masyarakat. Adapun tiap tahun diadakan haul yang diselenggarakan pada 15 Muharam. (MA)
Bahasa Jawa bertaburan adagium. Ungkapan peribahasa yang digunakan sebagai semboyan, semangat, pujian, hingga makian. Dari sekian banyak adagium, yang masih melekat dengan sosok Pangeran Diponegoro adalah kéré munggah balé. Kalimat ini terucap saat Diponegoro menampar wajah Danurejo IV dengan sendal selop. Tindakan ini dilakukan akibat Pangeran Diponegoro geram terhadap ulah licik dan culas Patih Danurejo IV. Peristiwa ini terjadi pada suatu perjamuan di Keraton Mataram yang dihadiri pihak Kraton dan wakil pemerintah Belanda. Akibat ulah licik dan culas Danurejo IV, Kraton Mataram masa Hamengkubuwono IV (HB IV) nyaris mengalami kebangkrutan. Bahkan, yang lebih mengkhawatirkan bagi Diponegoro adalah kemerosotan moral keluarga dan kerabat Keraton Mataram akibat pengaruh penjajah Belanda. Kéré munggah balé memiliki arti: seorang miskin yang naik derajat memasuki istana. Meski sudah berada di istana, namun sikap miskinnya masih dibawa. Jika dikontekskan dengan bahasa kekinian bisa disejajarkan dengan istilah "orang kaya baru". Mulanya Pangeran Diponegoro sendiri yang mengajukan nama Danurejo IV kepada pihak kolonial. Kala itu, Pangeran Diponegoro menjadi wali dari HB IV yang dinobatkan sebagai raja dalam usianya yang masih dua tahun. Jabatan wali inilah yang mengharuskan Diponegoro menjadi juru runding dan penasihat HB IV. Dalam sistem pemerintahan Kasultanan Mataram Yogyakarta sejak HB I, dikenal adanya Maha Patih yang bertugas mengurus bidang administrasi pemerintahan, pertanahan, dan perpajakan. Patih-patih itu ditunjuk secara turun temurun sejak Danurejo I. Melalui para patih tersebut, pemerintah kolonial Belanda melakukan intervensi terhadap Kasultanan Mataram. Para sultan dan patih yang akan dinobatkan dan diangkat harus atas persetujuan pemerintah Belanda. Intervensi dan kesewenang-wenangan pihak kolonial Belanda terwujud melalui politik pecah belah yang mengakibatkan Kasultanan (Ngayogyakarta) dan Kasunanan (Surakarta) terpecah. Selain itu, campur tangan pemerintah kolonial Belanda terhadap urusan Keraton, kutipan pajak tanah yang membebani rakyat, dan merosotnya moral tradisi Keraton karena masuknya budaya barat melatarbelakangi keputusan Pangeran Diponegoro untuk mengobarkan perang sabil, perang demi menegakkan keadilan. Siapa sangka bermula dari akumulasi kegeraman inilah akhirnya pecah Perang Jawa yang dipimpin langsung oleh Pangeran Diponegoro. Perang Jawa yang berlangsung tahun 1825 sampai 1830 tersebut ternyata membuat bangkrut pemerintah kolonial Belanda. Meskipun tidak semua patih trah Danurejo memiliki sifat buruk, namun ada dua orang di antaranya yang tercatat dengan tinta hitam dalam sejarah. Kedua patih yang sepak terjangnya merugikan Kasultanan Mataram yaitu Danurejo III dan Danurejo IV. Di kemudian hari, jabatan patih mulai dihilangkan sejak masa pemerintahan Sultan Hamengkubuwono IX. Sejak saat itu, Sultan Yogyakarta memegang penuh urusan pemerintahan Keraton Kasultanan Mataram. (MA)
Among adalah istilah Jawa yang merupakan akar kata dari pamong, pamomong dan momong. Makna dari kata among secara harfiah adalah asuh atau mengasuh. Dalam khazanah keyakinan masyarakat Jawa, manusia lahir di dunia ini tidak dilahirkan sendirian, namun ada 4 saudara yang menyertai kelahiran seorang bayi yang biasa disebut sedulur atau saudara. Keempat sedulur itu adalah kawah (air ketuban) sebagai kakang (kakak), ari- ari (plasenta) sebagai adhi (adik), getih (darah), tali puser (tali pusar), serta dhiri (tubuh bayi) sebagai pancer (pusat). Naluri inilah yang hingga saat ini masih diugemi dan diyakini oleh masyarakat Jawa. Dan bahwa saudara ini hadir menyertai seseorang sejak dalam kandungan, lahir, hidup, hingga kelak mati. Dalam keseimbangan ini pula nasib seseorang terkait hidup, rejeki, jodoh, dan pati (ajal) bisa dirumuskan.
Menyadari akan hal itu, biasanya setiap selapan atau 35 hari sekali dibuatlah bancakan. Pelaksanaannya tepat di hari dan pasaran atau biasa disebut weton. Adapun macam dari bancakan among-among biasanya sesuai kebutuhan dan kemampuan keluarga yang melaksanakannya. Misalnya, dalam bentuk yang sederhana, biasanya among-among memuat aneka makanan yang berupa tumpeng, urap, jajan pasar,dan aneka jenang serta bunga.
Tujuan dilaksanakannya among-among adalah sebagai ucapan syukur atas kesehatan dan keselamatan, ketenteraman, ketenangan dan keteguhan batin. Selain doa yang disampaikan ke pada Gusti Allah, among-among ini juga sebagai wujud ucapan terima kasih pada para sedulur yang telah menjadi pamomong. Karena dengan adanya pamomong diyakini keseimbangan jasmani dan rohani seseorang akan terjaga. Sebangun dengan hal itu, keberadaan jagad cilik (mikrokosmos) dan jagad gedhé (makrokosmos) dalam diri setiap manusia termanifestasikan pada semakin baiknya kemampuan manusia dalam mengolah nafsu lawamah, supiyah, amarah, dan mutmainah.
Meskipun zaman semakin maju dan rasionalitas manusia menjadi garda depan, namun eksistensi tradisi ini masih terjaga dengan baik di tengah masyarakat, terutama di pedesaan. Selain memiliki fungsi personal, tradisi ini juga memiliki fungsi komunal, yakni menciptakan ruang sosialisasi, mempererat solidaritas, dan meneguhkan sikap hidup kebersamaan. Selain itu, yang paling utama dari seluruh tujuan hidup masyarakat jawa adalah slamet (selamat dunia dan akhirat).
***
Ilustrasi: foto karya Felipe Salgado.
Membicarakan kabupaten Pati tidak lengkap rasanya kalau tidak membahas tokoh-tokoh ulamanya. Nama-nama ulama yang masyhur seperti Mbah Mutamakin, Mbah Ronggo Kusumo, hingga generasi setelahnya KH. Bisri Syamsuri, Mbah Salam Kajen, Mbah Mahfud, sampai ke KH. Abdullah Salam, KH. Suyuti Abdul Kadir Guyangan, sampai KH. Sahal Mahfud Rois Am Nahdhatul Ulama yang masih dapat kita rasakan getaran kharomahnya hingga saat ini.
Namun, sering kali terlewat dalam pembahasan mengenai keberadaan tokoh ulama di Pati, yaitu Syekh Jangkung atau yang akrab di panggil masyarakat dengan sebutan Mbah Saridin yang sering dimaknai namanya (sari yang berarti “inti”, dan “din” berarti agama). Salah seorang ulama yang hidup sekitar abad XVI hingga XVII, makamnya diyakini berada di sekitar lereng pegunungan Kendeng Desa Nglandoh, kecamatan Kayen, Pati. Keberadaan tokoh ulama yang satu ini memang kontroversial, cerita-cerita unik yang masih lekat dalam ingatan kolektif banyak masyarakat di Pati, menjadikan tokoh ulama ini bisa dikatakan sebagai pembentuk identitas kultural masyarakatnya hingga saat ini.
Hal ini menjadi kenyataan yang tidak bisa dipisahkan dengan banyaknya cerita folklor yang masih tersimpan dan dapat ditemukan dalam alam pikir kebanyakan masyarakat Pati. Pentas ketoprak (sebuah drama teater masyarakat), yang sampai hari ini masih menjadi seni tradisi yang eksis di tengah-tengah masyarakat hampir di seluruh wilayah Pati, juga menjadi salah satu instrumen kenapa cerita-cerita itu terasa abadi di ruang sosial masyarakat. Melalui pementasan ketoprak tersebut juga, tokoh Saridin layaknya hidup kembali memberi wejangan-wejangan penuh makna yang secara tidak sadar memberikan gambaran hidup ideal bagi masyarakat Pati.
Hingga saat ini personifikasi tokoh Saridin selalu diidentikkan dengan nilai-nilai keuletan, keberanian, dan keyakinan tauhid yang kuat kepada Allah, menjadi identitas bagi masyarakat Pati di tanah perantauan di mana pun ia berada. Untuk mengidentifikasi hal tersebut kita bisa dengan sederhana mencermati melalui ”repertoar” makna bahasa seperti “kabèh budi akalmu”, putuné Saridin, yang sering digunakan oleh banyak orang Pati dimanapun mereka ada. Kita bisa pahami ungkapan-ungkapan seperti itu sering kali digunakan untuk menggambarkan bagaimana spirit Saridin ada di setiap gerak laku orang yang meyakininya.
Realitas seperti itu, tentunya tidak serta merta tercipta dari ruang kosong. Namun ada proses sejarah yang panjang kemudian selalu direpetisi terus menerus. Di sisi lain faktor karomah seorang tokoh suci yang dekat dengan Tuhan, yaitu Mbah Saridin itu sendiri juga tidak bisa kita kesampingkan. Tetapi yang jelas ajaran-ajaran Saridin sebagai ulama yang menyebarkan ajaran Islam di daerah Pati telah mendarah daging pada masyarakat Pati.
Namun, anehnya seperti yang saya dapat rasakan sebagai orang yang tumbuh di mana tokoh Saridin ini ada. Ada semacam klaim entah dari mana dan sejak kapan itu ada, bahwa ada dua paradigma besar corak keberislaman masyarakat Pati yang ada korelasinya dengan keberadaan dua tokoh ulama yaitu Saridin di Pati Selatan, dan Mbah Mutamakin di Pati Utara. Kategorisasi melalui letak geografis ini membentuk cara pandang yang keliru mengenai corak keberislaman di Pati Selatan dianggap abangan, kemudian di Pati Utara lebih ke santri. Saya curiga paradigma seperti ini, memang dibentuk oleh kolonialisme yang sudah jamak kita ketahui.
Memang jika kita amati, ajaran-ajaran yang dimanifestasikan dalam beberapa sekuel cerita rakyat dari tokoh Saridin ini, tidak lain memang bukan ajaran formal keagamaan yang bentuknya fikih. Namun cenderung nilai-nilai tasawuf lebih kental untuk menangkap pesan-pesan yang diajarkan. Hal ini juga sebenarnya dapat kita rasakan dalam ajaran Mbah Mutamakin yang tersirat dalam serat cibolek yang melegenda itu. Jadi jelas klasifikasi yang banyak diamini oleh masyarakat Pati mengenai pemisahan di atas kita bisa tangkap maksud politisnya.
Mengenai tokoh Saridin ini sendiri, sebenarnya bentuk faktual mengenai tahun lahir dan keturunannya siapa, tahun meninggal sampai masa hidupnya, sampai hari ini saya sendiri belum menemukan informasi validnya. Banyak yang mengungkapkan keberadaannya di masa awal kerajaan Mataram Islam tepatnya di masa Sultan Agung. Seperti hasil penelitian salah satu mahasiswa Fakultas Adab Jurusan Sejarah Islam UIN Yogya dalam skripsinya, mengungkapkan bahwa keberadaan naskah asli yang menceritakan tokoh ini sampai hari ini memang tidak ditemukan. Sehingga untuk merekonstruksi sejarah yang ada, hanya menggunakan cerita lisan masyarakat yang sempat dibukukan kemudian dicetak banyak disekitar makamnya.
Terlepas dari itu semua, bukan pada validitas data historis yang membuat tokoh ini perlu kita kenang dan bicarakan. Tetapi relevansi nilai-nilai dan ajarannya serta dampak sosial yang ditimbulkannya, kiranya penting bagaimana kita membicarakan ulama yang satu ini.
Seperti yang digambarkan dalam cerita ketoprak yang masih melekat di ingatan saya, tokoh Saridin ini merupakan anak desa yang gemar mencari ilmu, ia melakukan perjalanan lelaku pengembaraan menyambangi para guru-guru spiritualnya seperti Sunan Kalijaga kemudian Sunan Kudus untuk mencari ilmu agama Islam. Pada periode ketika berguru pada Sunan Kudus terjadi cerita yang menggambarkan bahwa Saridin merupakan murid yang tidak bisa membaca Al-Quran sendiri di antara murid-murid yang lainnya. Dia dikesampingkan oleh teman-teman seperguruannya, bahkan dicampakkan, kemudian Saridin hanya disuruh untuk mengisi padasan tempat wudhu terus-menerus hingga tak sempat belajar baca tulis Al-Quran. Kondisi tersebut tidak lantas mengecilkan hatinya, berbekal dengan ajaran-ajaran Tauhid keyakinan penuh pada Allah SWT yang menjadi jimat dalam aktivitasnya. Ia secara mengejutkan dapat menyelesaikan pekerjaannya dengan baik dan ajaib. Hal tersebut sontak juga mengagetkan Sunan Kudus dan murid-muridnya. Dalam cerita ini ada persaingan yang menyimpan ajaran-ajaran Tauhid yang dilakukan oleh Sunan Kudus kepada Saridin sebagai santrinya.
Dalam konteks cerita di atas saya memahami Mbah Saridin sendiri adalah orang sakti yang ngerti sakdurungi kineruh, bisa menyembuhkan orang, sampai melakukan tindakan di luar nalar manusia. Hingga di banyak cerita dalam ketoprak tokoh ini melakukan penyebaran agama Islam melalui karomah-karomah yang dimilikinya. Hal tersebut juga bisa ditelusuri jejaknya di beberapa desa di Pati yang masih menyimpan cerita lisan terkait proses penamaan persinggahannya dan proses penyebaran ajarannya.
Banyak cerita lain sebenarnya yang menggambarkan tokoh ulama yang satu ini. Terlepas benar-tidaknya cerita tersebut, cerita-cerita yang su dah menubuh dan menjadi tauladan di tengah masyarakat Pati ini, sudah dimaknai dampak positifnya dengan ajaran-ajaran yang ada masyarakat Pati semakin tahu identitas kulturalnya dan mengerti posisi kehambaannya itu sendiri. Huallahualam, bishoaf.
Siapa yang menyangka makam tua tak terawat di tengah pekarangan warga di Kampung Gandu, Sendangtirto, Berbah, Sleman itu adalah makam Roro Mendut dan Pronocitro?
Orang sekitar menyebutnya Makam Roro Mendut. Untuk bisa sampai ke makam itu, peziarah bisa masuk melalui Jalan Wonosari kilometer tujuh. Masuk ke arah kanan jika berangkat dari Kota Yogyakarta.
Jalan menuju makam mudah ditelusuri karena berada dalam lingkungan kampung yang telah maju. Namun, sesampainya di lingkungan makam akan tampak lanskap pekarangan yang tidak terurus. Pepohonan yang rimbun, juga rumpun bambu yang menaungi cungkup makam membuat situasi terasa singup.
Karena pemakaman umum Kampung Gandu terletak di lain tempat, maka di dalam area makam ini itu hanya ada satu cungkup dan satu nisan yang terbuat dari kayu jati tua, yaakni makam sepasang pecinta legendaris yang kisah asmaranya telah haru biru dalam ingatan kolektif orang Jawa. Meski memang tak sepopuler Romeo dan Juliet, tapi orang Jawa tak akan pernah lupa terhadap romansa cinta mereka yang indah sekaligus tragis.
Roro Mendut merupakan sosok wanita jelita yang berasal dari Kadipaten Pati di pesisir utara Jawa. Ia adalah wanita yang memikat banyak pria. Di antara pria-pria tersebut terdapat para pembesar, seperti Adipati Pergola dan Tumenggung Wiraguna.
Roro Mendut diboyong ke Mataram setelah pemberontakan yang dilakukan Adipati Pergo terhadap Sultan Agung di Mataram gagal. Nasib Roro Mendut yang menjadi selir Adipati Pergola tidak menjadi lebih baik meskipun ia telah dibawa ke Mataram. Di Mataram, Roro Mendut mendapat perlakuan serupa sebelumnya, yakni menjadi madu dari Tumenggung Wiraguna.
Syahdan, cinta sang tumenggung bertepuk sebelah tangan. Roro Mendut tetap teguh menolak meski berbagai cara telah dilakukan oleh Tumenggung Wiraguna untuk mendapatkan cintanya. Tidak sekadar dengan pendekatan yang halus, namun juga dengan pendekatan politik yang penuh paksaan. Sang tumenggung menetapkan pungutan pajak tinggi kepada Roro Mendut.
Dalam upaya melunasi pajak, Roro Mendut menggunakan kecerdikannya dalam membuat dan menjual rokok kretek. Kretek buatan Roro Mendut sangat laris di pasaran. Konon, salah satu kuncinya adalah dengan menggunakan air ludahnya sendiri sebagai lem perekat. Ia menjilat batang rokoknya terlebih dahulu sebelum diberikan ke pembeli.
Pendekatan “represi cinta” Tumenggung Wiraguna tidak mampu membuat Roro Mendut menyerah. Meskipun sang tumenggung semakin keras menghukum sang pujaan hati, Roro Mendut masih tegar dan memilih setia pada suaminya, Pronocitro. Baginya cinta bukan tentang kekuasaan namun kesetiaan.
Akhirnya terjadilah peristiwa yang amat tragis. Tumenggung Wiraguno menusukkan sebilah keris ke tubuh Pronocitro, namun keris itu malah tertusuk ke tubuh Roro Mendut yang tiba-tiba berusaha melindungi nyawa sang suami dengan memeluk tubuh Pronocitro. Mereka berdua tewas di tangan Tumenggung Wiraguna dalam posisi berpelukan, dengan sebilah keris menancap di badan. Jasad pasangan sehidup semati itu pun pada akhirnya dikubur bersama dalam satu liang lahat.
Oleh karena legenda ini adalah cerita tutur dari generasi ke generasi maka sudah sewajarnya memiliki banyak versi. Sejumlah versi mengisahkan bahwa Roro Mendut bunuh diri dengan keris Tumenggung Wiraguna begitu mengetahui bahwa Pronocitro sudah tewas terbunuh. Meski masih banyak varian kisah lainnya, yang utama bagi kita adalah dengan memetik nilai yang ada dalam tragedi asmara itu.
Sebangun dengan kisah tragis mereka, keberadaan makamnya pun demikian. Kondisi makam tidak terawat sebab tidak ada pihak yang mau mengambil tanggung jawab pengelolaannya. Situasi ini pula yang mengakibatkan makam tersebut sering disalahgunakan oleh oknum peziarah untuk menjalankan ritual yang menyeleweng dan menyimpang dari ajaran agama dengan dalih ngalap berkah demi memperoleh kekayaan dan penglarisan.
(Diolah dari beberapa sumber lisan dan tulisan)
Sebagai warga yang berdomisili di Yogyakarta, penetapan kota ini menjadi salah satu kota yang sudah terdampak penyebaran viru Corona membuat saya was-was untuk keluar rumah. Pemerintah telah menganjurkan social distancing untuk memperlambat penyebaran dan menghindari banyaknya korban. Namun ada yang unik dan menjadi perehatian saya berkaitan dengan anjuran warga Jogja untuk mamasak sayur lodeh yang berisi terong, kluweh, daun sho, juga kacang klewer dalam masa pagebluk (wabah penyakit) seperti sekarang ini. Anjuran tersebut disampaiakan oleh pihak Keraton Yogyakarta sebagaimana muncul di media-media sosial. Saya tidak tahu sejauh mana anjuran tersebut memiliki kebenaran. Namun yang jelas anjuran tersebut mempunyai sejarah panjang bagi warga Yogyakarta ketika tengah menghadapi masa-masa sulit. Dalam penulusuran saya, anjuran tersebut memang pernah dikeluarkan oleh Sri Sultan Hamengku Buwono X di saat terjadi gempa Jogja tahun 2006 yang lalu. Jauh sebelumnya pada masa Sri Sultan Hamengku Buwono IX anjuran tersebut juga pernah dikeluarkan. Informasi ini terkonfirmasi oleh banyak warga Jogja yang saya temui. Jadi, jika anjuran tersebut tidak benar adanya, ia mempunyai rekam jejak sejarah cukup panjang dalam ingatan kolektif masyarakat Jogja. Anjuran memasak sayur lodeh dengan segala pirantinya memang biasa kita lakukan. Tetapi menjadi berbeda ketika anjuran tersebut dikeluarkan oleh Sultan Jogja. Pertama, anjuran ini menunjukkan adanya situasi dan kondisi yang memang sulit akibat wabah penyakit yang bagi masyarakat Jogja disebut sebagai pagebluk. Keluarnya anjuran nasak lodeh ini merupakan bentuk doa keselamatan bagi masyarakat agar terhindar dari bencana. Seperti yang kita ketahui, mitologi masyarakat Jawa sangat lekat dengan pendekatan simbolis yang melibatkan unsur alam dalam upaya mereka memohon kepada Tuhan. Bagi orang Jawa unsur alam juga merupakan bagian dari mahluk Tuhan. Dalam salah satu ayat Al Quran juga disebutkan bahwa gunung dan tumbuh-tumbuhan juga bertasbih kepada Allah. Karena sebagai mahluk alam tidak diberi nafsu dan akal, tugas alam hanya hanya menyembah Allah sehingga alam lebih taat daripada manusia. Hal ini berlainan dengan manusia yang diberi akal dan nafsu sehingga potensi ingkar menjadi lebih besar. Jadi tidak salah bagi masyarakat Jawa selalu mengunakan simbol-simbol alam dan tumbuhan seperti bunga setaman, pisang dan uborampe lainnya, termasuk yang ada dalam sayur lodeh sebagai simbol doa dan kesucian itu sediri. Jika kita jeli, sesungguhnya pelibatan unsur-unsur alam tidak digunakan secara serampangan. Ada pemaknaan yang dalam, interpretasi yang kontekstual mengapa harus menggunakan berbagai syarat dan prasyarat. Misalnya kita bisa melihat dalam pembuatan sayur lodeh dengan beberapa pirantinya ini sebuah filosofi yang luhur . Kluwih bisa mempunyai makna kluwargo luwihono anggone gulowentah gatekne, yang kurang lebih artinya adalah "dahulukan keluarga di saat kita berusaha." Cang gleyor bermakna cancangen awakmu Ojo lungo alias "ikat dirimu di rumah jangan berpergian" -- hal tersebut sesuai dengan anjuran pemerintah melakukan social distancing. Tidak ketinggalan terong bermakna terusno anggone olehe manembah Gusti Ojo datnyeng, mung Yen iling tok (lanjutkan di saat menyembah Gusti Allah, jangan hanya di saat ingat saja). Kulit melinjo, Ojo mung ngerti njobone Ning kudu Reti njerone Babakan pagebluk (jangan hanya mengerti luarnya saja tetapi harus mengerti di dalam masa penyakit seperti ini). Sedang buah Waluh bisa bermakna dalam yaitu uwalono ilangono ngeluh gersulo (hilangkan perasaan mengeluh dan gelisah/panik). Godong so, golong gilig donga kumpul wong Sholeh sugeh kaweruh Babakan agomo lan pagebluk (berdoa dengan penuh berkumpulah dengan orang saleh dan banyak pengetahuanya terkait agama dan prihal wabah penyakit ini). Dan yang terakhir adalah Tempe, temenono olehe dedepe nyuwun pitulungane Gusti Allah (bersunguh-sungguh dalam mendekat dan meminta pertolongan pada Allah). Dari keseluruhan telah kita coba dapati makna saur lodeh sebagai ekspresi doa masyarakat Jawa. Perwujudan bentuk-bentuk tumbuhan menjadi khasanah masakan yang secara tidak langsung membentuk nilai-nilai spiritual dan estetis. Dari sana anjuran tersebut bukan berarti sayur lodeh merupakan penangkal wabah corona, namun hal tersebut menjadi sarana untuk berdoa dengan makna-makna yang lebih mudah diterima oleh pemahaman masyarakat agar wabah penyakit segera terlewati. Jika demikian halnya jalan yang ditempuh, menghadapi bencana corona dengan sayur lodeh juga selaras dengan anjuran agama Islam, yaitu untuk berdoa sesuai kemampuan masing-masing. Terkabul dan tidaknya doa tidak bisa dilihat dari bentuk ekspresinya melainkan keyakinan dan keiklasan rang yang menjalani serta, di atas segalanya, keputusan Allah yang Maha Pemurah dan Penyembuh. Pun, berdoa dengan sayur lodeh juga merupakan praktik mengikuti anjuran pemerintah untuk melakukan social distancing, mengurangi aktivitas yang tidak penting di luar rumah dan selalu menjaga kesehatan untuk menghambat laju perluasan virus corona. Dari itu semua, jika kita sepakat bahwa semua musibah datangnya dari Allah, berdoa dengan sunguh-sunguh juga menjadi bagian penting yang perlu terus diupayakan.