Setiap membaca tulisan Kiai Jadul Maula (M. Jadul Maula), saya selalu merasakan adanya luapan pengetahuan baru, yang seringkali mendobrak kemapanan pemahaman dan kesadaran beragama umat Islam.
Begitulah ketika pertama kali saya membaca tulisan Kiai Jadul berjudul “Syariat/Kebudayaan Islam: Lokalitas dan Universalitas”. Tulisan tersebut adalah salah satu artikel Kiai Jadul yang dimuat dalam bukunya, Islam Berkebudayaan, yang sedang saya resensi ini.
Saya sendiri telah membaca khusus artikel tersebut beberapa tahun lampau, ketika Desantara menyelenggarakan sarasehan soal “Fenomena Formalisasi Syariat Islam”.
Dalam tulisan tersebut, saya menemukan satu pengetahuan yang mendobrak kemapanan pengetahuan keagamaan kita selama ini tentang sejarah kurban.
Jika lazim kita pahami Ibrahim mengurbankan Ismail, Kiai Jadul justru menampilkan perdebatan tentang siapa yang sesungguhnya dikurbankan? Ismail atau Ishak? Ia mengetengahkan bagaimana Fakhruddin al-Razi menampilkan perdebatan tersebut dalam Tafsir al-Kabir.
Kalau sebelumnya kita hanya menerima begitu saja pengetahuan yang mengatakan, Ismail yang dikurbankan oleh Ibrahim, maka setelah membaca tulisan Kiai Jadul tersebut, kita mulai mempertanyakan: siapa yang dikorbankan di antara keduanya?
Di sini tidak penting pendapat mana akhirnya yang banyak diikuti oleh ulama. Yang lebih penting, dengan tulisan tersebut, Kiai Jadul tengah mengajak kita untuk melihat ulang pengetahuan dan tradisi beragama kita yang telah mapan.
Kiai Jadul tengah mengaduk-aduk dan mempertanyakan kembali pengetahuan kita tentang sejarah kurban, yang selama ini telah mematok, bahwa Ismail-lah yang dikurbankan.
Ismail dan Ishak
Saat ini, dengan melubernya informasi soal agama di internet, perdebatan soal Ismail ataukah Ishak yang dikurbankan oleh Ibrahim, telah banyak diketahui umat Islam. Tetapi, pada saat Kiai Jadul menuliskan hal tersebut, hal itu masih terasa janggal, sekaligus menantang.
Perdebatan soal apakah Ismail atau Ishak yang dikurbankan oleh Ibrahim, bukanlah substansi tulisan Kiai Jadul dalam artikel tersebut. Melalui kisah itu, justru ia ingin mengetengahkan fakta, bahwa lokalitas seringkali menjadi dasar argumen ijtihad para ulama.
Hal itu muncul dalam argumen ulama yang mengatakan, Ismail-lah yang dikurbankan. Alasannya, fosil tanduk gibas ditemukan di Kakbah-Makkah. Sementara yang tinggal di Makkah, hanya Ismail.
Dari sinilah Kiai Jadul menunjukkan, apa yang kita sebut Islam dengan nilai-nilai universal, berlaku li kulli zaman wa makan (tiap waktu dan tempat), ternyata banyak bersandar pada lokalitas yang ada pada tradisi Arab.
Dengan demikian, tidaklah tepat pemahaman yang menyimpulkan: “Islam itu murni hanya berisi nilai-nilai dari Langit yang bersifat universal.”
Ulasan Kiai Jadul soal Islam yang berpijak pada lokalitas ini, lagi-lagi menghentak kesadaran dan pengetahuan keislaman kita.
Jika selama ini kebanyakan umat Islam memandang Islam sebagai ajaran universal dari Langit yang mengubah tradisi Arab Jahiliah saat itu, Jadul justru menunjukkan, banyak di antara ajaran Islam merupakan kelanjutan tradisi Arab pra Islam.
Kiai Jadul mencontohkan bacaan “Labbaik allahuma labbaik, labbaik la syarika laka labbaik”, ketika tawaf di Kakbah, telah dikenal oleh suku-suku Arab, jauh sebelum Islam datang.
Bacaan ini bahkan telah dipraktikkan oleh suku-suku Arab dengan dicampur bacaan lain sesuai keyakinan mereka, sebelum Qushay bin Kilab merebut otoritas pengelolaan Kakbah.
Qushay bin Kilab sendiri adalah leluhur Nabi Muhammad, yang mengambil alih pengelolaan Kakbah dari klan Bani Khuza’ah, suku Jurhum. Hal ini diungkapkan Kiai Jadul dalam tulisannya berjudul “Baitullah di Antara Pakta Keamanan dan Perdagangan.”
Tradisi Lokal
Dengan membentangkan pengetahuan-pengetahuan yang tidak umum dipahami umat Islam tersebut, khususnya yang menunjukkan keterkaitan Islam dengan tradisi lokal Arab, Kiai Jadul membuka jalan lahirnya apa yang selama ini kita sebut “Islam Lokal,” “Islam Adat,” “Islam Tradisional”, dan “Islam Nusantara”.
Selama ini, dengan dalih pemurnian dan atas nama universalisme Islam, peminggiran Islam lokal yang tumbuh dan berkembang di Nusantara telah dan sedang dilakukan oleh kaum puritan. Sementara diskursus Islam Nusantara, yang digaungkan Nahdlatul Ulama, ditonjok ramai-ramai oleh berbagai kalangan.
Argumen yang diajukan Kiai Jadul, dengan menunjukkan data-data tentang Islam yang universal, sekaligus melokal di Tanah Arab, membuat kalangan yang menolak diskursus Islam Lokal diajak untuk memikirkan ulang pandangannya.
Martin van Bruinessan
Buku yang ditulis Kiai Jadul ini, sejatinya ingin menunjukkan, bagaimana pergulatan antara Islam, beserta nilai-nilai universalnya dengan lokalitas itu sendiri. Pergulatan itu membentang sejak dari tempat tumbuh dan berkembangnya Islam, yaitu tanah Arab hingga tiba di Nusantara.
Mengenai hubungan antara universalisme Islam dan yang lokalitas itu sendiri, Martin van Bruinessan (1999), telah mengurai dengan cukup apik dalam tulisannya Global and Local in Indonesia Islam.
Bruinessan menunjukkan, apa yang dianggap Islam lokal itu sendiri, tidaklah betul-betul murni lokal. Selalu ada pengaruh global, atau universalisme, dalam apa yang kita sebut lokal. Sebaliknya juga demikian.
Perjumpaan antara yang lokal dan global dalam Islam ini, dengan demikian, bukan semata-mata sekadar harmoni antara keduanya. Namun, yang terjadi adalah, proses pergulatan yang panjang. Terjadi saling menimba, akomodasi, dan adaptasi pada sisi tertentu. Tetapi di saat yang sama, terjadi juga proses negosiasi dan resistensi, di sisi seberangnya.
Dalam konteks perjumpaan antara yang lokal dan universal inilah, Islam Berkebudayaan menempatkan dirinya. Itu berarti, Islam yang merupakan ajaran Langit dengan nilai-nilai universalnya baru bisa dikenali sebagai agama oleh manusia jika dia berkebudayaan.
Tanpa kebudayaan dengan masing-masing corak di tiap lokalitasnya, Islam hanyalah nilai yang hidup di ruang hampa.
Dalam hal gagasan tentang perjumpaan Islam dan kebudayaan lokal, Kiai Jadul tentu saja tidak sendirian.
Sebelumnya, telah banyak muslim par excellent yang telah mengkaji hal ini. Sebutlah sebagai misal, Abdurrahman Wahid alias Gus Dur, dengan gagasan Pribumisasi Islam. Ada pula Azyumardi Azra dengan Islam Evolusionis-nya, serta Taufiq Abdullah yang menggunakan istilah Islam Lunak.
Namun, yang berbeda dari Kiai Jadul, sekali lagi, karena ia melakukan ini dengan terlebih dahulu mendobrak kemapanan pengetahuan kita tentang Islam. Kiai Jadul membangun pengetahuan tandingan, tetapi dengan referensi yang kuat.
Untuk sampai ke situ, Kiai Jadul mengembara dalam lautan pengetahuan di berbagai kitab-kitab klasik. Mulai dari kitab mu’tabarah (kitab yang umum jadi pegangan kalangan Sunni/NU), hingga ke kitab-kitab yang ghairu mu’tabarah.
Tidak cukup sampai di situ. Kiai Jadul pun melahap tulisan dari pemikir muslim kontemporer semacam Hassan Hanafi, Mohammad Arkoun, Khalil Abdul Karim, dan Nasr Hamid Abu Zeyd.
Pemikir-pemikir yang juga sedang mendobrak bangunan epistemologi pengetahuan Islam. Sering pula Jadul membangun argumennya dengan dalil-dalil dari pengalamannya bersentuhan dengan ulama-ulama otoritatif.
Cara Kiai Jadul dalam mengakses pengetahuan baik dari kitab muktabarah, gairu muktabarah, pemikir muslim kontemporer, bahkan pengetahuan sosial-budaya dari pemikir post-strukturalis, menurut Martin Van Bruinessan, menunjukkan cirinya sebagai sosok santri kelana. Santri yang mengembara dari dunia pengetahuan yang satu ke lautan ilmu yang lain.
Kakbah
Salah satu tulisannya yang memuat kisah “Kakbah Pergi Menjemput Rabi’ah al-Adawiyah”, saya kira diperolehnya dari kitab-kitab yang tidak umum (gairu mu’tabarah).
Kisah itu menunjukkan, bagaimana Ibrahim bin Adham begitu cemburu, karena dirinya yang lagi mengunjungi Kakbah di Makkah, malah tidak menemukan kiblat umat Islam itu. Ia diberitahu, bahwa justru Kakbah datang menjemput Rabi’ah.
Ketika Ibrahim bin Adham menanyakan mengapa Kakbah begitu memuliakannya, sehingga sudi datang menjemput.
Rabi’ah menjawab: “Apa peduliku dengan rumah Allah ini, yang aku butuhkan adalah pemiliknya.”
Tulisan Kiai Jadul soal “Kakbah Menjemput Rabi’ah” ini jelas subversif dan menyempal dari pengetahuan Islam selama ini. Akan tetapi, justru melalui itulah, Jadul memberikan ruang terhadap ekspresi Islam lokal semacam Haji Bawakaraeng.
Setidaknya, saya sendiri sering mengutip kisah ini sebagai basis argumen, ketika menulis komunitas Haji Bawakaraeng.
Begitulah cara Kiai Jadul memperkenalkan Islam Berkebudayaan ini. Ia memulainya dengan pengetahuan-pengetahuan yang meruntuhkan dominasi pengetahuan Islam yang mapan.
Karena itu, meskipun buku ini merupakan kumpulan tulisan, yang seringkali orang sebut ‘Buku’ yang bukan benar-benar ‘Buku’, tetapi ia bukanlah kumpulan tulisan biasa.
Kumpulan tulisan ini berasal dari perenungan dan pergulatan yang panjang dari penulisnya. Kita disuguhkan data-data yang kuat, refleksi yang dalam, dan argumen yang kaya dengan referensi.
Tulisan Kiai Jadul ini, dengan demikian, meminjam istilah Hasan Basri Marwah (editor buku ini), bukanlah kumpulan tulisan disposable: sekali pakai dan tidak punya efek apa-apa, kecuali mungkin, sebagai hiburan atau pengisi waktu luang.
Kumpulan tulisan Kiai Jadul ini, adalah kumpulan tulisan yang merangsang kita untuk mempertanyakan terus-menerus kemapanan pengetahuan dalam Islam. Khususnya, pengetahuan yang selama ini memapankan, bahwa Islam dan Kebudayaan adalah dua entitas yang terpisah.
Bukankah beragama memang bukanlah soal pengetahuan yang pasti dan paling benar? Beragama adalah proses mencari dan terus mencari… Sebab, kebenaran yang sesungguhnya, hanya ada pada diri-Nya.
Deskripsi Buku
Judul: Islam Berkebudayaan: Akar Kearifan Tradisi, Ketatanegaraan dan Kebangsaan
Penulis: M. Jadul Maula
Penerbit: Pustaka Kaliopak
Tahun Terbit: 2019
Jumlah Hlmn: 328+XXVII
Resensi buku ini ditulis oleh Syamsurijal – Peneliti Balai Litbang Agama Makassar, dimuat pertama kali di situs blamakassar.co.id tanggal 28 Maret 2020. (MA)
Malam minggu (18/12/2021) di Pondok Pesantren Budaya Kaliopak terasa beda. Lampu pendapa yang biasa digunakan acara begitu gelap, yang terlihat hanya cahaya yang dipancarkan di tembok. Pemutaran film dengan projektor ternyata sedang terjadi malam itu. Kurang lebih 30 orang memadati pendapa yang gagah diterpa cahaya malam, mereka nampak khusyuk hayut dalam film yang di putar dengan judul Darah dan Doa The Long march karya Usmar Ismail dalam acara Bimaseni #2 yang diadakan rutin di Pondok di bantaran Kaliopak ini. Film yang diproduksi tahun 1950 ini, merupakan film Indonesia pertama yang secara resmi diproduksi oleh orang Indonesia sendiri sebagai sebuah negara setalah perang kemerdekaan. Film yang menceritakan perjalanan panjang (long march) prajurit devisi Siliwangi RI yang diperintahkan kembali ke pangkalan semula, dari Yogyakarta ke Jawa Barat setelah kota itu di duduki oleh Belanda pada agresi militer ke dua tahun 1949. Perjalanan panjang yang dipimpin Kapten Sudarto (del Juzar), diceritakan dalam film penuh dengan mara bahaya, banyak peristiwa terjadi seperti sergapan musuh yang menewaskan beberapa prajurit, kisah asmara sang kapten, penderitaan prajurit dan dilema menjadi prajurit dalam kondisi negara yang belum menentu, menjadi drama realis yang begitu menghanyutkan pada malam itu. Kisah perjuangan dan rasa nasionalisme menjadi narasi utama dalam film yang berdurasi 2 jam tersebut. Dengan segala kelebihan dan kekurangan secara teknis film ini, Usmar Ismail yang juga menjadi bapak perfilman nasional dan baru saja dianugerahi gelar pahlawan nasional, sebagai seorang sutradara berhasil menyuguhkan karya film sebagai alat perjuangan di waktu krisis dan transisi kebangsaan untuk tujuan kesatuan dan persatuan di antara anak bangsa. Setelah film selesai malam itu kemudian dilanjutkan dengan acara diskusi untuk membedah film yang sudah selesai di tonton. Zahid Asmara sebagai pembedah pertama menyatakan, bahwa film Darah dan Doa sebagai bentuk diplomasi budaya yang dilakukan Usmar Ismail melalui film. Hal ini juga bagian dari sikap Usmar Ismail dalam merespon maraknya film asing terutama dari Amerika yang membanjiri dunia perfilman nasional. “Maka dari hal itu, agaknya Pak Usmar Ismail dalam konteks ini ingin memberikan visi perfilman nasional sebagai pijakan para sineas muda bangsa di tengah arus perfilman global,” Ujar Zahid yang juga pengkaji film Nasional dari Pondok Kaliopak. Selain itu film ini seperti disampaikan Zahid sebagai anak wayang dalam artian basis keaktoran para pemerannya tidak bisa dilepaskan dari kesenian tradisi yang sudah hidup ditengah masyarakat. Seperti ludruk, stambul, bahkan wayang itu sendiri. Sementara itu Yudha Wibisono sebagai seorang produser film menyatakan bahwa film ini begitu luar biasa karena diproduksi dalam kondisi krisis. Tercatat pembiayaan produksi ini hanya sekitar 150 ribu zaman itu, yang didapatkan dari kementerian penerangan. Ia juga mencatat film begitu realis menciptakan situasi peperangan dari sudut pandang rakyat biasa, sehingga pada saat itu film ini dianggap tidak mewakili kepentingan militer. Lebih jauh Yudha melihat film ini tidak bisa kita bandingkan dengan teknologi perfilman yang berkembang pesat hari ini. Tapi upaya Usmar Ismail dalam menyuguhkan film untuk tujuan membangkitkan nasionalismenya inilah yang patut kita teladani sebagai penggiat film hari ini. Dan nampaknya ketika melihat dinamika produksi film hari ini, akan jauh berbeda, karena film hari ini masuk dunia industri, yang sering kali gagasan terkait lokalitas dan nasionalisme tidak mempunyai ruang banyak di sana. “Bagaimanapun itu, saya menonton film-film Usmar Ismail mulai dari sejak remaja, dari film beliaulah saya akhirnya mencintai dunia film,” Tutur Yudha menceritakan pengalaman pertamanya dengan nama Usmar Ismail. Beda halnya seperti disampaikan oleh Rendra Bagus Pamungkas sebagai seorang aktor yang sudah malang melintang di dunia perfilman nasional. Ia melihat film Darah dan Doa ini, berusaha menampilkan gambar realisme dari suatu peristiwa yang benar-benar hadir ditengah masyarakat. Sehingga film ini seperti mengajak kita semua untuk melihat kondisi rell pada saat itu. Selain itu, Rendra mengungkapkan bahwa bagaimanapun film ini diproduksi dengan tujuan untuk propaganda untuk membangkitkan semangat persatuan dan nasionalisme di tengah ancaman disintegrasi bangsa ini di tengah perang saudara yang terjadi pada saat itu. Dari hal itu juga, apa yang dilakukan oleh Usmar Ismail ini bagian dari statement beliau atas kondisi bangsa ini melalui karya film yang akan menjadi pijakan untuk para penggiat film nasional kita. “Dan film Darah dan Doa ini merupakan upaya yang dilakukan bapak Usmar Ismail untuk mengambil posisi seperti apa seharusnya perfilman nasional kita di tengah perfilman global,” Tegas Rendra yang pernah menjadi pemeran utama dalam film Wage WR Soepratman (2017) itu. Melihat Usmar Ismail Dari Sisi Seorang Santri Berbeda halnya dengan pembedah sebelumnya, Kiai Jadul Maula juga menanggapi film Darah dan Doa ini dari sisi seorang santri yang jarang di baca oleh banyak orang selama ini. Menurut kiai Jadul dalam film Darah dan Doa ini sisi ke santrian Usmar Ismail terlihat jelas. Hal ini tergambar dari cerita yang begitu kuat menampilkan sisi religiusitas yang terdapat pada ungkapan-ungkapan doa yang ditampikan. Kemudian sisi kemanusiaan atau merakyatnya dalam film ini dapat kita lihat pada beberapa adegan misalnya kita dapati bagaimana keterlibatan masyarakat kampung saat menyambut barisan prajurit yang datang. Dan rasa Nasionalisme dalam film ini sudah tidak bisa bantah lagi, karena hampir dari semua plot cerita menggambarkan rasa cinta tanah air yang luar biasa. Ketiga hal tersebut, mulai dari religiusitas, merakyat, dan cinta tanah air NKRI merupakan bagian dari identitas santri yang juga termasuk sudah tertanam dalam diri seorang Usmar Ismail. Hal tersebut sebenarnya bukan tanpa sebab, jika melihat latar belakang keluarga keluarganya merupakan pemuka agama dari daerah Minang. Dan waktu kecil dikabarkan Usmar Ismail belajar mengaji di surau-surau, begitulah kiranya identitas santri Usmar Ismail dibentuk. Dalam konteks tertentu menurut Kiai Jadul film sendiri bagi Usmar Ismail adalah alat perjuangan sebagai bentuk ekspresinya sebagai seorang santri. Dan hal ini bisa kita lihat dari film Darah dan Doa ini. Bagaimana film ini muncul dalam situasi masa transisi ditambah lagi dinamika politik kebangsaan yang bergejolak dan tidak menentu. Dari film inilah Usmar Ismail bersikap melalui film Darah dan Doa yang sebenarnya memiliki makna yang dalam. “Makna judul Darah dan Doa The Long March seperti memberi PR untuk kita semua yang mana long march perjalanan panjang perjuangan bangsa kita sebenarnya belumlah usai untuk menghindari konflik sipil diantara anak bangsa. Sehingga pertumpahan darah ini harus dihindari, dan doa itu sendiri bagian yang mesti terus kita pegangi sebagai bekal perjalanan panjang kebangsaan kita ini,” Tegas Kiai Jadul yang juga menjabat sebagai ketua LESBUMI PBNU. Maka film ini mendapat relevansinya ketika kita melihat kondisi bangsa kita hari ini, yang mana benturan idiologi sampai sekarang ini yang belum selesai, dan masih dimainkan untuk memecah belah persatuan kita. Antara yang ingin menjadikan negara ini menjadi sangat liberal/komunis sehingga berhadap-hadapan dengan yang membuat negara ini sangat islamis. Disamping itu makna penting lain dari Usmar Ismail sebagai seorang santri adalah, ia menggunakan film bukan untuk tujuan utama. Tapi ia memilih medium film sebagai medan perjuangan. Dan jika melihat profil Usmar Ismail yang juga bergulat pada politik, ia menggunakan politik untuk menjadikan film bisa diterima di dalam negeri sendiri. Dimana saat itu, dominasi film luar begitu kuat, sehingga ia menggunakan politik untuk memberi pangung bagi per film Indonesia agar sejajar dengan perkembangan film dunia. Dan akhirnya film ini menjadi tujuan akhir dari agama itu sendiri, yaitu film untuk mengekspresikan gagasan spritual dan kebangsaan.
Siapa yang tidak mengenal Usmar Ismail, yang selama ini dikenal sebagai bapak perfilman Indonesia itu. Pada Jumat (29/10/2021), tersiar kabar bahwa seniman kelahiran Minang tersebut dianugrahi gelar pahlawan nasional oleh pemerintah. Kabar tersebut tentu menjadi momen sepesial bagi keluarga besar Pengurus Besar Lembaga Seni Budaya Muslimin Indonesia (Lesbumi), yang mana di waktu bersamaan lembaga kebudayaan dan kesenian NU tersebut, sedang sibuk menggelar Rapat Kordinasi Nasional Kamis-Jumat 28-29/ 10/ 2021 yang ke 4 di Pondok Pesantren Budaya Kaliopak, Bantul, Yogyakarta.
Mengenang Usmar Ismail seperti diceritakan oleh Kiai Jadul Maula ketua Lesbumi NU, bahwa ia mempunyai hubungan erat dengan Lesbumi. Karena ia tercatat sebagai salah satu ketua pertama Lesbumi pada tahun 1962, bersama DJamaludin Malik, dan Asrul Sani. Dalam beberapa catatan arsip Lesbumi, Kehadiran Usmar Ismail dalam tubuh Lesbumi pada saat itu memberi warna yang sebelumnya tidak terbayangkan oleh banyak kalangan di luar organisasi NU. Karena sebagai lembaga keagamaan traditional, NU saat itu dikenal dan sering kali dianggap hanya sebagai kaum sarungan dan tidak banyak mengerti dengan perkembangan moderitas. Namun Lesbumi dibawah Usmar Islmail dan kawan-kawan, dengan kerja kesenian dan kebudayaannya ternyata mampu menampilkan karya-karya monumental dalam berbagai bidang seni, mulai dari sastra, seni pertunjukan, terutama film, yang waktu itu bisa dikatakan sebagai puncak dari produk kesenian modern.
Beberapa karya film seperti, Pedjuang, Darah dan Doa, Tiga Dara, Enam Ejam di Jogya dan masih banyak lagi karya film-nya, belum lagi naskah drama dan sastranya. Semua bernafaskan spirit nasionalisme dan religiusitas. Selain itu karya film yang dihasilkan bisa dikatakan sebagai pijakan perfilman Nasional dengan menggambarkan gagasan cinta tanah air, membangun jiwa bangsa yang berkarakter dengan budaya masyarakat Indonesia.
“Dari hal itulah sudah sepatutnya Usmar Ismail mendapat anugerah sebagai Pahlawan Nasional, atas kontribusinya dalam bidang kesenian dan kebudayaan Indonesia, “ Tukas Kiai Jadul Maula dalam sambutannya di konser Lesbumi Ensambel.
Selain itu, keberadaan Umar Ismail dalam tubuh Lesbumi merupakan respon NU ditengah pergolakan politik tahun 60-an. “Para kiai sepuh, terutama waktu itu kiai Wahab Hasbullah dengan cerdas dapat menggandeng tokoh-tokoh modern dari Minang ini, untuk memberi tandingan atas ideologi politik dan kebudayaan yang ada saat itu ada seperti Lekra,” Ujar kiai Jadul Maula yang juga sebagai pengasuh Pondok Budaya Kaliopak Yogyakarta.
Ada dua faktor internal dan eksternal yang melatar belakangi berdirinya Lesbumi yang jelas hal ini tidak bisa dilepaskan dari dengan nama Umar Ismail. Pertama keluarnya manifesto politik pada tahun 1959 oleh Presiden Soekarno, kedua pengarusutamaan Nasakom dalam tata kehidupan sosial budaya dan politik Indonesia pada awal tahun 1960-an. Dan ketiga perkembangan Lekra 1950 sebagai lembaga kebudayaan yang menunjukkan semakin dekat hubungannya dengan PKI, baik secara kelembagaan maupun dengan ideologinya yaitu materialisme sosialis.
Sedangkan faktor internal lahirnya Lesbumi NU berkaitan dengan momen budaya, yang bertujuan sebah lembaga kebudayaan yang dapat melestarikan dan memoles seni budaya yang dihidupi NU. Dan faktor penting lainnya adalah kebutuhan akan pendampingan terhadap kelompok kesenian tradisional dilingkungan NU. Kedua kebutuhan akan modernisasi seni budaya dalam hal ini Umar Ismail menjadi salah satu tonggaknya dalam tubuh Lesbumi.
Rakornas Lesbumi Menemukan Jalan Kebudayaan
Rakornas Lesbumi yang ke 4 sendiri, diadakan sebagai upaya menyongsong Muktamar NU yang ke-34 Lampung yang akan diadakan pada Desember nanti. Mengambil tema Tantangan, Global dan Kebuntuan Wacana Islam Nusantara, Lesbumi dalam pertemuan yang dihadiri hampir 120 perwakilan anak ranting, cabang, sampai pengurus wilayah ini, menjadikan Rakornas sebagai ruang konsolidasi nasional. Untuk mendesak PBNU menjadikan Lesbumi sebagai badan otonom (banom), seperti awal lembaga ini didirikan.
Karena seperti disampaikan oleh Kiai Abdullah Wong dalam poin-poin rekomendasi hasil rakornas, diantaranya menyebutkan bahwa keberadaan Lesbumi bagi NU merupakan garda terdepan untuk membumikan gagasan Islam Nusantara di tengah masyarakat. Dalam hal ini, ketika NU yang mendaku sebagai penerus ajaran Wali Sanga, maka konsekuensinya NU mustahil alergi, apa lagi menafikan kebudayaan sebagai jalan dakwah. Karena itu juga sudah seharusnya NU berada di garda depan dalam menghimpun dan mengkonsolidasikan ragam gerakan adat istiadat, tradisi, dan budaya yang berbasis ketuhanan Nusantara.
Selain itu, bahwa keinginan untuk menjadi banom ini sebenarnya merupakan aspirasi kuat yang berasal dari pengurus wilayah, cabang, ranting dan anak ranting Lesbumi NU yang membutuhkan garis kordinasi, intruksi dan komunikasi yang lebih efektif dan efisien.
“sebagai lembaga otonom, Lesbumi dapat mengatur rumah tangga sendiri secara kebijaksanaan atau pun secara teknis strategis sesuai kebudayaan Lesbumi NU yaitu Saptawikrama (tujuh prinsip Kebijaksanaan kebudayaan),” demikian bunyi poin rakornas yang ditanda tangani oleh ketua Pengurus Pusat (PP) Lesbumi NU KH. M Jadul Maula dan Kiai Abdullah Wong sebagai Sekertaris Lesbumi NU.
Tidak hanya itu, selain semangat kuat dari semua pengurus, secara teknis sebenarnya Lesbumi juga sudah memenuhi sarat untuk menjadi banom NU. Karena ketersediaan dan penyebaran Lesbumi NU di berbagai daerah, baik di dalam maupun luar negeri. Hal ini juga di dukung pula oleh 70persen lebih para anggota Lesbumi NU di setiap tingkatan yang telah mengikuti progam Madarasah Kader NU.
Lesbumi sendiri dalam beberapa tahun ini juga mengalami perkembangan yang cukup pesat. Tercatat, saat ini ada delapan pengurus wilayah, 118 pengurus cabang, 246 pengurus majelis wakil cabang, 303 pengurus anak ranting, dan empat pengurus cabang istimewa yakni Rusia, Belanda, Riyadh, serta Western Australia (part).
Dalam rangka membekali wawasan kebudayaan berbasis tauhid kepada pengurus dan anggota, Lesbumi NU sejak Rakornas III telah memiliki wahana kaderisasi. Secara prinsip, wahana kaderisasi diselenggarakan untuk menjelaskan Saptawikrama. Wahana kaderisasi itu bernama Asrama Saptawikrama (Astawikrama) untuk seluruh tingkatan pengurus, serta Pesantren Ramadhan Islam Nusantara (Pramistara) utuk santri di pondok pesantren.
Karena di berbagai tingkatan telah membuktikan diri secara mandiri dan swadaya dalam melakukan percepatan organisasi serta administrasi, maka Rakornas V di Yogyakarta ini merekomendasikan kepada Muktamar ke 34 NU untuk mengabulkan agar Lesbumi kembali menjadi banom NU.
Karena NU sendiri secara subtansial didirikan bukan semata untuk menjawab problematika umat yang terkait masalah keagamaan, tetapi sebenarnya lebih luas dari itu. Menurut Lesbumi sendiri, NU hadir untuk menjawab persoalan umat dalam konteks Kebudayaan. Lesbumi berpandangan bahwa kebudayaan merupakan satu-satunya aset dari identitas bangsa Indonesia yang secara efektif dapat digunakan untuk melawan arus dan penetrasi global. Dalam hal ini, kebudayaan yang berasal dari sinaran tauhid. Dengan demikian, NU secara jamaah dan jamiyah adalah jalan kebudayaan yang berbasis ke tauhidan.
Rakornas sendiri ditutup dengan menampikan konser yang bertajuk Lesbumi Ensembel di Pendopo Kaliopak. Dengan menampilkan pentas musik kolaborasi Orkestra, Hadroh, dan gamelan Jawa untuk membawakan lagu Syair Tanpo Waton, dan Yalal Wathan hasil olahan komposer musik Dadang S. Piano dan Eki Santria. Kolaborasi tersebut merupakan bentuk dari upaya Lesbumi mendialogkan peradaban melalui pentas musik, yaitu alat musik dari Barat, Arab dan Nusantara.
Pondok Pesantren Budaya Kaliopak buka Ngaji Bima Seni (23/10), datangkan Kiai Nasirun untuk membedah karyanya yang berjudul "Gundono". Ngaji Bima Seni sendiri merupakan progam baru yang digagas oleh Pondok Kaliopak, sebagai ruang untuk ngaji dan diskusi bersama pelaku seni, untuk membaca proses kreatif dan spritual seorang seniman dan karyanya. Menurut Kiai Jadul Maula Pengasuh Pondok Budaya Kaliopak, Ngaji Bima Seni ini sebenarnya diagendakan untuk melengkapi program Ngaji Dewa Ruci yang membahas ilmu-ilmu agama melalui kitab-kitab klasik ulama yang sudah rutin ada sejak tahun 2018 lalu. Sedangkan Ngaji Bima Seni ini merupakan upaya lain dari Pondok Kaliopak untuk meniti jalan kebudayaan melalui jalur kesenian. "Progam Ngaji Bima Seni akan diadakan setiap malam Minggu, sebagai forum untuk mengaji ilmu-ilmu kemanusiaan melalui karya seni,"ujar Kiai Jadul Maula yang juga menjabat sebagai ketua LESBUMI PBNU. Jalan kebudayaan itu sendiri menurut Kiai jadul penting untuk diperhatikan, karena ia sering ditanya bagaimana sebenarnya jalan budaya tersebut. Dari hal itu menurutnya ada dua jalan kebudayaan yang sebenarnya nanti ujungnya juga sama yaitu ketemu dengan dirinya, atau dalam kerangka agama bertemu dengan Tuhan. Pertama jalan yang dipandu oleh teks-teks agama. Dan yang kedua adalah jalan sosial termasuk dengan proses kesenian. Kedua jalan tersebut, tentu penuh lika-liku dalam prosesnya, bukan mana yang lebih baik, tetapi menyadarinya sebagai alternatif pilihan adalah upaya yang dapat kita tawarkan di era hari ini. Sedangkan Kiai Nasirun saat menjelaskan karyanya "Gundono", menyatakan bahwa karya yang satu ini merupakan bentuk ibadah yang ia lakukan untuk mengenang Alm. Selamet Gundono. Diawali dari cerita mimpinya bertemu dengan Slamet Gundono yang penuh dengan gambaran metaforik, ia menggambarkan sosok dalang kontemporer bersuara merdu tersebut, melalui intrepretasinya melalui teks "Maca" sebagai salah satu karya master pieces Gundono. Maka gambar yang muncul dalam lukisan ini adalah sosok Semar yang berikatkan bendera merah putih di kepalanya. Tidak hanya itu di dalam lukisan tersebut juga banyak teks-teks dan simbol-simbol wayang yang merupakan bentuk dari interpretasi Kiai Nasirun melihat pergulatan Gundono selama berkiprah dalam wilayah seni dan kebudayaan. Kiai Nasirun juga menyatakan bahwa proses seniman kita itu berbeda dengan seniman Barat yang biasanya hanya mengandalkan riset dan kecerdasan intelektual. Tapi banyak seniman kita proses kreatifnya lebih mendahulukan proses untuk menemukan dirinya sebagai bagian dari mengaktualisasikan karunia Tuhan yang diberikan kepadanya. "Dari hal itu, seni harus bisa memberi berdampak kepada masyarakat dalam berbagai bentuk," ungkap maestro seni rupa Indonesia tersebut.
Meningkatnya arus perkembangan digital sekarang ini menjadi fakta yang tidak bisa kita tolak. Semua lapisan masyarakat tidak terkecuali para santri juga dituntut untuk beradaptasi dengan arus budaya baru ini. Dari hal itulah Pondok Pesantren Salafiyah Al Qodir Cangkringan Yogyakarta pada moment Hari Santri 2021 (20/10/2021) bekerja sama dengan tim Ceritasantri.id, dari Pondok Budaya Kaliopak Piyungan Yogyakarta adakan seminar untuk santri terkait pentingnya konten kreatif di media sosial bagi santri. Seperti yang disampaikan oleh Eka Y Saputra salah satu tim Ceritasantri.id, bahwa menjadi santri hari ini harus bisa mengembangkan skill literasinya termasuk menulis di dalam platfom media sosial dan jejaring internet sebagai medium baru para santri berinteraksi hari ini. Selain itu, kecakapan literasi melalui skill menulis kreatif yang baik bagi santri ini juga penting digunakan sebagai ujung tombak dakwah Islamiah di hari ini. "Santri al Qodir sudah memegang hp semua kan? maka tidak ada alasan lagi tidak menggunakan perangkat digital tersebut untuk mengembangkan diri untuk dakwah di media sosial," ujar Eka yang juga menjadi fasilitator progam literasi digital Keminfo ini. Pada acara tersebut Eka juga menyatakan bahwa arus baru media digital sebenarnya bisa menjadi wahana baru bagi santri untuk mengembangkan kreativitasnya dengan menulis atau membuat konten positif. Selain diterangkan terkait dasar-dasar perangkat digital dan bagaimana contoh-contohnya yang perlu dikembangkan oleh santri Al Qodir, seminar ini kemudian dilanjut dengan praktik langsung menulis oleh para santri untuk nanti tulisan terbaik dari beberapa santri akan dimuat di media Ceritasantri.id. Ceritasantri.id sendiri merupakan media sastra santri di bawah naungan Pondok Pesantren Budaya Kaliopak. Media yang sudah berjalan hampir dua tahun ini, selama ini menjadi ruang kreatif bagi santri di seluruh Indonesia untuk mengembangkan skill literasi terutama tulis menulis dalam berbagai bentuk puisi, esai, dan cerpen. Menurut Atif Titah Amituhu sebagai salah satu kurator naskah Ceritasantri.id menuturkan bahwa selama ini sudah banyak santri mengirimkan tulisannya di media ini. Dari berbagai tulisan yang ditampung, Ceritasantri.id ingin menjadi rumah bersama bagi seluruh Santri Indonesia untuk berkarya dan mengekspresikan suaranya dalam bentuk karya tulisan. Dari hal itu pelatihan atau workshop menulis seperti ini, tidak pertama kali ini dilakukan, karena sebelumnya sudah beberapa pesantren di Yogyakarta telah disambangi.
Pameran seni rupa berjudul Senyawa di gelar di Pondok Pesantren Budaya Kaliopak Yogyakarta (Minggu/17/10). Pameran yang digelar atas kerja sama dengan mahasiswa Universitas Negeri Surabaya (UNESA) ini, diikuti oleh lima seniman muda Revan, Jefry Yulia, Ainun dan Riza yang sedang menjalani residensi di studio salah seorang seniman Yogyakarta yaitu Laksmi Sitharesmi. Pameran ini juga menjadi salah satu rangkaian acara Maulid Nabi Muhammad dan Hari Santri yang diadakan oleh Pondok Kaliopak. Dalam sambutan pembukaan pameran oleh Kiai Jadul Maula selaku pengasuh Pondok Pesantren Budaya Kaliopak menyatakan bahwa pameran yang dilakukan oleh teman-teman UNESA ini menjadi moment yang penting bagi Pondok Kaliopak, sebagai bentuk penegasan bahwa pondok pesantren merupakan ruang yang terbuka untuk tumbuhnya ekspresi kesenian termasuk seni rupa. Karena esensi kesenian itu sendiri menurut kiai Jadul adalah wujud dari keindahan dan agama mengajari kita untuk memperindah dunia, dari hal itu keduanya jangan sampai dihadap-hadapkan atau bahkan di betur-benturkan. "Dalam hal ini pameran ini bisa jadi tidak hanya semata gelar karya saja tetapi juga bisa menjadi moment spiritual karena berbarengan dengan moment peringatan Maulid Nabi dan Hari santri", Ungkap Kiai Jadul yang juga menjadi ketua LESBUMI PBNU. Sementara itu Laksmi Sitharesmi selaku seniman dalam sambutanya juga menyampaikan bahwa, pameran ini merupakan hasil dari kerja keras anak didiknya dari UNESA yang hampir dua bulan residensi di tempatnya. Pameran ini juga sulit, terjadi tanpa kerjasama dengan Pondok Kaliopak. Tidak hanya itu ia juga memberi pesan bagi anak didiknya, semoga pengalaman residensi di Jogya ini, bisa di bawa pulang ke Surabaya dan semakin memantapkan diri mereka untuk terus berkarya menjadi seniman. Laksmi juga menyampaikan bahwa adanya pameran ini semoga memberi keberkahan untuk kita semua yang hadir terutama untuk para seniman muda ini. Kemudian Indah Chrysanti Angge selaku ketua Jurusan Seni Rupa UNESA selaku pembuka pameran Senyawa ini juga menyampaikan bahwa ia bertrimakasih kepada Pondok Kaliopak yang telah memberi ruang untuk mengadakan pameran untuk anak didiknya. "Kepada Bu Laksmi, saya mengucapkan terimakasih sebesar-besarnya yang telah sepenuh hati membersamai anak didiknya selama di Yogya sehingga memberi ilmu dan pengalaman yang luar biasa sehingga menjadi bekal proses untuk para seniman muda ini. Pembukaan acara pameran yang akan digelar sampai tanggal 23 oktober ini dilakukan dengan prosesi potong tumpeng bersama. Dengan adanya pembukaan cara ini juga, rangkaian acara Maulid Nabi dan Hari Santri resmi di di mulai di Pondok kaliopak yang rencananya akan digelar sampai puncaknya tanggal 29 oktober. Rangkaian acara sampai akhir bulan ini akan ada beberapa peristiwa budaya dan kesenian, mulai dari Diskusi Seni Bersama Maestro Seni Rupa Nasirun, Pemutaran film, dan puncaknya ada pentas musik kolaborasi okestra, gamelan, dan hadroh di akhir bulan ini.
Beberapa waktu lalu saya menggunjing nama di atas yang semakin hari semakin gemar pamer sepatu. Awalnya saya dan teman-teman ngobrol terkait dunia medsos utamanya gelanggang youtube, mulai dari konten yang bagi kami benar-benar bermutu hingga yang viral berikut 'rezim selera' yang diterapkan platform tersebut dengan youtube analityc-nya. Semisal deretan fakta mengapa yang selalu trending konten-konten A dan sebangsanya, bukan konten B. Atau pertanyaan mengapa akhir-akhir ini konten yang bernuansa agama jarang sekali masuk jajaran teratas, padahal tahun-tahun lalu konten demikian langganan trending. Mengapa yg kerap trending kanal A dan konten sejenisnya? Najwa Shihab, sebagai salah seorang dibalik besarnya Narasi tv tentu tak luput dari sasaran obrolan santai malam itu. Sebab Narasi terhitung sebagai salah satu kanal yang cukup tampak berusaha menjaga mutu dengan kemasan yang kekinian dan relatif segar. Sayangnya belakangan kebermutuan konten -menurut kami- mulai luntur, nampak sibuk mencari formulasi yang kontekstual.
Kembali ke Najwa, selain di Narasi, kami yang ngopi di bawah pohon mangga ini cukup akrab dengan acara Mata Najwa di tv nasional. Acara ini dulu sering menjadi pendobrak kebuntuan beberapa persoalan laten bangsa. Dapat kita lihat misalnya bagaimana beberapa tahun lalu persekongkolan memantati hukum yang telah sedmikian laten dan menggurita dibuka dengan terang melalui sidak wartawan melawat ke penjara. Hingga yg lebih baru, persoalan mafia sepakbola yang menjangkiti persatuan sepakbola kita ditelanjangi sedemikian rupa. Namun setelah yang terakhir ini taring Najwa tidak setajam dulu, apalagi sekira akhir 2018 lalu menjadikan presiden dan keluarganya sebagai bintang tamu tanpa pembahasan tentang bangsa, semacam basa-basi dan malah memoles citra orang yang hendak nyalon presiden lagi. Ada perasaan pesimis waktu itu, acara tv nasional yang dapat dinikmati rakyat Indonesia hingga pelosok desa dan menuai pujian karena ketajaman dan kejernihannya seperti macan kehilangan taring.Padahal sependek pembacaan kami, kontekstualisasi yang diandaikan ideal sangat sukar didapatkan. Paling realistis dalam hal ini adalah membuat kanal menjadi perbincangan banyak orang, viral, walaupun terus menerus dikritik sana sini karena hanya sedikit nilai baik dan mutunya. Atau menjaga nilai dan mutu tersebut dan mengabaikan lomba lari mengejar viral, namun dibicarakan oleh kalangan yang benar-benar paham dan menadalaminya. Untuk yang kedua ini kita dapat lihat di beberapa kanal yang subscribernya tak banyak namun sering menjadi perdebatan dan pematik wacana kiwari, atau bahkan menjadi bahan kajian.
Najwa sebagai figur publik yang dulunya berpihak kepada kepentingan bangsa kini seperti disibukkan dengan sepatu dan outfit terbaru.
Mewawancarai kursi kosong menkes menjadi puncak kepedihan dan keputusasaan di tengah pandemi. Sekaligus menjadi satire bagi yang punya hati. Malam itu Najwa menampakkan kecerdasanya, karena sebagaimana yang biasa orang Nusantara lakukan, puncak dari kekecewaan terkadang bukan kemarahan, namun justru sindiran/satire atau sikap diam dan acuh. Misalnya dapat kita lihat betapa tapa pepe dengan diam seperti menjahit mulut memiliki resonansi yang demikian dahsyat. Atau bagaimana Bagong dalam pewayangan menyindir kesatria dengan guyonannya, tidak terlihat serius sebuah teguran tapi mendalam bagi yang merasakannya, itulah satire! ____________Mau kerja takut dintup (tersengat) korona, mau diam saja kita makan apa? Seperti itulah celetukan tetangga.
Esai Syamsurijal – Peneliti Balai Litbang Agama Makassar, dimuat pertama kali di situs blamakassar.co.id tanggal 30 Agustus 2020.
Siapa yang tidak mengenal Umar Kayam? Selain dikenal sebagai sosiolog terkemuka dari UGM, ia juga dikenal sebagai budayawan, kolumnis, dan novelis yang berpengaruh. Kita tahu novel-novelnya sering dianggap sebagai cermin ketidakpuasannya terhadap pendekatan sosiologis para ilmuwan pembedah kebudayaan Jawa. Yang paling terkenal, ia mengkritik Clifford Geertz yang secara serampangan mendikotomikan antara santri versus abangan dan priyayi versus wong cilik.
Umar Kayam dikenal bangga dengan ke-abangan-an sekaligus keislamannya. Baginya, abangan merupakan manifestasi spiritualitas orang Jawa yang hebat. Karena itulah, konsep abangan tidak perlu dikaitkan dengan keberagamaan seseorang. Selain itu, menurutnya, abangan adalah sebuah produk transformasi sosial yang lembut dan tidak menimbulkan gejolak sosial yang hebat.
Dalam novelnya yang berjudul Para Priyayi, dalam beberapa catatan, para pengamat sastra menyatakan bahwa novel ini ingin menepis kesimpulan yang dikeluarkan oleh ilmuwan Barat yang fixed — terutama Clifford Geertz — tentang dunia kaum priyayi.
Begitu pun yang dinyatakan oleh Daniel Dhakidae dan Emmanuel Subangun. Sebagai ahli ilmu sosial pada saat itu, mereka melihat novel Para Priyayi masih mendua; antara traktat ilmu-ilmu sosial atau karya fiksi belaka. Karena mereka berangkat dari ilmu sosial, otomatis mereka akan melihat dari sudut pandang itu. Melihat masyarakat dalam sistem dan kategori-kategori, kemudian dianalisis dengan perspektif sosialnya.
Padahal, bagi Umar Kayam sendiri, seorang novelis harus melihat kehidupan secara utuh. Ia sambil berjalan melihat ini apa, ini ada apa. Bahkan, seorang novelis menciptakan situasi, kemudian karakter tokoh-tokoh, untuk masuk lebih dalam lagi. Memang pada akhirnya tidak terkonvensi seperti ilmu-ilmu sosial. Karena itu juga, orang yang membaca dengan kerangka ilmu sosial cenderung untuk memasukkan tokoh-tokohnya ke dalam kategori ini dan itu. Melihat conflicting yang tidak logis. Ini berbeda dengan penulis sastra yang melihat keunikan-keunikan dari realitas manusia.
Terkait dengan Clifford Geertz sendiri, Umar Kayam menyatakan bahwa ia kenal betul dengan pribadi Geertz. Umar Kayam bahkan tidak segan mengatakan bahwa ia adalah salah satu pengagumnya. Tapi, di lain pihak, Kayam juga seorang penulis sastra. Dalam hal ini, ia merasa terombang-ambing berdiri di atas dua kaki. Walaupun begitu, ia terus berupaya menulis karya sastra. Salah satu hal yang membuatnya kecewa adalah saat membaca karya-karya ilmu sosial yang selalu terjebak pada "pemilihan". Bagaimana seorang ilmuwan sosial beroperasi dengan konvensinya sendiri.
Biasanya, ilmuwan sosial memulai dengan mendudukkan session-session. Kemudian, membuat kategori-kategori. Dengan demikian, ilmuwan tersebut sebenarnya telah mereduksi banyak hal. Ini berbeda dengan penulis sastra. Walaupun melihat hidup ini seperti rumit sekali, para penulis sastra tidak memilahnya dan langsung masuk saja. Bahkan, menikmati kenyataannya.
Dari sana, jika novel Para Priyayi diklaim menghantam ilmu-ilmu sosial, Umar Kayam mengatakan itu bisa-bisa saja. Walaupun ia kagum dengan karya-karya Geertz, namun di sisi lain ia menganggap bahwa Geertz kurang cermat dalam mengantisipasi dunia priyayi. Bagi Kayam, priyayi tidak usah berarti bangsawan, juga tidak usah berarti kebatinan. Menurutnya, image seperti itu kurang tepat. Priyayi bisa jadi wong cilik biasa.
Mungkin, karena sekolah, mereka memperoleh kedudukan sehingga kemudian dianggap priyayi. Sehingga, sadar atau tidak sadar ia mengikuti konvensi priyayi yang sudah ditetapkan sebelumnya. Hal-hal seperti inilah yang tidak muncul dan tercermin di dalam buku Geertz yang legendaris itu. Dari sisi inilah novel Para Priyayi bisa dilihat sebagai alternatif penjelasan bahwa priyayi itu bisa bermacam-macam.
***Tulisan hasil saduran wawancara dengan Umar Kayam majalah Ulumul Quran 1993
Foto: ipihincow.com
Editor: EYSKebiasaan saya ikut nimbrung dengan masyarakat (srawung) sering kali membuat saya mendapatkan kabar-kabar mengejutkan. Tak jarang, beragam keluh kesah menjadi bumbu manis perbincangan. Seperti ketika saya belanja di pasar, atau saat membeli bahan pokok makanan di warung-warung kecil pinggir jalan. Seperti biasa, sembari memilih barang, muncul perbincangan spontan dengan banyak pedagang, terutama berkaitan dengan situasi sosial ekonomi di kala pandemi COVID-19 ini. Sekilas dapat saya potret dari beberapa orang yang saya temui di pasar dan toko, muncul rasa was-was, ketidakpastian, terhadap melambatnya ekonomi di kala pandemi saat ini. Secara pribadi, saya melihat memang terjadi perubahan yang sangat signifikan di pasar tradisional hari-hari belakangan ini. Salah satu pedagang di pasar Giwangan, pasar induk terbesar di kota Yogyakarta, menyatakan, “Di waktu pandemi saat ini, penjualan memang tidak menentu. Meskipun pasar tidak akan ditutup, namun jumlah penjualan menurun drastis. Imbauan untuk selalu di rumah saja membuat banyak pembeli membatasi tatap muka secara langsung. Banyak juga warung-warung makan yang selama ini banyak pelanggan, kini menutup warung karena sepinya pembeli.” Selain ke pasar induk, hal yang sama terjadi di pasar yang lebih kecil, yakni pasar desa/dusun. Meskipun sirkulasi ekonomi di pasar seperti ini tidak begitu besar, namun kelokalan dan cakupan aktivitas ekonomi yang hanya melibatkan masyarakat sekitar sepertinya bisa menjadi representasi masyarakat paling bawah. Seperti apa sebenarnya aktivitas ekonomi sosial bergerak dan nantinya akan berjalan. Sama seperti di pasar Giwangan, beberapa pasar dusun tetap buka meski tidak sepadat biasanya. Beberapa ruang terlihat kosong. Aktivitas jual beli yang biasanya riuh rendah dengan tawar menawar ibu-ibu pasar kini senyap. Yang muncul justru keluhan dan ratapan. Salah satu ibu penjual sembako mengatakan tanpa saya tanya, “Yo ngéné iki, Mas. Pasaré sepi. Apa-apa larang. Nèk ngéné iki terus tekan bada, ra ngerti bakalé kepiyé.” (Ya seperti ini, Mas. Pasarnya sepi. Semuanya mahal. Kalau begini terus sampai lebaran, tidak tahu nanti bagaimana.) Mendengar keluhan tersebut, saya rasa situasi seperti ini memang masa penuh ketidakjelasan dan ketidakpastian. Wabah korona, yang pertama kali muncul di Wuhan dataran Cina, akhirnya terasa dampaknya hingga unit terkecil masyarakat kita. Tidak semata dampak virusnya yang sangat berbahaya. Namun, adanya skenario sosial untuk menanggulangi penyebaran wabah korona ini juga berefek kepada kehidupan sosial ekonomi masyarakat. Dan, itu nyata adanya. Kalau benar dugaan Martin Suryajaya di salah satu esainya, bahwa di situasi seperti inilah akhirnya sistem ekonomi kapitalisme yang menjadi saka guru sistem ekonomi kita akan mengalami kebangkrutan. Berdasar pada hukum pergerakan yang menjadi jati diri sistem kapitalisme, maka dengan adanya pembatasan-pembatasan sosial yang ada sekarang hal tersebut bisa sangat terjadi. Dengan empat argumen yang ia sodorkan: deindustrialisasi, definalisasi, diskoneksi fisik serta pelokalan global, keempat kriteria tersebut menurut Martin akan mengarahkan situasi saat ini menuju sosialisme ataupun babarisme yang amat menakutkan. Bagi saya sendiri, terlepas para pengamat dengan analisisnya yang beragam dan cukup logis tersebut, gejala-gejala sosial ekonomi di masa-masa sulit saat ini justru bisa menjadi pelajaran penting bagi kehidupan umat manusia ke depan. Pertanyaannya, dengan ditutupnya banyak fasilitas umum, tersendatnya laju perekonomian, dan begitu mudahnya manusia ambruk terhadap wabah ini, dan itu terjadi di hampir seluruh dunia, masihkah kita merasa digdaya dengan kemanusiaan kita? Tidakkah kita malu sebagai manusia, yang selama ini menghasilkan banyak karya cipta, penghancur alam dan manusia lainnya? Sudahkah kita kemudian bisa berendah diri atas kuasa diluar diri kita?