Chat Tono dan Tini tentang Guna Sastra

[13/5 14.09] Tini: Ton, apa guna sastra di tengah pandemi Corona?
Begitulah. Tono merasa beku mendadak ketika membaca chat Tini yang masuk ke gawainya pada pertengahan bulan Mei, di satu siang yang tidak begitu berangin tapi mendung pekat tersebut. Itu bukan kali pertama Tono dihampiri pertanyaan semacamnya. Tono sudah sering kuyup dihujani pertanyaan yang serupa sejak ia masuk ke Jurusan Sastra Indonesia—baik oleh teman-teman atau dirinya sendiri.Walakin, meski pertanyaan itu lebih tua dan antik dibanding Monumen Kapal Selam di Surabaya, Tono tetap menggigil tiap kali harus menghadapi pertanyaan yang serupa. Sebab, jika Tono tidak salah merunut, pertanyaan itu sudah mengemuka sebelum kapal selam yang berakhir tragis sebagai museum itu dibuat di Rusia tahun 1952, ketika Sutan Takdir Alisyahbana, Sanusi dan Armijn Pane, dan yang lainnya saling silang pendapat pada tahun 30-an, yang kemudian dikumpulkan oleh Achdiat K. Mihardja dan terbit jadi buku berjudul Polemik Kebudayaan.
 
[13/5 14.10] Tono: Wah, nggak ngerti aku, Tin. Tanya Mbah Gugel ajalah.
Demikianlah. Tono menulis itu di papan ketik gawainya. Dan memang itulah yang sebenarnya ada dalam pikiran Tono: belum ada jawaban final. Pernah memang, suatu pagi, ketika menonton SpongeBob memasak Crabby Patty di televisi, Tono berpikiran bahwa ia akan menyerah saja pada pendapat Horatius dalam Ars Poetica untuk menjawab pertanyaan tentang apa guna sastra, dulce et utile.
Tapi, tepat saat Krabby Patty SpongeBob siap diantarkan Squidward kepada para pelanggan, Tono terhenyak begitu menyadari bahwa pendapat Horatius itu sendiri juga menyinggung tentang guna—dulce et utile: menghibur dan berguna! Akan terasa aneh, pikir Tono, jika menggunakan pendapat Horatius itu sebagai jawaban dari pertanyaan tentang guna sastra. Sebab, pikir Tono lagi, hasilnya bisa jadi malah berupa jawaban yang melahirkan pertanyaan yang sama, pertanyaan tak berujung.
 
[13/5 14.10] Tini: Loh, gimana kamu tuh? Kuliah sastra, masa nggak tau
Seperti itulah. Tono selalu dicemooh tiap kali ditanya tentang guna sastra. Seharusnya, Tono terus bersikap abai dan merasa cukup dengan ketidaktahuannya itu. Tapi tidak pernah berhasil. Tono selalu gagal untuk tidak menimbang-nimbang guna sastra tiap kali dirinya dihina-hina. Namun, selain ingin tidak diremehkan, lebih dari segalanya, Tono sendiri pun ingin tahu apa sebenarnya guna sastra.
Tono lalu mencoba mengingat-ingat kembali keterangan-keterangan yang barangkali bisa membantunya merumuskan jawaban. Pikiran Tono pun bekerja keras memilah ingatan-ingatan satu dengan yang lainnya. Setelah pikiran Tono menjelma tangan simbok-simbok ketika memisahkan beras dan kotoran dengan tampah, Tono teringat pada keterangan Felipe Restrepo Pombo dalam tulisannya di BBC News Indonesia, 03 Juli 2018.
Dalam tulisannya yang mengulas Seratus Tahun Kesunyian tersebut, Felipe menyebut masterpiece Garcia Marquez itu sebagai kisah penuh alegori yang kuat tentang identitas Amerika Latin. Ceritanya yang berjangka waktu satu abad, mengambil berbagai referensi sejarah mengenai Amerika Latin, dan mengolahnya kembali dalam bentuk satu cerita ajaib itu telah menjadikan novel ini sebagai penafsir ulang atas identitas bangsa di negara-negara yang secara umum berbahasa Spanyol dan Portugis itu.
Tono menimbang-nimbang komentar Felipe atas novel Garcia Marquez tersebut, yakni sebagai penafsir ulang identitas suatu bangsa—yang mungkin mirip dengan Pramoedya Ananta Toer dalam beberapa novelnya—sebagai satu landasan untuk membangun jawaban atas pertanyaan tentang apa guna sastra, yang denting dentangnya terus menggaung itu, seandainya ia tidak teringat keterangan A.S. Laksana yang tidak kalah menggoda.
Dalam “Jadi, Apa Karakter Itu?”, Mas Sulak mengatakan, “… Melalui fiksi, pembaca bisa menyelami emosi dan detail psikologis orang-orang dalam berbagai situasi. Mereka menjadi tahu seperti apa yang dirasakan oleh seseorang yang mengetahui bahwa pamannya membunuh ayahnya kemudian menikahi ibunya (Hamlet) … atau segundah apa seseorang ketika merenungi bahwa orang-orang yang akan ia perangi adalah saudara-saudaranya sendiri dan guru yang ia hormati dan kakek yang ia cintai (Arjuna menjelang Bharatayudha).
Klop. Pendapat Mas Sulak itu sangat mewakili apa yang mendekam dalam pikiran Tono yang sesemrawut rambutnya sendiri saat belum mandi keramas tujuh hari. Tono bahkan memiliki pengalaman pribadi yang sangat pas dengan keterangan di atas, yang didapatkannya ketika membaca The White Nights, yang intinya kira-kira begini:
Di suatu Minggu yang hanya mirip pengulangan dari Minggu-Minggu sebelumnya, Tono membaca cerpen-panjang Dostoevsky itu, dan merasa bahwa kebahagiaan tak terbahasakan yang dirasakannya ketika pertama kali bertemu Tini, dengan sejelas matahari di puncak kemarau, digambarkan Dostoevsky melalui tokoh-tokoh di dalamnya. Bedanya, sekaligus untungnya, Tono menjadi pacarnya Tini, tidak seperti lelaki penyendiri kesepian yang sekaligus merupakan narator dalam cerpen-panjang itu, yang dengan mata kepala sendiri melihat Nastenka terkasih meninggalkannya dan jatuh dalam pelukan lelaki lain.
 
[13/5 14.17] Tono: Mungkin, sastra bisa bantu memahami pengalaman dalam hidup, Tin.
Tepat. Tono sudah menuliskan kalimat itu di papan ketik gawainya karena merasa pendapat Mas Sulak itu cukup bisa ia jadikan satu opsi jawaban atas pertanyaan Tini tentang guna sastra. Tono berpikir demikian karena sangat sepakat dengan keterangan Mas Sulak dalam esai pendeknya tersebut: bahwa sastra bisa membantu memahami, minimal memberi gambaran tentang, pengalaman-pengalaman dalam hidup yang mungkin tak akan pernah, dan sedikit pun tak ingin, kita alami dalam kehidupan kita—yang tidak sesederhana kenapa hasil dari 2+2 sama dengan 2×2 sedangkan 3+3 lebih kecil dibanding 3×3—ini.
Dengan membaca Rara Mendut: Sebuah Trilogi, misalnya, kita bisa merenungi bagaimana cinta dapat membuat Prana Citra dan Rara Mendut jadi sebegitu tawakal menghadapi kematian di ujung keris Tumenggung Wiraguna. Menamatkan Cinta Tak Ada Mati, kita dapat membayangkan seneraka apa hidup lelaki yang menunggu setengah abad demi cinta perempuan yang dikasihinya—yang ternyata tetap gagal didapatkan! Sehingga, barangkali, singkatnya, persis seperti yang dilakukan Lord Didi Kempot lewat lagu-lagunya, sastra bisa membuat kita patah hati tanpa harus jatuh cinta.
Tono sudah menuliskan kalimat itu di papan ketik gawainya dan yakin akan mengirimkannya pada Tini. Tono sudah menuliskan kalimat itu di papan ketik gawainya dan semakin yakin akan mengirimkannya pada Tini ketika ingat tulisan dosennya yang sedang kuliah S3 di Hamburg, Jerman, yang tayang di m.detik.com tertanggal 20 April 2020, “Pandemi, Angsa Hitam, dan Imajinasi”, yang bagian akhirnya berbunyi begini:
“… Fiksi memiliki kekuatan yang besar karena mampu menciptakan ruang yang tak terbatas untuk mengeksplorasi berbagai kemungkinan itu. Selanjutnya, fiksi akan meningkatkan kewaspadaan dan kesadaran reflektis sehingga jika kemudian kita mendapati situasi serupa seperti pandemi Corona saat ini, kita lebih siap secara mental karena telah menyimpan berbagai alternatif bahkan simulasi dalam gudang pengalaman untuk menghadapinya.”
Dalam pikiran Tono, keterangan dosen kesayangannya itu, jika digabungkan dengan pendapat Mas Sulak, cukup bisa menjawab pertanyaan Tini. Bahwasanya, sastra (a) bisa memberi kita gambaran tentang pengalaman yang belum atau kita alami, sehingga (b) kita menjadi terbantu ketika tiba-tiba saja terlempar ke dalam keadaan yang sama sekali tidak kita duga.
Hal itu, batin Tono, tepat seperti dijelsakan dosen kesayangannya di bagian awal esainya, akan terlihat jika membaca Sampar. Dalam novel Albert Camus yang pertama kali terbit di Prancis tahun 1947 itu, kita akan disuguhi cerita tentang keadaan di kota Oran, Aljazair, ketika suatu hari tiba-tiba banyak tikus yang muncul dan mati. Kejadian itu tentu menyulut kecemasan dan pemerintah memutar otak untuk mengambil tindakan: membakari bangkai tikus.
Ketika kepanikan kian meluas, pemerintah mengambil langkah cepat-cepat dengan melakukan sanitasi dan karantina terhadap kota. Di tengah kemencekaman itu, digambarkan pada kita bagaimana para warga kota merespon keadaan. Dokter Rieux, yang meyakini kematian-kematian itu berasal dari penyakit pes, meminta banyak pihak untuk segera menanggapinya. Dokter dan ilmuwan bekerja keras mencari solusi. Beberapa orang memilih nekat menerabas aturan karantina untuk bisa berkumpul dengan keluarga apa pun kondisinya. Para pemuka agama kian tekun dan khusyuk berdoa. Sedangkan beberapa lainnya justru memanfaatkan situasi demi keuntungan bagi diri mereka sendiri.
Tono tersenyum sendirian memikirkan bahwa ia telah merasa punya jawaban untuk pertanyaan Tini tentang guna sastra: memberi gambaran pengalaman yang belum pernah dialami yang bisa menjadi bahan persiapan jika tiba-tiba terlempar ke dalam situasi yang serupa dengannya. Dilihat dari apa yang bisa didapat dengan membaca Sampar karya Albert Camus tersebut, Tono berpikir bahwa memang demikianlah adanya.
Tono kembali tersenyum dan jempolnya telah separuh perjalanan menekan tombol kirim. Tak lama lagi, batin Tono, jawabannya itu akan masuk di gawai Tini. Tini akan senang membacanya, dan ia akan senang karena bisa menyenangkan Tini. Tapi itu tidak terjadi. Tono menghapus pesan yang baru saja akan dikirimkannya. Ibu jari Tono kalah cepat dari pesan Tini yang datang mengombak.
 
[13/5 14.25] Tini: Ton, Google nyebelin. Aku kayak cuman dimain-mainin aja. Masa buka situs-situs jawabannya itu-itu mulu. Sebagai hiburan yang mendidiklah, kenikmatan dan kehikmahanlah, punya fungsi etis, didaktis, reflektif, rekreatif, kayak makul Pengantar Ilmu Sastra aja. Gaada yang jelas. Bikin bosen. Tapi Google mendinganlah, daripada kamu dari tadi gamau jawab. Dasar. Ton. Ton. Tonnnooooooooo… @#$%^&**&^%^&*(*&^%$#@!??!!!
 
[13/5 14.25] Tono: (…)
Benar. Tono menghapus kembali pesan yang tadi sudah hampir dikirimkannya pada Tini, menjadi ragu, dan menimbang-nimbang kembali apa guna sastra di tengah pandemi Corona. Tono tidak jadi yakin lagi bahwa sastra bisa memberi gambaran pengalaman pada pembaca. Quote George R.R. Martin, penulis novel dan skenario A Game of Thrones—“Seorang pembaca memiliki seribu kehidupan sebelum ia mati; orang yang tidak pernah membaca hanya memiliki satu kehidupan.”—tidak menolongnya dari keraguan dan kebingungannya sendiri.
Tono menghela napas. Pukulan-pukulan yang dirasakan dalam kepalanya membuat kebingungannya kian berat. Tono pun menutup mata, dan pada saat membukanya teringat statemen Martin Suryajaya di kanal YouTube-nya, yang membuat Tono berpikiran bahwa pertanyaan tentang guna sastra itu tidak perlu terlalu dirisaukan. Sebab, barangkali, sebagaimana dalam filsafat, seseorang yang terlalu mencari guna sastra hampir dapat dipastikan akan berhenti di tengah jalan.
Tono hampir memutuskan untuk tidak membalas chat Tini itu dan ingin melanjutkan tidurnya saja sampai nanti waktu buka puasa tiba. Tono benar-benar sudah menarik selimutnya kembali dan akan memejamkan mata seandainya pesan Tini tidak kembali membombardirnya. Barangkali pesan Tini yang bertubi-tubi itu tidak akan jadi masalah jika Tono mengabaikannya. Tapi Tono justru membuka dan membacanya.
 
[13/5 14.26] Tini: Toooooonnn!!!!! Toooooooonnnn…… tonoooooooooo!!!!
Ya. Chat Tini yang bertubi-tubi itu membikin Tono semakin kebingungan lagi. Namun, di ujung kebingungannya itu, tanpa dinyananya, Tono justru menemukan kalimat yang tepat untuk menjawab pertanyaan dari chat Tini. Tono pun segera menulis di papan ketik gawai dan mengirimkannya pada Tini.
[13/5 14.426] Tono: Tin, apa guna sastra di tengah pandemi Corona?
Mlangi, 14 Mei 2020

About the Author

You may also like these