Bahasa Jawa bertaburan adagium. Ungkapan peribahasa yang digunakan sebagai semboyan, semangat, pujian, hingga makian.
Dari sekian banyak adagium, yang masih melekat dengan sosok Pangeran Diponegoro adalah kéré munggah balé. Kalimat ini terucap saat Diponegoro menampar wajah Danurejo IV dengan sendal selop. Tindakan ini dilakukan akibat Pangeran Diponegoro geram terhadap ulah licik dan culas Patih Danurejo IV.
Peristiwa ini terjadi pada suatu perjamuan di Keraton Mataram yang dihadiri pihak Kraton dan wakil pemerintah Belanda. Akibat ulah licik dan culas Danurejo IV, Kraton Mataram masa Hamengkubuwono IV (HB IV) nyaris mengalami kebangkrutan. Bahkan, yang lebih mengkhawatirkan bagi Diponegoro adalah kemerosotan moral keluarga dan kerabat Keraton Mataram akibat pengaruh penjajah Belanda.
Kéré munggah balé memiliki arti: seorang miskin yang naik derajat memasuki istana. Meski sudah berada di istana, namun sikap miskinnya masih dibawa. Jika dikontekskan dengan bahasa kekinian bisa disejajarkan dengan istilah “orang kaya baru”.
Mulanya Pangeran Diponegoro sendiri yang mengajukan nama Danurejo IV kepada pihak kolonial. Kala itu, Pangeran Diponegoro menjadi wali dari HB IV yang dinobatkan sebagai raja dalam usianya yang masih dua tahun. Jabatan wali inilah yang mengharuskan Diponegoro menjadi juru runding dan penasihat HB IV.
Dalam sistem pemerintahan Kasultanan Mataram Yogyakarta sejak HB I, dikenal adanya Maha Patih yang bertugas mengurus bidang administrasi pemerintahan, pertanahan, dan perpajakan. Patih-patih itu ditunjuk secara turun temurun sejak Danurejo I. Melalui para patih tersebut, pemerintah kolonial Belanda melakukan intervensi terhadap Kasultanan Mataram. Para sultan dan patih yang akan dinobatkan dan diangkat harus atas persetujuan pemerintah Belanda.
Intervensi dan kesewenang-wenangan pihak kolonial Belanda terwujud melalui politik pecah belah yang mengakibatkan Kasultanan (Ngayogyakarta) dan Kasunanan (Surakarta) terpecah. Selain itu, campur tangan pemerintah kolonial Belanda terhadap urusan Keraton, kutipan pajak tanah yang membebani rakyat, dan merosotnya moral tradisi Keraton karena masuknya budaya barat melatarbelakangi keputusan Pangeran Diponegoro untuk mengobarkan perang sabil, perang demi menegakkan keadilan.
Siapa sangka bermula dari akumulasi kegeraman inilah akhirnya pecah Perang Jawa yang dipimpin langsung oleh Pangeran Diponegoro. Perang Jawa yang berlangsung tahun 1825 sampai 1830 tersebut ternyata membuat bangkrut pemerintah kolonial Belanda.
Meskipun tidak semua patih trah Danurejo memiliki sifat buruk, namun ada dua orang di antaranya yang tercatat dengan tinta hitam dalam sejarah. Kedua patih yang sepak terjangnya merugikan Kasultanan Mataram yaitu Danurejo III dan Danurejo IV.
Di kemudian hari, jabatan patih mulai dihilangkan sejak masa pemerintahan Sultan Hamengkubuwono IX. Sejak saat itu, Sultan Yogyakarta memegang penuh urusan pemerintahan Keraton Kasultanan Mataram. (MA)