Memperbincangkan tentang corona, kita telah banyak mendapat asupan referensi yang bersumber dari berbagai lintas media dengan dasar kelimuan yang beragam. Hari ini, hampir genap 1 bulan kita bersama, dalam sebuah percakapan langsung maupun lewat media online.
Siapa yang tidak memperbincangkan corona?
Berapa kali jumlah kata xorona terucap melalui lisan manusia, setiap harinya, setiap jamnya?
Mengenai corona, kebanyakan dari kita berpandangan bahwa kita semua memiliki potensi terjangkit virus corona. Ditambah, kita sempat kehilangan pilihan dalam memilih kabar, berita, atau tema obrolan yang tidak lain hanya terarah pada satu frekuensi yang sama: corona.
Sebagai sebuah virus, ia telah menjalar pada setiap sendi-sendi kehidupan. Ia telah menjelma menjadi suatu kebijakan untuk menutup akses pertemuan, apapun bentuknya, apapun kepentingannya.
Untuk mencegah penyebaran virus tersebut, kita bersama serempak mengheningkan cipta dan beraktivitas di rumah saja. Telah ramai media sosial kita dipenuhi #dirumahsaja. Sebagai virus, corona telah memancing yang sebelumnya jarang nampak menjadi sebuah kebutuhan untuk terlihat jelas.
Bahwa ketika manusia dengan #dirumahsaja memiliki kesempatan lebih longgar untuk berdiam diri dan berpetualang pada sebuah jagad pengetahuan yang sebelumnya mungkin jarang terjamah.
Sebagai virus, corona pun telah mengantarkan kita pada sebuah kondisi diri yang menyepi. Kita diberikan kesempatan untuk mengenali jagad pengetahuan yang ada di dalam diri.
Dalam sebuah tradisi agama Hindu, kita telah mengenal apa yang disebut Nyepi. Berangkat dari sini, kita dapat membedah jagad diri dengan melihat nilai-nilai yang terkandung dalam tradisi Nyepi umat Hindu.
Secara etimologi, kata Nyepi berasal dari bahasa Jawa Kuno yang artinya sepi, simpeng, atau hening. Perayaan Nyepi dilaksanakan penuh keheningan dengan menghentikan segala aktivitas yang dimulai sejak matahari terbit pada pukul 6 pagi hingga pukul 6 pagi keesokan harinya.
Keheningan tersebut merupakan sebuah usaha untuk mengendalikan diri agar tetap tenang dengan menjalankan Catur Brata Penyepian yang di dalamnya terkandung nasehat dalam membedah jagad diri.
Pada Catur Brata Penyepian terkandung beberapa nilai, yaitu amati geni, amati karya, amati lelungan, serta amati lelanguan.
Amati Geni
Tidak boleh menyalakan api. Merupakan sebuah pantangan ketika melakukan Nyepi untuk melaksanakan kegiatan yang berhubungan dengan nyala api. Secara mendalam, nilai ini memiliki pengertian simbolik, yakni mengendalikan sikap atau perilaku agar tidak dipengaruhi oleh api amarah (krodha) serta api serakah (lobha).
Amati Karya
Tidak boleh bekerja. Amati karya bermakna evaluasi diri terkait dunia karya (kerja). Merenungi hasil kerja yang telah dilakukan apakah telah bermanfaat serta sudah berlandaskan subha karma (kerja yang baik) sehingga dapat menolong manusia terhindar dari penderitaan.
Amati Lelungan
Tidak boleh bepergian, keluar dari rumah. Kegiatan ini sebagai sumber pengendalian diri serta memberikan evaluasi kepada diri agar lebih memantapkan kualitasnya di waktu mendatang.
Amati Lelanguan
Tidak boleh bersenang-senang. Kegiatan ini memiliki tujuan agar seseorang bersikap mawas diri, senantiasa melakukan pengamatan terhadap diri sendiri.
Keempat nilai filosofi yang terkandung dalam Nyepi tersebut dapat menjadi satu pandangan mengenai apa yang sedang terjadi pada situasi kita: #dirumahsaja. Berdiam di rumah akan mengantarkan pada penghayatan, apa sesungguhnya yang ada dan telah terjadi di rumah kita. Sebagai pribadi pun dapat melakukan introspeksi hubungan rumah dengan penghuninya, antar penghuni rumah, serta penghuni rumah dengan apa yang di luar rumah.
#dirumahsaja dapat kita artikan sebagai proses nyepi, nenepi, berdiam diri dalam durasi waktu tertentu. Memang, dalam tradisi agama umat Hindu, Nyepi dilakukan satu hari utuh selama 24 jam. Namun, kita tidak mengambil perihal bagaimana teknis Nyepi dilaksanakan. Dari sini kita cukup sapat belajar “ritual Nyepi” yang di dalamnya terkandung Catur Brata Penyepian itulah yang menjadi proses bedah jagad diri.
***
Tulisan ini diolah dari Hindu Alukta.
Ilustrasi : Laku Pradaksina (koleksi foto Melinda Ayu)
Laku Pradaksina, bagian dari upacara Tawur Agung, merupakan ritual mengelilingi Candi Dewa Siwa sebanyak tiga kali searah jarum jam. Sebelumnya diawali dengan Mendak Tirta, yaitu mengambil air suci di Istana Ratu Boko. Kemudian, beriringan mengarak umbul-umbul, berbagai persembahan, gamelan, dan ogoh-ogoh menuju ke Candi Dewa Siwa. Rangkaian ritual ini dilaksanakan sehari sebelum perayaan Nyepi.