Tepatnya kemarin sore, kami berencana akan melihat pameran di galeri milik seniman Ugo Untoro. Pertama kalinya berkunjung di galeri Museum dan Tanah Liat (MDTL) tersebut, saya bersama Setiyoko — kerap disapa Yoko — mahasiswa seni rupa angkatan 2013 ISI Yogyakarta. Tidak banyak yang saya ketahui tentang seni rupa. Namun, saya tertarik dengan keunikan pribadi beberapa teman yang berproses dalam seni rupa. Salah satunya, Yoko, pemuda asal Sukoharjo.
Kami memasuki MDTL disambut dengan pekarangan memanjang yang dikelilingi tumbuhan hijau segar. Salah satunya, afelius (mungkin salah dalam penulisan) yang merupakan tanaman obat ampuh. Sebelumnya, saya menjumpainya — juga dengan Yoko — ketika saya bersama beberapa teman mengunjungi makam Panembahan Purboyo, di Masjid Wotgaleh, Berbah, Sleman.
Tidak ada pengunjung lainnya. Hanya kami berdua. Saya masuk pelan-pelan. Informasi yang saya dapat dari Yoko, ini merupakan pameran koleksi dari beberapa seniman.
Saya senang ketika melihat sebuah karya seni. Dan ketika melihat seni rupa, saya merasakan adanya ekspresi alamiah dari seorang seniman ketika menuangkan dirinya pada sebuah media. Melalui karya rupa, yang dalam pameran tersebut kebanyakan menggunakan media kanvas, detak jantung senimannya dapat dirasakan hanya dengan satu kotak imaji; kanvas dengan warna, garis, dan daya hidupnya. Namun ada juga karya yang, ketika saya melihatnya, saya merasakan bahwa satu kotak imaji hanya berhenti sebagai karya visual. Memang ada visual disana, namun hanya berhenti sebagai pandangan objek. Belum mampu menyiramkan perasaan-perasaan terdalam kepada yang melihatnya.
Kami keluar dari galeri. Lalu, kami duduk di kursi panjang di samping pintu masuk. Suasana yang mendukung untuk bercakap dengan Yoko, pikirku waktu itu. Suasana tenang. Kami melihat tumbuhan-tumbuhan hijau segar. Tubuh kami tersirami cahaya matahari yang menembus lewat sela-sela daun tumbuhan merambat. Kami berbicara dengan santai. Ya, santai. Tidak ada kepentingan apapun. Berbicara dengan rasa, menanggapinya dengan indera.
Saya mengawali perbincangan dengan bertanya kepada Yoko tentang konsep berkarya. Ketika sedang berproses, dari mana lahirnya kehendak membuat karya? Kepada siapa akan kita berikan? Mengapa kita harus membuatnya?
Yoko hanya terdiam. Sejenak hening. Tidak ada yang bicara.
Kemudian, ia menjawab, “Piyé, ya? Ning njero iki ana rasané. Tur angèl aku arep ngetokké, ngomongké.” (Bagaimana, ya? Di dalam (batin) ada rasanya. Tetapi sulit bagiku untuk mengungkapkan, mengucapkan.)
Hening. Yoko kembali terdiam.
“Mbuh, Bril. Bingung aku arep ngomong”. (Entahlah, Bril. Bingung aku mengungkapkannya.)
Hening kembali.
Saya pelan-pelan berbicara, “Santai waé, Nda. Iki ora ana hubungané karo apa-apa. Ngobrol sakpénaké dhéwé waé.” (Tenang saja, Kawan. Ini tak ada hubungannya dengan apapun. (Cuma) ngobrol sesuka hati kita saja.)
Kami ngobrol ngalor ngidul tidak ada arah yang jelas. Lalu, pada sela-sela obrolan tersebut, Yoko mulai mengungkapkan dirinya saat ini, dirinya dengan proses seni rupa.
“Yok, warna ki apa ta?” (Yok, warna itu apa, sih?)
“Werna ki, ya menggambarkan perasaané awaké dhéwé, ya isa nggambarké kehidupan mbiyèn. Misalé werna-werna alam, ya kuwi angèl isa ngentukké werna kaya ngono.” (Warna itu menggambarkan perasaan kita, bisa pula menggambarkan kehidupan yang lalu. Sedangkan warna-warna alam, sulit untuk memperoleh warna seperti itu.)
“Werna ya isa ndelok egoné awaké dhéwé. Aku ya ngrasa kadang aku ngrasa angkuh, sombong. Makané warnané takblok bèn nggo ngleremké sifat sombong kuwi mau.” (Warna juga bisa digunakan untuk melihat ego kita sendiri. Aku pun merasa kadang aku angkuh, sombong. Makanya warnanya kublok untuk meredakan sifat sombong itu tadi.)
“Isa werna kuwi dinggo menyatukan. Misalé, werna angkuh dicampur karo werna sing adhem, ngko dadiné isa nyeimbangké, iso gawé tenang awaké dhéwé.” (Bisa juga warna digunakan untuk menyatukan. Misalnya, warna angkuh dicampur dengan warna yang dingin, nanti jadi bisa menyeimbangkan, bisa menenangkan diri kita.)
Obrolan mulai hangat. Suasana sekitar yang mendukung menjadikan waktu saya berkualitas karena dapat berbincang dengan Yoko. Lalu, saya kembali bertanya kepada Yoko tentang pengabdian. Selama melukis, kepada siapa ia mempersembahkan karyanya.
Yoko menghela nafas pelan.
“Sik. Angèl é pertanyaané.” (Sebentar. Sulit juga pertanyaanmu.)
Yoko mengawalinya dengan ungkapan rasa terima kasih. Kemudian, Yoko menceritakan bahwa perjuangan orang tua tidak dapat dibayar dengan apapun. Orang tua tidak akan terlihat sedih di depan anaknya, walaupun kondisinya memang sedang terpuruk. Yoko bercerita, ketika ibunya sedang sakit, beliau masih berusaha untuk memberikan perhatian kepada anaknya.
“Wong tuwa kuwi pembohong. Iya, wong tuwa kuwi ngapusi anaké. Nèk wong tuwa lagi sedih, lagi lara, wong tuwa berusaha nutupi sedihé kuwi bèn anaké ora kepikiran. Malah, wong tuwa isih berusaha piyé carané isa nyenengké anaké.” (Orang tua itu pembohong. Iya, orang tua itu menipu anaknya. Ketika orang tua berduka, sedang sakit, mereka berusaha menutupi kesedihannya agar anak mereka tidak terbebani. Justru orang tua masih berusaha untuk menyenangkan anak-anaknya.)
Yoko berbicara dengan sangat lancar. Saya merasakan bahwa dia sudah tidak berbicara dengan mulutnya yang penuh dengan aturan bahasa. Yoko mengungkap isi hatinya. Mengalir.
Rasa terima kasih tersebut menjadi semangat Yoko dalam berproses. Ia menggores garis pada kertas, menggerakkan sapuan kuas pada kanvas. Salah satu yang menjadi alasan kuat mengapa Yoko terus berproses, tidak sekedar ingin mencipta sebuah karya, adalah bahwa nantinya karya tersebut akan menjadi wujud ungkapan rasa terima kasih untuk ibunya.
Saya memang sudah tahu bahwa ibu Yoko sudah tidak ada. Ibunya meninggal ketika Yoko menjadi mahasiswa di ISI Yogyakarta.
Lalu, saya pelan-pelan bertanya padanya, “Yok, lha nèk saiki karyamu tok persembahké kanggo wong sik ora ana kuwi piyé?” (Yok, kalau sekarang karyamu kau persembahkan untuk orang yang sudah tak ada, lantas bagaimana?)
Dengan sigap Yoko menjawab, “Ngéné. Karya kuwi kan ora mung dadi wujud karya. Tur ning njero karya kuwi ana akèh, ana rasa karo ana donga. Lha iya donga kuwi sing aku yakin kuwi iso ndongakké wong sing taktuju. Seka karya, glèk, dadi donga, munggah.” (Begini. Karya itu kan bukan sekadar karya saja. Di dalam karya itu ada banyak kandungan, ada rasa dan ada doa. Nah, doa itulah yang aku yakin bisa mendoakan orang yang kumaksudkan. Dari karya, glèk — interjeksi khas yoko, menjadi doa, naik.)
Saya melihat mata Yoko berkaca, bergemuruh air mata. Kami sejenak sama-sama diam. Tidak ada yang berani berbicara.
Yoko bercerita tanpa saya bertanya atau memintanya untuk berbicara. Setiap orang tentu memiliki perjalanan hidupnya. Yoko menceritakan hal-hal yang melatarbelakangi “rasa terimakasih” itu. Perjuangan ibunya ketika dulu menggarap sawah. Ketika panen tiba, ibu Yoko bekerja keras agar padi yang dihasilkan bisa utuh, tidak pecah.
“Dadi nèk wong tuwa péngén sik paling apik nggo anaké. Contoné seka beras. Ibu mbiyèn péngén piyé carané beras wutuh, ora growong, ora campur menir. Bèn anaké isa mangan énak, isa séhat.” (Jadi jika ingin melihat bagaimana orang tua menginginkan yang terbaik untuk anaknya, contohnya dari beras. Ibu dulu mengupayakan agar beras bisa utuh, tidak berlubang, tidak bercampur menir, supaya anaknya bisa makan enak, bisa sehat.)
Rasa terima kasih itu memang tidak akan pernah usai. Yoko pun menyadari jika apa yang telah dilakukan ibu kepadanya merupakan sesuatu yang tak terhingga. Ia juga tidak akan dapat membalas sepenuhnya perjuangan dan pengorbanan ibunya.
“Aku gelem, isa waé saiki gambar 50 meter, nèk arep nggambarké rasa terima kasihku kuwi mau. Tur kuwi ya ora isa mbales perjuangané. Soalé iku kaya samudera, jembar, ora ana batesé. Rasaku iki ora isa rampung.” (Jika aku mau, bisa saja sekarang melukis di atas kanvas sepanjang 50 meter untuk menggambarkan rasa terima kasihku itu. Tapi itu pun tak bisa membalas perjuangannya. Sebab perjuangannya seperti samudra, luas tanpa batas. Rasaku tak bisa tuntas.)
Saya merasakan begitu besar rasa kasih Yoko kepada hidupnya. Ia sangat mencintai, mensyukuri hidupnya. Dengan begitu, setiap yang terjadi dalam hidupnya selalu ia jadikan sebagai landasan doa dan bersyukur. Apa yang dialami Yoko menjadi bekal dalam ia mengarungi samudra hidupnya yang luas, samudra rindu pada Ibunya. Barangkali ini merupakan secuil dari kisah Yoko yang dapat saya rasakan.
Seperti pada garis dalam setiap karya Yoko. Yoko sering mengatakan jika garis merupakan jantung dari seni rupa. Kisah hidup Yoko merupakan garis yang lahir pada setiap karyanya, dalam media kertas maupun kanvas. Dengan begitu, maka garis akan hidup. Karena ia terlahir tidak ingin menjadi karya visual semata, namun sebagai ungkapan hati yang dipersembahkan sebagai wujud doa.
Memang terasa berat, jika kita melihat seni rupa hanya sebagai produk seni visual. Namun, Yoko memahami dalam setiap karya dapat tersemat kedalaman rasa, wujud kasih sayang, kerinduan, dan wujud doa. Di sanalah garis akan hidup. Dan, Yoko terus mengarungi samudera hidupnya.
Saya sering mendapat kiriman gambar melalui pesan WhatsApp dari Yoko. Dalam kesehariannya, Yoko menjaga ketenangan tubuh dan batinnya. Baginya, ketika sedang menggambar, jiwa harus tenang. Setiap selesai mengungkapkan garis pada kertas, Yoko memotret dengan ponselnya, lalu mengirimkannya lewat pesan WhatsApp dengan caption “Ngopi likk”. Ya, saya menyimpan beberapa foto kiriman Yoko. Foto karya, foto makanan nasi, lauk, sayur, foto secangkir kopi, udud, cemilan, dan beberapa foto “apa sih”, seperti foto telapak kaki, foto orang mengepel lantai, foto jemuran, foto ban mobil, dan lain-lainnya.
Saya senang menikmatinya. Memang begitulah hidup, penuh daya kejut. Begitulah Yoko. Ia sangat menikmati garis hidup yang bersemayam di dalam dirinya. Begitulah Yoko yang jujur, tulus, sekaligus unik.
Kaliopak banyune mili, 16 Februari 2019
***
Ilustrasi: foto koleksi penulis
Editor: EYS