Perdebatan keagamaan selalu saja menyisakan pergumulan yang tak mudah diselesaikan. Antara benar dan salah, syariat dan non-syariat, lokal dan universal; tidak berhenti pada wilayah diskursus semata, tetapi merembes ke medan politik, kekuasaan, bahkan ke tingkat kebijakan hukum publik. Hasilnya terkadang mengikat dan begitu kaku.
Ketika syariat dijadikan hukum formal di tengah masyarakat, kita kadang abai, apakah benar basis argumen yang menjadi titik tolak bersumber dari nilai Islam yang universal agar layak menjadi acuan hukum yang mengikat di semua tempat dengan masyarakat, budaya, sosial, dan geografi yang berbeda? Atau justru hukum syariat yang sudah dianggap islami tersebut semata ekspresi budaya yang sarat akan ornamen-ornamen lokal dari suatu komunitas Islam tertentu, sehingga ketika diterapkan di wilayah dan masyarakat yang berbeda justru menimbulkan kebingungan.
Hal lain yang menjadi paradoks: seringkali dalam proses penerapan nilai-nilai Islam yang belum jelas apakah bersifat lokal atau universal tersebut, justru mengeliminir budaya setempat, memarginalkan, dan tak segan untuk menyingkirkan budaya (lokalitas) yang sudah ada di suatu masyarakat. Pertanyaanya, ketika fenomena ini muncul lagi belakangan ini, ketika banyak penganut kepercayaan lokal, ritual-ritual agama yang bersumber dari tradisi masyarakat Indonesia, distigmatisasi menjadi bidah dan tidak “Islami”, apakah arif kehadiran Islam di bumi Nusantara. Tidakkah rumusan ajaran dan pemikiran Islam juga berkelit-kelindan dengan nilai-nilai lokal yang ada di masyarakat Arab.
Kedua aras di atas penting kiranya genarasi Islam dewasa ini ikut melihat fenomena tersebut secara dalam dan jernih. Bagaimana keterkaitan antara lokalitas dan universalitas dalam doktrin Islam sehingga muncul parameter yang jelas. Setelahnya kita akan bertanya tentang aplikasi yang paling memungkinkan sehingga kedua nilai tersebut, baik lokal maupun universal, bisa saling menguatkan, bukan justru saling mengasingkan.
Seperti yang disampaikan Kiai Jadul dalam Ngaji Dewa Ruci tanggal 7/1/2020, persoalan terkait nilai-nilai universal dan lokal dalam Islam ini memang menjadi isu hangat di awal tahun 2000-an. Menurut penuturan beliau yang saat itu berkesempatan untuk riset terkait hal tersebut, fenomena Peraturan Daerah (Perda) Syariat yang lagi marak di berbagai daerah di Indonesia menyebabkan banyak kebuntuan di tengah masyarakat. Di satu sisi pemerintah daerah ingin menjalankan syariat Islam secara konsekuen di tengah masyarakat sehingga tatanan bisa berjalan lebih baik, tapi kenyataannya perda-perda yang menggunakan justifikasi syariat tersebut justru membuat gejolak di tengah masyarakat. Karena selalu bertentangan dengan sistem nilai masyarakat yang sudah ada.
Terlepas dari konflik yang ditimbulkan akibat adanya perda-perda tersebut, yang perlu diperhatikan adalah epistimologi pemikiran antara yang lokal-universal, apa yang dianggap nilai lokal dan universal dalam Islam dan bagaimana memosisikan keduanya dalam kehidupan keberagamaan dan kebangsaan kita saat ini.
Antara “Pengalaman” dan “Wacana” Kenabian
Untuk membongkar kebekuaan di antara nilai-nilai universal-lokal ini, Kiai Jadul mempunyai argumen bahwa, kita semestinya membedakan terlebih dahulu antara “pengalaman kenabian” yang selalu didasarkan kepada sosok Nabi Muhamamad SAW yang dieksperimentasikan hidup bersama sahabatnya tinggal di Makkah dan Madinah, dengan “wacana kenabian” yang dibangun dan diteruskan sahabat selepas Nabi wafat.
Perbedaannya dalam dua hal tersebut, pertama ketika sosok Nabi masih hidup beliau hadir dalam kehidupan masyarakat yang selalu menggetarkan sehingga memungkinkan masyarakat bergerak ke segala arah, karena ada panduan dan rujukan yang jelas dan pasti, yakni sang Nabi. Sementara kedua, setelah wafatnya Nabi, situasi kenabian “dihadirkan” dalam bentuk wacana atau sebuah eksperimen social engginering bersiat linier, mendirikan, mempertahankan dan mengembangkan Negara (Islam Berkebudayaan: 72).
Hal lain yang perlu diperhatikan dalam konteks tersebut adalah reproduksi wacana kenabian tidak mungkin bisa dilepaskan dari sosok Nabi yang menjadi poros utama, dan tidak bisa dipungkiri juga sangat terikat dengan situasi historis yang melekat dikehidupan beliau. Sebagai manusia Nabi mempunyai kecendrungan, biologis-psikologis-historis layaknya manusia pada umumnya, yang hidup di Jazirah Arab abad 6-7 M. Namun faktanya kondisi ini dalam arus besar pemikiran Islam selalu saja tidak mendapatkan ruang yang tidak proposional. Sosok nabi banyak digambarkan secara sepotong-potong, tidak lengkap, sehingga tampak selalu ideal, dan ada kecenderungan mistifikasi berlebih-lebihan karena selalu dikaitkan dengan Nabi sang penerima wahyu.
Legitimasi wahyu inilah yang kemudian perlu diurai terlebih dahulu. Dalam hal ini Kiai Jadul berpijak kepada studi yang dilakukan banyak pemikir Islam kotemporer seperti Nasr Hamid Abu Zayd dan Muhamad Arkoun, yang berargumen bahwa fenomena kehadiran wahyu memang salalu saja menyulut perdebatan mengenai kebenaran di kalangan masyarkat Arab terkait asal-usul kebenaran. Tapi tidak bisa disangkal bahwa apa yang disampaikan Nabi dengan wahyu tersebut selalu saja menarik perhatian banyak kalangan.
Argumen ini kemudian menghantarkan ke teori Abu Zayd tentang wahyu, di dalam studi Alquran bahwa, dalam proses reproduksi wacana kenabian variabel perubahan di tengah masyarakat sangatlah penting dijadikan rujukan utama untuk memahami Nabi secara pararel, antara sisi kenabian dan kemanusian yang keduanya beliau emban. Sehingga ketika posisi ini kita dudukkan ada kemungkinan gerakan yang terbuka dari antropologi wahyu yang hidup dan berkembang di tempat dan zaman yang berbeda ketika Nabi masih hidup dan ketika beliau sudah meninggal.
Hal ini menunjukkan gerak antara lokal dan universal Islam tersebut punya nuansa yang dinamis, lentur dan selalu meyesuaikan dengan apa yang sudah ada, mengisi, memperkuat, menambahi. Bukan justru melemahkan yang lokal dan mengukuhkan yang dianggap universal dengan tanpa mempertimbangkan nialai-nilai yang bersifat lokal.
Kembali ke diskusi universalitas dan lokalitas dalam Islam, dalam konteks Islam Indonesia upaya untuk selalu labelisasi dengan simbol-simbol agama yang dimainkan terus-menerus tentunya akan berakibat terhadap kristalisasi pola keagamaan yang sewaktu-waktu bisa pecah. Apalagi melihat corak keagamaan yang tumbuh di Nusantara, dengan beragam ekspresi yang ditampilkan seturut dengan nilai-nilai lokal yang tumbuh di masyarakat membuat kebanyakan adat-adat, ekpresi-ekspresi keislaman di Nusantara teramat sukar untuk langsung kita carikan referensi, baik dari teks Alquran yang memang bersifat global-universal, maupun dari hadis-hadis Nabi yang sangat terikat dengan konteks kultural-sosial.
Namun yang peting dari perdebatan antara lokal-universal dalam Islam ini adalah maqosid dari Islam itu sendiri, yang meliputi penjagaannya atas agama, jiwa, pikiran, harta, keturunan. Dan kalaulah kita belajar dari para ulamak Nusantara dalam memposisikan antara yang lokal-universal dalam Islam ini, kita akan melihat keduanya bisa berjalan beriringan dan saling menopang. Seperti kalau di Jawa ada falsafah “Jowo di gowo, Arab digarab”, di Sumatra Barat “Adat bersandi syarak, syarak bersandi kitabullah”. Falsafah seperti ini masih banyak kita temui, dan yang dapat kita petik adalah kearifan ulama-ulama Nusantara untuk menyandingkan antara yang lokal-universal dalam Islam, bukan justru mempertentangkan. (MA)