Ilmu politik di tengah masyarakat kita sekarang banyak dipahami hanya secara material yang biasanya merujuk pada sebuah acara pemilihan umum, nyoblos. Sehingga fungi politik sebagai cara untuk membangun tata sosial, ekonomi dan budaya hampir tidak bisa terwujud. Hal tersebut disampaikan oleh Kiai Nur Khaliq Ridwan pada acara Institut akhir pekan (IAP) Pekan ke II pada Sabtu (15/10/2022), di Pesantren Budaya Kaliopak Yogyakarta.
Kiai Nur Khaliq Ridwan menjelaskan bahwa jika politik hanya dipandang sebatas urusan transaksional dan material justru akan membahayakan bagi kelangsungan hidup berbangsa. “Politik bukan hanya urusan transaksional bahwa politik itu nyoblos milih dan selesai. Tapi politik itu juga berkaitan dengan upaya menjadikan tata sosial politik ekonomi budaya itu menjadi maslahat. Generasi saya sampeyan, dan seterusnya kalau dididik jika politik itu hanya soal material itu akan membahayakan. Kalau kita hanya menyadari dan ingin menjadikan bangsa kita hanya seperti itu alangkah merananya kita sebagai bangsa dan akan mewariskan apa generasi kita nantinya” ujar Kiai yang penulis tersebut.
Setelah sebelumnya dalam pertemuan pertama IAP dengan tema kuliah Politik Islam dalam Sidang Konstituante Memasuki pertemuan kedua IAP ini, panitia menghadirkan tema pritualitas Politik Ketatanegaraan Nusantara. Sebelumnya sebelum sesi diskusi bersama Kiai Nur Khaliq Ridwan di mulai pada malam hari. Peserta diajak untuk mendiskusikan pertanyaan-pertanyaan kunci pada tema pada kuliah sore itu. Pertanyaan seperti Apa itu spiritualitas? Apa itu spiritualitas politik? Apa urgensinya? dan untuk apa spiritualitas politik?. Pertanyaan tersebut kemudian di jadikan bahan diskusi secara berkelompok lalu mereka di beri kesempatan untuk dipresentasikan.
Tidak hanya itu, Kiai Nur Khaliq sebagai pemateri ke dua juga mengajak peserta kuliah untuk menengok kembali Spritualitas Politik Ketatanegaraan Nusantara di masa lalu. Hal tersebut dilakukan sebagai titik pijak, untuk memotret fenomena politik hari ini, yang seolah-olah terlepas dengan spritualitas. Kiai Koliq menerangkan bahwa Sebelum masuknya Islam, raja-raja di Jawa dianggap sebagai perwujudan dewa dan dianugerahi kekuasaan spiritual. Bagaimana raja pada saat itu tidak hanya melestarikan kekuasaan dunia tetapi juga kosmos rohani masyarakatnya. Hal ini diwujudkan dengan membentuk Sima-sima sebagai kekuasaan merdeka yangg dihuni oleh tokoh-tokoh rohani.
Setelah Islam masuk Walisongo kemudian memberikan artikulasi baru terhadap nilai-nilai yang sudah ada dengan syariat, tarekat, hakikat dan makrifat. Dewa-dewa diganti menjadi pemahaman tauhid. Penjuru mata angin yang dianggap dihuni oleh dewa-dewa diganti menjadi malaikat. Raja tidak lagi dianggap penjelmaan Tuhan tetapi raja adalah wakil Allah untuk mengurus bumi agar makmur dan digunakan sebaik baiknya untuk rakyat. Nilai spiritualitas saat itu diwujudkan dalam tatanan sosial, politik, ekonomi melalui aturan-aturan yang hidup di tengah-tengah masyarakat.
Dari diskusi panjang akhirnya Kiai Nur Khaliq berpesan untuk tidak terlalu banyak berkhayal yang dianalogikan dengan menjala angin, tetapi lebih banyak melakukan tindakan sesuai dengan kapasitas diri. Nasihat terakhir tentang mawar hijau mengakhiri pemaparan materi dari Kiai Nur Khaliq. Mawar sebagai gambaran diri manusia dan hijau sebagai simbol tumbuh suburnya amal-amal “Anda itu sebenarnya kelihatannya satu. Tapi hidup Anda itu lapisan-lapisan. Kenalilah diri Anda lapisan-lapisan dan dimana maqom lapisan Anda. Gunakan dan terimalah lapisan-lapisan itu.
Terus olahlah lapisan-lapisan itu untuk menghasilkan karya karya yang bagus. Mawar menyimbolkan manusia yang memiliki arti kalau dia paling tidak dilihat orang dengan karya, lisan, dan tindakannya. Hijau itu adalah tumbuh suburnya amal, setelah itu membuat proritas tentang hidup anda. Prioritas kita, kita rumuskan, kita pecahkan, kita cari formulasinya, sedikit-sedikit kita lakukan, yang sedikit itu lah yang kita istiqomah, ya walaupun sedikit nanti akan berbuah. Jangan terlalu besar menakar diri anda. Diri kita akan mau kemana, kalau kita gak mengerti ini gimana mau memperbaiki tata politik, wong kita sendiri aja nggak beres dalam hidup kita.” pungkas K. Nur Khaliq.
Oleh Faiz Halim