Islam Berkebudayaan, Cara Berislam Generasi Milenial

Foto: Mathori Brilyan
Wacana keagamaan akhir-akhir ini terasa kering dan mandek dengan hal-hal yang serba hitam-putih. Perbincangan seputar agama hanya berkutat kepada persoalan boleh tidaknya cadar, sertifikasi halal produk berlabel syariat, serta politik keagamaan untuk saling berebut pengaruh.
Corak agama demikian juga marak di kalangan anak muda milenial, meski pun tidak semua tentunya. Kecepatan dan kebiasaan instan seringkali menyebabkan pendangkalan terhadap diskursus agama. Agama hanya dikaitkan dengan urusan-urusan ubudiyyah berbaju syariat semata, yang ujung-ujungnya akan kembali ke benar-salah, halal dan haram.
Bagi saya sendiri, fenomena keagamaan yang demikian memang sangat wajar sebagai konsekuensi logis atas situasi sosio-kultural kita, yang bisa dikatakan sedang mengalami kemandulan. Kenapa, di tengah situasi politik demokrasi yang mensyaratkan keterbukaan dan kebebasan, ditambah gerak kapitalisme liberal, maka relasi dalam  masyarakat pun ikut berubah, tak terkecuali di dalam relasi sosial keagamaan kita.
Banyak anak muda terjebak ke dua arus besar gejala sosial kebudayaan kita yang berkembang saat ini. Satu sisi fundamentalisme agama yang selalu mengarahkan ke formalisme nilai. Di sisi lain ke arah sekularisme liberal yang mengajak ke arah kebebasan membabibuta.
Wacana agama yang hanya berkutat kepada  dua arus besar tersebut, fundamentalisme dan sekularisme liberal, membawa pemikiran dan kegiatan-kegiatan keagamaan menuju ke arah ekstrimisme yang merusak sendi-sendi kemasyarakatan.
Dalam arus tersebutlah buku Islam Berkebudayaan muncul dengan menawarkan sikap ber-Islam lewat prespektif kebudayaan, yang sebenarnya sudah tumbuh subur dalam sejarah panjang Nusantara. Dan saya kira hal ini juga penting diketahui anak milenial hari ini.
Mengapa penting, dalam buku tersebut dijalaskan, sebagai bangsa yang mayoritas penduduknya memeluk agama Islam, bahkan terbesar di dunia, corak keberagamaan yang tumbuh dan berkembang di bumi Nusantara ini memang mempunyai ekspresi yang berbeda, dan cendrung unik dari banyak pemeluk agama Islam yang tumbuh dibelahan dunia yang lain.
Perjalanan panjang bangsa kita selalu diwarnai peradaban-peradaban besar yang masih dapat kita lihat bentuknya sampai hari ini.  Candi Borobudur, Prambanan, kompleks Kerajaan Majapahit di Trowulan, sampai yang masih eksis dan hidup adalah Kerajaan Islam, Surakarta dan Yogyakarta dan banyak lagi yang tersebar di bumi Nusantara ini. Semua itu mengindikasikan bahwa Indonesia terbentuk dari pergumulan dan saling-silang aspek kebudayaan.
Tidak dipungkiri juga, penyebaran Islam di Nusantara tak mungkin berjalan masif tanpa dibarengi kebudayaan yang saling menopang dan mengisi. Kepekaan sosial serta spiritualitas para penyebar Islam awal (Wali Sanga) dan para ulama merancang bangunan dan sistem sosial masyarakat terkait erat dengan kearifan budaya yang tumbuh dan berkembang. Nilai-nilai Islam selalu disusupkan di jantung setiap ekpresi kebudayaan.
Ekspresi kebudayaan, tata-nilai, adat, ritual, bahkan sampai ke tarian dan kesenian pun, merupakan bagian proses dari cipta, rasa, dan karsa manusia untuk olah budi (budaya) yang beriringan dengan nilai-nilai baik, dan anjuran untuk selaras dengan entitas yang lain, Alam dan Tuhan. Bahkan kalau kita lebih jauh merunut, dalam literatur naskah Jawa, Wedhatama, istilah “budi” menunjuk sisi terdalam dari manusia: Karsa, Cipta, Jiwa, dan Rasa. Olah budi (budaya) dengan demikian adalah proses olah rohani manusia untuk menempa secara bertahap unsur-unsur di dalam diri agar kemanusiaan kita lebih utuh. (Ketuhanan yang Berkebudayaan, Irfan Afifi, 2019)
Dalam konteks tersebutlah M. Jadul Maula, dengan sangat yakin dalam salah satu artikel di dalam buku tersebut dengan judul, “Inikah Akhir Zaman Budaya Kita?” menulis, “Dan Jauh lebih penting lagi untuk disadari, bahwa ribuan kultur yang hidup di setiap jengkal pulau-pulau pembentuk Indonesia bukanlah semata-mata warna-warni dan tetek bengek yang eksotik. Melainkan juga wilayah belajar dan ‘sekaligus’ modal sosio-kultural dasar (kebangsaan) kita.”
Sehingga  infrastruktur kebudayaan yang ada sebenarnya tidak semata eksotisme yang patut kita banggakan, tanpa meliriknya untuk selalu dipelajari kembali dan dimaknai ulang. Kepentingan untuk selalu menjaga tradisi dengan terus menemukan diri dan identitas yang terserak di arus peradaban.

“Karena, di dalam apa yang kita sebut dengan kultur lokal itu seringkali tersimpan pengalaman, jejak-jejak kreativitas dan pencapaiaan-pencapaiaan tertentu dari para genius lokal dalam mengembangkan pandangan hidup, tata berpikir dan juga sistem sosial tertentu.”

Kekayaan budaya yang dimiliki bangsa inilah sebenarnya sumber kearifan tata-sosial masyarakat diciptakan. Dan pada titik tertentu saat proses islamisasi berlangsung, nilai-nilai budaya ini kemudian diperkaya dengan khasanah nilai Islam kemudian diarahkan kepada Tuhan yang Mahatunggal.
Sehingga bisa dikatakan kalau kita benar-benar menjaga budaya kita, mempelajari dari mulai bentuk hingga makna yang paling dalam dan menjalankan nilai-nilai tersebut di setiap jengkal perjalanan kehidupan, maka di situlah kita menjadi insan (manusia) yang iman (percaya tentang adanya Tuhan), Islam (tunduk dan patuh terhadap perintah-perintah Tuhan) yang arahnya ahsan (menebarkan kebaikan) ke setiap makhluk Tuhan. Islam berkebudayaan adalah Islam yang rahmatan lil ‘alamin. (MA)

About the Author

You may also like these