Sebagai orang yang tinggal di kampung, kehidupan di masyarakat merupakan pelajaran yang sangat berarti bagi saya. Terutama, ketika saya sudah lama hidup di perantauan, kesadaran begitu amat arif dan bijaksananya kehidupan kampung menjadi beban rindu yang tak tertanggungkan.
Apa lagi berkaitan dengan agama sebagai seperangkat nilai dan ajaran yang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan masyarakat desa. Meskipun secara sepintas agama tidak selalu hadir langsung dalam bentuk simbol formalnya, namun ketika dihayati, nilai-nilai keagamaan — terutama Islam — sudah menjadi nafas bangunan sosial kebudayaan masyarakat.
Hal ini tercermin dari tradisi-tradisi masyarakat di pedesaan Jawa khususnya. Dalam setiap pranata sosial dan ekspresi-ekspresi kebudayaan selalu mengarahkan dan mengajak manusia untuk mencapai kebaikan, keutuhan, dan kesempurnaan baik secara individu maupun secara sosial.
Seperti kata sangkan paraning dumadi. Salah satu nilai di desa, terutama pihak kasepuhan yang acap kali digemakan dan dinasihatkan bagi anak cucunya. Secara pribadi pertama kali saya mencecap nilai kata-kata ini ketika masih usia kanak-kanak. Anggapan saya, ketika dinasihati oleh simbah-simbah di desa, nilai ini serupa ajaran Jawa asli yang tidak ada sangkut pautnya dengan agama, apalagi Islam. Sehingga, kesan acuh ketika pertama kali saya mendengarnya.
Namun, seiring berjalannya waktu dan belajar yang terus dilakukan, keinginan memahami Islam sebagai pedoman hidup di satu sisi, dan bagaimana seperangkat nilai tradisi yang telah membentuk keutuhan diri secara kultural di sisi lain tak mungkin dilepaskan begitu saja. Ini membuat saya bergulat terus menerus untuk selalu memosisikan diri.
Apalagi melihat fenomena agama Islam yang berkembang belakangan dengan euforia formalisme yang semakin menguat. Yang selalu mempertontonkan “berebut benar” dari pada mencari kesepakatan, mementingkan citra, simbol, dari pada makna dan kedalaman, lebih suka bertengkar daripada persatuan dan kemaslahatan. Pertanyaan prihatin saya, apakah demikian Islam, agama Allah yang agung, yang disampaikan Nabi Muhammad yang amat luhur, diajarkan?
Bukankah Islam melalui Al-Qur’an mengajarkan untuk “bersatu dan selalu berpegang kepada tali (agama) Allah, dan jangan bercerai berai” (QS. Ali Imron:103), dan dianjurkan untuk selalu “berlomba-lomba dalam kebaikan” (Q.S. Al-Baqaroh: 148)?
Secara tersirat maupun tersurat jelas sebenarnya, ketika kita merujuk ke Al-Qur’an, arah dari kehadiran agama yakni kebaikan dan kedamaian dunia atau rahmatan lil alamin (rahmat bagi sekalian alam).
Maka, melihat kesenjangan antara apa yang seharusnya dengan kenyataan yang ada, bagaimana fenomena Islam sebagai agama yang tumbuh dan berkembang di tengah masyarakat, yang tebersit adalah frasa sangkan paraning dumadi yang sudah disebutkan di atas. Secara bahasa, maksudnya adalah “dari mana hidup berasal dan kemana hidup akan mengarah”. Kata-kata ini seturut mengajak untuk berefleksi memaknai hidup dan orientasi keagamaan yang lebih utuh.
Dalam Al-Qur’an, pesan yang sepadan juga bisa di temukan di (Al-Baqaroh: 156) yakni, “yaitu orang-orang yang apabila di timpa musibah berkata ‘Sesungguhnya saya milik Allah dan kepadayalah kami kembali'”. Di desa-desa dan di banyak tempat yang lain, penggalan ayat ini menjadi penanda setiap ada musibah kematian. Mengingatkan manusia sebagai makhluk, dari mana berasal dan kemana akan berakhir, yakni Allah SWT.
Pemahaman terhadap asal mula dan ke mana tujuan hidup yang sebenarnya sudah diwasiatkan oleh para orang tua kita di banyak kesempatan. Sangkan paraning dumadi ini justru menguatkan bangunan keagamaan Islam yang sudah ada. Dan, ini menjadi bukti bahwa antara nilai-nilai yang hidup di tengah masyarakat dan ajaran agama, sejak dulu sampai sekarang, tidak saling bertentangan. Justru saling menopang ketika kita mampu menyelaminya lebih dalam.
Apalagi ketika dihadapkan fenomena mengerasnya sentimen keagamaan antar kelompok maupun terhadap agama yang lain. Pesan surat Al-Baqaroh:156 dan sangkan paraning dumadi yang telah hidup di tengah masyarakat bisa selalu menjadi pengaman dan pengingat untuk selalu mengembalikan segala persoalan kepada sumber dan asal mula kehidupan. Tuhanlah yang berhak menghukumi kebaikan dan keburukan manusia, sedangkan tugas kita adalah menjalankan perintahnya semaksimal mungkin, menjaga kedamaian dan menjadikan Islam bagi rahmat sekalian alam.
***
Editor: EYS