Jangan Salah, Guru Juga Butuh Pada Murid!

Perihal murid butuh pada guru tentu sudah banyak disampaikan dalam banyak kesempatan. Yang jarang disinggung adalah sebaliknya, bahwa guru juga butuh terhadap murid. Padahal, topik ini juga tak kalah penting untuk membangun iklim pembelajaran yang egaliter nan jauh dari arogansi dari pihak pendidik. Agar tak ada lagi (oknum) pendidik yang sekonyong-konyong berkata, “Kami ini (para guru) tak butuh pada murid, kalianlah (para murid) yang butuh pada kami.”
Saya merujuk bukan pada kitab atau buku yang secara spesifik berbicara masalah ini, katakanlah semisal Ta’lim al-Muta’allim dan sejenisnya. Juga tidak pada bab yang secara khusus mengulas topik relasi murid dan guru. Saya merujuk Ihya ‘Ulum al-Din karangan al-Ghazali, tepatnya pada juz 2, kitab adab al-ulfah wa al-ulfah wa al-shuhbah.
Pada bagian ini, al-Ghazali menggunakan contoh relasi guru dan murid untuk mengilustrasikan kecenderungan seseorang mencitai suatu obyek namun motifnya bukan obyek itu sendiri, melainkan hal lain yang bernilai ukhrawi. Al-Ghazali menulis dengan sudut pandang seorang murid,

وذلك كمن يحب أستاذه وشيخه لأنه يتوصل به إلى تحصيل العلم وتحسين العمل ومقصوده من العلم والعمل الفوز في الآخرة فهذا من جملة المحبين في الله

“Cinta macam Itu sepertinya cintanya seorang murid kepada ustaz dan syaikhnya, sebab keduanya menjadi mediator sang murid untuk beroleh ilmu pengetahuan serta memperindah perbuatan. Dari dan dengan ilmu dan amal itulah ia hendak meraih keberuntungan di akhirat.”
Sementara itu, dari sudut pandang seorang guru, al-Ghazali melanjutkan,

وكذلك من يحب تلميذه لأنه يتلقف منه العلم وينال بواسطته رتبة التعليم ويرقى به إلى درجة التعظيم في ملكوت السماء

“Begitupun orang (guru) yang mencintai muridnya karena sang murid dapat menguasai dengan mudah ilmu diajarkannya, dan dengan perantara sang murid ia mendapatkan derajat ta’lim yang kemudian berkembang menuju derajat ta’dhim di kerajaan langit.”
Sebetulnya, sampai di sini saja sudah cukup bagi kita untuk memahami bahwa seorang guru guna mencapai derajat yang mulia di sisi Allah membutuhkan murid sebagai mediatornya. Namun lebih dari itu al-Ghazali menegaskan,

ولا يتم التعلم إلا بمتعلم فهو إذن آلة في تحصيل هذا الكمال فإن أحبه لأنه آلة له إذ جعل صدره مزرعة لحرثه الذي هو سبب ترقية إلى رتبة التعظيم في ملكوت السماء فهو محب في الله

“Pendidikan tak ‘kan sempurna tanpa adanya murid (muta’allim). Dengan kata lain, murid adalah mediator untuk mencapai kesempurnaan pembelajaran. Apabila sang guru mencintai muridnya karena sang murid adalah mediator baginya, yaitu ketika sang guru menjadikan dada muridnya sebagai medan tanam bagi “pertanian”-nya, yang mana hal itu merupakan sebab perkembangan menuju martabat ta’dhim, guru tersebut adalah pecinta di jalan Allah.”
Tampak bahwa al-Ghazali mengandaikan guru sebagai petani; orang yang bercocok tanam, dan tentunya membutuhkan ladang sebagai medan tanam. Dada sang muridlah bentangan lahan-lahan itu. Tanpa murid, akankah sang guru menanamkan ilmu-ilmunya pada meja, dan bangku-bangku kosong?
 
 
 

About the Author

You may also like these