Segala bentuk kesenian, ritual dan keyakinan yang tumbuh terutama di tengah-tengah masyarakat Jawa, merupakan ekpresi keberagamaan yang diambil dari nilai-nilai ajaran agama Islam. Ini sebagaimana dalam tulisan Irfan Afifi, Islam, Pesantren dan Jawa (Pesantren dan Kebudayaan, 2018), yang menyatakan bahwa geneologi pengetahuan segala tradisi yang berkembang hingga saat ini pada masyarakat Jawa lebih banyak diambil dari ajaran tasawuf yang dikembangkan oleh para wali.
Hal tersebut berkaitan erat dengan proses islamisasi di Jawa. Jika kita sepakat bahwa proses masuknya Islam di Nusantara momentum utamanya berada pada rentang abad ke 15-17, kita bisa memahami bahwa umat Islam saat itu sedang dilingkupi nuansa Islam bercorak sufistik. Setelah kejatuhan dinasti Abbasiah di Baghdad karena serangan Monggol di awal abad ke-13, sufisme yang saat itu dianggap sebagai titik pijak kemuduran peradaban Islam, di luar ekspetasi para pembaharu ternyata sufisme malah menjadi garda terdepan dalam upaya penyebaran agama Islam ke seluruh dunia.
Dari sanalah sufisme dengan cepat menjadi “meanstream” baru dalam upaya penyebaran agama Islam, terutama di Nusantara. Kondisi tersebut secara tidak langsung juga membantah teori yang menyatakan bahwa proses islamisasi di Indonesia semata-mata dari faktor perdagangan. Hal tersebut juga dikemukan A.H. Jhons yang menyatakan bahwa proses islamisasi Nusantara lebih disebabkan oleh sarikat-sarikat pekerja (guild)yang berafiliasi dengan perkumpulan-perkumpulan tarekat-tarekat yang menyebar di Nusantara dari para pedagang ortodoks berbaju Islam.
Sama seperti tesis yang dikemukakan oleh Agus Sunyoto tentang “keberterimaan” islam secara masif oleh struktur kasta masyarakat Jawa yang memandang tinggi para wali dalam derajat Brahmana. Dari tesis ini dengan serta merta dan secara mudah dapat kita afirmasi mengingat bahwa jejak-jejak literatur Islam peninggalan zaman islamisasi awal Nusantara memang menunjuk corak mistisme khas tasawuf. Tokoh-tokoh awal pun banyak dikenal di tengah-tengah masyarakat dengan sebutan syaikh, wali, faqih, sunan, dan masih banyak lainnya.
Sufisme dengan karakternya yang dinamis, lentur, akomodatif, serta lebih mengutamakan isi daripada bungkus luarnya dalam menyikapi kebudayaan, membuat sufisme dapat masuk dengan mudah ke sisi terdalam pemahaman masyarakat Nusantara. Selain itu kecenderungan sufisme yang tidak berpretensi untuk mengganti praktik-praktik adat yang sejatinya merupakan “baju” daripada “isi”, tetapi lebih menginjeksikan pandangan dunia Islam ke jantung peradaban Nusantara.
Tidak cukup di situ, sufisme juga mengubah “nafas” kebudayaan Nusantara tanpa harus mengganti praktik sosial yang masih berjalan hingga hari ini. Jadi proses asimilasi dan akulturasi antara tradisi lokal masayarakat dengan ajaran baru, Islam, bisa membentuk suatu kebudayaan baru khas Nusantara berkat keuletan para Wali Sanga dalam me-recoveri ulang tradisi dengan sentuhan-sentuhan yang bernafaskan keislaman.
Ketika ada yang meyangkal bahwa produk-produk kebudayaan hari ini, yaitu hasil akulturasi dan asimilasi antara kebudayaan lama yang dipahami bersumber dari ajaran Hindu dan Budha. Sedangkan ajaran Islam yang notabenya sebagai agama yang datang belakangan sebagai pelengkap dari ajaran sebelumnya. Berarti ajaran Islam sudah tercampur dengan agama sebelumnya? Dalih seperti ini seringkali digunakan untuk menyatakan bahwa tradisi yang ada hari ini bukan bersumber dari ajaran Islam, tetapi dari agama-agama sebelumnya. Maka, menurut mereka, ajaran Islam harus dimurnikan kembali.
Pandangan seperti itu secara tidak langsung malah menyempitkan cara pandangnya sendiri. Seperti dijelaskan Agus Sunyoto bahwa sebelum datangnya agama Hindu dan Budha, Nusantara sebenarnya sudah memiliki kepercayaan tersendiri yang disebut ajaran Kapitayan. Ajaran ini tidak jauh beda dengan konsep ketauhidan dalam agama Islam. Bentuk kepercayaan ini secara tidak langsung juga sangat mempengaruhi agama-agama yang masuk di Nusantara sebelum Islam. Lihat saja ajaran Hindu di Indonesia. Konsep keagamaanya jelas berbeda dengan konsep ajaran Hindu yang di India tempat agama itu pertama muncul. Hal itu akibat proses akulturasi dan asimilasi kebudayaan yang berjalan terus menerus sehingga setiap kebudayaan yang masuk di Nusantara sudah pasti melewati proses tersebut sehingga menciptakan kebudayan baru yang otentik dan khas.
Begitupun agama Islam yang masuk di Nusantara. Islam di Nusantara memiliki krakteristik khusus dalam laku keberagamaanya. Tetapi yang jelas sebagai agama yang datang belakangan dan memiliki pengaruh sangat kuat di Nusantara melalui kerajaan-kerajaan yang berdiri seperti Demak dan Mataram Islam. Agama Islam memiliki andil yang cukup besar dalam merubah corak kebudayaan masyarakat Jawa kususnya dan Nusantara secara umum.
Wayang kulit misalnya. Seperti dijelaskan oleh Kiai Jadul Maula bahwa kesenian wayang kulit tidak serta merta berangkat dari ruang kosong, tetapi wayang hadir dari kreasi para wali, terutama Sunan Kalijaga, yang menjadikan wayang sebagai media dakwah. Sebenarnya tidak hanya itu, wayang kulit merupakan perwujudan estetis yang tidak hanya berbicara kreasi seni tingkat tinggi. Namun di dalamnya juga mengandung pesan-pesan luhur yang digali dari akar budaya kita sendiri lantas dipadukan dengan ajaran-ajaran kesufian agama Islam. Sebut saja filosofi kelir yang merupakan bagian dari obyek pertunjukan wayang kulit yang bersumber dari ajaran Syaikh Muhyiddin Ibnu Arabi dalam Futuhat Al-Makkiyah.
Dalam kitab tersebut Ibnu Arabi Menyampaikan:
”Barangsiapa ingin tahu arti sejati, bahwa Tuhanlah yang berkarya di belakang layar alam ciptaan, hendaknya ia memandang pertunjukan bayangan (khayal) dan bayangan-bayangan (suwar) yang ditampilkan pada layar, lalu memperhatikan siapakah yang berbicara dalam bayangan-bayangan itu. Bahkan bagi anak-anak kecil yang duduk agak jauh dari layar yang dibentangkan antara mereka dan para boneka. Demikian juga bentuk-bentuk dunia ini, kebanyakan orang masih seperti anak-anak. Dari sini kita dapat belajar dari mana sesungguhnya peristiwa-peristiwa yang dibeberkan di layar. Anak-anak kecil tertawa dan merasa gembira, orang-orang dungu memandang hal itu sebagai banyolan dan sendau gurau, tetapi orang-orang bijak berpikir dan mengetahui, bahwa itu semua oleh Tuhan diatur sebagai perumpamaan, agar manusia tahu, bahwa hubungan dunia ini dan Tuhannya seperti antara boneka dan dalangnya. Lagipula bahwa layar itu merupakan tirai al-aqdar (takdir) yang tak dapat disingkirkan oleh siapa pun.”
Sebelum Ibnu Arabi, Imam Junaid al-Baghdadi juga mengatakan bahwa, “Supaya hamba di hadapan Tuhan bersikap sebagai sebuah boneka (sabah).”
Dari sana dapat kita pahami bahwa kelir adalah sasmita dari jagad yang kelihatan, wayang-wayang yang ditancapkan di kiri dan kanan menggambarkan golongan makhluk-makhluk Tuhan. Batang pisang merupakan perwujudan dari Bumi. Belancong merupakan lampu kehidupan. Gamelan adalah keserasian dan keharmonisan antara peristiwa-peristiwa. Kemudian siapakah dalang? Dalang adalah ruh yang “ditanggap” Tuhan untuk menggerakkan lakon kehidupan, dan wayang-wayang adalah unsur-unsur di dalam diri kita. kemudian lakon-lakon itu sendiri adalah peristiwa-peristiwa yang dialami oleh diri kita, sebagai sebuah ketentuan Tuhan yang menjalankan semuanya.
Dari hal itulah tradisi pagelaran Wayang Kulit menjadi suatu peristiwa “ngaji” (ngangsu kaweruh marang kang sawiji) yang bermartabat, berbudaya dan bernilai seni tinggi. Yang tidak habis pikir ketika kita ingin mendalaminya ternyata begitu mendalamnya leluhur kita, para wali, hingga sampai menciptakan suatu bentuk tradisi baru yang sangat lekat dengan nilai-nilai filosofis dan religius. Hingga menggerakkan hati masyarakat untuk menerima ajaran-ajaran Islam dengan sendirinya.
Contoh di atas bisa jadi hanya salah satu dari sekian banyak tradisi yang ada di tengah-tengah masyarakat kita yang memiliki keagungan nilai-nilai yang bersumber dari ajaran agama Islam. Mengingat banyaknya kebudayaan bangsa kita yang terentang dari Sabang sampai Meruke yang menjadi poros penyebaran Islam adalah Jawa, sudah barang tentu pola penyebaran dari bentuk akulturasi maupun asimilasi antara ajaran Islam dengan kebudayaan lokal di setiap daerah tidak jauh berbeda dengan yang terjadi di Jawa.
Namun, hilangnya pengetahuan atas tradisi-tradisi yang kita miliki membuat kearifan budaya kita tak ubahnya daun kering, terombang-ambing dihempas angin laju perubahan yang begitu cepat, rapuh dan mudah terbakar ketika dikoyak dengan legitimasi kepentingan. (MA)