Kesurupan: Benarkah Kemasukan Jin?

Judul: Kesurupan: Benarkah Kemasukan Jin?
Saya terperangah membaca ulasan menarik tentang kesurupan. Buku itu disusun oleh Lajnah Pentasih Al-Qur’an, Badan Litbang dan Penelitian Agama RI, dan LIPI berjudul Fenomena Kejiwaan Manusia: dalam Perspektif Al-Qur’an dan Sains. Tepatnya di bab paling akhir ulasan seputar kesurupan itu disematkan.
Saya kaget ketika ternyata kesurupan jika dipandang dari perspektif berbeda bisa berbeda maknanya. Selama ini kita menganggap bahwa kesurupan dipicu karena ada mahluk astral masuk ke dalam tubuh manusia. Ternyata, pandangan itu sangat berbeda dengan ilmu kedokteran.
Saya sih bukan mengagungkan ilmu kedokteran, dan kemudian merendahkan yang lain, tetapi setidaknya, ilmu itu bisa membantu menjelaskan fenomena kesurupan lebih baru. Kesurupan itu, yang dimaksud oleh ilmu kedokteran, dikategorikan sebagai kajian dari ilmu psikologi.
Tentu saja, orang yang kesurupan memang punya gejala psikologis ekstrem dibanding biasanya. Kalau dalam buku Fenomena Kejiwaan Manusia: dalam Perspektif Al-Qur’an dan Sains, kesurupan dikategorikan dalam penyakit delusi. Delusi sendiri berarti ekspresi kepercayaan yang bersifat ilusi yang dimunculkan dalam tingkah kehidupan nyata. Perkataan dan ekspresi kelihatan sangat nyata, sehingga banyak orang percaya pada apa yang diucapkan oleh penderita. (hal. 149)
Jadi, intinya kesurupan itu terjadi karena ketidakberesan saraf otak manusia. Bukan karena roh jahat atau mahluk astral yang masuk ke dalam tubuh manusia. Itulah sebentuk pandangan menurut perkembangan ilmu terbaru.
Bahkan, secara tegas, dalam buku itu dijelaskan bahwa kesurupan ada banyak macamnya. Misalnya kesurupan yang disengaja seperti upacara adat, Kuda Lumpingan (kayaknya ada loh atraksi kesurupannya) serta yang lainnya. Kalau untuk model ini, kesurupan biasanya difungsikan sebagai tontonan (baca: hiburan).
Selain itu, ada juga kesurupan yang sifatnya menular seperti kesurupan massal di sebuah sekolah. Jadi, kesurupan bisa menular loh. Kaya virus Corona saja, deh. Aneh bukan?
Kenapa bisa menular? Itu terjadi karena tekanan. Seorang yang kesurupan memang secara fisik dan mental diasosiasikan lemah secara fisik dan mental. Mereka menderita kelelahan karena merasa tertekan. Misalnya karena tugas dari sekolah. Kalau mahasiswa mungkin tugas dari Kampus. Apalagi musim Corona seperti ini. Kata mereka sih tugasnya makin numpuk. Saya berharap semoga mereka tak merasakan kesurupan massal. Hehehe
Selanjutnya, kesurupan dengan konsep seperti yang biasa kenal (baca: kemasukan roh) sebenarnya adalah pandangan budaya. Jadi, dalam kebudayaan ada kepercayaan yang berpengaruh sekali pada psikologi.
Ingat ya, kesurupan seperti yang biasa kita kenali itu sebenarnya (baca: makna) dipengaruhi oleh struktur di luar dirinya, yaitu budaya. Kita tahu, kalau di Indonesia sendiri, sangat kental sekali kepercayaan pada mitos. Dalam pandangan naturalis, secara sederhana, mitos yang ada dalam budaya sebenarnya merupakan ekspresi religiusitas. Artinya, mitos yang mempengaruhi pembentukan makna atas fenomena kesurupan itu termasuk religiusitas, bahkan mungkin dalam taraf yang tinggi.
Kita tahu, dalam ekspresi agama terdahulu (baca: budaya) orang bisa menempatkan satu kepercayaan atas roh. Kadang, juga, menempatkan kepercayaan kekuatan supranatural pada benda-benda.
Pernak-pernik budaya agama itu lah yang semakin memperkuat keyakinan kalau kesurupan disebabkan roh yang masuk ke tubuh manusia. Konsep ini mengakar sangat kuat dari satu generasi ke dalam generasi.
Islam sendiri, sebagai agama yang baru (baca: Islam dalam arti pengikut nabi Muhammad) juga mengakui eksistensi kesurupan, khususnya dengan makna yang diproduksi dari budaya masa lalu. Makannya, Islam tidak secara gamblang menyebutkan (baca: mendefinisikan) kesurupan. Islam hanya merevolusi tata cara penyembuhan atas kesurupan. Setidaknya itu yang ditulis dalam buku karya dua lembaga ini.
Islam menganjurkan doa penyembuhan kerasukan dengan ayat di dalam Al-Qur’an. Sebenarnya ayat ini juga sangat umum digunakan untuk penyembuhan (baca: penyakit) lainnya. Seperti misalnya, al-Fatihah, al-Fussilat, Al-Baqarah, dan berbagai ayat lainnya.
Nah, dalam konteks modern, yang sudah ada ilmu kedokteran (baca: psikologi) memberikan tanggapan yang lain soal kesurupan itu. Penjelasannya ada di paragraf awal. Setidaknya, perspektif baru itu makin memperjelas bahwa fenomena kesurupan memang lazim bagi manusia.
Saya tidak tahu persis apakah kesurupan merupakan satu hal yang luar biasa atau tidak. Yang jelas, menurut beberapa orientalis, nabi Muhammad kala mendapatkan wahyu juga dianggap dalam keadaan kesurupan. Mungkin lebih tepatnya disebut sebagai gejala epilepsi atau ayan. (baca lebih lanjut pada hal. 149)
Itu sih pandangan orang barat yang kritis. Kadang barat (baca: orientalis) sangat tajam ketika mengulik dimensi ‘kenabian’ seperti itu.
Tetapi meninggalkan pandangan itu, yang jelas, kesurupan, sebenarnya bukan hal yang perlu dicela. Kalau nabi saja epilepsi (ayan) tidak dicela, bahkan dimuliakan, kenapa kalau jatuhnya pada orang lain, harus dicela. Terus disingkirkan dari pergaulan. Bukankah justru menambah keruwetan?

About the Author

You may also like these