Kiai Nur Iman adalah seorang pangeran yang memilih jalan untuk menepi dari keraton dan menjadi orang biasa agar lebih leluasa memberikan pelayanan agama Islam.
Nama kecilnya adalah Raden Mas Sandeyo. Beliau lahir dari seorang ibu bernama RA. Retno Susilawati, putri dari Adipati Untung Surapati. Ayahnya adalah putra dari Pangeran Puger (Pakubuwono I) yang bernama Raden Mas (RM) Surya Putra atau yang lebih dikenal sebagai Amangkurat IV.
Saat terjadinya perselisihan antara Pakubuwono I dengan Amangkurat II, RM Surya Putra melarikan diri ke arah timur, tepatnya ke Surabaya. Di sana RM. Surya Putra memakai nama samaran Muhammad Ihsan dan nyantri di Pesantren Gedangan asuhan Kiai Abdullah Muhsin.
Penyamarannya terungkap ketika pada sebuah acara di Pesantren Gedangan, Adipati Untung Surapati mengenalinya. Kemudian, sewaktu menghadap Kiai Abdullah Muhsin dan Muhammad Ihsan, RM. Surya Putra memperoleh perintah untuk berkunjung ke kediaman Untung Surapati. Saat itu Untung Surapati menghendaki RM. Surya Putra untuk menikahi putrinya, RA. Retno Susilawati.
Selang waktu berganti. Saat RA. Susilawati hamil, RM. Surya Putra harus kembali ke Mataram. Sang istri dititipkan kepada Kiai Abdullah Muhsin dengan sebuah pesan: kelak jika anak itu lahir laki-laki akan diberi nama Raden Mas Sandeyo alias Muhammad Nur Iman. Dan benar adanya, anak yang dikandung RA. Retno Susilawati lahir laki-laki dan dinamai Raden Mas Sandeyo.
Pemerintahan Amangkurat IV berlangsung antara tahun 1719-1726 Masehi. Di akhir hidupnya, ia teringat bahwa dahulu memiliki seorang anak yang dititipkan di sebuah pesantren di Surabaya. Maka, sebelum meninggal, ia mengirimkan utusan untuk menjemput RM. Sandeyo dan membawanya ke Kraton Mataram. Dalam perjalanan, sang utusan ditemani dua orang pengikut, yakni Sanusi dan Tanmisani. Meski sedang dalam perjalanan, tak lupa misi dakwah mereka jalankan. Mereka mendirikan beberapa pesantren di daerah Ponorogo dan Pacitan.
Sesampainya di Kraton Mataram, RM. Sandeyo diperkenalkan kepada keluarga dan kerabat kerajaan. Beliau diberi gelar KGPH. Kartosuro. Sayangnya, kepulangan sang pangeran ke Kraton Mataram disambut oleh perselisihan antara kedua adiknya, yaitu Pangeran Sambernyowo dan Pangeran Mangkubumi. Perselisihan itu dipuncaki dengan Perjanjian Giyanti yang membelah Kraton Mataram menjadi dua. Oleh sebab RM. Sandeyo tidak menyukai perselisihan, maka beliau memilih untuk menepi ke arah barat Kali Progo. Di sana ia bertemu dengan Demang Hadiwongso yang kelak menjadi mertuanya.
Sepeninggal Ki Demang Hadiwongso, Nur Iman memutuskan untuk bergeser ke sisi timur Kali Progo. Saat itu berlangsung penobatan Pangeran Mangkubumi, yang tak lain adalah adiknya sendiri, menjadi Sultan Hamengkubuwono I. Sang sultan lantas memberikan hadiah berupa tanah perdikan bebas pajak sebagai penghormatan seorang adik kepada kakaknya. Tanah itu kini dikenal dengan nama Mlangi, bermula dari kata mulangi (mengajari). Persis dengan apa yang dilakukan oleh Kiai Nur Iman, yaitu mulangi ilmu agama Islam.
Sesuai dengan ucapan Kiai Abdullah Muhsin bahwa kelak RM. Sandeyo akan menjadi seorang ulama besar yang alim, ramalan itu terbukti dengan beberapa kitab yang lahir dari tangan Kiai Nur Iman. Di zaman beliau pula didirikan empat Masjid Pathok Negoro yang hingga kini masih berdiri. Beberapa pesantren besar di sekitar DIY dan Jawa Tengah didirikan dan diasuh oleh santri-santri Kiai Nur Iman. Sepeninggal Kiai Nur Iman, ilmu yang beliau wariskan masih bisa kita pelajari hingga kini.
Makam Kiai Nur Iman bisa kita ziarahi di area Makam Mlangi, tepatnya di sisi samping kiri Masjid Pathok Negoro Mlangi. Tak berlebihan jikalau makam tersebut banyak yang menziarahi, sebab sosoknya menjadi tauladan dan acuan kealiman di tengah masyarakat. Adapun tiap tahun diadakan haul yang diselenggarakan pada 15 Muharam. (MA)