Lebih Asing Tempat Ini

Buku tebal menahan doa. Lembar-lembar catatan menusuk ingatan. Jenuh badan menyesak kamar. Lebih dari tiga minggu lamanya. Rutinitas tiga ruang satu tempat. Kamar tidur, meja makan, dan kamar mandi.
Semuanya ditemani gawai berisi dunia maya. Berita-berita dunia, cerita-cerita tetangga, dan kabar-kabar kawan berputar-putar di ujung jari. Ditekan ke atas, bergeser ke kanan. Berulang setiap pagi, sebelum azan Subuh datang hingga saklar lampu halaman dinyalakan.
“Jangan lupa, belikan camilan dan buatkan minum, Mas.”
“Aku ingin tidur sekarang. Bangunkan jika sudah mulai acaranya.”
“Aku harus menyapu halaman. Mengganti bola lampu yang mati.”
“Berisik!”
“Jemurlah pakaianmu. Hari ini semoga tak ada hujan.”
Sulit jika harus hidup bersama tanpa ada penengah. Teman seatap menjadi lawan. Menjadi diam, menjadi mati, menjadi penghambat. Daripada bergerak, daripada hidup, daripada melancarkan. Saling menunggu, saling menyesal, saling berkhianat.
Keadaan sulit, pemasukan tak ada. Sepi orderan, beras tinggal segenggam. Mie instan terus-menerus setiap malam. Bangun kesiangan, lupa jadwal jaga portal. Sedangkan tetangga sibuk mengolok-olok.
Pejabat menahan wabah. Masyarakat desa menunggu di gapura-gapura. Tak ada saran, tak ada arahan. Ke mana kita harus berjalan. Ke mana kita harus mengadu.  Hanya menyalahkan tanpa membenarkan.

***

Bingkai foto di puncak gunung berputar balik. Bergeser menghadap utara, menempel di dinding selatan. Gunung sebenarnya di utara. Kenyataan dari puncak Merapi tempat aku dibesarkan.
Lukisan air berombak laut pindah di dinding utara. Bergeser menghadap selatan, menempel di dinding utara. Laut sebenarnya di selatan. Kodrat dari Pantai Selatan tempat aku tinggal.
Angka-angka tanggal keluar melampaui tahun. Di kotak-kotak kalender mencatat setiap gerak harian. Sungkan ditatap, jenuh menantang. Pakaian, baju, dan celana di pinggir saklar. Debu menempel di permukaan kain. Jamur membekas di lipatan lengan kemeja.
“Kamarmu, mbok ya dibersihkan, Mas. Jaga kesehatan dan sesering mungkin mencuci tangan.”
“Sebelum pergi wabah ini. Aku berhenti dari kehidupan sehari-hari.”
“Jangan-jangan kau sudah terlalu takut. Di pojok kamar memandangi lukisan. Berbalik badan dan seharian rebahan. Jangan-jangan kau sudah malas?”
“Bagaimana lagi melawan wabah ini? Kau berani keluar rumah, kau tanggung akibatnya sendiri.”
“Namun, kita harus tetap makan. Apa pun keadaan di luar, kita harus tetap hidup dan perut harus kenyang.”

***

Menjelang Magrib, Pak RT datang membawa kantong kresek besar. Mengetuk pintu depan seraya mengucap salam. Peci dan sarung dikenakan, juga masker yang menempel. Aku terkejut mendengar suaranya dan langsung keluar menuju ruang tengah.
“Aku membawa tiga bungkus nasi. Ayo kita makan. Kalian belum makan, kan?”
Pak RT menaruh bungkusan di atas meja tamu, menanyakan tikar dan mulai mengambil air wudu di kamar mandi. Rakya memalingkan muka dan menoleh ke arahku.
“Ambilkan sajadah, dan gelas. Kita salat Magrib dulu, baru makan bersama.”
Karena lapar, Rakya menurut saja. Rakya pergi mengambil tiga gelas. Lalu ke kamar mengambil sajadah.

***

“Habiskan makanan ini. Mulai besok pagi ambil di posko timur perempatan. Mulai besok pagi, kalian tanggungjawab kami.”
“Ya, Pak, terima kasih,” jawab Rakya tersenyum.
Tak ada tahlilan bersama, tak ada tujuh hari untuk mendiang Bapak. Aku dan Rakya harus menerima. Kami adalah sepasang kakak beradik yang sedang terisolasi. Penduduk asli yang baru saja diterima kembali. (MA)
****
Ilustrasi : “Need More Space” 2019 karya afifurrf

About the Author

You may also like these