Di tengah wabah pandemi Covid-19 yang memaksa untuk berdiam di rumah membuat kita mencari aktivitas untuk menghibur diri. Aktivitas yang hanya itu-itu saja, dan kegiatan yang seringkali hanya berorientasi ke media sosial, malah membuat hari-hari kita semakin membosankan dan melelahkan. Biasanya memasak menjadi alternatif pilihan di tengah kondisi seperti ini.
Namun, seringkali hati saya merasa prihatin ketika ada yang mengeluh dan mengatakan bahwa dirinya tidak bisa memasak. Apalagi dikatakan oleh seorang perempuan yang setelah menikah, dalam pikiran saya, mempunyai tanggung jawab penuh di dapur. Keprihatinan tersebut bukan saya maksudkan untuk merendahkan seorang perempuan tentunya. Tetapi, saya curiga bahwa ketika mereka mengatakan tidak bisa memasak, dirinya belum mencoba atau memang tidak ingin memasak.
Kecurigaan saya tentunya bukan tanpa alasan. Hari ini sering kita temui alasan-alasan remeh untuk menghindari aktivitas ini. Akan salah juga jika kita memaksa orang untuk memasak di era kesetaraan “gender” di mana laki-laki dan perempuan dikatakan mempunyai hak yang sama. Tapi dalam tulisan ini kiranya saya tidak ingin terlalu sibuk siapa yang harus memasak antara laki-laki dan perempuan, toh semuanya saya kira penting untuk bisa mengambil peran dalam aktivitas yang satu ini.
Tetapi yang ingin saya telusuri adalah bagaimana memasak menjadi jalan seseorang untuk mengolah kondisi batin atau rohaninya. Yang kiranya penting, di tengah wabah yang memaksa kita untuk sejenak berhenti dari rutinitas yang seringkali mengenyampingkan aktivitas di dalam rumah.
Memasak, Mengolah Rohani
Memasak sebagai jalan rohani seseorang secara sederhana dapat kita lihat dari kualitas masakan yang telah melalui proses panjang. Representasi dari orang-orang seperti ini, biasanya berada dalam rumah kita sendiri mulai dari ibu kita, atau nenek kita. Jika kita jeli mengamati dan merasakan proses seorang yang benar-benar menghayati aktivitas memasak ini. Masakan yang enak bukan hanya memuaskan indra perasa, namun juga kepuasan dan kenikmatan batin.
Pada masakan ibu atau nenek kitalah kedua kepuasan itu terasa. Dari sana juga merekalah sebenarnya tempat kita belajar dan menghayati bagaimana proses memasak sebagai jalan kesempurnaan rohani. Mungkin mereka juga tidak bisa menjelaskan apa itu jalan kesempurnaan rohani. Karena pada dasarnya setiap orang mempunyai pemahamanya masing-masing atas pengalaman personal tersebut, dan seringkali memang pengalaman seperti itu tidak untuk dijelaskan, tapi dirasakan. Walaupun begitu, dalam hal ini saya mengilustrasikan kesan-kesan dan penghayatan saya terhadap aktivitas memasak dari pengalaman yang saya rasakan selama ini.
Saya mulai measak sejak kecil, karena saya hanya dua bersaudara, dan keduanya laki-laki. Terpaksa saya harus sering ikut membantu ibu di dapur. Keterpaksaan itu baru saya sadari hari-hari ini, jika hal tersebut ternyata pengalaman berharga dan berguna. Dari pengalaman itu juga, akhirnya sedikit banyak saya bisa memasak dan tentunya mendapatkan kesan pengetahuan di dalamnya. Waktu itu saya tidak pernah berpikir sejauh ini, bahwa memasak adalah aktivitas yang sarat makna dan pembelajaran rohani di mana dibutuhkan ketulusan dan dan keiklasan dalam menyajikan sebuah makanan.
Berbekal pengalaman tersebut, saya mulai mencari tahu bagaimana proses memasak agar sajiannya tidak hanya enak di lidah, tapi terus ke dalam batin. Rasa penasaran itu juga yang akhirnya mendorong saya sering ngobrol ringan dengan ibu-ibu atau simbah-simbah yang bisa dibilang juru masak terkenal di daerah saya. Mereka sering mengatakan bahwa memasak itu persoalan gampang (mudah), kalau mau mencoba dan latihan. Dan yang tidak boleh ditinggalkan saat memasak, kita harus menyiapkan hati yang lapang, ojo gresulo (jangan memendam rasa berat hati) dan grundel (jangan berbicara jelek di belakang) karena itu akan mempengaruhi citarasa masakan.
Pembicaraan-pembicaraan tersebut pada akhirnya membawa saya pada satu kesimpulan. Ketika saya mulai mendalami ilmu lelaku–penyebutan proses perjalanan rohani bagi orang Jawa menurut RM Sostrokartono–bahwa menurutnya semua aktivitas dalam kehidupan ini perlu di-ngelmuni. Dalam hal ini ngelmu yang dimaksud bukan sekadar panduan teknis dan segudang bacaan yang membuat kita mengerti dengan wawasan yang luas. Dalam pemahaman orang Jawa disebut kawruh.
Namun jauh dari itu, ngelmu adalah proses penghayatan seseorang atas aktivitas yang dilakukan berdasarkan pengalaman rohani yang didasarkan pada kerendahan hati. Jadi pengetahuan yang didapatkan bukan hasil dari proses eksplorasi akal, tapi proses terus menerus dari olah rasa di dalam hati. Dari sana ngelmu membawa seorang pada kualitas terang rohani, menjadikan seorang lebih arif menyikapi persoalan yang dihadapi (Sostrokatono: 1988).
Begitulah nampaknya ibu atau nenek kita mempraktikkan dan menghayati aktivitas memasak. Dari pengalaman saya sendiri, saya mendapat penjelasan gamblang terkait itu semua ketika bertanya agak serius kepada ibu. Kebutulan ibu saya adalah juru masak yang mulai laris di kampung. Menurut ibu, biasanya sebelum ia disuruh memasak dengan porsi besar untuk acara hajatan seperti mantenan atau yang lainya, ia berpuasa terlebih dahulu agar diberi kelancaran. Tak lupa juga mengerjakan syarat-syarat khusus, seperti waktu menstruasi tidak boleh memasak, bahkan ada sesajen yang harus disiapkan sebelum memasak.
Karena karakter ilmu orang Jawa adalah titen (mengingat-ingat), ibu saya selalu mewanti-wanti untuk tidak melanggar aturan-aturan yang diajarkan oleh orang terdahulu. Berdasarkan pengalamannya, ketika tidak mengikuti tatanan yang sudah ada, bisa dipastikan ada kejadian di mana aktivitasnya menjadi tidak lancar, atau hasil masakannya tidak maksimal.
Lain halnya dengan yang dilakukan Ibu Suryanti, penjual ayam ingkung di daerah Piyungan, Bantul. Memasak baginya merupaka laku suluk. Dalam suatu pembiacaraan Ibu Sujiem mengatakan bahwa, “Wong masak iku kudu wani tirakat” orang masak itu harus berani tirakat.
Dia menceritakan saat awal-awal membangun usahanya sekitar 30 tahunan yang lalu. Ia mencari petunjuk, dengan menziarahi makam-makam para wali keramat di Tanah Jawa, melakukan puasa khusus hingga kungkum untuk benar-benar apa yang ia yakini sebagai jalan yang terbaik. Dari cerita tersebut saya kemudian beranggapan bahwa memang dalam memasak pun tidak hanya aktivitas rutin tapi jika digeluti menjadi jalan seseorang untuk menemukan keutamaan rohaninya.
Dari sanalah saya selalu berusaha menghayati setiap aktivitas memasak oleh siapa pun itu, bahwa ada pembelajaran terkait laku spuritual seseorang. Dan tentunya kita jadi mengerti banyaknya jenis-jenis bumbu yang khas untuk setiap makanan dan jenis masakan yang seringkali mengandung nillai-nilai filosofis.
Jadi jika hari ini kita tidak mau ke dapur dan mencoba menghayati semua pengalaman-pengalaman memasak dari ibu dan nenek kita. Pada akhirnyanya kita tidak akan menemukan cerita-cerita sarat makna, bahkan kehilangan khasanah masakan yang otentik warisan dari keluarga dan leluhur kita. Dan di saat seperti inilah, ketika semua terkurung dalam penjara rumah kita masing-masing, berjalan ke dapur dan mendampingi ibu memasak adalah saat–saat yang akan kita kenang saat ibu sudah tidak di samping kita lagi. (MA)