Menerima Islam Berkebudayaan Melalui Pengetahuan Subversif

sampul islam berkebudayaan

Setiap membaca tulisan Kiai Jadul Maula (M. Jadul Maula), saya selalu merasakan adanya luapan pengetahuan baru, yang seringkali mendobrak kemapanan pemahaman dan kesadaran beragama umat Islam.
Begitulah ketika pertama kali saya membaca tulisan Kiai Jadul berjudul “Syariat/Kebudayaan Islam: Lokalitas dan Universalitas”. Tulisan tersebut adalah salah satu artikel Kiai Jadul yang dimuat dalam bukunya, Islam Berkebudayaan, yang sedang saya resensi ini.
Saya sendiri telah membaca khusus artikel tersebut beberapa tahun lampau, ketika Desantara menyelenggarakan sarasehan soal “Fenomena Formalisasi Syariat Islam”.
Dalam tulisan tersebut, saya menemukan satu pengetahuan yang mendobrak kemapanan pengetahuan keagamaan kita selama ini tentang sejarah kurban.
Jika lazim kita pahami Ibrahim mengurbankan Ismail, Kiai Jadul justru menampilkan perdebatan tentang siapa yang sesungguhnya dikurbankan? Ismail atau Ishak? Ia mengetengahkan bagaimana Fakhruddin al-Razi  menampilkan perdebatan tersebut dalam Tafsir al-Kabir.
Kalau sebelumnya kita hanya menerima begitu saja pengetahuan yang mengatakan, Ismail yang dikurbankan oleh Ibrahim, maka setelah membaca tulisan Kiai Jadul tersebut, kita mulai mempertanyakan: siapa yang dikorbankan di antara keduanya?
Di sini tidak penting pendapat mana akhirnya yang banyak diikuti oleh ulama. Yang lebih penting, dengan tulisan tersebut, Kiai Jadul tengah mengajak kita untuk melihat ulang pengetahuan dan tradisi beragama kita yang telah mapan.
Kiai Jadul tengah mengaduk-aduk dan mempertanyakan kembali pengetahuan kita tentang sejarah kurban, yang selama ini telah mematok, bahwa Ismail-lah yang dikurbankan.
Ismail dan Ishak
Saat ini, dengan melubernya informasi soal agama di internet, perdebatan soal Ismail ataukah Ishak yang dikurbankan oleh Ibrahim, telah banyak diketahui umat Islam. Tetapi, pada saat Kiai Jadul menuliskan hal tersebut, hal itu masih terasa janggal, sekaligus menantang.
Perdebatan soal apakah Ismail atau Ishak yang dikurbankan oleh Ibrahim, bukanlah substansi tulisan Kiai Jadul dalam artikel tersebut. Melalui kisah itu, justru ia ingin mengetengahkan fakta, bahwa lokalitas seringkali menjadi dasar argumen ijtihad para ulama.
Hal itu muncul dalam argumen ulama yang mengatakan, Ismail-lah yang dikurbankan. Alasannya, fosil tanduk gibas ditemukan di Kakbah-Makkah. Sementara yang tinggal di Makkah,  hanya Ismail.
Dari sinilah Kiai Jadul menunjukkan, apa yang kita sebut Islam dengan nilai-nilai universal, berlaku li kulli zaman wa makan (tiap waktu dan tempat), ternyata banyak bersandar pada lokalitas yang ada pada tradisi Arab.
Dengan demikian, tidaklah tepat pemahaman yang menyimpulkan: “Islam itu murni hanya berisi nilai-nilai dari Langit yang bersifat universal.”
Ulasan Kiai Jadul soal Islam yang berpijak pada lokalitas ini, lagi-lagi menghentak kesadaran dan pengetahuan keislaman kita.
Jika selama ini kebanyakan umat Islam memandang Islam sebagai ajaran universal dari Langit yang mengubah tradisi Arab Jahiliah saat itu, Jadul justru menunjukkan, banyak di antara ajaran Islam merupakan kelanjutan tradisi Arab pra Islam.
Kiai Jadul mencontohkan bacaan “Labbaik allahuma labbaik, labbaik la syarika laka labbaik”, ketika tawaf di Kakbah, telah dikenal oleh suku-suku Arab, jauh sebelum Islam datang.
Bacaan ini bahkan telah dipraktikkan oleh suku-suku Arab dengan dicampur bacaan lain sesuai keyakinan mereka, sebelum Qushay bin Kilab merebut otoritas pengelolaan Kakbah.
Qushay bin Kilab sendiri adalah leluhur Nabi Muhammad, yang mengambil alih pengelolaan Kakbah dari klan Bani Khuza’ah, suku Jurhum. Hal ini diungkapkan Kiai Jadul dalam tulisannya berjudul Baitullah di Antara Pakta Keamanan dan Perdagangan.”
Tradisi Lokal
Dengan membentangkan pengetahuan-pengetahuan yang tidak umum dipahami umat Islam tersebut, khususnya yang menunjukkan keterkaitan Islam dengan tradisi lokal Arab, Kiai Jadul membuka jalan lahirnya apa yang selama ini kita sebut “Islam Lokal,” “Islam Adat,” “Islam Tradisional”, dan “Islam Nusantara”.
Selama ini, dengan dalih pemurnian dan atas nama universalisme Islam, peminggiran Islam lokal yang tumbuh dan berkembang di Nusantara telah dan sedang dilakukan oleh kaum puritan. Sementara diskursus Islam Nusantara, yang digaungkan Nahdlatul Ulama, ditonjok ramai-ramai oleh berbagai kalangan.
Argumen yang diajukan Kiai Jadul, dengan menunjukkan data-data tentang Islam yang universal, sekaligus melokal di Tanah Arab, membuat kalangan yang menolak diskursus Islam Lokal diajak untuk memikirkan ulang pandangannya.
Martin van Bruinessan
Buku yang ditulis Kiai Jadul ini, sejatinya ingin menunjukkan, bagaimana pergulatan antara Islam, beserta nilai-nilai universalnya dengan lokalitas itu sendiri. Pergulatan itu membentang sejak dari tempat tumbuh dan berkembangnya Islam, yaitu tanah Arab hingga tiba di Nusantara.
Mengenai hubungan antara universalisme Islam dan yang lokalitas itu sendiri, Martin van Bruinessan (1999), telah mengurai dengan cukup apik dalam tulisannya Global and Local in Indonesia Islam.
Bruinessan menunjukkan, apa yang dianggap Islam lokal itu sendiri, tidaklah betul-betul murni lokal. Selalu ada pengaruh global, atau universalisme, dalam apa yang kita sebut lokal. Sebaliknya juga demikian.
Perjumpaan antara yang lokal dan global dalam Islam ini, dengan demikian, bukan semata-mata sekadar harmoni antara keduanya. Namun, yang terjadi adalah, proses pergulatan yang panjang. Terjadi saling menimba, akomodasi, dan adaptasi pada sisi tertentu. Tetapi di saat yang sama, terjadi juga proses negosiasi dan resistensi, di sisi seberangnya.
Dalam konteks perjumpaan antara yang lokal dan universal inilah, Islam Berkebudayaan menempatkan dirinya. Itu berarti, Islam yang merupakan ajaran Langit dengan nilai-nilai universalnya baru bisa dikenali sebagai agama oleh manusia jika dia berkebudayaan.
Tanpa kebudayaan dengan masing-masing corak di tiap lokalitasnya, Islam hanyalah nilai yang hidup di ruang hampa.
Dalam hal gagasan tentang perjumpaan Islam dan kebudayaan lokal, Kiai Jadul tentu saja tidak sendirian.
Sebelumnya, telah banyak muslim par excellent yang telah mengkaji hal ini. Sebutlah sebagai misal, Abdurrahman Wahid alias Gus Dur, dengan gagasan Pribumisasi Islam. Ada pula Azyumardi Azra dengan Islam Evolusionis-nya, serta Taufiq Abdullah yang menggunakan istilah Islam Lunak.
Namun, yang berbeda dari Kiai Jadul, sekali lagi, karena ia melakukan ini dengan terlebih dahulu mendobrak kemapanan pengetahuan kita tentang Islam. Kiai Jadul membangun pengetahuan tandingan, tetapi dengan referensi yang kuat.
Untuk sampai ke situ, Kiai Jadul mengembara dalam lautan pengetahuan di berbagai kitab-kitab klasik. Mulai dari kitab mu’tabarah (kitab yang umum jadi pegangan kalangan Sunni/NU),  hingga ke kitab-kitab yang ghairu mu’tabarah.
Tidak cukup sampai di situ. Kiai Jadul pun melahap tulisan dari pemikir muslim kontemporer semacam Hassan Hanafi, Mohammad Arkoun, Khalil Abdul Karim, dan Nasr Hamid Abu Zeyd.
Pemikir-pemikir yang juga sedang mendobrak bangunan epistemologi pengetahuan Islam.  Sering pula Jadul membangun argumennya dengan dalil-dalil dari pengalamannya bersentuhan dengan ulama-ulama otoritatif.
Cara Kiai Jadul dalam mengakses  pengetahuan baik dari kitab muktabarahgairu muktabarah, pemikir muslim kontemporer, bahkan pengetahuan sosial-budaya dari pemikir post-strukturalis, menurut Martin Van Bruinessan, menunjukkan cirinya sebagai sosok santri kelana. Santri yang mengembara dari dunia pengetahuan yang satu ke lautan ilmu yang lain.
Kakbah
Salah satu tulisannya yang memuat kisah “Kakbah Pergi Menjemput Rabi’ah  al-Adawiyah”, saya kira diperolehnya dari kitab-kitab yang tidak umum (gairu mu’tabarah).
Kisah itu menunjukkan, bagaimana Ibrahim bin Adham begitu cemburu, karena dirinya yang lagi mengunjungi Kakbah di Makkah, malah tidak menemukan kiblat umat Islam itu. Ia diberitahu,  bahwa justru Kakbah datang menjemput Rabi’ah.
Ketika Ibrahim bin Adham menanyakan mengapa Kakbah begitu memuliakannya, sehingga sudi datang menjemput.
Rabi’ah menjawab: “Apa peduliku dengan rumah Allah ini, yang aku butuhkan adalah pemiliknya.”
Tulisan Kiai Jadul soal “Kakbah Menjemput Rabi’ah” ini jelas subversif dan menyempal dari pengetahuan Islam selama ini. Akan tetapi, justru melalui itulah, Jadul memberikan ruang terhadap ekspresi Islam lokal semacam Haji Bawakaraeng.
Setidaknya, saya sendiri sering mengutip kisah ini sebagai basis argumen, ketika menulis komunitas Haji Bawakaraeng.
Begitulah cara Kiai Jadul memperkenalkan Islam Berkebudayaan ini. Ia memulainya dengan pengetahuan-pengetahuan yang meruntuhkan dominasi pengetahuan Islam yang mapan.
Karena itu, meskipun buku ini merupakan kumpulan tulisan, yang seringkali orang sebut ‘Buku’ yang bukan benar-benar ‘Buku’, tetapi ia bukanlah kumpulan tulisan biasa.
Kumpulan tulisan ini berasal dari perenungan dan pergulatan yang panjang dari penulisnya. Kita disuguhkan data-data yang kuat, refleksi yang dalam, dan argumen yang kaya dengan referensi.
Tulisan Kiai Jadul ini, dengan demikian, meminjam istilah Hasan Basri Marwah (editor buku ini), bukanlah  kumpulan tulisan disposable: sekali  pakai dan tidak punya efek apa-apa, kecuali mungkin, sebagai hiburan atau pengisi waktu luang.
Kumpulan tulisan Kiai Jadul ini, adalah kumpulan tulisan yang merangsang kita untuk mempertanyakan terus-menerus kemapanan pengetahuan dalam Islam. Khususnya, pengetahuan yang selama ini memapankan, bahwa Islam dan Kebudayaan adalah dua entitas yang terpisah.
Bukankah beragama memang bukanlah soal pengetahuan yang pasti dan paling benar? Beragama adalah proses mencari dan terus mencari… Sebab, kebenaran yang sesungguhnya, hanya ada pada diri-Nya.
 
Deskripsi Buku
Judul: Islam Berkebudayaan: Akar Kearifan Tradisi, Ketatanegaraan dan Kebangsaan
Penulis: M. Jadul Maula
Penerbit: Pustaka Kaliopak
Tahun Terbit: 2019
Jumlah Hlmn: 328+XXVII
Resensi buku ini ditulis oleh Syamsurijal – Peneliti Balai Litbang Agama Makassar, dimuat pertama kali di situs blamakassar.co.id tanggal 28 Maret 2020. (MA)

About the Author

You may also like these