Menggunjing Mata Najwa

Beberapa waktu lalu saya menggunjing nama di atas yang semakin hari semakin gemar pamer sepatu. Awalnya saya dan teman-teman ngobrol terkait dunia medsos utamanya gelanggang youtube, mulai dari konten yang bagi kami benar-benar bermutu hingga yang viral berikut ‘rezim selera’ yang diterapkan platform tersebut dengan youtube analityc-nya. Semisal deretan fakta mengapa yang selalu trending konten-konten A dan sebangsanya, bukan konten B. Atau pertanyaan mengapa akhir-akhir ini konten yang bernuansa agama jarang sekali masuk jajaran teratas, padahal tahun-tahun lalu konten demikian langganan trending. Mengapa yg kerap trending kanal A dan konten sejenisnya?
Najwa Shihab, sebagai salah seorang dibalik besarnya Narasi tv tentu tak luput dari sasaran obrolan santai malam itu. Sebab Narasi terhitung sebagai salah satu kanal yang cukup tampak berusaha menjaga mutu dengan kemasan yang kekinian dan relatif segar. Sayangnya belakangan kebermutuan konten -menurut kami- mulai luntur, nampak sibuk mencari formulasi yang kontekstual.

Padahal sependek pembacaan kami, kontekstualisasi yang diandaikan ideal sangat sukar didapatkan. Paling realistis dalam hal ini adalah membuat kanal menjadi perbincangan banyak orang, viral, walaupun terus menerus dikritik sana sini karena hanya sedikit nilai baik dan mutunya. Atau menjaga nilai dan mutu tersebut dan mengabaikan lomba lari mengejar viral, namun dibicarakan oleh kalangan yang benar-benar paham dan menadalaminya. Untuk yang kedua ini kita dapat lihat di beberapa kanal yang subscribernya tak banyak namun sering menjadi perdebatan dan pematik wacana kiwari, atau bahkan menjadi bahan kajian.

Kembali ke Najwa, selain di Narasi, kami yang ngopi di bawah pohon mangga ini cukup akrab dengan acara Mata Najwa di tv nasional. Acara ini dulu sering menjadi pendobrak kebuntuan beberapa persoalan laten bangsa. Dapat kita lihat misalnya bagaimana beberapa tahun lalu persekongkolan memantati hukum yang telah sedmikian laten dan menggurita dibuka dengan terang melalui sidak wartawan melawat ke penjara. Hingga yg lebih baru, persoalan mafia sepakbola yang menjangkiti persatuan sepakbola kita ditelanjangi sedemikian rupa.
Namun setelah yang terakhir ini taring Najwa tidak setajam dulu, apalagi sekira akhir 2018 lalu menjadikan presiden dan keluarganya sebagai bintang tamu tanpa pembahasan tentang bangsa, semacam basa-basi dan malah memoles citra orang yang hendak nyalon presiden lagi. Ada perasaan pesimis waktu itu, acara tv nasional yang dapat dinikmati rakyat Indonesia hingga pelosok desa dan menuai pujian karena ketajaman dan kejernihannya seperti macan kehilangan taring.

Najwa sebagai figur publik yang dulunya berpihak kepada kepentingan bangsa kini seperti disibukkan dengan sepatu dan outfit terbaru.


Hingga angin segar berhembus kembali tempo hari ketika kami, rakyat Indonesia sedemikian mumet dan limbung menghadapi pandemi yang semakin menjadi-jadi. #MataNajwaMenantiTerawan mewakili gugatan kami tentang kondisi hari ini, tentang seberapa berpihak pemerintah terhadap rakyat di saat kesehatan sedemikian dipertaruhkan.

Mau kerja takut dintup (tersengat) korona, mau diam saja kita makan apa? Seperti itulah celetukan tetangga.

Mewawancarai kursi kosong menkes menjadi puncak kepedihan dan keputusasaan di tengah pandemi. Sekaligus menjadi satire bagi yang punya hati. Malam itu Najwa menampakkan kecerdasanya, karena sebagaimana yang biasa orang Nusantara lakukan, puncak dari kekecewaan terkadang bukan kemarahan, namun justru sindiran/satire atau sikap diam dan acuh.  Misalnya dapat kita lihat betapa tapa pepe dengan diam seperti menjahit mulut memiliki resonansi yang demikian dahsyat. Atau bagaimana Bagong dalam pewayangan menyindir kesatria dengan guyonannya, tidak terlihat serius sebuah teguran tapi mendalam bagi yang merasakannya, itulah satire!
____________

اللهم يا كافي البلاء اكفنا البلاء قبل نزوله من السماء

Doa tolak bala’ dari Syaikh Abdullah bin Alawi bin Muhammad Sohib al-Rotib
Semoga Allah mencukupkan bala’ sebelum Ia menurunkannya, amiin..
_____________
Tulisan ini dipublikasikan pertama kali pada 30 September 2020

About the Author

You may also like these