Pondok Pesantren Budaya Kaliopak buka Ngaji Bima Seni (23/10), datangkan Kiai Nasirun untuk membedah karyanya yang berjudul “Gundono”. Ngaji Bima Seni sendiri merupakan progam baru yang digagas oleh Pondok Kaliopak, sebagai ruang untuk ngaji dan diskusi bersama pelaku seni, untuk membaca proses kreatif dan spritual seorang seniman dan karyanya.
Menurut Kiai Jadul Maula Pengasuh Pondok Budaya Kaliopak, Ngaji Bima Seni ini sebenarnya diagendakan untuk melengkapi program Ngaji Dewa Ruci yang membahas ilmu-ilmu agama melalui kitab-kitab klasik ulama yang sudah rutin ada sejak tahun 2018 lalu. Sedangkan Ngaji Bima Seni ini merupakan upaya lain dari Pondok Kaliopak untuk meniti jalan kebudayaan melalui jalur kesenian. “Progam Ngaji Bima Seni akan diadakan setiap malam Minggu, sebagai forum untuk mengaji ilmu-ilmu kemanusiaan melalui karya seni,”ujar Kiai Jadul Maula yang juga menjabat sebagai ketua LESBUMI PBNU.
Jalan kebudayaan itu sendiri menurut Kiai jadul penting untuk diperhatikan, karena ia sering ditanya bagaimana sebenarnya jalan budaya tersebut. Dari hal itu menurutnya ada dua jalan kebudayaan yang sebenarnya nanti ujungnya juga sama yaitu ketemu dengan dirinya, atau dalam kerangka agama bertemu dengan Tuhan. Pertama jalan yang dipandu oleh teks-teks agama. Dan yang kedua adalah jalan sosial termasuk dengan proses kesenian. Kedua jalan tersebut, tentu penuh lika-liku dalam prosesnya, bukan mana yang lebih baik, tetapi menyadarinya sebagai alternatif pilihan adalah upaya yang dapat kita tawarkan di era hari ini.
Sedangkan Kiai Nasirun saat menjelaskan karyanya “Gundono”, menyatakan bahwa karya yang satu ini merupakan bentuk ibadah yang ia lakukan untuk mengenang Alm. Selamet Gundono. Diawali dari cerita mimpinya bertemu dengan Slamet Gundono yang penuh dengan gambaran metaforik, ia menggambarkan sosok dalang kontemporer bersuara merdu tersebut, melalui intrepretasinya melalui teks “Maca” sebagai salah satu karya master pieces Gundono.
Maka gambar yang muncul dalam lukisan ini adalah sosok Semar yang berikatkan bendera merah putih di kepalanya. Tidak hanya itu di dalam lukisan tersebut juga banyak teks-teks dan simbol-simbol wayang yang merupakan bentuk dari interpretasi Kiai Nasirun melihat pergulatan Gundono selama berkiprah dalam wilayah seni dan kebudayaan.
Kiai Nasirun juga menyatakan bahwa proses seniman kita itu berbeda dengan seniman Barat yang biasanya hanya mengandalkan riset dan kecerdasan intelektual. Tapi banyak seniman kita proses kreatifnya lebih mendahulukan proses untuk menemukan dirinya sebagai bagian dari mengaktualisasikan karunia Tuhan yang diberikan kepadanya. “Dari hal itu, seni harus bisa memberi berdampak kepada masyarakat dalam berbagai bentuk,” ungkap maestro seni rupa Indonesia tersebut.