Ngaji Kitab Syajaratul Ma’arif – Mukadimah

Foto: galerikitabkuning.com
Kerja intelektual kadang kala membuat manusia lupa akan hakikat dirinya yang lemah. Manusia diciptakan Tuhan berserta kelebihan dan kekurangannya. Ia dikaruniai potensi-potensi kemanusiaan, hati untuk merasa, akal untuk berpikir, jasad untuk bergerak. Dengan harapan potensi kemanusiaan tersebut menjadikan ia, manusia, mencapai derajat kemakhlukan yg unggul dibandingkan dengan makhluk yang lain.
Namun bukan hal mudah bagi manusia untuk dapat mencapai derajat tertinggi kemakhlukan tersebut. Kecuali manusia dengan potensi-potensi kebaikan tersebut murah hati, tidak sombong, dan selalu berjalan ke arah kemaslahatan bersama sehingga derajat makhluk setaraf malaikat dapat ia raih. Sebaliknya, ketika manusia lebih terdorong meliarkan potensi keburukannya, iri hati, kikir, sombong, selalu mengajak ke arah kerusakan, tak bisa dipungkiri ia akan lebih rendah dari pada hewan yang tak mempunyai akal.
Dengan segala potensi baik dan buruk dan terbolak-baliknya hati manusia tersebutlah maka Allah SWT menurunkan Al-Qur’an melalui Nabi Muhammad SAW untuk dijadikan pedoman sekaligus petunjuk bagi manusia untuk menapaki jalan lurus yg dikehendaki Allah SWT. Dan dengan itu pula manusia dapat mengaktifkan potensi-potensi kemanusiaannya.
Demikianlah pembuka di kitab Syajaratul Ma’arif (Pohon Pengetahuan) karya SyaikhuI Islam Izzuddin Ibn Abdussalam, seorang ulama’ penyambung antara zaman ulama salaf dan ulama khalaf ditulis.
Melihat sejarah Islam di masa Syekh Izzudin (abad VI – VII Hijriah) di mana kitab ini ditulis, dunia Islam sedang mengalami asyrud tadwin, masa kehancuran peradaban Islam setelah penyerangan pasukan Mongol ke kota Bagdad. Masa-masa ini adalah masa berat bagi umat Islam karena pada saat inilah khazanah klasik umat Islam terancam hilang karena serangan pasukan Mongol yang membumihanguskan seisi kota Bagdad. Umat Islam merasa lemah dan mengalami krisis kepercayaan setelah penyerangan tersebut. Dalam konteks tersebut, Syekh Izzudin menulis demi mengajak umat bangkit dari keterpurukan.
Dalam mukadimah kitab yang pertama, beliau menjelaskan fungsi diturunkannya Al-Qur’an  sebagai media pendidikan bagi manusia. Di dalamnya, Al-Qur’an memuat bimbingan bagi manusia untuk menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangan-larangan-Nya.
Lanjut Syekh Izzudin, secara umum Al-Qur’an berusaha mengajak manusia untuk beribadah dengan kualitas yg tinggi. Dhohiron wa bathinan, yakni ibadah tidak sekadar aspek formalnya semata, namun lebih dalam lagi hingga mampu mencapai aspek-aspek hati – spiritual. Semisal, sikap merendahkan diri di hadapan Allah SWT. Karakter semacam ini selaras dengan makna Islam, yakni mengajak manusia untuk selalu memasrahkan diri secara total kepada Allah. Dengan sikap rendah diri, pasrah secara total di hadapan nama-nama Allah yang agung, manusia dengan segala potensi kemanusiaannya ketika memiliki kekuasaan tak akan sombong, dalam posisi terpuruk pun tak ambyar yang terlalu dalam. Karena iua tahu bahwa ada kuasa Allah di balik semua hal.
Selain itu di mukadimah juga dijelaskan bahwa Al-Qur’an mengajak manusia untuk mengikuti sifat rububiyah Allah. Yang paling utama dari sifat Allah tersebut adalah bersifat adil dan selalu mewujudkan kebaikan. Di sini sekali lagi Al-Qur’an tidak hanya menghendaki manusia untuk semata berhenti pada teks maupun makna semata, namun lebih jauh dari itu adanya Al-Qur’an berupaya merangsang potensi-potensi kebaikan manusia untuk dicecap secara performatif. Artinya, Al-Qur’an dibaca, dirasakan, dipahami untuk kemudian dilakukan di kehidupan sehari-hari.
Dengan demikian, Al-Qur’an sebagai petunjuk yang diberikan Allah kepada manusia bisa berfungsi secara maksimal dan tidak sekadar menjadi wacana dan angan-angan sosial. Namun, Al-Qur’an juga menjadi praktik kebudayaan yang hidup dan tumbuh di tengah kehidupan masyarakat.
Antara Ilmu dan Amal
Sejenak saya teringat filosofi Jawa ilmu kuwi kelakune kelawan kanti laku yang berarti pengetahuan bisa dikatakan menjadi ilmu ketika pengetahuan tersebut dipraktekkan atau diamalkan. Karena ilmu tidak semata berhenti menjadi wacana yang berjarak dengan realitas. Justru ilmu menjadi jawaban atas realitas yang selalu bergerak.
Menurut saya, penggalan filsafat Jawa di atas mempunyai kesamaan maksud dengan fasal terakhir mukadimah kitab Syajaratul Ma’arif yang dijelaskan oleh Kyai Jadul Maula. Beliau menjelaskan antara ilmu dan amal merupakan suatu hal yang tak terpisahkan, seperti dzat dan sifat.
Diibaratkan dalam kitab tersebut bahwa pengetahuan antara dzat dan sifat manusia layaknya seperti pohon. Dzat merupakan akar, sementara batang beserta cabang dan daun-daun merupakan sifatnya, sedangkan buah dari pohon tersebut adalah perbuatan. Bagi manusia, pengetahuan dzat adalah pengetahuan atas hati mereka sebagai akar tumbuhnya segala pikiran, ucapan, dan perbuatan. Karena hati adalah akar dari segala ekspresi manusia, maka hati harus senantiasa kokoh, disiram dengan pengetahuan agar memunculkan batang dan cabang perbuatan yang baik-baik. Dengan demikian akan muncul buah kemaslahatan dan kedamaian.
Pengetahuan atas pohon kebijaksanaan yang bersumber dari kondisi hati ini adalah tolok ukur bagaimana antara ilmu dan amal bisa berjalan beriringan sehingga membuahkan kemaslahatan. Karena, tak ada amal yang baik tanpa ilmu, dan ilmu tak akan berguna tanpa adanya amal.
Bisa dikatakan, apa yang ingin disampaikan Syekh Izzudin dalam pembuka kitab Syajaratul Ma’arif adalah pengetahuan keagamaan yang tidak hanya berhenti di wilayah syariatnya saja, namun mengajak kita semua untuk mencari makna yang lebih dalam, yakni hakikat atau maqosid dari sebuah syariat atau aturan.
Allahuyarham.
***
Editor: EYS

About the Author

You may also like these