Seorang pemuda dengan rambut ikal, bermata lebar dan dagu kuat—hampir seperti patung David, tapi dengan aura seorang pemuda dari pegunungan daripada pahatan seorang seniman legendaris—tenggelam dalam renungan tak biasa di beranda rumahnya. Ia telah mempelajari berbagai pendekatan dalam bermain gitar, memahami alat musik itu dalam berbagai bentuk dan bahannya, mendengarkan beragam suara yang dihasilkan para penyanyi terbaik dan menirunya, tetapi semua itu tak mampu menyelamatkan dirinya dari perasaan hampa yang tiba-tiba dialami seperti gelombang, tak henti-henti semenjak siang hingga menjelang senja.
Rumahnya berada di lembah pegunungan utara kota yang masih sepi, dikelilingi persawahan dan ladang jagung serta sayuran. Mendiang ayahnya membangun rumah itu dengan gaya yang membingungkan, antara pondok untuk liburan, hunian tetap atau gudang beras. Tiang-tiangnya dari kayu kelapa yang dilindungi dengan cat minyak, jendela-jendela lebar untuk menangkap cahaya matahari, aliran udara dan wajah langit ketika tengah bulan purnama. Pada masa kecil, ia melihat rumahnya seperti pondok dongeng, namun sekarang ia tahu—seperti kata ibunya—rumahnya adalah rancangan paling indah untuk hunian dengan anggaran sangat terbatas. Cara terbaik menikmati rumah seperti itu adalah dengan berkebun, memelihara ayam dan kelinci, serta bermain musik dan, tentu saja, melamun tentang segala yang tiba-tiba tumbuh dalam pikirannya—seperti yang sore itu tiba-tiba menengelamkannya.
Sambil memangku gitarnya layaknya seorang kekasih yang tengah rebah, perasaannya dibawa oleh angin menuju keharuan yang melemparkannya dalam perasaan sedih yang lembut. Ia pernah bermain musik bersama orang-orang dengan semangat yang sama, atau bermain sendiri membawakan lagu-lagu yang ia sukai, di berbagai pertunjukan dengan para pendengar baik yang penuh semangat atau yang sopan serta sedikit bermalas-malasan. Namun, semua itu tak memberinya perasaan bahagia sebagaimana yang diharapkan.
Harus diakui, musik telah membawanya pada petualangan-petualangan yang menyenangkan. Ia bertemu dengan orang-orang menarik dan diliputi rasa penasaran di wajah mereka, dikelilingi para wanita yang mengharapkan cinta atau sekedar ciuman sederhana, serta pengalaman-pengalaman ceria melakukan pertunjukan di daerah-daerah yang tak terbayangkan—misalnya, bermain di atas sungai dengan panggung berupa jembatan dari bambu. Ia menikmati semua itu seperti minum kopi di pagi hari—kenikmatan kecil yang telah menjadi rutin dan perlahan-lahan hambar dan membosankan.
Sore itu, tiba-tiba ia menyadari bahwa hal-hal yang tidak mendalam dan telah menjadi kebiasaan hanya akan diterima oleh orang-orang dengan kesadaran yang sama. Pada cahaya senja yang jatuh menyelimuti perbukitan yang mengitari kampungnya, ia menyaksikan bahwa bentuk-bentuk alam merupakan irama yang lebih abadi daripada musik yang selama ini ia mainkan. Ia lantas membayangkan berbagai pengalaman manusia dinyanyikan dengan irama-irama dari bentuk-bentuk itu: para petani sepulang dari ladang, seorang ibu yang tengah mengasuh anaknya yang masih bocah, seorang gadis yang sedang dilanda kasmaran untuk pertama kalinya, seorang bandit yang tengah kelelahan setelah melakukan pekerjaan yang sia-sia, seorang kakek tengah memasukkan ternak-ternaknya ke kandang.
Ia teringat seorang teman dari masa kecilnya dulu yang suka memelihara kambing dan bercocok tanam. Temannya itu, seorang pemuda pendiam, memiliki mata lebar yang temaram, penyendiri dan menyukai perjalanan yang senyap. Suatu kali, ia mengunjungi pertunjukan musiknya pada sebuah galeri, menyalaminya dengan senyum ramah dan datar, namun tanpa memberi pendapat dan rasa kagum. Ia datang ke pertunjukan itu karena kebetulan sedang dalam perjalanan menuju rumah neneknya sambil membawa sekantung buah-buahan hasil panen. Pada saat itu, ia merasa temannya itu terlalu sederhana di tengah para pengunjung pertunjukan itu sehingga ia sedikit canggung menerimanya, tapi keramahan dan ketulusannya telah meninggalkan gema yang lebih kuat daripada semua nada yang telah ia mainkan pada malam itu.
Dahulu, temannya tinggal beberapa ratus meter dari rumahnya, sedikit naik ke arah bukit dan jauh dari perumahan penduduk. Ia hidup bersama kedua orang tua dan seorang adik perempuannya yang suka membuat wadah dari anyaman bambu. Sejak lulus sekolah, ia mendengar kabar temannya itu pergi jauh untuk bekerja di kota besar, entah menjadi kuli bangunan atau sopir. Padahal ia adalah sosok suka belajar, terutama untuk pelajaran ilmu alam dan menggambar. Ia suka menghabiskan waktu selama berjam-jam sekedar untuk mencari rumus yang lebih sederhana daripada yang diajarkan agar bisa lebih ringkas menyelesaikan soal-soal. Di masa remaja ia suka mengunjungi rumah temannya itu, terutama ketika musim burung telah tiba atau ketika kebun jeruknya tengah panen. Namun sejak pertemuan tak sengaja di galeri itu—lebih dua tahun lalu—ia belum pernah berjumpa dengannya lagi.
Ia lantas berpikir bahwa alam bisa diterjemahkan menjadi musik melalui jiwa temannya itu; seorang manusia yang melakukan perjalanan demi melakukan pencarian yang alami daripada dorongan hasrat akan kepuasan atau penemuan sebuah gagasan yang besar. Namun memiliki jiwa seperti itu teramat berat bagi manusia yang telah dipenuhi bermacam keinginan dan rasa haus akan gairah serta pengakuan seperti dirinya. Renungannya sore itu hampir sampai pada perbedaan mendasar antara kesenangan dengan kebahagiaan selain bahwa kedua hal itu merupakan buah pengalaman daripada semata hasil penalaran.
Perjalanan hidupnya sejak renungan aneh pada senja itu telah dihabiskan demi menjawab pertanyaan-pertanyaan yang timbul dalam benaknya. Ia lebih suka menyendiri di beranda rumah atau perbukitan sambil memandang hamparan persawahan dan perkampungan. Sesekali pergi ke tempat-tempat suci, berdoa dan berserah diri berkali-kali, menelusuri gang-gang kota dengan berjalan kaki seorang diri, memasuki warung-warung sederhana sekedar untuk melepas lelah dan mengamati kehidupan orang-orang yang bersahaja. Rupanya perjalanan dan kesendirian telah memberi kenikmatan tersendiri daripada sebelumnya, tetapi juga memberinya perasaan sepi dan asing yang amat dalam.
Perlahan-lahan, teman-temannya telah melupakannya, permainan gitarnya tak lagi terdengar di kalangan pecinta musik kota itu, auranya saat berada di panggung juga telah terlupakan orang-orang. Jika beberapa dari mereka bertemu dengannya di jalan atau warung, mereka akan merasa telah menemukan sosok yang berbeda dari yang dulu pernah mereka kenal—hanya seorang pejalan kusut, sedikit aneh dan pendiam. Namun, ia mulai menikmati nasibnya itu; bahwa menjadi orang yang mengenal kehidupan adalah lebih bermakna daripada orang yang dikenal oleh kehidupan.
Pada suatu malam yang telah larut ia pulang ke rumah setelah melakukan perjalanan keliling kota. Pintu rumahnya telah dikunci sehingga ia duduk sendiri di beranda. Langit malam itu begitu cerah, cahaya bintang yang jernih dapat disaksikan dengan jelas. Angin dari pegunungan berhembus lembut dan dingin. Ia mengambil gitarnya dan memainkannya perlahan. Tiba-tiba, di luar kuasanya, ia menangis sejadi-jadinya sambil terus memetik gitarnya dengan lembut. Ia tengah merasakan nada yang selama ini belum pernah ia dengar dan mainkan. Sebuah nada yang lahir bukan dari ingatan tentang music-musik lainnya, melainkan dari kesunyian batin yang telah dihidupi dengan bermacam renungan dan perjalanan yang panjang.
Di tengah permainan gitarnya, rupanya ibunya membuka pintu perlahan dan duduk tak jauh dari puteranya. Barulah ketika permainan gitarnya jeda, ibunya bicara dengan suara pelan. “Tadi temanmu datang kemari,” kata ibunya. “Dia sempat menunggu beberapa lama tapi kemudian pergi lagi dan meninggalkan sesuatu buatmu.” Ibunya kemudian masuk ke dalam rumah untuk mengambil sebuah kantung. “Ini,” kata ibunya, Puteranya mengambil dan membuka kantung itu: beberapa buah jeruk yang telah masak–seperti yang ia saksikan ketika temannya mengunjungi pertunjukan musiknya. di galeri dan suguhan di rumahnya di kala kebun buahnya sedang panen.
“Terimakasih, teman,” ucapnya, pelan.
Bersambung : Pikiran-pikiran Ganjil Sofia (2)