Onomastika Jalan-jalan di Jogja

Straatbeeld Jogjakarta

Foto Straatbeeld, Jogjakarta koleksi Tropenmuseum.
Salah satu cara praktis – meski tak selalu efektif – untuk mengenal sistem kultur masyarakat perkotaan secara umum adalah dengan menilik nama-nama jalan di daerah tempat tinggalnya.
Misalnya, cukup dengan melihat papan nama bertuliskan “Jalan Batikan”, kita bisa sekilas mengimajinasikan kampung para perajin batik yang pada suatu masa pernah eksis di sekitar jalan tersebut, meskipun belum tentu masih bisa ditemukan saat ini.
Dari imajinasi itu, kita boleh menerka bahwa kebiasaan masyarakat sekitar tentu lekat dengan kultur seni rupa yang akrab dengan simbol dan busana yang identik dengan kelas sosial. Pola pikir mereka cenderung lebih kompleks dan artistik jika dibandingkan dengan masyarakat kampung di seputaran Jalan Jlagran (perajin nisan) atau Jalan Pandeyan (perajin peranti logam).
Sekali lagi, perlu kita garis bawahi bahwa terkaan semacam ini belum tentu akurat. Sebab, derasnya dinamika kemajuan zaman telah membuat struktur masyarakat perkotaan kian majemuk dan cenderung acak.
peta wisata yogyakarta
Sebagaimana hasil kajian antropolinguistik oleh Prihadi dan Ari Listiyorini yang dimuat di jurnal Litera, dari 130 nama jalan terpilih di wilayah Kota Yogyakarta, secara historis kultural bisa dikelompokkan ke dalam sembilan aspek kehidupan:

  1. Flora dan Fauna
  2. Tempat (asal usul, fungsi, penanda, dan arah)
  3. Keraton (kerabat, prajurit, pegawai, dan senjata perang)
  4. Geografis (ciri, gunung, sungai, dan fenomena alam)
  5. Profesi
  6. Pahlawan dan Tokoh
  7. Harapan/Cita-cita
  8. Wayang
  9. Kerja dan Karakter/Sifat
Pohon-pohon beringin di alun-alun Yogyakarta, ditanam pada tahun 1756 oleh Sultan pertama | KITLV 103224 – Kassian Céphas

Aspek Flora dan Fauna

Nama jalan yang bersumber pada aspek kehidupan dunia tumbuhan dan binatang antara lain; dari jenis flora: Tegal Lempuyangan, Kapas, Cendana, Sriwedani, Limaran, Sandiloto, Remujung, Tunjung, Teratai, Soka, Mayang, Pacar, Menur, Andong, Kenari, Cempaka, Bakung, Anggrek, Wora Wari, Kemuning, Kenongo, Mawar, Kantil, Gambir, Gondosuli, Sawit, Cantel, Hibrida, Candra Kirana, Otek, Melati, Mojo; dari jenis fauna: Menjangan, Sukonandi, Gagak Rimang, dan Modang.

Jalan di Yogyakarta sekitar 1890-an | KITLV 103222 – Kassian Céphas

Aspek Tempat

Aspek asal usul, fungsi, penanda, dan arah tempat bisa kita temukan pada nama jalan Lowanu, Ngeksigondo, Kricak, Kleben, Panti Panaungan, Tegal Gendu, Pangurakan, Magangan, Magelang, Gading, Mataram, Masjid PA, Perwakilan, Kleringan.
Lowanu menunjuk pada fakta sejarah bahwa pada masa Perang Jawa, para pejuang di wilayah tersebut adalah prajurit Pangeran Diponegoro yang berasal dari daerah Lowanu, Purworejo.
Ngeksigondo berasal dari kalimat “Panembahan Senopati, priyagung ing Ngeksigondo” (Panembahan Senopati, lelaki agung di Ngeksigondo). Kata ngeksi (mata) dan gondo (bau harum) yang jika digabungkan menjadi matarum (nama sandi dari Mataram).
Kleben merujuk pada posisinya di dataran rendah yang acap kali mengalami keleban atau tergenang air.
Kricak mencirikan daerah yang dahulu banyak terdapat kricak atau kerikil.
Panti Panaungan menunjuk pada tempat berlindung/bernaung. Di tempat tersebut pernah ada sebuah pondok pesantren sebagai tempat untuk hidup nyaman dan lepas dari ajaran buruk.
Tegalgendu menyimpan kisah tentang sebuah ruang publik yang santai dan akrab berupa tanah perbukitan dan taman di tepi Sungai Gajah Wong.
Pangurakan sebagai tanda bahwa dahulu tanah tersebut difungsikan untuk mengikatkan tali kekang (menitipkan) kuda para tamu keraton.
Magangan mencatat bahwa di situlah tempat penyimpanan kedua gamelan pusaka keraton; Kyai Guntur Madu dan Kyai Nogowilogo.
Jalan Magelang jelas menunjukkan arah ke Kota Magelang, sedangkan 10) Jalan Gading menunjuk ke arah kandang gajah di sisi barat Alun-alun Selatan.
Mataram mencatat bahwa Kota Yogyakarta dahulu merupakan lokasi bekas Kerajaan Mataram (Hindu) dan Kesultanan Mataram (Islam).
Jalan Masjid PA menandai lokasi Masjid Pakualaman.
Jalan Perwakilan menunjukkan lokasi Gedung DPRD DIY.
Kleringan berasal dari lokasi tempat tinggal seorang tokoh Belanda bernama belakang Klering.

Gedong Kuning, kediaman sultan di Keraton Yogyakarta sekitar 1896 | KITLV 12568 – Kassian Céphas

Aspek Keraton

Hubungan masyarakat dengan Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat tercermin dalam penamaan jalan Mantrigawen, Madyosuro, Siliran, Kemitbumen, Polowijan, Patehan, Ketandan, Purwanggan, Swandanan, Patang Puluhan.
Mantrigawen merujuk pada mantri gawe, “staf personalia” keraton.
Madyosuro adalah pegawai keraton yang bertugas merawat gamelan.
Siliran sebagai sebutan pengurus silir (lampu minyak) keraton.
Kemitbumen berasal dari kemit bumi, pelayan yang bertugas merawat halaman keraton.
Polowijan menandakan wilayah tempat tinggal para abdi dalem palawija, pelayan keraton bertubuh cebol.
Patehan dengan mudah bisa diterka sebagai penyaji jamuan teh (dan minuman secara umum) di lingkungan keraton.
Ketandan pernah menjadi tempat  tinggal tondo/tanda, petugas pajak keraton yang bertugas sebagai penarik pajak bagi warga Tionghoa.
Purwanggan dari purwangga, artinya para abdi dalem purwa (pertama) di Pakualaman.
Swandanan menunjukkan lokasi alun-alun Sewandanan Puro Pakualaman.
Patangpuluhan, seperti halnya Wirobrajan, Prawirotaman, Bugisan, dan seterusnya, merujuk pada lokasi penempatan bregada (regu prajurit) keraton.
Sebagaimana telah diketahui khalayak, nama-nama seperti Sultan Agung, Pangeran Benawa, Nyi Pembayun, dan Suryomentaraman, Mangkubumi, Tilarso, Suryatmajan, Juminahan, Jayeng Prawiran, Harjowinatan, Danurejan, Ronodigdayan, Jayaningprangan, Nototarunan, Harjono, Notowinatan merujuk pada nama-nama kerabat keraton.
Sultan Agung adalah raja Mataram Islam abad XVII.
Pangeran Benawa adalah kakek Sultan Agung dari pihak ibu.
Nyi Pembayun adalah keponakan Pangeran Benawa.
Ki Suryomentaram, putra ke-55 Hamengkubuwono VII, termasyhur sebagai filsuf yang mengajarkan kawruh jiwa (psikoterapi Jawa).
Mangkubumi adalah nama lain dari Hamengkubuwono I.
Tilarso adalah salah satu garwa (istri) Hamengkubuwono I.
Suryatmajan adalah bekas kediaman Raden Suryaatmaja, putra Pangeran Diponegoro.
Juminahan dahulu sebagai tempat tinggal Pangeran Juminah, putra Hamengkubuwono VII.
Jayeng Prawiran menandai bekas kediaman Jayeng Prawira.
Harjowinatan adalah lokasi tempat tinggal Pangeran Harjowinoto, menantu Paku Alam II.
Danurejan sebagai bekas kediaman Patih Danureja.
Ronodigdayan pernah ditinggal Kyai Ronodigdoyo, mertua Hamengkubuwono II.
Jayaningprangan menunjukkan bekas tempat tinggal Rio Jayaningprang, menantu Paku Alam II.
Nototarunan dahulu sebagai kediaman Pangeran Nototaruno, menantu Paku Alam III.
Harjono adalah bekas kediaman Prof. Mr. KRT Harjono Juru Martani, kerabat Pakualaman.
Notowinatan sebagai penanda bekas kediaman BRAy. Notowinoto, kerabat Pakualaman.

Pasar Gede di Yogyakarta, 1896 | KITLV 12583 – Kassian Céphas

Aspek Geografis

Latar belakang geografis lekat dengan nama jalan Jetis Pasiraman, Semanu, Mendung Warih, Prau, Kali Sahak, Celeban, Pabringan, Lor Pasar, Beji, Tegal Panggung.
Jetis Pasiraman secara etimologis berasal dari jetis (pojok/sudut) dan pasiraman (tempat pemandian).
Semanu atau semangu bermakna air terjun.
Mendung Warih adalah awan tebal sebagai pertanda akan turun hujan.
Di sekitar Sungai Code, Kali Sahak merujuk makna kemakmuran warga tepian sungai, dan Prau (perahu) sebagai moda penyeberangan.
Di wilayah Glagahsari terdapat Jalan Celeban yang kerap mengalami celeb (terendam air) akibat luapan Sungai Gajah Wong.
Pabringan berasal dari paberingan atau beringan yang bermakna hutan tempat bersarangnya burung blekok.
Lor Pasar bermakna sisi utara sebuah pasar.
Beji adalah istilah kuno untuk tuk atau mata air.
Tegal Panggung dahulu merupakan kawasan tegalan luas yang lebih tinggi dari sekitarnya.

Pasar tertutup di Yogyakarta, sekitar 1896 | KITLV 12581 – Kassian Céphas

Aspek Profesi

Profesi penduduk pada suatu masa terekam melalui nama jalan Pandeyan, Batikan, Kemasan, Jagalan, Tukangan, Klitren, Pengok.
Klitren berasal dari koelitrein, sebutan untuk kuli angkut kereta api.
Pengok dari akronim mempeng mbengok (selalu berteriak), seperti situasi kerja di dalam bengkel atau pabrik.
Pandeyan dan Batikan, seperti yang sudah disebutkan sebelumnya, merujuk pada pandai besi dan perajin batik.
Kemasan merujuk pada perajin logam mulia emas atau perak.
Jagalan adalah tempat tinggal para penjagal hewan.
Tukangan menandai kampung tua yang pernah menjadi sentra para tukang.

Pemandangan kota Yogyakarta, sekitar 1896 | KITLV 12578 – Kassian Céphas

Aspek Pahlawan dan Tokoh

Sebagaimana umumnya kota-kota lain, Kota Yogyakarta mengenang jasa para pahlawan dan tokoh bangsa dengan penghormatan sebagai nama jalan Jenderal Sudirman, Kahar Muzakir, I Dewa Nyoman Oka, Achmad Jazuli, Abu Bakar Ali, Ngadikan, Faridan Muridan Noto, Atmosukarto, Sajiono, Suroto, Syuhada, Wardhani, Supadi, Ahmad Zakir, Sabirin, Juwadi, Umum Kalipan, Trimo, Sareh, Hadidarsono, Suhartono, Johar Nurhadi, Prof. Dr. Herman Yohanes, Gunomrico, Mayor Suryotomo, Mas Suharto, Gajah Mada, Hayam Wuruk, Patimura, Yos Sudarso, Cik Di Tiro, Dewi Sartika, Mayjend Bambang Sugeng, Suryopranoto, Bung Tarjo, Widayati Sutarjo, dr. Soetomo, dr. Wahidin Sudirohusodo, Prof. DR. Sardjito, Ki Mangunsarkoro, Urip Sumoharjo, Serma Taruna Ramli, Kompol Bambang Soeprapto, Simanjuntak, Kusbini.
Jenderal Sudirman umum dikenal sebagai panglima besar TKR, angkatan perang pertama Republik Indonesia.
Kahar Muzakir atau Prof. KH. Abdoel Kahar Moezakir adalah pahlawan nasional asal Gunung Kidul yang pernah menjadi anggota BPUPKI dan Rektor pertama di UII.
I Dewa Nyoman Oka, Achmad Jazuli, Abu Bakar Ali, Ngadikan (Bagong Ngadikan), Faridan Muridan Noto, Atmosukarto, Sajiono, Suroto, Syuhada, Wardhani, Supadi, Akhmad Zakir, Sabirin, Juwadi, Umum Kalipan (Oemoem Kalipan), Trimo, Sareh, Hadidarsono, Suhartono (Sukartono), Johar Nurhadi adalah para pahlawan yang gugur dalam peristiwa Serbuan Kotabaru 7 Oktober 1945.
Prof. Dr. Herman Yohanes adalah ahli persenjataan ledak yang aktif dalam perjuangan penegakan kemerdekaan. Sempat menjadi anggota KNIP dan rektor Universitas Gajah Mada.
Gunomrico adalah nama tokoh yang sayangnya belum penulis temukan rujukan validnya.
Mayor Suryotomo adalah perwira infanteri yang pernah berjasa menemukan lokasi kedua jenazah Pahlawan Revolusi di Kentungan.
Mas Suharto adalah Bapak Telekomunikasi Indonesia yang pernah berjasa me-relay pesan radio dari Presiden Soekarno saat Agresi Militer Belanda II.
Gajah Mada dan Hayam Wuruk telah dikenal luas sebagai mahapatih dan raja Kerajaan Majapahit.
Patimura atau Pattimura adalah pahlawan nasional asal Saparua.
Yos Sudarso atau Yosaphat Soedarso adalah pahlawan nasional yang gugur dalam Pertempuran Laut Aru.
Cik Di Tiro adalah pahlawan nasional dari Pedir.
Sam Ratulangi adalah pahlawan nasional asal Tondano.
Dewi Sartika adalah pahlawan nasional asal Cicalengka.
Mayjend Bambang Sugeng ikut serta dalam Serangan Umum 1 Maret 1949 sebelum diangkat menjadi wakil Panglima Besar Jenderal Sudirman.
Suryopranoto atau Soerjopranoto adalah kakak Ki Hajar Dewantoro dan cucu Pakualam III.
Bung Tarjo atau Soetardjo Reksokario adalah komandan Tentara Rakyat Mataram, laskar pejuang kemerdekaan di Yogyakarta.
Widayati Sutarjo adalah pimpinan PRIP dan istri Bung Tarjo.
dr. Soetomo adalah pendiri organisasi Budi Utomo yang konggres pertamanya diselenggarakan di Yogyakarta.
dr. Wahidin Soedirohoesodo adalah tokoh yang memotivasi para pelajar STOVIA untuk mendirikan Budi Utomo. Beliau juga esais pendidikan dan kesehatan yang menerbitkan majalah Retno Doemilah dan Goeroe Desa.
Prof. DR. Sardjito adalah Guru Besar Fakultas Kedokteran dan Presiden Universiteit (Rektor) pertama UGM.
Ki Mangunsarkoro atau Sarmidi Mangunsarkoro adalah salah seorang tokoh Taman Siswa yang menyusun Dasar Tamansiswa.
Urip Sumoharjo atau Raden Oerip Soemohardjo adalah pahlawan nasional yang pernah menjadi wakil Panglima Besar Jenderal Sudirman.
Serma Taruna Ramli adalah nama pahlawan yang belum penulis temukan datanya.
Kompol Bambang Soeprapto atau RM Bambang Soeprapto Dipokoesoemo adalah komandan Pasukan Polisi Istimewa yang memimpin perjuangan menegakkan kemerdekaan di Jawa Tengah.
Simanjuntak, Kusbini adalah nama-nama pemusik dan komponis era perjuangan kemerdekaan.

Jalan Karesidenan di Yogyakarta, Juli 1901 | KITLV 12575 – Kassian Céphas

Aspek Harapan/Cita-cita

Optimisme masyarakat dalam menatap hari depan diwujudkan dalam penamaan jalan sesuai harapan/cita-cita, seperti Lobaningratan, Gejayan, Tohpati, Pamularsih, Madubronto, Margomulyo, Malioboro, Margo Utomo.
Lobaningratan bermakna harapan untuk hidup lebih baik.
Gejayan atau kejayan artinya berhasil memenangkan perjuangan.
Tohpati berarti rela bertaruh nyawa dalam perjuangan.
Pamularsih maknanya adalah mengasihi sesama.
Madubronto berarti madu kebaikan sebagai buah perjuangan.
Margomulyo artinya jalan kemuliaan.
Malioboro berasal dari frasa malya bhara yang bermakna sesaji rangkaian bunga.
Margo Utomo berarti jalan keutamaan.

Wayang kulit di Yogyakarta pada saat Sekaten (festival Maulid Nabi), sekitar 1896 | KITLV 12041 – Kassian Céphas

Aspek Wayang

Wayang sebagai produk budaya Jawa yang paripurna dilestarikan melalui penamaan jalan Abimanyu, Yomodipati (Batara Yamadipati), Bimosakti (Bimasakti), Permadi (Arjuna muda), dan Pandu.

Istana Air Taman Sari di Yogyakarta, sekitar 1900 | KITLV 153835 – Cépha

Aspek Kerja dan Karakter/Sifat

Aspek kerja bisa kita temukan pada nama jalan Nitikan, Dongkelan, Mojar.
Nitikan merujuk pada aktivitas nitiki, yakni memuat pola titik-titik pada kain batik.
Dongkelan berasal dari aktivitas ndongkel atau mencongkel tanaman tebu hingga ke akarnya demi merapikan jarak antar tanaman.
Mojar merupakan sebutan untuk aktivitas memesan sebuah benda dengan ketentuan khusus pada perajin, misalnya pembuat keris atau penjahit.
Sedangkan aspek karakter/sifat terkandung dalam nama jalan Sidikan, Landung.
Sidikan bermula dari sifat sidik atau jujur.
Landung bermakna sabar.

Pasukan kerajaan Sultan Yogyakarta menembakkan tembakan salvo di alun-alun sebagai penghormatan terhadap sesajian dalam rangka perayaan Grebeg, sekitar 1910 | KITLV 3630 – Céphas

Tak hanya di Yogyakarta, onomastika jalan-jalan di seluruh wilayah nusantara selayaknya memperoleh porsi yang layak dalam sistem pengajaran di sekolah maupun lembaga nonformal.
Dengan mengenali asal usul nama jalan di lingkungan sekitarnya, anak-anak dan remaja tidak akan kehilangan akar kepribadiannya.
Justru sebaliknya, generasi muda akan mampu menimba nilai-nilai luhur pendahulunya, kemudian menginternalisasikan spirit tersebut sebagai karakter bangsa dalam mengarungi gelombang globalisasi. Sehingga tak perlu lagi terdengar pameo “aku ingin pulang ke kampung halaman, tetapi lupa ia terselip di halaman berapa.”
***
Referensi:

  • Prihadi dan Ari Listiyorini. 2020. “Latar Belakang Aspek Kehidupan pada Sistem Penamaan Jalan di Kota Yogyakarta: Kajian Antropolinguistik”. Litera, 19(1), 109-123.
    https://doi.org/10.21831/ltr.v19i1.26617
  • Kota Yogyakarta. 2018. Keputusan Walikota Yogyakarta No. 71 Tahun 2018 tentang Penetapan Ruas-ruas Jalan Kota Yogyakarta. Yogyakarta.

About the Author

You may also like these