Pagi ke Pagi di Beranda

Pagi ini sedikit kelabu, mungkin karena sisa hujan semalam. Aku bangun dari tertidur sendiri. Masih menyisakan sedikit bayang-bayang lorong malam, kelabu seorang perempuan yang diantarkan ibunya ke gereja di tengah malam natal. Lalu sembahyang pagi. Lalu sembahyang pagi. Sembahyang sasih tilem di pura-pura malam purnama. Dan bersamadi malam jumat di stupa vihara.

Belakangan bulanan ini, aku sering sembahyang subuh di pagi hari, sudah memasuki waktu duha sebenarnya. Sejenak merenung pada relung-relung mimpi tadi malam. Rasanya sudah lama mimpi ini mengendap. Sorak-sorainya berlarian tak berarah. Ingin sekali aku meliriknya kembali, kembali ke lubuk dasar, usai pergi jauh.

Fajar menyingsing kala aku berjalan menuju pasar, pagi hari aku suka ke pasar untuk membeli bahan masakan. Suasana pasar sedianya begitu, ramai berjejeran dan kelabu pada lorong-lorong. Aku membeli ikan pindang, tahu segar dan rempah. Pagi ini aku memasak tumis tahu, ikan pindang goreng dengan sedikit tepung. Mamah suka memasak ikan seperti ini dengan istilah “ikan dijaketin”, maksudnya bagian kulitnya dikasih tepung agar tidak ‘bebeletukan’ ketika digoreng. Aku memang terbiasa memasak sendiri sedari SD, tidak ada yang mengajari, namun aku suka melihat mamah waktu memasak. Disitulah aku melihat, belajar dan bisa sendiri.  

Belakangan ini, seringkali aku hanyut dalam aktivitas memasak, ia sudah seperti aktivitas rasa, layaknya meditasi. Seminggu yang lalu, aku baru saja ikut pre-order dari penerbit Komunitas Bambu. Ia menerbitkan kembali (cetakan kedua) buku ”Mustika Rasa”, buku itu adalah warisan Bung Karno dalam merangkum dan mendokumentasikan masakan di seluruh Indonesia. Bung Karno memang tidak main-main soal urusan identitas, ia menelusurinya hingga pada kuliner. Karena cukup fundamental, cita rasa masakan dan jenis makanan itu memcirikan suatu identitas yg dinamis dan terus berkembang, terlebih Indonesia sebegai samudera yang ditaburi ragam ribu kepulauan yang sangat kaya raya akan rempah. Rempah yang pernah menjadi sumber kekayaan bangsa ini. Rempah ini pula yang menjadi daya pikat para pelancong Eropa, yang kemudian membentuk Koloni kongsi dagang. Kelak menjadi ironi bangsa ini, kekayaan yang justru menjadi nestapa, hingga kini.

Nasi diatas kompor yang aku tinggalkan ketika ke pasar sudah matang, nasi liwet dengan rempah bawang merah, batang sereh, daun salam, sedikit garam dan penyedap rasa. Kuhidangkan semuanya di meja beranda, meja yang dikelilingi kursi tempat kami duduk dan bercerita. Tembok disekelilingnya terdapat gambar lukisan tentang perjalanan lakon dewa ruci. Nama dewa ruci dipakai untuk istilah pengajian rutin yang kami selenggarakan setiap malam rabu, Ngaji Dewaruci. Sesekali tamu yang berdatangan biasa duduk di beranda ini pula. Tamu yang datang dan pergi; ada yang menepi, sowan pada pak Yai, meminjam tempat untuk acara organisasi dan lainnya. Pondok limasan ini memang terbuka bagi siapapun yang datang kemari. Meski sekedar menepi.

“Kita bergerak dan bersuara

Berjalan jauh tumbuh bersama

Sempatkan pulang ke beranda

Tuk mencatat hidup dan harganya”

(Hindia)

(MA)

About the Author

You may also like these