Para Peziarah yang Aneh

Kala senja membinar di saat Magrib menjelang, aku duduk di beranda dengan obrolan-obrolan yang terlontar jenaka, hingga kerut rona siluet panorama Magrib terlibas oleh malam. Orang-orang dibuat cemas oleh virus baru bernama COVID-19. Kampus-kampus mendadak diliburkan, toko dan warung mulai menutup diri dan memilih pulang kampung halaman. Magrib serasa begitu mengambang, lirih dan terabaikan. Masjid-masjid hanya menyisakan suara azan terdengar, “Solluu fii Buyutikum” salat di rumah, dan tidak ada salat berjamaah di masjid.  

Rona-rona siluet langit jingga kemerahan perlahan terbenam. Aku beranjak ke Pondok Kaliopak. Pondok tempat aku melipat-lipat waktu jauh panjang ke belakang, ziarah waktu pada leluhur, hingga hembusan napas begitu terasa mendesir iramanya. Sungguh, suatu hal yang tidak bisa aku dapatkan di kampus, di mana aturan-aturan dipadatkan, pengetahuan dibakukan, dan imajinasi dilumat oleh organisasi. Mahasiswa disibukkan dengan tugas, dosen sibuk dengan rapat, dan organisasi sibuk dengan pengkaderan-pengkaderan formatif serta even-even money oriented. Lalu aku bertanya, di manakah waktu luang dan pengetahuan tercipta, dikonstruksi, dikomposisikan kembali, hingga terdistribusi. Kini, tinggallah menyisakan manusia-manusia  kering dan sepi.

Sesampainya di pondok, aku menuju dapur untuk menyiapkan makan kembulan Ngaji Dewaruci, tugas pokok darmaku di pondok memang memasak. Ia sudah seperti meditasiku dalam bentuk lain. Meditasi yang memang semestinya meditasi, ialah laku olah rasa dan kendali raga. Ajaran filasfat Timur mengajarkan banyak hal perihal ini, meditasi bisa dalam bentuk apapun, seperti ajaran Zen-Budhisme yang berkembang dalam dunia kepenulisan hingga hari ini.

Kali ini makan kembulan memakai piring masing-masing, akibat dari COVID-19 yang merebak, dan untuk kehati-hatian. Malam ini, menu makan adalah bihun, sayur hijau dan kuah sup. Ditambah perasan jeruk nipis, sambal dan kerupuk.

Aku menuju pendopo yang hening, malam menundukkan pundak dan kepala. Gelaran karpet dan tikar, tiang-tiang kayu yang dibalut kain kuning, dan foto raja-raja Mataram Islam, berjejeran di tiang beranda pendopo limasan. Bacaan wirid Ratib al-Haddad sudah dilantunkan. Bacaan-bacaan ini adalah kalam-kalam baik yang kita upload, kembali pada Allah, Tuhan semesta alam.

Kalam-kalam langit dilantunkan sebagai medium untuk melarungkan kekotoran diri dan pikiran di hadapan bumi dan Ilahi. Pondok membiasakan hal itu dilaksanakan sebelum Ngaji Dewaruci dimulai. Semua imaji-pikiran dikembalikan pada ketak-terhinggaan semesta langit, sehingga tidak berakhir pada batas bumi argumentatif ketika ngaji. Suasana lirih bergetaran di bibir, bilik-bilik surau dan tanah yang disirami lafal yang mengheningkan jiwa dan pikiran.

Tema ngaji kali ini adalah “Riwayat Indrapura (catatan perjalanan ke pantai barat Sumatera)”,  dipantik oleh mas Raudal Tanjung Banua, ia seorang sastrawan-budayawan dan peneliti sosial. Di samping itu, ia sering melibatkan diri dalam dunia teater.

Mas Raudal melakukan perjalan untuk yang kesekian kalinya ke ujung selatan Sumatera Barat, terakhir pada oktober 2019 lalu. Ia mengemukakan bahwa Indrapura adalah nama indah yang jika kita telisik ada di mana-mana. Ada Siak Sri Indrapura di Riau, Indrapura Air Putih di Batubara, atau Indrapuri di Aceh. Pahang yang kita kenal sekarang, dulu bernama Indrapura, termasuk ibukota Champa (Vietnam). Nama-nama tempat India kuno pun banyak memakai nama Indrapura. Artinya lebih kurang tempat bertakhta raja Indra (raja tertinggi), demikian pernah ditulis budayawan prolifik Emran Djamal Datuak Mudo.

Dalam buku Rusli Amran, Sumatera Barat Hingga Plakat Panjang (1981), disebutkan, kesultanan Indrapura jadi pumpunan teks setebal 652 halaman tersebut. Gusti Asnan dalam Dunia Maritim Pantai Barat Sumatera (2007), juga membicarakan Indrapura sebagai pelabuhan penting penghasil lada hitam (merica) dan emas. Dalam buku yang lain, Kerajaan Indrapura (2013), Gusti Asnan (sebagai editor) bersama Yulizal Yunus dan Muhapril Musri, juga mengkaji sistem pemerintahan Indrapura.

Tak kalah menarik untuk disimak, dalam sebuah roman Balai Pustaka, yaitu Hulu Balang Raja (cet.1, 1934) karya Nur Sutan Iskandar, mengambil lanskap Indrapura. Tokoh-tokoh utamanya juga terdiri dari bangsawan Indrapura seperti Ali Akbar, Putri Ambun Sari, Muhammad Syah, Malafar Syah dan Raja Maulana. Tentu, masih banyak lagi Indrapura kita temukan dalam berbagai teks Nusantara, baik klasik maupun kontemporerDemikian, papar Mas Raudal.

Paparan-paparan yang dikemukakan begitu terasa sastrawi, terlebih  Mas Raudal memotret itu semua, dan menempatkan dirinya sebagai pejalan atau peziarah waktu. Bukan tanpa alasan perjalanan itu dijelajahi, ia memiliki memori masa kecil yang tersimpan. Memori itu membayang dalam imajisitas perjalanan rantaunya ke negeri seberang. Di Yogyakarta, ketika dirasa ada jarak, justru memori itu muncul kembali. Jejak memori yang membentang luas, sedikit aneh dan menggetarkan, hingga getaran jarak itu mengantarkannya untuk bisa melihat dan sampai  pada jejak-langkah moyangnya. 

Perjalanan pergi jauh ke rimba raya negeri seberang, memang menyisakan luka jarak ruang, namun mampu melipatkan waktu untuk melihat luka-ruang tersebut dengan jernih. Sorren Kiekergard, seorang filsuf eksistensialis berkebangsaan Denmark mengungkapkan perjalanan seperti itu sebagai ‘pergumulan individu dan kebatiniahan’.

Dunia tasawuf Islam dan teosofi mengenal kebatiniahan individu tersebut sebagai suwung, ialah suatu keadaan kosong. Kosong yang merindu akan isi. Layaknya seorang musafir yang kehabisan bekal, dan kehausan di gurun pasir fatamorgana pencarian makrifatnya. Seperti pula pengembaraan seekor elang yang terus terbang mengejar pusaran matahari.

Hati pun menjadi dingin yang menjelma kebisuan, tinggallah menyisakan laku suluk yang membiaskan dahaga akan air kehidupan, air kehidupan yang akan melumatkan semua luka, dan memberikan kesegeran abadi di sisa hidupnya. Konon, air kehidupan itu dikenal dalam kisah raja-raja yang mengerahkan seluruh pasukannya, untuk menemukan air itu. Namun air tersebut hanya diperuntukkan bagi para pejalan, peziarah yang tengah kehausan dan akut kebingungan. Hingga sampailah ia di sungai yang berpasrah pada laut, terseok oleh derasnya rahasia lika-liku air yang meliuk, membentur batu, terjun bebas, hingga menenang sunyi di muara samudera biru.

Sultan Agung menuliskan pergumulan batiniah perjalanannya dalam nubuwat babad Serat Nitik. Syekh Maloyo atau Sunan Kalijaga menyuratkan perjalanan itu dalam Suluk Linglung. Dan lakon Dewaruci menyiratkannya dalam Suluk Dewaruci. Suluk dan serat-serat tersebut adalah medium kita untuk bisa melihat pada diri sendiri. Ialah jalan dan jati diri kita, sebagai manusia Nusantara yang diperagakan dalam teknologi lakon berupa wayang. Kita bisa mengaksesnya melalui lakon suluk diri masing-masing, ialah suluk yang tidak berbatas pada pengetahuan saja, namun pengerahan kanti laku diri dengan totalitas.  

Begitu pun dengan perjalanan Bujangga Manik, ia adalah seorang bangsawan dan rahib yang hidup di masa paceklik keruntuhan Dayeuh Pakuan Padjajaran, ia lebih memilih berkelana dan meninggalkan pusat kekuasaan. Kemudian ia melakukan perjalan jauh, berkelana ke rimba raya pulau Jawa-Selat Bali hingga dua kali. Di Mataram Islam Jawa, kita akan menemukan sosok imajisitas Bujangga Manik dalam diri Ki Ageng Suryomentaram. Menanggalkan jubah kebangsawanan, dan memilih jalan kelana bukanlah tanpa sebab, ia syarat dengan situasi sosial-politik yang menjalar-banal pada saat itu.

Perjalanan kelana tersebut adalah laku-asketis sebagai olah rasa untuk menemukan diri yang baru. Ialah perjalan menemukan jati diri yang beraroma karsa. Karsa yang sejatinya memunculkan bau wangi dengan sendirinya, juga memberi wangi pada diri yang lain. Dan itulah nama asketis yang diberikan pada leluhur manusia Pasundan, ialah Prabu Siliwangi. ‘Siliwangi’ artinya ‘saling wangi’, dan memberi wangi (Silih-Wangi). Dirinya mewangi dengan sendirinya, lalu dengan sendirinya pula ia memberi wangi pada sekitarnya. (MA)

About the Author

You may also like these