Kajian kitab-kitab ulama Nusantara memang tidak setenar dengan kajian kitab-kitab yang di tulis oleh kebanyakan ulama Timur Tengah. Jika kita lihat proporsi kajian kitab ulama Nusantara bisa dibilang masih sangat sedikit, dibanding dengan kajian kitab yang sudah mashur yang sering di kaji di banyak pesantren di Indonesia.
Malam itu, dibimbing langsung oleh KH. Mas’ud Masduki Rois Syuriah PWNU DIY, di acara Ngaji Posonan Pesantren Kaliopak tahun 2019. Kita bersama mendapatkan kesempatan spesial mengkaji kitab salah satu ulama Nusantara Syekh Abdussomad Al-Falembani. Berikut ulasan pengantar kitab yang mensyarahi kitab Ihiya’ Ulummudin ini.
Makna kitab Syiarussalikin adalah laku-laku bisa diartikan lelaku, melaku, atau sebuah perjalanan berupa tindakan seseorang yang ingin mencapai ridho Allah. Kitab ini di tulis oleh seorang ulama yang mashur pada zamanya, yaitu Syekh Abdussomad Al-Falembani pada tahun 1193 H.
Dalam bab pertama, kitab ini menekankan terkait kemurahan dan kasih sayang Allah yang harus dikedepankan, dibandingkan dengan sifat-sifat Allah yang lainnya. Dari hal itu, maka umat Islam bisa lebih bahagia dengan rahman rahimnya Allah.
Syekh Abdussomad sendiri lahir pada tahun 1116 H, ibunya berasal dari Palembang, sedangkan ayahnya Syekh Abdullah dari negri Yaman. Kemudian Syekh Abdusomad dikirim belajar ke Makkah dan Madinah, satu angkatan dengan Syekh Arsyad Al Banjari dan Syekh Abdurrahman Al Batawi. Ketiga ulama tersebut sama-sama berguru dengan Syekh Abdul Karim As-Samani Al-Madani, yang waktu itu menjadi Muassis Thoriqoh Samaniyah, yang juga berguru pada Syekh Murtadho Zabidi.
Menurut Syekh Abdussomad dari apa yang disampaikan oleh Syekh Abdullah Alawi Al Haddad, bahwa ada kitab yang sangat bermanfaat dan ada juga kitab (ilmu) yang tidak bermanfaat. Diantara kitab-kitab utama yang bermanfaat bisa digunakan untuk membedakan antara ilmu bermanfaat dan ilmu tidak bermanfaat, adalah kitabnya Imam Al-Ghozali, yaitu Ihya’ Ulumuddin.
Dalam hal ini kitab ringkasan Lubabu Ihya’( Mukhtashornya Ihya’ Ulumdin), dikarang oleh adik Imam Ghazali yaitu Syekh Ahmad Al-Ghazali. Menurut beberapa riwayat beliau sama alimnya dengan kakaknya Imam Al-Gazhali. Pernah ada cerita ketika Imam Ghazali menjadi imam sholat dan pada waktu yang sama Syekh Ahmad menjadi makmumnya. Saat menjadi makmum Syekh Ahmad Al Ghazali melihat kakanya tersebut berlumuran darah dengan mata batinnya. Kemudian Syekh Ahmad bertanya mengapa bisa seperti itu, seketika Imam Ghazali beristighfar dan kemudian mengatakan bahwa dirinya baru saja menulis bab haid.
Kitab Syakh Ahmad inilah yang kemudian ditulis dalam bahasa melayu oleh Syekh Abdussomad. Arti kata “lub” adalah saripati, sehingga Lubabu Ihya Ulumdin berarti “saripati kitab Ihya’ Ulumudin”.
Sebagai informasi kitab Minhajul‘Abidin (jalannya orang yang abidin) juga merupakan karangan Imam Ghazali, yang di syarahi oleh Syekh Ihsan Jampes dengan judul Sirajuth Tholibin yang hingga sekarang masih menjadi kajian di Universitas Al-Azhar. Kitab tersebut ditulis di Jampes Kediri bukan di Arab, dan akhirnya beliau juga meninggal di Jampes, Kediri Jawa Timur.
Kemudian kitab Bidayatul Hidayah, disyarahi oleh Syekh Nawawi bin Umar al-Bantani. Pada waktu itu kitab-kitab Imam Al Ghazali menjadi perhatian besar oleh ulama-ulama di Nusantara. Sehingga secara keilmuan, bisa dilihat corak keislaman di Nusantara adalah corak keislaman Al-Ghazali.
Yang menarik dalam kitab-kitab para ulama Nusantara itu sendiri, pasti mencantumkan bahwa dirinya adalah al-faqir al-miskin al-muhij yaitu yang fakir yang miskin dan yang sangat berhajat kepada Allah.
Kemudian selain itu, Ulama Nusantara selain mengawal Islam di dalam negari, juga mengawal masyarakat untuk menjadi alim di Mekah dan Madinah. Sehingga disana para ulama Nusantara menjadi orang yang terpandang dan disegani.
Di dalam kitab Syiarussalikin jilid ke tiga yang membahas terkait bab puasa, menyatakan bahwa semakin kuat kadar keimanan seseorang maka semakin kuat puasanya. Meskipun ada rukhsoh dia akan mengambil ‘azimahnya, yaitu pokoknya. Ketika kita memiliki cahaya iman pada akhirnya nanti mampu memandang mana yang baik dan buruk, inilah iman yang bermakna sangat dalam.
Muhaqqiqin adalah orang yang meyakini dan menyatakan sesuatu karena dirinya memang tahu dan menyaksikan secara langsung. Maka dari itu, sejak dari dulu ulama Nusantara menggunakan kata Sayyidina ketika menyebut Nabi Muhammad, yang dapat dilihat di dalam kitab ini.
Tulisan ini hasil dari notulensi Ngaji Posonan 2019 Pesantren Kaliopak, yang di bawakan oleh KH. Mas’ud Masduqi