Pikiran-pikiran Ganjil Sofia (2)

Perempuan di Depan Aquarium, Henri Matisse

Kelanjutan: Seni yang Membosankan (1)
Pagi itu matahari bersinar hangat. Sofia, yang kesadarannya mulai pulih dari mimpi, dihampiri pikiran-pikiran yang ganjil: ia ingin menjadi cangkir teh yang sedang ia nikmati, atau bunga yang tengah ia pandang, atau pintu rumahnya yang berwarna putih. Mereka semua, pikir Sofia, menjalani takdirnya tanpa beban kesadaran dan rasa ingin tahu yang kadang terasa menyiksa dan melelahkan. Hidup tanpa kesadaran, walau hanya sejenak, merupakan jeda yang memberi kesadarannya beristirahat.
Dalam kesendiriannya, Sofia seringkali merasakan, bahwa segala sesuatu tidak cukup dengan hanya diketahui nama-namanya, kegunaan-kegunaannya, serta macam-macam teksturnya—yang lembut dan kasar, yang berulir dan berpotongan. Dunia ini bisa menjadi milik manusia ketika telah menjadi pengalaman dan perasaan. Kadang Sofia berpikir, agar proses itu berjalan lebih mudah, sebaiknya segala sesuatu juga seperti manusia, yang memiliki hati untuk merasakan dan menghayati takdirnya: bunga-bunga senantiasa bermeditasi seiring perkembangan bentuk dan warnanya, pula sungai dengan arus dan bebatuannya, kursi dan jendela dengan kekuatan kusen-kusennya, cangkir dan madu, angin dan jalan-jalan yang lengang, langit dan bumi…
Pikiran semacam itu telah menuntut Sofia untuk menghayati segala sesuatu dalam setiap detiknya hingga ia sering kelelahan sendiri. Ia biasa mencari pertolongan dengan mendengarkan lagu, menikmati lukisan, membaca puisi, atau sekedar berdoa. Ia berharap semoga Tuhan bisa memberi jiwa bagi alam dan segala yang ia temui, bisa saling bicara dengan nada yang lembut tentang perasaan-perasaan masing-masing, serta pengalaman-pengalaman mereka yang luar biasa. Apa yang dikatakan oleh gerimis tentang setiap butirnya yang pecah sesampainya di bumi? Bagaimana bunga membentuk serat-seratnya yang penuh misteri? Adakah angin menyadari hembusannya yang gaib dan kadang mengandung bahaya?
Sofia meminum tehnya sekali lagi. Matanya berbinar-binar dipenuhi pengalaman pagi itu. Sinar matahari yang cerah telah memandikan rambutnya yang bergelombang dan kemerahan, hampir sepadan dengan mawar dan senja. Sementara bunga-bunga di kebun rumahnya menampakkan gairah embun semalam, disapu angin yang lembut dan sinar matahari yang melukis bayang-bayang mereka pada permukaan bumi. Ini sebuah lukisan, pikir Sofia, tersenyum simpul. Begitulah. Jika sudah berhasil merasakan hidup dan mengalaminya, ia akan lupa tentang betapa berat usahanya untuk selalu demikian dalam setiap waktu yang dilalui. Ia tak ingat lagi bahwa beberapa saat lalu baru saja ingin menjadi sebuah cangkir.
Sofia lahir dan tumbuh dalam keluarga kecil yang penuh fantasi. Ibunya adalah seorang wanita yang halus dan sopan, suka memasak roti dan peerkedel dan penuh petualangan serta pencarian di masa mudanya. Sedang ayahnya adalah seorang perancang bangunan yang menyukai musik dan pemandangan alam. Tumbuh dari kedua orang tua demikian, Sofia menjadi pribadi yang halus, pelamun, dan sering mengalami penderitaan besar akibat hal-hal kecil. Suatu kali ayahnya mengganti loteng rumahnya yang mulai keropos dengan gaya yang berbeda. Sofia merasa bahwa jiwa rumahnya tak akan bisa bersatu dengan jiwa dari model baru yang dibuat ayahnya. Memikirkan hal itu, ia merasa sedih selama berhari-hari, dan baru bisa naik ke lantai dua rumahnya beberapa bulan setelah peristwa itu.
Di masa remajanya, ayahnya sering mengajak Sofia jalan-jalan keliling kota dan perdesaan  dengan mengendari sepeda motor. Sesekali berhenti di sebuah warung di tepi sawah atau sungai. Jika memungkinkan, ayahnya akan mengajaknya menonton konser atau film di malam hari. Namun, ia paling suka membaca buku di lantai dua sambil sayup-sayup mendengar ayahnya bermain gitar di ruang keluarga di lantai bawah. Sementara ibunya akan bernyanyi dengan ragu-ragu karena suaranya yang kurang mendukung serta tidak mengetahui betul liriknya. Bagi Sofia, itu adalah sebuah keindahan kecil yang lucu, dan seperti itulah hidup pada umumnya.
Rumahnya merupakan rumah tua warisan kakeknya dari pihak ayah, seorang pedagang sepeda yang telah menutup usahanya karena anak-anaknya memilih usaha lain. Dibangun dengan gaya kolonial yang sederhana, dengan balkon atas menghadap ke arah jalan dan taman kecil di belakang rumah. Sofia suka mengamati bunga dan tumbuh-tumbuhan di taman itu, serta rumah sederhana di seberang gang yang tampak teduh dan bersahaja. Biasanya, pada sore hari seorang nenek akan duduk sendiri di beranda sambil menikmati teh yang disuguhkan oleh putrinya. Kadang, pada musim tertentu, tehnya akan ditemani sepiring buah jeruk selama berhari-hari—entah karena tidak pernah dimakan atau persediannya yang kelewat banyak.
Bertahun-tahun kemudian, ketika mulai menginjak dewasa, ia mengenal keluarga itu. Nenek itu adalah seorang janda yang cukup bahagia. Mendiang suaminya adalah seorang tentara berpangkat rendah yang masih memberinya uang pensiunan. Tiga anaknya telah mandiri, satu orang menjadi tentara seperti ayahnya dan satu lagi menjadi perawat. Adapun si bungsu memilih tinggal di daerah asal ibunya—yaitu nenek itu—di lereng pegunungan di utara kota yang dikelilingi persawahan dan perkebunan jagung serta sayur-mayur. Kelak ibuku akan seperti nenek itu, pikir Sofia, melamun sendiri di beranda sambil minum teh. Dan mungkin dirinya juga, ketika kelak menjadi seorang nenek, pikirnya.
Apa yang paling menakutkan baginya adalah manakala ia menjadi tua, terasing dan tak bisa merasakan hidupnya berlimpah perasaan dan pengalaman. Segala sesuatu yang ada di sekitarnya hanya bayangan benda-benda tak bermakna, tinggal bersama-sama dalam satu dunia tapi tak saling bicara dan mengerti. Tanpa penghayatan, manusia hidup hanya seorang diri, selebihnya cuma paras-paras alam belaka.
Jika sudah berpikir demikian, ia akan segera pergi keliling kota, entah untuk menikmati lukisan di galeri yang sedang mengadakan pameran, menonton konser yang sedang berlangsung, atau sekedar minum kopi di sebuah kafe. Suatu kali, ia beruntung dapat menikmati konser pada sebuah galeri sekaligus, sehingga ia bisa menikmati musik dan lukisan pada saat yang sama. Malam itu, penyanyinya seorang pemuda dengan rambut ikal, hampir seperti patung David namun dengan rahang sedikit lebih kuat dan model pakaian yang agak ketinggalan jaman. Namun Sofia masih mengingat cahaya matanya, karaker suara dan permainan gitarnya, meski liriknya terlalu keras untuk ukurannya.
Di ruang pameran yang ramai, ia menikmati lukisan-lukisan yang cerah, dengan garis-garis yang tegas menggambarkan figur-figurnya. Andai dibuat sedikit temaram dan lembut dengan mengambil warna yang matang seperti Widayat dan garis-garis halus serupa Henri Matisse mungkin akan lebih mengesankan, pikir Sofia. Seni sebagai gagasan hanya akan berakhir sebagai filsafat, agar menjadi kehidupan ia perlu mengandung banyak perasaan dan pengalaman manusia.
Perjalanannya pada malam itu telah berhasil melupakan perasaan takut akan kehampaan dan keterasingan yang dalam. Ia bisa tidur lebih cepat tanpa perlu dibuat kantuk terlebih dahulu dengan membaca buku yang kurang disukai.
Bagi Sofia, tidur merupakan peristiwa yang menegangkan. Ketika seseorang tidur, jiwanya akan bekerja tanpa kendali sehingga bisa berbuat semau sendiri; kurang lebih seperti binatang buas yang keluar dari kandang dan melarikan diri ke alam liar, menuju habitat alaminya yang primitif. Ia takut jiwanya akan bertemu dengan orang-orang yang terlalu besar seperti para nabi dan para pemimpin sejarah; jika mereka memberi perintah kepada jiwanya, tak ada pilihan selain menurutinya hingga terbawa di alam sadar nanti. Namun, yang lebih menakutkan adalah ketika jiwanya yang tengah lepas kendali itu bertemu dengan para moyang dari masa purba; mereka hanya saling menatap dengan perasaan aneh dan asing, tak bisa bicara karena pada masa itu manusia mungkin sudah memiliki kesadaran tapi bahasa belum ditemukan. Manusia saling bicara hanya dengan memandang dan memperhatikan satu sama lain, dan sebuah senyuman akan menjadi peristiwa besar pada masa prasejarah itu.
Ketika terbangun, Sofia merasa lega. Ia tak bermimpi tentang apa yang selalu ia khawatirkan setiap kali menjelang tidur. Ia hanya mendengar irama sayup-sayup, nadanya mengngatkan pada pertunjukan musik dalam pembukaan pameran semalam ketika pemuda berambut ikal itu memainkan gitar. Tapi setelah bangun ia sadar bahwa nada yang ia dengar dalam mimpi berbeda dengan irama yang dibawakan pemuda berambut ikal itu, sedikit lebih syahdu dan lembut. Ketika terbangun, rupanya ayahnya sedang bermain gitar dan iramanya menyusup ke dalam mimpinya lewat saraf-saraf pikirannya yang masih aktif. Tapi bayangan tentang pemuda itu perlahan tumbuh dalam benaknya. Ya, dia bukan David karya Michaelangelo, tapi berbeda dengan David, ia bisa memainkan alat musik.
Ia masih menikmati mimpinya ketika minum teh di taman belakang rumahnya, sambil menikmati matahari yang mulai hangat. Bunga-bunga yang masih basah oleh embun mulai bangun dari tidur panjang semalam, dan adakah mereka juga punya mimpi yang menakjubkan seperti dirinya? Jika Tuhan telah mengabulkan permintaannya agar segala sesuatu memiliki hati sebagaimana manusia, bunga-bunga itu bisa jadi juga bermimpi seperti dirinya, meski entah apa. Di tengah lamunannya, seseorang mengetuk pintu belakang rumahnya. Rupanya puteri nenek dari seberang gang hendak bertamu.
“Ini, ada beberapa jeruk. Semalam keponakan datang dari pegunungan mengantar hasil panen,” katanya.
“Jeruk dari kebun, segarnya. Terimakasih, Mbak. Salam untuk nenek, ya,” jawab Sofia.
Bersambung…

About the Author

You may also like these