Pintu Sarang

Hampir tiga malam ini aku berkunjung ke rumah Simbah.  Sebenarnya aku kerap mengobrol dengannya, namun hanya sebatas angin lewat saja pembicaraan itu tercipta. Baru awal tahun ini, tepatnya ketika malam tahun baru, aku mengobrol cukup panjang bersamanya.

Berawal dari ajakan Mba Grey menonton film-film garapan Akira Kurosawa yang mengangkat falsafah Asia Timur secara luas, dan Jepang secara khusus. Filsafat dan kesusastraan Asia Timur terasa begitu dekat dengan Indonesia, begitu juga arus modernitas yang telah berlangsung lama di sana. Mba Grey, demikian aku menyapanya, adalah aktifis perempuan, anggota Majestic 55 (Mapala FH UGM). Ia menekuni isu lingkungan hidup dan sering terlibat dalam pagelaran kesenian lokal. Sekitar dua bulan yang lalu aku mengundangnya ke sebuah diskusi yang diadakan Mapala Mahameru di Pendopo Merah Fakultas Ilmu Sosial UNY, sekadar berbagi pengalaman terkait upacara Kebo Ketan yang cukup terkenal itu.

Pergantian tahun diguyur hujan hampir seharian penuh. Pukul 20.00 hujan sedikit mereda, aku berangkat menuju Pojok, tempat Simbah. Penamaan pojok sendiri aku tidak tahu, mungkin karena letaknya di tepian jalan, masuk gang kecil sebelum pasar Piyungan, jalan Wonosari. Bisa juga karena letaknya di pojokan sawah. Sawah-sawah yang dikelilingi bebukitan berundak di belakangnya, termasuk bukit Api Purba. Di kala malam tampak lampu-lampu penduduk dan warung-warung di  kawasan Bukit Bintang yang ramai oleh wisatawan malam. Untuk melihat Yogyakarta malam hari, kita cukup duduk di warung-warung yang tersedia, sambil menikmati jagung bakar dan teh hangat. Tempat pojok persis berada di samping monumen Dupa Alu. Tempat yang aku kunjungi pada malam 17 Agustus, kala itu sedang berlangsung pagelaran seni rakyat, sekaligus upacara hasil bumi, diakhiri dengan makan kembulan bersama sebagai ekspresi rasa syukur kepada Ibu Bumi, Tuhan yang Maha Esa.

Kembali aku diingatkan pada suatu tempat yang asing. Aku membayangkan diriku sebagai Sophie Amundsen menemukan sarang dalam pencarian dirinya, bertemu cermin bayangan dirinya bertanya-dialog, hingga mampu berkontemplasi. Imaji itu pula yang terbentuk saat pertama memasuki pintu pojok Pondok Kaliopak. Tempat aku menepi dari arus waktu dunia yang berlari, duduk hening bersemadi. Hingga sampailah aku pada ujung malam, di antara lelap dan sadar. Layaknya seorang yang bermakrifat pada pagi, melewati fantasi malam panjang. Sepintas aku teringat Al-Kahfi, surat paling indah dalam Alquran menurutku. Surat ini mengisahkan tujuh pemuda yang lelah karena harus hidup di antara orang-orang yang tak beragama, dan akhirnya mengungsi ke dalam sebuah gua, di mana mereka tertidur nyenyak dalam waktu lama. Allah lalu mengunci telinga mereka, dan membuat mereka tertidur selama tiga ratus sembilan tahun. Ketika terbangun, mereka terpana menyaksikan perubahan dunia yang sudah terjadi. Allah yang membuat perubahan masa secara alami, dan kenikmatan tertidur yang sangat nyenyak

Tempat pojok ini juga mengingatkanku pada suatu tempat ketika Himura Khensin bertemu gurunya, tempat ia kembali ke habitatnya, tempat ia berguru, berlatih menempa dan ditempa diri. Perlahan ia tersadar dari tidur panjangnya, setelah terhempas dalam lautan ketersesatan. Kala itu hujan angin dan gemuruh badai, ia menceburkan diri ke laut hingga terbawa arus samudera biru, lalu tak sadarkan diri. Beruntung, sang guru menemukannya di tepi pantai. 

Sisa ingatan-ingatannya kini mulai merekah, perlahan ia mulai diingatkan untuk pulang ke haribaan dirinya. Jalan hidup samurai menyeretnya mengabdi pada dinasti Shogun yang dikata akan mengantar kepada sebuah era baru. Jalan itu ditempuhnya, dengan menebas samurai-samurai muda yang tidak bersalah, hingga ia mendapat julukan sang pembunuh, Himura Battosai. Di persimpangan jalan, ia bertanya-tanya, apakah yang telah dilakukannya itu benar? Dari situ ia menemukan titik tolak, berjanji dan mengabdi pada dirinya sendiri untuk tidak membunuh lagi dalam jalan hidup samurainya. Kemudian ia menemukan sang guru, pembuat samurai legendaris dengan mata pedang terbalik, sebagai pesan ikrar tanda arus balik jalan hidup samurainya.

Semilir angin sore mengabarkan bahwa ia masih berguna. Karenanya ia harus tetap hidup, hingga memutuskan berjalan pulang, menapaki jejak langkahnya kembali. Ia duduk dan termangut melihat bentangan jalan yang dilaluinya, sungguh terjal dan berliku. Hujan yang menghujam tiada terasa derasnya. Hujan itu pula yang melumatkan semua lukanya, hingga tak sadar menerabas marabahaya dari tebing-tebing curam yang dilewati. Hujan badai semacam ini pernah datang berbulan-bulan lalu tiada henti, seolah pipa-pipa pemadam kebakaran yang ada di muka bumi, tercurah serentak di sana. Di ujung malam, di antara lelap dan sadar, ia terjaga, seakan letih tak mengganggunya. Ia terus berjalan menjemput pagi. Ia terlahir kembali.

Rumah tua lusuh dengan halaman yang rimbun oleh pepohonan, taman rumput yang terpotong jalan di halaman, dan kolam ikan di sebelah saluran irigasi sawah. Di belakang rumah terdapat hamparan tanah kosong; kayu bambu hitam, pohon pisang, tumbuhan rempah, dan dinding-dinding batu bata berlumut hitam yang membentuk pondasi rumah setengah jadi.

Simbah masih ditemani dua anjingnya yang suka bersuara setiap orang masuk ke pintu halaman rumah. Langgar kayu tua semakin lusuh oleh kepulan asap tungku kayu bakar tempat ia membuat air panas untuk kopi dan teh. Kami duduk di depan bongkahan batu yang dijadikan meja tamu. Aku membuat kopi sendiri untuk menemani di sela-sela obrolan. Salah satu budaya yang terbentuk dari Mapala adalah tidak membuat repot orang lain.

Simbah pernah menjadi anggota Mapala. Dia banyak bercerita pengalaman perjalanannnya ke berbagai pulau di Indonesia: pegunungan Sumatera, Kalimantan, Jawa, Argopuro, hingga puncak Cartens Papua pada tahun 2002. Ia sendiri dibesarkan di kepulauan Riau. Ketika aku bertanya tentang tempat tinggalnya, Simbah bertanya padaku, “Kamu baca novel Laskar Pelangi, kan? Nah, tempatku lebih ngeri dari Belitung yang diceritakan Andrea.” Gerak tubuhnya lugas dan tenag. Suara yang keluar membentuk bunyi pesan, dan kalimatnya tercipta dari garis-garis yang mengerut di dahinya.

Seringkali tamu datang dari berbagai daerah, teman-teman Mapala-nya dari berbagai kepulauan Indonesia. Sesekali berlatih di daerah tempat ini, hingga ia menamakan tempat pojok ini sebagai Rumah Indonesia. Tak jarang pula ia mengantar tamu asing dari luar: Belanda, Spanyol, Italia, Jerman. Semuanya ia terima dengan prinsip  kesadaran dan kebersamaan. Bergembira. (MA)

About the Author

You may also like these