Sastra Indonesia pada hari ini mencapai titik baru dengan munculnya sastra digital. Dunia maya yang menjadi keseharian dari kehidupan anak muda, terutama generasi yang lahir sejak tahun 1980 hingga 2000-an yang disebut generasi milenial. Kekuatan sastra untuk hidup dan bersatu dalam kehidupan sehari-hari, membentuk tata nilai sosial baru, atau bahkan memperkuat apa yang sudah ada sejak lama dengan semangat dan gaya lebih segar. Beberapa pandangan tentang sastra digital yang diidentikkan dengan kedangkalan nilai dan pemilihan diksi. Kata-kata diobral dengan cara curahan hati yang mudah ditemui di media sosial hingga kesadaran hidup yang terbiaskan oleh dunia popularitas dan pencarian semu lewat dunia maya. Penyair atau penulis puisi (pemula) yang sedang belajar mengenal sastra dapat dengan mudah mengekspresikan dan menuangkan karya di berbagai tempat di media sosial. Sebagai seorang yang sedang belajar, mengenal dan menjadi pemula dalam menulis puisi, sisi kepopuleran dipandang yang menggiurkan bagi generasi milenial. Bagaimana hal tersebut dapat disikapi, untuk tetap sadar dalam kehidupan kesehari-hari dan juga teguh menjaga nilai-nilai semangat kemanusiaan, keadilan hingga keseimbangan diantara kehidupan sosial dan juga dengan alam. Di sisi lain yang lebih utama ialah cara mengenal kehidupan dan Tuhan melalui sastra, atau sering disebut oleh Jokpin “beribadah puisi”.
Namun, ada hal baru dari gerakan sastra digital yang menjadi awal langkah generasi milenial dalam berkarya. Mereka terlihat muncul dan terkenal karena “prestasi” dalam beberapa sayembara dan memenangi anugerah sastra. Para sastrawan milenial tidak butuh atau lebih terkesan cuek dengan seberapa kuat pengakuan dari kritikus sastra, penulis resensi buku, atau redaktur sastra dari media massa. Mereka tak terbebani oleh kanonisasi sastra Indonesia atau bahkan sejarah sastra Indonesia itu sendiri. Semangat sastra digital yang tidak terbendung di dunia maya, telah berhasil mempopulerkan sastra dan dunia literasi di sisi lain. Mereka para pelaku sastra milenial mengenal sastra dari internet yang telah menembus batas-batas ruang dan waktu. Mereka tidak lagi terkendala oleh seorang sosok atau tokoh panutan, kelompok-kelompok dalam berprosesnya bahkan sarana buku-buku karya pendahulunya. Mereka dengan mudah dapat menemui di dunia maya dan dapat berinteraksi langsung, meski dalam satu arah.
Sastra digital sebagai tempat dan arus utama dari generasi milenial memiliki keterkaitan dengan pola global yang sedang berlangsung hari ini. Emha dalam esainya “PR Kaum Milenial: Kearifan Lokal Menuju Nusantara Esok Hari” memberikan penjabaran, bahwa hari ini kita dapat menembus berbagai sekat dan dapat mengetahui kabar di belahan dunia mana saja. Kita mengenal dan menjadi bagian dari dunia global. Kita mengikuti, berinteraksi, dan menerima atau mencontoh berbagai isu yang berkembang dengan skala global. Hanya saja, kita mulai mendengar kipasan suara tentang “kearifan lokal”. Kita mulai kembali digiring untuk mengenal dan mendekati kembali kearifan lokal, setelah sebelumnya kita berjalan kelelahan dengan dunia global. Lalu, sebenarnya apa yang menjadi pedoman generasi milenial? Keterbolak-balikan ini, sekiranya dapat menjadi jawaban awal, tentang bagaimana generasi milenial dianggap dangkal namun terkenal karena karya dan prestasinya. Banyak hal yang dapat menjadi latar belakang generasi milenial untuk melangkah dalam dunia sastra, tentang apa yang seharusnya tetap berpijak dengan kesadaran dan realita di sekitarnya. Berproses dan menggali apa yang disebut kearifan lokal. Hanya saja, apakah mereka betah? Siapkah dunia global menerima dan bersanding dengan nilai-nilai kearifan lokal yang dapat mengubah arah sastra dunia?