Tahun 1920-an merupakan masa kebangkitan nasional Indonesia. Kesadaran akan persatuan muncul di Hindia Belanda. Pemerintah Hindia Belanda melalui Balai Pustaka menghimpun karya-karya sastra. Bahasa dan isi karya tersebut harus sesuai dengan ketentuan pemerintah Hindia Belanda.
Di kemudian hari, Balai Pustaka dianggap sebagai awal kemunculan Sastra Modern Indonesia. Karya-karya Balai Pustaka yang menjadi tonggak sejarah sastra Modern Indonesia antara lain novel Azab dan Sengsara (1919) karya Merari Siregar dan Sitti Nurbaya (1922) karya Marah Rusli. Tema-tema semacam perkawinan paksa dan perlawanan terhadap adat mendapat tempat. Karya-karya sastra tersebut mengisahkan masalah adat dan perubahannya. Secara sosiologis, karya-karya masa Balai Pustaka sangat kental dengan kepentingan ideologi kolonial.
Di luar karya-karya Balai Pustaka, berkembang pula aktivitas bersastra di kalangan masyarakat peranakan Tionghoa. Mereka berkarya dalam Bahasa Melayu Rendah. Karya-karya ini dianggap sebagai bacaan liar. Sebenarnya, “bacaan liar” tersebut adalah karya sastra yang tidak lulus di Balai Pustaka. Sastra peranakan Tionghoa kebanyakan mengambil bahan dari peristiwa aktual yang terjadi di dalam masyarakat. Sastra peranakan Tionghoa bersifat realistis dan tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat.
Memasuki tahun 1920-an, tema yang digarap meluas ke luar lingkup kehidupan masyarakat peranakan Tionghoa. Mereka mengolah bahan-bahan dari peristiwa yang ditabukan oleh Balai Pustaka, seperti pemberontakan PKI (1926), pembuangan tokoh pergerakan nasional ke Boven Digul hingga aksi-aksi pemogokan buruh industri dan perkebunan. Karya-karya tersebut merupakan aset bangsa yang memperlihatkan bentuk-bentuk pembaharuan. Jika dibandingkan dengan karya-karya sastra Balai Pustaka, sastra peranakan Tionghoa lebih kaya tema dan ragam nilai yang mencerminkan hakikat masyarakat.
Sastra peranakan Tionghoa merupakan salah satu mata rantai vital bagi perkembangan dan pembentukan identitas Sastra Modern Indonesia. Sastrawan-sastrawan peranakan Tionghoa yang memiliki rekam sejarah yang dahsyat, antara lain:
1. Lie Kim Hok (…-1912)
Lie Kim Hok (LKH) adalah Bapak Melayu Tionghoa. Sebutan tersebut adalah penghargaan atas dedikasinya menulis buku berjudul Kitab Darihal Perkataan-perkataan Melajoe yang lebih dikenal dengan Kitab Eja A.B.C (1884). Buku tersebut berisi aturan-aturan penggunaan Bahasa Melayu peranakan Tionghoa atau Bahasa Melayu Rendah yang jamak digunakan di daerah Betawi (Melayu Betawi). Pemerintah Hindia Belanda membagi ragam Bahasa Melayu menjadi dua: Melayu Tinggi (dialek Riau) dan Melayu Rendah (dialek non-Riau).
LKH lahir dan besar di Buitenzorg (Bogor). Awalnya, LKH mengembangkan Bahasa Melayu Rendah di daerah Jawa Barat, kemudian menyebar ke berbagai daerah meliputi Jawa Timur, Medan, Banjarmasin, hingga Palembang. Persebaran ini dipengaruhi oleh keterlibatan LKH dalam memopulerkan Bahasa Melayu Rendah sebagai bahasa pers di sejumlah surat kabar. Persebaran Bahasa Melayu Rendah dengan ragam ejaan yang dipelopori LKH memosisikannya sebagai penyeimbang Bahasa Melayu Tinggi yang menggunaan Ejaan van Ophuijsen. Dengan demikian, pers dan penerbitan berbahasa Melayu Rendah menjadi media perlawanan terhadap Balai Pustaka dengan hegemoni bahasanya.
Perkenalan LKH dengan dunia pers dimulai ketika ia belajar di sekolah swasta Tionghoa di bawah bimbingan misionaris D.J. Van der Linden. Sang misionaris memiliki percetakan yang menerbitkan majalah De Opwekker dan Bintang Djohar. Pada tahun 1886, LKH sempat memiliki saham surat kabar Pemberita Betawi di Batavia (Jakarta). Selama hidupnya, LKH menulis di beberapa surat kabar seperti Pemberita Betawi, Bintang Barat, Domingoe, Dinihari, Hindia Olanda, Taman Sarie, Bintang Betawi.
LKH juga menulis novel Thjit Liap Seng atau Bintang Toedjoe pada tahun 1886. Novel ini dianggap sebagai novel pertama dalam dunia sastra Indonesia yang menggunakan Bahasa Melayu Rendah. Sebab, karya-karya sastra lainya adalah terjemahan dari karya berbahasa Eropa atau Arab.
2. Tan Khoen Swie (1883-1953)
Tan Khoen Swie (TKS) adalah seorang penulis keturunan Tionghoa yang lahir di Wonogiri, Karesidenan Surakarta. Ia belajar pada Mas Ngabei Mangoenwidjojo, seorang ahli literatur Jawa. Ia berteman dengan beberapa tokoh seperti Padmosusastro (Bapak Sastra Modern Jawa) dan Tan Tik Sioe Sian alias Ramamoerti, seorang mistikus.
TKS mendirikan penerbit dan toko buku Boekhandel Tan Khoen Swie. Ia menerbitkan karya-karya milik R. Tanaya, Ki Mangoenwidjaya dan Ki Padmasusastra. Percetakannya memainkan peran penting dalam dunia literasi Jawa. Peran TKS dalam dunia literasi di masa Hindia Belanda mewujudkan perubahan dari tradisi lisan ke tradisi tulis dengan aksara latin dan Bahasa Melayu.
Pada tahun 1922, penerbitan TKS mencetak buku Babad Kadiri karya Mas Ngabehi Purbawijaya (selanjutnya direvisi oleh Mangun Wijaya pada tahun 1932). Buku-buku lainnya yang ia terbitkan antara lain Tiga Sastra, Wedha Satya (penulis tidak diketahui), Kalatida karya R. Ngabehi Ronggowarsito, Kitab Wulang Reh karya Sri Susuhunan Pakubuwana IV, Wedatama karya Mangkunegara IV, juga buku-buku karya R. Ngabehi Yosodipuro. Buku-buku terbitan Tan Khoen Swie tergolong lengkap, dari filsafat Jawa, pengetahuan olah rasa, pengetahuan rahasia wanita, pengobatan tradisional, sejarah, dan lain-lainnya.
TKS menulis buku Tjinta Kebangkitan pada Tanah Air (1941) sebagai wujud penentangan terhadap kaum penjajah. Selain itu, ia juga menulis tangan sejumlah manuskrip, antara lain Babat Gianti seri I dan II, Kitab Kaweruh Pakih, dan Niti Soerti Watjana. Bahasa yang digunakan juga beragam, dari Bahasa Melayu beruruf latin, Bahasa Jawa berhuruf latin, hingga Bahasa Jawa berhuruf Jawa murdha (kapital).
3. Kwee Tek Hoay (1885-1951)
Kwee Tek Hoay (KTH) lahir di Buitenzorg (Bogor). Selama hidupnya, KTH pernah menjadi wartawan di surat kabar Ho Po, Li Po, Sin Po. Ia mendirikan majalah Panorama untuk menyuarakan pandangan politiknya dan majalah Sam Kauw Gwat Po yang bernapas “Agama Tionghoa” (gabungan Agama Konfusianisme, Buddhisme, dan Taoisme).
KTH adalah seorang esais yang juga melahirkan sejumlah drama dan novel. Dalam esai-esainya, KTH menulis kritik terkait dunia pendidikan. Salah satunya, kritik atas pendidikan berbahasa Mandarin dan kebudayaan Tionghoa di Tiong Hoa Hwee Koan (THHK). Karya-karya dramanya seperti Allah yang Palsu (1919), Drama di Boven Digul (1938), Drama dari Merapi, dan Drama dari Krakatau. Novelnya yang terkenal berjudul Boenga Roos dari Tjikembang (1927). KTH juga sering menerjemahkan buku-buku agama terkenal dan menulis cerita untuk anak-anak dengan muatan kritik sosial.
Pada permulaan abad ke-20, banyak penulis keturunan Tionghoa bermunculan dengan berbagai karya. Karya-karya mereka dilatarbelakangi kehidupan sehari-hari masyarakat di berbagai wilayah di kepulauan Hindia Belanda. Selain ketiga sastrawan tersebut, masih banyak sastrawan keturunan Tionghoa lainnya.
Seorang penulis perempuan, Ong Pik Hwa (1906-1972), menerbitkan sebuah majalah wanita berbahasa Belanda dengan nama Fu Len pada tahun 1937. Lewat majalah Fu Len, ia menyuarakan tentang pemberdayaan wanita dan pandangan hidup progresif.
Njoo Cheong Seng (1902-1962) adalah penulis cerita bersambung Gagaklodra. Ia belajar menulis dari So Chuan Hong. Selama hidupnya, ia menulis lebih dari 170 novel dan lebih banyak lagi cerpen dengan berbagai nama samaran seperti Monsieur Amor, Monsieur d’Amour, Munzil Anwar dan Mung Mei.
Tan Hong Boen (1905-1983), seorang wartawan di masa Hindia Belanda, adalah penulis biografi pertama Soekarno. Ia bertemu dengan Soekarno saat sama-sama menjadi tahanan di Penjara Sukamiskin.
Di Makassar, ada Hoo Eng Djie (1910-1938) dan Ang Ban Tjiong (1906-1962) yang syair-syair banyak mengisi majalah dan surat kabar di lokal seperti Pembrita Makassar dan Favoriet. Dalam karya-karyanya, Hoo Eng Djie mengadaptasi nyanyian Tionghoa ke dalam Bahasa Makassar sehingga menjadi bagian tradisi masyarakat di Makassar.
Nama-nama di atas adalah bukti eksistensi sastrawan keturunan Tionghoa dalam sejarah sastra Indonesia. Sastra Modern Indonesia tidak lepas dari peran keturunan Tionghoa yang tersebar di seantero Nusantara. Kekuatan karya dan keterbukaan pandangan para sastrawan keturunan Tionghoa mampu mengabadikan berbagai peristiwa bersejarah dalam bahasa sehari-hari, terutama Bahasa Melayu Rendah. Sastra berbahasa daerah sebagai pondasi sastra nasional Indonesia sangat dipengaruhi oleh budaya, bahasa dan kreativitas para sastrawan keturunan Tionghoa. (MA)
***
Foto : www.freepik.com