Sastra Profetik di Pinggiran Sastra Indonesia

Sastra Indonesia di era tahun 60an tidak dapat terpisahkan dengan gaya realisme kerakyatan yang mempengaruhinya. Kekuatan ini terwadahi dengan adanya Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat) yang merupakan lembaga kebudayaan dari PKI. Aliran realisme kerakyatan tercermin dalam berbagai karya seperti puisi dan cerpen. Tokoh-tokoh seperti Pramoedya Ananta Toer, A.S. Dharta, Agam Wispi, hingga Utuy Tatang Sontani. Meraka menyuarakan realisme kerakyatan melalui karya-karya sastra dan memang bersifat propaganda. Disisi lain, sastra beraliran humanisme universal menjadi tandingannya. Goenawan Mohammad, Satya Graha Hoerip, sampai Taufiq Ismail merupakan tokoh-tokoh dari aliran humanisme universal dengan semangat dan ikatan sikap yang sama di dalam Manikebu (Manifes Kebudayaan).

Titik perubahanpun terjadi, dengan adanya peristiwa G 30 S (Gerakan 30 September) di tahun 1965, dengan penculikan para jendral petinggi tentara Indonesia. Peristiwa G 30 S dianggap menjadi pemberontakan terhadap negara yang didalangi oleh PKI, tak mengherankan gerakan realisme kerakyatan disemua bidang terhapus lenyap dalam sekejap, salah satunya di bidang sastra. Ada peristiwa penting dalam perjalanan Sastra Indonesia setelah 1965, dengan kemunculan Majalah Horison di tahun 1966. Majalah Horison menjadi media ekspresi estetik para sastrawan anti-komunis juga mahasiswa yang menyatakan diri sebagai Angkatan 66. Hampir semua redakturnya adalah para penandatangan Manikebu seperti H.B. Jassin, Arief Budaiman, Zaini, Taufiq Ismail dan D.S Moeljanto. Cerpen-cerpen yang terbit di Horison antara 1966-1970 sangat dipengaruhi oleh gagasan humanisme universal.

Pada masa 1970an, kemunculan seniman Danarto dalam dunia sastra memberikan pengaruh besar dan juga menjadi pelopor tema-tema sufistik dan realisme-magis. Danarto memiliki gaya yang membaurkan antara realisme dan surealisme dalam sastra. Aliran ini mementingkan aspek bawah sadar manusia dan non-rasional dalam penggambarannya. Aliran realisme magis dan sastra sufistik dari Danarto terus berkembang dan mempengaruhi sastra Indonesia hingga masa 90an. Pengaruh keadaan politik dan ekonomi di akhir masa orde baru membentuk sastra Indonesia ke arah yang berbeda. Peristiwa krisis moneter dan keruntuhan orde baru hingga pelepasan Timor Leste menjadi latarbelakang yang diangkat dalam sastra, terutama novel. Kekerasan akibat perang, penculikan aktivis oleh pemerintah disuarakan oleh sastrawan seperti Leila S. Chudori dan Seno Gumira Ajidarma. Namun, ada yang perlu kita tengok direntetan waktu setelah reformasi hingga kini, ada Sastra Profetik yang digaungkan oleh Kuntowijoyo.

Sastra Profetik diungkap pertama kali pada tahun 2005 dengan judul “Maklumat Sastra Profetik” bersamaan dengan karya-karya obituary Kuntowijoyo di Majalah Horison edisi No. 5 Mei 2005. Argumentasi dan pemahaman kesusastraan Kuntowijoyo yang terangkum dalam “Maklumat Sastra Profetik” belum banyak mempengaruhi sastrawan, penulis, hingga pembaca sastra. Sejak tahun 80an, Kuntowijoyo telah membangun kerangka gagasan tentang sastra profetik untuk melawan arus dehumanisasi dari dampak negatif modernisasi. Sastra profetik mengedepankan nilai-nilai humanisasi, liberasi, dan transendesi. Ketiga nilai tersebut merupakan interpretasi dari amar ma’ruf (menyuruh kebaikan), nahi munkar (mencegah kemungkaran), dan tu’mina billah (beriman kepada Tuhan).

Nilai humanisasi disuarakan sebagai wujud perlawanan terhadap dehumanisasi akibat dari era modernisasi. Era modernisasi membentuk dan memunculkan fenomena-fenomena seperti manusia mesin, manusia dan masyarakat massa, dan juga budaya massa. Nilai liberasi dalam maklumat sastra profetik menyuarakan tentang penindasan dan ketidakadilan yang dilihat dari sejarah Indonesia. Rekaman kelam sejarah yang dialami masyarakat Indonesia dari (1) penindasan politik atas kebebasan seni setelah 1965, (2) penindasan negara atas rakyat di masa orde baru, (3) ketidakadilan ekonomi, dan (4) ketidakadilan gender.

Sedangkan mengenai transendensi ialah kesadaran berketuhanan yang mewujud dalam kesadaran bermakna apa saja. Bahkan Kuntowijoyo menyebut sastra profetik adalah senjata budaya orang beragama untuk melawan materialisme dan sekularisme yang tersembunyi.Sastra ialah endapan pengalaman. Sekiranya itulah salah satu yang menjadi wujud Kuntowijoyo dalam konsep sastra profetik. Karya sastra merupakan strukturalisasi dari imajinasi, nilai dan pengalaman. Bagaimana arah sastra Indonesia hari ini setelah kita memiliki endapan pengalaman dan dinamika yang bergitu panjang? Kuntowijoyo telah mencoba meraba dan memberikan gagasannya setelah mengalami dan mengikuti zaman sejak tahun 1943 hingga 2005. Sastra hari ini perlu menengok ke dalam kembali, bercermin dan menziarahi ilmu-ilmu yang lama sudah terkubur dan terpinggirkan oleh arus globalisasi.

 

About the Author

You may also like these