Makna Sayur Lodeh, Doa Warga Jogja Di Saat Pageblug Corona

Sebagai warga yang berdomisili di Yogyakarta, penetapan kota ini menjadi salah satu kota yang sudah terdampak penyebaran viru Corona membuat saya was-was untuk keluar rumah. Pemerintah telah menganjurkan  social distancing untuk memperlambat penyebaran dan  menghindari banyaknya korban.
Namun ada yang unik dan menjadi perehatian saya berkaitan dengan anjuran warga Jogja untuk mamasak sayur lodeh yang berisi terong, kluweh, daun sho, juga kacang klewer dalam masa pagebluk (wabah penyakit) seperti sekarang ini. Anjuran tersebut disampaiakan oleh pihak Keraton Yogyakarta sebagaimana muncul di media-media sosial. Saya tidak tahu sejauh mana anjuran tersebut memiliki kebenaran. Namun yang jelas anjuran tersebut mempunyai sejarah panjang bagi warga Yogyakarta ketika tengah menghadapi masa-masa sulit.
Dalam penulusuran saya, anjuran tersebut memang pernah dikeluarkan oleh Sri Sultan Hamengku Buwono X di saat terjadi gempa Jogja tahun 2006 yang lalu. Jauh sebelumnya pada masa Sri Sultan Hamengku Buwono IX anjuran tersebut juga pernah dikeluarkan. Informasi ini terkonfirmasi oleh banyak warga Jogja yang saya temui. Jadi, jika anjuran tersebut tidak benar adanya, ia mempunyai rekam jejak sejarah cukup panjang dalam ingatan kolektif masyarakat Jogja.
Anjuran memasak sayur lodeh dengan segala pirantinya memang biasa kita lakukan. Tetapi menjadi berbeda ketika anjuran tersebut dikeluarkan oleh Sultan Jogja. Pertama, anjuran ini menunjukkan adanya situasi dan kondisi yang memang sulit akibat wabah penyakit yang bagi masyarakat Jogja disebut sebagai pagebluk. Keluarnya anjuran nasak lodeh ini merupakan bentuk doa keselamatan bagi masyarakat agar terhindar dari bencana.
Seperti yang kita ketahui, mitologi masyarakat Jawa sangat lekat dengan pendekatan simbolis yang melibatkan unsur alam dalam upaya mereka memohon kepada Tuhan. Bagi orang Jawa unsur alam juga merupakan bagian dari mahluk Tuhan. Dalam salah satu ayat Al Quran juga disebutkan bahwa gunung dan tumbuh-tumbuhan juga bertasbih kepada Allah. Karena sebagai mahluk alam tidak diberi nafsu dan akal,  tugas alam hanya hanya menyembah Allah sehingga alam lebih taat daripada manusia.
Hal ini berlainan dengan manusia yang diberi akal dan nafsu sehingga potensi  ingkar menjadi lebih besar.  Jadi tidak salah bagi masyarakat Jawa selalu mengunakan simbol-simbol alam dan tumbuhan seperti bunga setaman, pisang dan uborampe  lainnya, termasuk yang ada dalam sayur lodeh sebagai simbol doa dan kesucian itu sediri.
Jika kita jeli, sesungguhnya pelibatan unsur-unsur alam tidak digunakan secara serampangan. Ada pemaknaan yang dalam, interpretasi yang kontekstual mengapa harus menggunakan berbagai syarat dan prasyarat. Misalnya kita bisa melihat dalam pembuatan sayur lodeh dengan beberapa pirantinya ini sebuah filosofi yang luhur . Kluwih bisa mempunyai makna kluwargo luwihono anggone gulowentah gatekne, yang kurang lebih artinya adalah “dahulukan keluarga di saat kita berusaha.” Cang gleyor bermakna cancangen awakmu Ojo lungo aliasikat dirimu di rumah jangan berpergian” — hal tersebut sesuai dengan anjuran pemerintah melakukan social distancing.
Tidak ketinggalan terong bermakna terusno anggone olehe manembah Gusti Ojo datnyeng, mung Yen iling tok (lanjutkan di saat menyembah Gusti Allah, jangan hanya di saat ingat saja). Kulit melinjo,  Ojo mung ngerti njobone Ning kudu Reti njerone Babakan pagebluk (jangan hanya mengerti luarnya saja tetapi harus mengerti di dalam masa penyakit seperti ini). Sedang buah Waluh bisa bermakna dalam yaitu uwalono ilangono ngeluh gersulo (hilangkan perasaan mengeluh dan gelisah/panik). Godong so,  golong gilig donga kumpul wong Sholeh sugeh kaweruh Babakan agomo lan pagebluk (berdoa dengan penuh berkumpulah dengan orang saleh dan banyak pengetahuanya terkait agama dan prihal wabah penyakit ini). Dan yang terakhir  adalah Tempe, temenono olehe dedepe nyuwun pitulungane Gusti Allah (bersunguh-sungguh dalam mendekat dan meminta pertolongan pada Allah).
Dari keseluruhan telah kita coba dapati makna saur lodeh sebagai ekspresi doa masyarakat Jawa. Perwujudan bentuk-bentuk tumbuhan menjadi khasanah masakan yang secara tidak langsung membentuk nilai-nilai spiritual dan estetis. Dari sana anjuran tersebut bukan berarti sayur lodeh merupakan penangkal wabah corona,  namun hal tersebut menjadi sarana untuk berdoa dengan makna-makna yang lebih mudah diterima oleh pemahaman masyarakat agar wabah penyakit segera terlewati.
Jika demikian halnya jalan yang ditempuh, menghadapi bencana corona dengan sayur lodeh juga selaras dengan anjuran agama Islam, yaitu untuk berdoa sesuai kemampuan masing-masing. Terkabul dan tidaknya doa tidak bisa dilihat dari bentuk ekspresinya melainkan keyakinan dan keiklasan rang yang menjalani serta, di atas segalanya, keputusan Allah yang Maha Pemurah dan Penyembuh.
Pun, berdoa dengan sayur lodeh juga merupakan praktik mengikuti anjuran pemerintah untuk melakukan  social distancing, mengurangi aktivitas yang tidak penting di luar rumah dan selalu menjaga kesehatan untuk menghambat laju perluasan virus corona. Dari itu semua, jika kita sepakat bahwa semua musibah datangnya dari Allah, berdoa dengan sunguh-sunguh juga menjadi bagian penting yang perlu terus diupayakan.
 

About the Author

You may also like these