Pembacaan riwayat hidup dan maulid (kelahiran) Nabi Muhammad bagi masyarakat muslim Nusantara mempunyai peran yang sangat penting. Tidak hanya menjadi sebuah ritual personal, pembacaan maulid sejak pertama kali hidup dan tumbuh di Nusantara menjadi ritual keagamaan yang bersifat sosial. Berjanjenan, Diba’aan, demikian biasanya masyarakat menyebut proses pembacaan kitab tersebut.
Biasanya pembacaan kitab berzanji ini dilaksanakan setiap kamis malam jumat di langgar-langgar dan masjid desa. Di langgar, sehabis menjalankan shalat magrib berjamaah warga kampung berkumpul kemudian membacakan kitab tersebut. Beberapa syair sholawat, puji-pujian dan sejarah Nabi dibacakan penuh khikmad dan semangat. Ditambah pengeras suara, pembacaan kitab ini serings saling menyahut antara langgar dan masjid desa dan mencipta orkestrasi doa-doa.
Sampai hari ini pembacaan maulid masih bisa kita temui di banyak tempat seantero pelosok Nusantara, sehingga bisa dikatakan maulidan dan pembacaan kitab al-Berzanji sudah menjadi bagian budaya Indonesia yang tak terpisahkan dan menjadi pemersatu bangsa lewat prosesi nyanyian yang saling berkelindan.
Meskipun demikian, mungkin belum banyak dari kita yang mengetahui sejarah bagaimana kitab al-Barzanji ini sampai di bumi Nusantara. Data yang ada saat ini masih terbatas biografi muallif (penulis) yang tertera di dalam kitab yang menunjukkan keberadaan tempat dan peran di mana beliau berasal dan belajar dan akhirnya menulisakan kitab tersebut. Lebih jauh dari itu, proses kehadiran kitab al-Barzanji sampai di tangan kita saat ini dan pengaruh-pengaruhnya terhadap muslim Indonesia masih sedikit yang memaparkan.
Pengaruh Orang Kurdi
Keberadaan Indonesia sebagai negeri kepulauaan yang kaya sejak ribuan tahun yang lalu selalu menarik orang-orang dari bangsa lain untuk berkunjung. Banyak bangsa dari belahan dunia bagian Barat dan Timur berbondong-bondong mengkunjungi kawasan ini. Maka wajar sampai saat ini masih bisa ditemui jejak-jejak pengaruh budaya bangsa lain yang mewarnai budaya kita.
Dalam konteks keagamaanpun demikian, terutama Islam, beragam sumber sejarah menunjukkan bahwa kehadiran Islam di Nusantara tidak langsung dari sumber asali agama Islam ini muncul yakni bangsa arab (Mekkah-Madinah), namun melalui jalur pinggiran yakni Persia, Cina, India, Hadramaut dan Kurdi.
Dan untuk daerah Kurdi, meskipun tak banyak orang menyebutkan pengaruhnya terhadap proses Islam di Indonesia, namun di luar dugaan—menurut Martin Van Burnisesn selaku salah satu peneliti ulung Islam Indonesia—menyebutkan daerah Kurdi berperan cukup signifikan, apalagi berkaitan dengan kitab al-Barzanji.
Siapa sangka kitab al-Barrzanji sebagai kitab paling populer setelah al-Qur’an bagi muslim Indonesia ini, ternyata adalah nama dari keluarga ulama dan syekh-syekh tarekat sufi yang paling berpengaruh di daerah Kurdistan bagian selatan. Sehingga adanya kitab al-Barzanji dan beberapa bukti yang lain, menurut Martin van Bruinessen, sejak pertengahan abad ke -17 sudah memainkan peran dalam proses Islamisasi di Indonesia.
Lebih khusus, menurut Martin, wilayah Kurdistan bagian selatan juga melahirkan banyak ulama yang sangat berpengaruh terhadap perkembangan Islam Indonesia. Terutama sesepuh/syekh ulama Madinah berasal dari Kurdi, yakni Ibrahim ibn Hasan al-Kurani. Dari sosok guru Ibrahim inilah kemudian sosok ulama sepeti Abdul Rauf Singkil dan Syekh Yusuf al-Makassri dan beberapa ulama Nusantra lain menjadi muridnya dan kemudian menyebarkan ajaran dan gagasan Ibrahim. Di sini Martin menyebut Ibrahim sebagai contoh perantara budaya (cultural broker) yang secara tidak langsung mempengaruhi corak intelektual dan keberislaman di Nusantara.
Dengan jalan tersebut kemudian kitab berzanji sampi ke bumi Nusantara. Dan berangsur-angsur menjadi kitab yang amat berpengaruh, sampai saat ini. Melihat dinamika tersebut, bisa dikatakan kitab al-Barzanji adalah pionir perkembangan budaya Islam yang sekarang menjadi budaya Indonesia yang tak terpisahkan. Nyanyiannya telah menjalin untaian pulau-pulau di semanjung ini, setiap malam jumat dan maulid Nabi tercinta.