Senda Seni: Seniman ini Mendapat Pencerahan Berkat Ziarah Kubur

Dia adalah Bambang Herras, seorang pelukis luar biasa dari Bojonegoro, dengan banyak piala dari lomba-lomba seni di masa remajanya yang gemilang. Tapi, setelah masuk ISI di Jogja, seluruh prestasinya itu menjadi biasa-biasa saja mengingat hampir semua teman kuliahnya juga memiliki banyak piala seperti dirinya—kalau bukan malah lebih banyak.
Namun, yang menegangkan dalam dunia seni rupa bukan soal berapa banyak pialanya, melainkan kekuatan karya sebagai gabungan misterius antara gagasan, teknik, manajemen dan penerimaan publik dengan bermacam-macam motivasi dan pengetahuannya.
Menjalani hidup dalam dunia seni rupa yang penuh turbulensi, Bambang Herras biasa menetralisir ketegangannya dengan pergaulan yang hangat, penuh humor dan saling membantu satu sama lain. Meski demikian, pergaulan Jogja yang penuh bungkusan simbolis membuat Herras sadar bahwa pertolongan seringkali berarti sebuah tantangan yang perlu disikapi secara tepat dan bijaksana.
Puncakmya terjadi ketika teman-temannya menggelar karpet lebar untuk berpameran di tiga galeri sekaligus selama 1,5 bulan. Bayangkan, untuk menyiapkan pameran di satu galeri saja seorang seniman bisa menghabiskan waktu selama bebulan-bulan atau bahkan bertahun-tahun. Sementara ia hanya diberi waktu tiga bulan untuk menyiapkan pameran di tiga galeri secara beruntun! Masing-masing di Kiniko Art Room milik Jumaldi Alfi, Plataran Djoko Pekik dan Studio Kalahan Heri Dono.
Demi mempersiapkan pameran itu, Samuel Indratma selaku art director merancang sebuah model kerja yang berlapis-lapis yang justru membuat Herras semakin merasa cemas dan tegang. Ia menghadirkan Nasirun dan Putu Sutawijaya sebagai mentor yang memberi masukan kepada Herras—meski tugas sebenarnya adalah untuk mengawasi kinerja Herras dalam memproduksi karya-karyanya di tengah waktu yang terbatas.
Berkat jam terbang yang dimiliki, Bambang Herras segera menemukan gaya lukisan yang artistik dengan tinta di atas kertas dan kanvas. Pada bagian tertentu, tinta dibiarkan mengalir alami sedang pada bagian lain terdapat figur-figur yang dilukis dengan jelas. Menyaksikan lukisan Herras itu, Putu Sutawijaya selaku mentor lantas memberi sebutan “Mangsimili”—sebutan yang kemudian menjadi judul pameran dan ciri khas lukisan-lukisan Herras berikutnya.
Perasaan tenang pada kekuatan karya yang telah mulai ditemukan rupanya tak berlangsung lama. Herras masih merasa cemas dan panik, terlebih Samuel semakin sering mengunjunginya, memelototi karya-karyanya seperti penyidik dan penagih hutang, memberi saran-saran dengan nada bicara yang dingin. Pada saat yang sama, di tengah karya-karyanya yang belum selesai, figura lukisan belum ada, segala kebututan untuk pembukaan pameran belum tersedia, sementara waktu pameran telah semakin dekat.
Di tengah perasaan cemas yang luar biasa, ia memutuskan pulang ke Bojonegoro untuk mendapat dukungan moral dari keluarganya. Apa yang didapatkan oleh Herras ternyata lebih daripada itu: seorang adiknya memberi dukungan spiritual dengan mengajak kakaknya berziarah ke makam orang tuanya, kemudian ke makam Mbah Dalhar di Gunung Pring, Muntilan, dan makam Mbah Subakir yang terkenal keramat di puncak Gunung Tidar, Magelang.
Jauh di lubuk hatinya, sebenarnya Herras merasa ragu adakah ziarah kubur dapat membantunya menemukan jalan keluar di tengah ketegangan dan keterpepetan yang luar biasa. Namun, adiknya menjawab bahwa ziarah dapat menenangkan batin yang sedang gelisah dan cemas, serta tidak ada ruginya menjalani tradisi yang telah lama dilakukan oleh para leluhur sebagaimana umumnya orang Jawa.
Ketika berziarah ke makam orang tuanya, Herras memohon restu dengan penuh rendah hati dan sungguh-sungguh, serta berjanji ingin menjadi anak yang lebih berbakti mengingat selama ini ia jarang sekali berkirim doa apalagi berziarah ke makam orang tuanya. Ia sadar bahwa bagi orang Jawa, leluhur merupakan sosok yang penting sebagai teladan dalam berperilaku, obor yang merawat semangat ruhani, serta sikap membumi yang luruh dengan sesama dan alam.
Sedang ketika di Makam Gunung Pring, Muntilan, Herras meminta kepada Tuhan, lewat perantaraan arwah para wali yang suci, untuk memberinya wawasan ruhani yang mudah diamalkan. Pertama, wawasan yang muncul dalam pikirannya ketika itu adalah pentingnya mendengarkan dengan seksama, mulai hembusan angin hingga kalimat dari orang-orang yang jujur, meski mungkin kurang menyenangkan. Kedua, wawasan itu adalah pentingnya menjadikan segala sesuatu yang dekat dengannya sebagai sahabat dalam kehidupan: pohon, bunga, meja-kursi, pintu dan jendela, alat-alat dapur, pakaian, merupakan figur-figur yang memberi keindahan dalam hidup serta karya-karya seninya.
Wawasan berikutnya ditemukan oleh Bambang Herras ketika sedang ziarah di makam Mbah Subakir di puncak Gunung Tidar, Magelang. Makam yang sangat keramat ini berada di tengah hutan rimba yang menyeramkan, penuh dedaunan kering serta sangat sepi. Di sana Herras menemukan wawasan spiritual ketiga, yaitu bahwa kebenaran bukanlah buah kecerdasan dan kebaikan bukanlah hasil dari kepandaian, melainkan gabungan halus antara kesederhaan, ketulusan, dan ketekunan.
Ia lantas merasa sadar bahwa kecakapan tekniknya dalam melukis tak berarti apa-apa dibanding kemurahan Tuhan yang telah memberinya kesempatan menjadi seorang pelukis yang semakin peduli dengan kepekaan batin, serta para sahabat yang telah peduli membuka ruang untuk dimanfaatkan sebaik-baiknya demi perkembangan karirnya. Dan ia berjanji pada dirinya sendiri, di puncak gunung itu, tak akan menyia-nyiakan lagi kesempatan yang datang di sisa-sisa hidupnya.
Bambang Herras tidak pernah menceritakan pengalaman spiritualnya yang luar biasa itu kepada siapapun, sampai pameran Mangsimili Trilateral Exhibition telah usai digelar dengan sukses. Banyak apresian, baik dari sesama seniman maupun kolektor, merasa senang dengan karya-karya Herras yang segar dan tidak biasa, terutama di tengah dunia seni rupa yang sedang stagnan serta karya-karya yang semakin seragam.
Sejak pameran itu, Herras telah berbeda, baik dalam karya maupun kepribadiannya. Ia menjadi lebih sering berikirim doa kepada para leluhurnya, lebih memperhatikan hal-hal kecil di sekelilingnya dengan menyapu, mencuci piring, mengepel lantai, dan mengelap bagian-bagian yang berdebu. Ia juga semakin mengurangi kesukaanya jalan-jalan yang dahulu terlalu sering dilakukan; memilih lebih banyak tinggal di rumah bersama anaknya, memenuhi hari-hari dengan renungan ruhani dan menjadikan segala sesuatu di sekitarnya sebagai bahan terbaik dari karya-karya seninya.
“Saya menyadari, bahwa ucapan termulia yang pernah diucapkan oleh manusia adalah: terimakasih. Kepada adik saya serta siapapun yang telah berbuat baik pada kita,” ujarnya, mengakhiri cerita.

About the Author

You may also like these