Serat Lokajaya, Kisah Rohani Sunan Kalijaga

Membaca naskah kuno untuk generasi kita saat ini bukanlah hal mudah. Apalagi naskah yang ditulis sekitar abad XVI – XVII M.
Meskipun naskah-naskah tersebut lahir dari rahim budaya kita sendiri, namun perbedaan huruf yang digunakan saat naskah-naskah tersebut ditulis, seperti aksara Hanacaraka, atau bahasa Jawa yg ditulis dengan huruf Arab — sering disebut Arab pegon — dengan bahasa kita saat ini (latin), menjadi kendala utama naskah-naskah tersebut hilang dan terpinggirkan. Padahal dengan huruf-huruf tersebut sejarah serta khazanah keilmuan leluhur kita dituliskan. 
Demikian pengantar Prof. Dr. Marsono SU, Guru Besar filologi UGM sebelum masuk ke  isi kandungan serat Lokajaya. Diskusi ini merupakan pembuka rangkaian Ngaji Posonan Pesantren Budaya Kaliopak tahun 2019 dengan tema “Merajut Khazanah Islam Nusantara.
Akademisi yang hampir setengah hidupnya dihabiskan bersama naskah-naskah kuno ini merasa prihatin dengan keadaan ratusan ribu naskah nusantara yang banyak belum terbaca. Maka besar harapan dengan adanya kajian Serat Lokajaya, khazanah yang kaya akan nilai-nilai luhur tersebut dapat dilirik kembali oleh generasi muda.
Serat Lokajaya sebagai pembuka di Ngaji Posonan 2019 menghangatkan limasan Kaliopak, tempat kajian digelar. Peserta yang berjumlah puluhan berasal dari berbagai daerah dan komunitas pun mulai bertegur sapa meski terkesan malu-malu karena baru pertama kali bertemu. Diiringi semilir angin tepian Sungai Kaliopak, udara malam yang dingin, peserta dan panitia pun larut menyimak jalannya kajian.
Serat Lokajaya
Cerita tentang Lokajaya ini sebenarnya berada di jilid ke-12 Serat Centini. Yakni, kitab yang sering disebut para ahli sebagai ensiklopedi buku keilmuan Jawa yang membahas berbagai bidang. Salah satunya tekait dakwah Islam, dan di situlah Serat Lokajaya tersebut tersimpan. Tepatnya di Suluk Sujinah.
Diceritakan dalam Serat Lokajaya, bahwa Lokajaya sendiri merupakan nama samaran dari Raden Said — atau lebih dikenal dengan Sunan Kalijaga — ketika masih menjadi seorang berandal. Meskipun beliau seorang anak dari Bupati Tuban yang mempunyai kedudukan yang tinggi, beliau merasa kecewa dengan kehidupan kerajaan yang ia anggap bertindak tidak adil dan sewenang-wenang terhadap rakyat. Semenjak itulah beliau memutuskan keluar dari istana dan menjadi seorang berandal.
Kehidupan Raden Said sebagai seorang berandal membuatnya terjebak kehidupan hitam (malima), menjadi jadhug karena selalu menang dalam adu tanding dan kesaktian. Pada fase kehidupan ini kemudian Raden Said dikenal sebagai Brandal Lokajaya.
Namun kehidupan Brandal Lokajaya ini berubah semenjak ia bertemu dengan Sunan Bonang. Seorang wali yang masyhur dengan kearifan ilmu hikmahnya. Pada pertemuan tersebut diceritakan, ketika Sunan Bonang dalam perjalanan di tengah hutan, beliau dihentikan oleh Lokajaya untuk dirampas bekal dan harta yang dimilikinya. Dengan kasar kemudian Lokajaya merampas bekal dari Sunan Bonang, sampai akhirnya sang Sunan pun tersungkur ke tanah.
Tersungkurnya Sunan Bonang justru membuat Lokajaya sebagai anak muda merasa iba. Begitu teganya ia merampas bekal orang tua yang sedang dalam perjalanan. Seketika dalam kejatuhan Sunan Bonang tersebut beliau menasihati Lokajaya, “Apa yang kau harapkan dari aku yang tua renta seperti ini anak muda? Kalau hanya harta yang kau inginkan dariku, buah itu kamu ambil semua.” Sambil menunjuk ke pohon aren yang sudah berubah menjadi emas, Sunan Bonang pun melanjutkan perjalannya.
Keterkejutan dan rasa penasaran menyelimuti Lokajaya ketika melihat peristiwa tersebut. Namun, bukan kegembiraan yang didapatkannya. Selepas kepergian Sunan Bonang, rasa bersalah justru membayangi Lokajaya. Sehingga, dengan jiwa yang masih terkoyak dan linangan air mata, Lokajaya berlari mengejar Sunan Bonang untuk memohon maaf sekaligus meminta untuk dirinya diakui menjadi murid.
Tepat di bantaran sungai (kali), Lokajaya akhirnya menemui Sunang Bonang. Dengan pertemuan tersebut akhirnya Lokajaya diterima sebagai murid Sunan Bonang. Raden Said kemudian diwejang tentang hakikat hidup, lantas disuruh bertapa di tepi sungai selama satu tahun. Sejak itulah Brandal Lokajaya (Raden Said) sering dikenal dengan Sunan Kalijaga.
Pertemuan Sunan Kalijaga dengan Nabi Khidir
Cerita tidak hanya berhenti di situ. Dalam Serat Lokajaya diceritakan juga tentang perjalanan Kanjeng Sunan Kalijaga mencari air zamzam ke negeri Mekkah untuk menjalankan perintah gurunya. Perjalanan yang harus ditempuh sang Sunan melewati samudra luas untuk sampai ke tempat tujuan. Dalam perjalanan, Sunan Kalijaga tiba-tiba mendengar percakapan tiga burung tetang makna hidup. Ketika mendengar percakapan tersebut Sunan Kalijaga tertegun dan justru semakin yakin untuk melaksanakan perintah sang guru.
Dengan penuh keyakinan dan ketabahan niat menjalankan perintah sang guru, Kanjeng Sunan akhirnya memberanikan diri menceburkan dirinya ke laut. Di tengah deru ombak dan tajamnya gelombang, Sunan Kalijaga memasrahkan dirinya masuk di kedalaman samudra. Dan di saat itulah beliau ditemui oleh Nabi Khidir.
Masih dalam keadaan pasrah total, beliau ditanya oleh Nabi Khidir, “Apa yang kau cari di tengah samudra seperti ini?” Kanjeng Sunan pun menjawab, “Saya hanya menjalankan perintah sang guru. Tidak ada maksud yang lain.”
Setelahnya, Sunan Kalijaga pun diwejang oleh Nabi Khidir tentang kesulitan hidup bila diliputi kebodohan. Seorang guru hanya memberikan petunjuk, berkembang atau tidaknya tergantung dirinya sendiri. Setelah itu, Sunan Kalijaga disuruh masuk ke telinga kiri Nabi Khidir.
Di alam rohani ini, beliau dihadapkan dengan berbagai warna yang ada di dalam hati manusia. Warna-warna inilah yang mendorong manusia berbuat baik, buruk, bijak, iri, amarah, dan dengki di alam dunia. Kemudian, beliau dinasihati lagi untuk membedakan antara hitam dan putih, mengupas hakikat manusia dari mana ia berasal dan kemana ia akan berakhir, serta kewajibannya untuk selalu merujuk kitab suci ketika ditimpa persoalan agar mendapatkan petunjuk.
Karena darah akan bercampur lagi dengan sukma ketika manusia meninggal, maka nasihat-nasihat yang diberikan Nabi Khidir kepada Sunan Kalijaga sebenarnya hanya ingin menunjukkan tentang hakikat Hyang Widhi yang menghidup-matikan manusia. Hal itu terletak di dalam hati setiap manusia, dan untuk mencapainya manusia harus berani tirakat dan bertapa. “Tidak hanya mbleg kedhibleg, mangan wareg, turu ambleg, gebleg,” tutur Prof. Marsono.
Hyang Widhi di sini menurut Prof. Marsono diambil dari bahasa Sansekerta berarti “Yang Maha Tahu”. Selanjutnya, beliau juga menjelaskan tentang maksud Hyang Manon yang mempunyai arti “Yang Maha Melihat”. Bahwa hakikatnya Tuhan itu berada di atas, di bawah, di kanan dan kiri setiap makhluk. Ia jauh tapi tak berjarak. Ia dekat tapi tak berkumpul.
Wejangan Tentang Hakikat Hidup
Selanjutnya, masih di alam antara, di telinga Nabi Khidir, Sunan Kalijaga mendapatkan wejangan tentang iman, tauhid, dan hidup setelah mati. Kanjeng Sunan diwejang untuk jangan sekali-kali mati dalam keadaan kafir, karena kekafiran seseorang atau keadaan ingkarnya manusia tentang adanya Tuhan, membuat Tuhan menolak kembalinya seorang makhluk. Jangan juga merasa memiliki, karena jasad, rupa, suara, dan sebagainya yang melekat pada diri manusia hanya milik Hyang Sukma. Jangan pula sombong ketika sudah mengetahui wejangan ini, karena pada dasarnya setiap manusia yang hidup adalah mati, dan yang mati adalah hidup.
Setelah mengetahui wejangan-wejangan tersebut, meskipun keberadaan Kanjeng Sunan di dalam telinga Nabi Khidir terasa lebih nyaman dan bahagia, tiba-tiba beliau terpental keluar. Di sinilah kemudian beliau mendapatkan pengetahuan rohani tentang hidup atau ilmu kasampurnan sejati yang sebenarnya tersimpan bukan di luar diri. Namun, hakikat hidup bisa ditemukan di dalam diri manusia sendiri.
Bagaimana Kita Harus Bersikap?
Demikian pemaparan terakhir Prof. Marsono sebelum masuk ke bagian tanya jawab bagi peserta kajian. Semangat yang menggebu masih nampak di wajah beliau meskipun waktu sudah menunjukkan larut malam. Diakhiri dengan nasihat-nasihat kepada peserta ngaji yang kebanyakan masih usia muda, beliau lantas mempersilakan kalau ada yang ingin bertanya.
***
Kesempatan pertama, Firda Salam, salah satu peserta dari Ponorogo bertanya tentang proses Syekh Malaya mendapat ilmu kesempurnaan. Kemudian, ada konsep yang menurutnya menjadi inti dari ajaran Syekh Malaya, yakni pernyataan tentang “hidup di dalam mati dan mati di dalam hidup”. Hal ini, menurutnya, melatih kita sebagai manusia untuk berproses mati menuju yang hidup. Bagaimana konsep mati dan proses hidup yang sesungguhnya dalam Serat Lokajaya?
Prof. Marsono menjawab bahwa “mati dalam hidup dan hidup dalam kematian” artinya ketika manusia hidup dianjurkan mengendalikan hawa nafsunya. Hidup dalam kematian yakni hidup yang penuh pengendalian diri. Karena siapapun yang mematikan hawa nafsunya, ia akan mampu mengendalikan arah dan tujuan hidup yang diinginkan, bahkan mereka bisa tahu kapan dirinya sendiri akan meninggal. Hal ini terjadi karena sudah terlatih dalam hidup yang sempurna, yakni dengan menjalankan syariat, tarekat, makrifat, dan hakikat, seperti yang dilakukan Sunan Kalijaga.
Sunan Kalijaga melakukan syariat taat kepada guru, taat kepada raja, menjalankan salat dan mendirikan masjid, bersikap sabar, menyesali segala dosa dan bertobat, bertapa dan berkhalwat, hidup mengembara tanpa harta. Peristiwa Syekh Malaya masuk ke telinga Nabi Khidir adalah simbolisasi manusia ketika mulai melihat dirinya sebagai Dzat Tuhan, dan dirinya menyadari keberadaannya sebagai wakil Tuhan. Demikian jawaban Prof. Marsono.
Seketika mendengar penjelasan yang disampaikan, suasana forum menjadi hening dan tenang. Dilanjutkan pertanyaan yang kedua. Kali ini ditanyakan oleh Taufik. Ia bertanya di luar materi serat yang disampaikan, namun lebih menyoroti dinamika naskah yang disinggung sedikit oleh Prof. Marsono di awal diskusi.
Pertanyaannya, kita kesulitan untuk memasuki alam serat ini. Ada kesenjangan antara hidup hari ini dengan ketika serat ini dibuat. Tidak ada yang menjembatani. Kalau peninggalan Yunani bisa menjadi jembatan bagi kejayaan masa kini. Tapi kok rasanya  di Indonesia masih terlihat gelap, tidak diminati, dan tidak mudah dipahami. Mengapa?
Selanjutnya, bagaimana serat seperti ini di universitas juga belum nampak semaraknya, meskipun bisa menjadi ladang subur bagi penelitian. Namun, pemerintah yang punya otoritas tidak melirik sama sekali hal ini, semacam yang lalu biar menjadi masa lalu. Mengapa?
Dengan menarik nafas yang panjang, Prof. Marsono menjawab dengan perlahan.
“Dampaknya, banyak bupati kena KPK karena tidak menghayati seperti ini. Tinggal terserah Saudara-saudara mau bagaimana karena saya sudah tua. Kiprah dikembalikan ke Saudara. Apakah birokrasi akan kedodoran, seluruh penjara penuh, ini kemunduran. Ketika serat seperti ini semakin terpinggirkan, ya sudahlah. Majapahit runtuh bukan karena serangan dari luar, karena aparatur negaranya pada bermewah-mewah.”
“Jika ini tidak saya bongkar, belum tentu satu abad lagi akan dibongkar. Karena naskah ini berada di Serat Sujinah, terpendam dan tidak mudah ditemukan. Saudara-saudara harus bersikap atas fenomena ini. Jika ini ditularkan dan kemudian tertanam, maka buahnya adalah kebaikan bagi kondisi di kemudian hari. Nilai-nilai ini harus ditanamkan, kalau tidak sangat berbahaya.”
“Karya ini punya amanat dan harus diikuti. Jika hanya dikubur, maka harapan Indonesia menjadi negara yang berbudaya dengan tidak meninggalkan akar lokalitas di masing-masing daerah hanya akan menjadi harapan!” tegas Prof. Marsono.
***
Tulisan diolah dari notulensi Ngaji Posonan 2019 oleh Muhamad Najih.
Video dokumentasi bisa ditonton di Serial Membabar Serat Lokajaya – Prof. Dr. Marsono S.U.
Foto: dokumentasi Pesantren Kaliopak
Editor: EYS

About the Author

You may also like these