Setengah Empat Pagi

Ia terbangun tepat pukul setengah empat dini hari. Dengan tergopoh-gopoh ia bangun dan beranjak menuju dapur, dituangnya sayur ke dalam wajan untuk dipanaskan, dengan terburu-buru ia memecah telur satu persatu dan menuangkannya ke dalam mangkuk berisi bumbu.
Suasana hening membuatnya heran, mengapa tak terdengar suara anak-anak yang keliling sambil memukuli ember dan kentongan, tak terdengar pula suara pak Nurhadi yang biasanya tadarus dengan pengeras suara masjid, sang suami juga belum bangun dari tidurnya, padahal biasanya tak lama setelah ia bangun suaminya ikut terbangun dan menemaninya memasak atau sekadar menghangatkan makanan untuk santap sahur.
Ia heran sebab waktu imsak tiba tak lama lagi tetapi suasana masih sunyi, “tak seperti biasanya” gumamnya pelan.
Sayur telah hangat dan telur telah matang, bersama keheranannya ia berjalan menuju kamar hendak membangunkan suaminya. Ia berjalan melewati ruang tengah dengan meja, sofa, dan televisi yang berbaris rapi menghadap jendela.
Lagi-lagi ia terheran mengapa banyak sekali camilan di meja tengah? Mengapa ada rengginang, rempeyek, nastar lengkap dengan cengkeh diatasnya, dan keripik pisang rapi dalam toples kaca?
Ia duduk di sofa dan meraih toples berisi keripik pisang, seketika air mata jatuh melewati pipinya. Ia baru sadar bahwa ramadan telah lewat, tak ada lagi anak-anak keliling membangunkan orang buat sahur, tak ada lagi suara tadarus pak Nurhadi, tak ada lagi alarm imsak yang memekakkan telinga.
Ia menangis sebab ramadan yang istimewa telah pergi melewatinya. Ia harus menunggu hingga sebelas bulan untuk bertemunya lagi jika umurnya masih tersisa.
Selesai…

About the Author

You may also like these